• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psychological Well-Being

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being

Ryff (1989) memaknai psychological well-being sebagai situasi seseorang yang dapat mewujudkan relasi yang baik bersama orang lain, menerima keadaan sendiri seperti apa adanya, menjadi seseorang yang mandiri, dapat menentukan tujuan hidup, mampu menguasai lingkungan, dan dapat menumbuhkan potensi diri.

Menurut Ryff & Keyes (1995) Psychological Well-Being merupakan situasi individu merasa bisa hidup atas perasaan bahagia melalui pengalaman yang telah dilalui semasa hidupnya.

Psychological Well-Being adalah sebuah konsep yang ada kaitannya dengan individu terhadap kegiatan sehari-hari dalam mengevaluasi diri dan pengalaman dalam hidupnya. Evaluasi diri yang pasrah terhadap pengalamannya akan mengakibatkan psychological well-being orang tersebut rendah, sedangkan seseorang yang berusaha untuk membenahi hidupnya maka mengakibatkan psychological well-being orang itu menjadi meningkat. Kondisi ini bermakna bahwa psychological well-being yang tinggi maupun rendah tergantung pada kondisi diri seseorang yang mengatur sumber internal dan eksternal disekitarnya secara efektif (Fitriani, 2016).

Psychological well-being adalah orang yang dapat berlaku baik dengan keadaan mental yang positif. Orang dengan kesehatan mental yang baik seringkali menunjukkan sikap positif pada dirinya sendiri bahkan pada orang lain, mempunyai tujuan untuk hidup, mampu menyesuaikan keadaan dirinya sendiri terhadap lingkungan, membangun hubungan positif bersama orang lain juga melakukan upaya pengembangan diri (Rachmayani & Ramdhani, 2014).

Mailisa & Khairani (2017) psychological well-being berarti nilai-nilai positif bagi mental yang sehat, kondisi ini terdiri atas menerima diri, relasi positif terhadap orang lain, mandiri, memiliki arah dalam hidup, mengembangkan diri, dan menguasai lingkungan sosial. Kurniawan & Susilarini (2021) psychological

well-being berarti evaluasi seseorang terhadap rutinitas keseharian yang menjurus ke pengungkapan perasaan akibat pengalaman masa lalu yang dilalui dalam hidupnya.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, maka di tarik kesimpulan psychological well-being yakni keadaan seseorang yang hidup karena perasaan bahagia melalui pengalaman masa lalu semasa hidupnya dengan terus mengembangkan dan mengevaluasi dirinya. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui enam aspek psychological well-being, diantaranya yakni mampu menerima diri sendiri, mampu menciptakan relasi positif bersama orang lain, bersikap mandiri, dapat mengontrol lingkungan, mempunyai tujuan akan hidup, serta mampu membangun potensi diri.

2.1.2 Aspek-aspek Psychological Well-Being

Aspek-aspek dari psychological well-being yang diciptakan oleh Ryff (1989) terwujud berdasarkan beberapa teori para ahli, seperti teori Positive Psychological Functioning oleh Abraham Maslow, Carl Rogers, Carl Gustav Jung, dan Gordon Allport. Kemudian teori perkembangan oleh Erik Erikson, Karl Buhler, dan Neugarten. Serta teori kesehatan mental oleh Jahoda. Adapun keenam aspek psychological well-being yang diciptakan Ryff yaitu:

1. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Orang yang menerima diri dengan baik mampu mengakui keadaannya secara apa adanya, mampu bersikap positif terhadap dirinya, dan dapat memandang positif pengalaman di masa lalunya. Sedangkan orang yang menerima diri dengan buruk akan merasa kecewa terhadap dirinya, merasa tidak senang dengan kejadian di masa lalunya, serta mempunyai keinginan untuk tidak menjadi dirinya sendiri.

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Orang yang memiliki relasi positif bersama orang lain akan mampu menciptakan relasi yang memuaskan, hangat, serta memiliki rasa untuk saling percaya. Merasa prihatin dengan ketentraman orang lain, dapat berempati, dapat berbagi rasa kasih dan sayang, pengertian, memberi dan menerima relasi antar sesama. Sedangkan orang dengan relasi yang rendah atau relasi negative terhadap orang lain akan memiliki sedikit rasa kedekatan

17

dan rasa saling percaya. Ia akan merasa kesusahan dalam bersikap secara hangat, perduli, serta membuka diri. Ia merasa terisolasi serta kecewa dalam membangun relasi interpersonal, dan tidak ingin berkompromi melanjutkan relasi tersebut.

3. Kemandirian (Autonomy)

Individu dengan kemandirian yang baik akan dapat menyelesaikan permasalahan sosial dengan cara tertentu dalam berpikir dan bertindak, mampu mengontrol perilakunya sendiri, serta mengevaluasi diri berdasar atas standar yang dimiliki. Sebaliknya yaitu individu dengan kemandirian yang buruk dapat merasa khawatir terhadap penilaian dan harapan dari orang lain tentang dirinya. Ia akan mengandalkan penilaian atau pandangan orang-orang dalam menentukan pilihan dan keputusan penting bagi dirinya.

4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Orang yang dapat mengontrol lingkungan dengan baik akan mempunyai kontrol dan kendali yang baik untuk menata lingkungannya, ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal, bisa memanfaatkan kesempatan dengan efektif, dan juga ia dapat menciptakan serta memilih lingkungan sesuai dengan kondisi atau kebutuhan dirinya. Sebaliknya, individu yang penguasaan lingkungannya buruk dapat merasa kesusahan untuk mengatur aktivitas kesehariannya. Ia tidak dapat mengontrol dan memperbaiki lingkungannya, tidak sadar akan kesempatan yang ada disekitarnya, serta sulit memegang kendali di lingkungannya.

5. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Orang dengan tujuan hidup yang baik dapat teratur dalam menempuh tujuan hidup, mampu memaknai kehidupannya dimasa lalu dan masa kini, yakin akan tujuan hidupnya dapat tercapai. Sedangkan individu dengan tujuan hidup yang buruk akan merasa hidupnya kurang bermakna, tidak mengetahui tujuan dan sasaran hidupnya, tidak dapat memperkirakan tujuan apapun dimasa lalu bahkan masa kini.

6. Pengembangan Diri (Personal Growth)

Individu dengan pengembangan diri yang baik akan memiliki keinginan

untuk terus tumbuh dan meningkatkan diri, terbuka untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru, memahami potensi yang dimilikinya, dapat mengembangkan kualitas diri serta perilaku tahap demi tahap. Sedangkan sebaliknya, individu yang perkembangan dirinya buruk akan merasa dirinya tidak mampu berkembang, tidak adanya peningkatan bahkan perubahan tahap demi tahap, adanya perasaan jenuh dan tidak tertarik terhadap kehidupan, serta tidak bisa menumbuhkan perilaku atau sikap yang baru.

2.1.3 Faktor-faktor Psychological Well-Being

Bersumber dari penelitian terdahulu yang dilangsungkan oleh ahli didapati berbagai faktor yang bisa berpengaruh pada psychological well-being seseorang, bersumber pada penelitian Ryff & Keyes (1995) ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being diantaranya; usia, gender, status sosial ekonomi, budaya, dan kepribadian. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap psychological well-being seseorang menurut Ryff dalam Ramadhani et al., (2016) yaitu dukungan sosial, evaluasi pengalaman hidup, dan Locus Of Control (LOC).

1. Usia

Dari aspek penguasaan terhadap lingkungan dan kemandirian (otonom) terlihat adanya peningkatan yang sejalan dengan bertambahnya usia. Selain itu menurut Prabowo (2017) hasil penelitian lain juga menunjukkan aspek tujuan hidup dan perkembangan personal ikut meningkat sejalan dengan usia yang terus bertambah.

2. Gender

Wanita cenderung mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan pria jika dilihat dari aspek relasi positif terhadap orang lain dan aspek pertumbuhan personal.

3. Status Sosial Ekonomi

Adanya perbedaan tingkat status sosial ekonomi bisa berpengaruh pada kondisi psychological well-being seseorang. Orang dengan status sosial ekonomi yang tinggi cenderung memandang masa lalu dan dirinya secara

19

lebih positif, dapat hidup yang lebih terarah dari pada seseorang yang status sosial ekonominya rendah.

4. Budaya

Hasil penelitian Ryff di Korea Selatan mengenai psychological well-being mendapati bahwa responden penelitiannya menghasilakan nilai yang lebih tinggi untuk aspek relasi positif terhadap orang lain, namun rendah di aspek penerimaan diri.

5. Kepribadian

Seseorang yang mempunyai kemampuan secara pribadi dan sosial, misalnya menerima diri, memiliki kemampuan membangun relasi positif terhadap lingkungan, coping skill yang efektif akan lebih mudah mengatasi konflik dan stres.

6. Dukungan Sosial

Dukungan sosial bermakna seperti rasa nyaman, penghargaan, perhatian, atau pertolongan bagi seseorang yang diperoleh dari berbagai asal usul antara lain keluarga, sahabat atau kawan, rekan sejawat, bahkan organisasi sosial.

7. Evaluasi Dalam Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup melibatkan bermacam rentang periode dalam kehidupan. Evaluasi seseorang pada pengalaman hidupnya dapat berpengaruh pada psychological well-being orang tersebut.

8. Locus Of Control (LOC)

Locus Of Control diartikan menjadi suatu ukuran harapan umum seseorang tentang pengendalian (kontrol) pada penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu, hal ini memberikan pandangan terhadap psychological well-being.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan faktor usia, gender, status sosial ekonomi, budaya, kepribadian, dukungan sosial, evaluasi pengalaman hidup, dan Locus Of Control (LOC) adalah faktor-faktor yang bisa berpengaruh pada kondisi psychological well-being seseorang.

Dokumen terkait