BAB I PENDAHULUAN
2.6 Pungsi
Pungsi perkutan untuk mendapatkan akses ke ginjal dapat dilakukan dengan bantuan kontrol ultrasonografi, fluoroskopi, atau CT-scan. Setelah pasien diposisikan tengkurap, kontras dimasukkan melalui ureter kateter sampai mengisi sistem pelviokalises. Fluoroskopi diposisikan dalam sudut 25-300 dari vertikal pada posisi aksial. Dilakukan insisi kecil pada tempat pungsi. Pungsi dapat dilakukan melalui kaliks superior, media, maupun inferior menggunakan jarum 18G yang diposisikan sehingga target pungsi, ujung jarum dan pangkal jarum berada dalam posisi segaris. Kedalaman pungsi dikontrol menggunakan fluoroskopi dalam posisi AP (anteroposterior), ketika jarum mencapai kaliks target dan obturator dilepas maka urin akan keluar dari jarum. Bila urin tidak keluar maka dapat dimasukkan kontras untuk menilai posisi pungsi apakah tepat masuk ke dalam sistem pelviokalises. (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011)
Lokasi batu dan stone burden menjadi pertimbangan dalam menentukan letak pungsi ginjal. Adapun beberapa pertimbangan anatomis secara umum menjadi pedoman dalam melakukan pungsi ginjal, yaitu: kaliks posterior lebih dipilih karena biasanya berada pada Brödel’s line, pungsi harus searah dengan infundibulum untuk mencegah perlukaan terhadap pembuluh darah serta memudahkan akses dan manuver nefroskop saat memecahkan batu. Pungsi sebaiknya dilakukan dengan pendekatan di bawah iga 12 untuk mengurangi risiko komplikasi terhadap pleura, bila pungsi supra kosta diperlukan maka hendaknya dilakukan pungsi saat paru ekspirasi penuh. Tujuan dari keseluruhan akses adalah
Universitas Sumatera Utara
9
dapat mengangkat batu terbesar dengan nefroskop yang rigid. Untuk batu kaliks biasanya pungsi diarahkan langsung pada kaliks yang bersangkutan kecuali pada anterior kaliks, mengingat sudut yang tajam antara kaliks anterior terhadap pelvis sehingga batu kaliks anterior biasanya diraih melalui kaliks posterior dengan fleksibel nefroskop. (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011)
Pungsi suprakostal biasanya diperlukan pada beberapa kasus tertentu, seperti bila terdapat batu lebih banyak di kaliks superior, striktur ureteropelvic junction yang membutuhkan endopielotomi, batu multipel di kaliks dan infundibulum pole bawah/ureter, batu cetak yang mayoritas pada kutub pole atas, dan batu pada ginjal tapal kuda. (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011)
Sedangkan akses multipel dipertimbangkan pada kasus dimana tiap kaliks terdapat batu ukuran >2 cm yang tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan nefroskop rigid, atau batu dengan ukuran < 2 cm namun tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan nefroskop fleksibel. Akses multipel memiliki potensi lebih besar terjadinya perdarahan, nyeri pasca operasi, lama rawat, biaya dan morbiditas yang lebih besar dibandingkan dengan akses tunggal.
(Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005), Nugroho dkk. 2011)
Universitas Sumatera Utara
10
Gambar 2.2. Pungsi pada kaliks inferior dipandu dengan USG (dikutip dari Hohenfellner et al, Manual Endourology, 2005)
Gambar 2.3. Penciptaan working tract menggunakan metal dilator secara serial (dikutip dari Hohenfellner et al, Manual Endourology, 2005)
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 2.4. Meletakkan sheath nefroskop pada pelvis ginjal (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)
2.7 Lithotripsi
Untuk batu berukuran lebih dari satu cm membutuhkan fragmentasi dengan menggunakan litotriptor berupa laser, ultrasound, ballistic maupun EHL (Electro Hydrolic Lithotripsy) (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005; Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016)
2.7.1 Ultrasound
Ultrasound adalah energi suara berfrekuensi tinggi 23000 – 25000 Hz. Getaran dari probe yang berongga ditransmisikan ke batu menghasilkan fragmentasi.
Kekurangan dari ultrasound adalah membutuhkan scope yang semirigid dan
Universitas Sumatera Utara
12
probe-nya berukuran cukup besar. Litotriptor ultrasound memiliki angka keberhasilan fragmentasi batu antara 69-100%.(Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016)
2.7.2 Ballistic
Lithotriptor ballistic memiliki energi yang berasal dari pergerakan metal proyektil. Energi tersebut diteruskan probe yang menempel pada batu sehingga menimbulkan efek seperti martil. Alat ini memiliki angka keberhasilan fragmentasi batu antara 73-100% dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan EHL, di mana insiden terjadinya perforasi mencapai 17,6%
pada EHL dibandingkan dengan ballistic yang hanya 2.6% (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016)
2.7.3 Electrohydraulic lithotripsy (EHL)
EHL menggunakan tenaga listrik yang menyebabkan timbulnya percikan api dan menyebabkan kavitasi gelembung udara yang menghasilkan gelombang kejut sekunder atau mikrojet berkecepatan tinggi sehingga dapat menfragmentasi batu.
Keuntungan penggunaan EHL antara lain biaya yang lebih murah dibandingkan dengan laser. Probe EHL adalah komponen sekali pakai yang bergantung pada kekerasan batu sehingga mungkin diperlukan lebih dari satu probe untuk
Universitas Sumatera Utara
13
memecahkan batu. Probe EHL lebih fleksibel daripada fiber laser. Kerugian dari penggunaan EHL antara lain beberapa jenis batu sulit dipecahkan, tekanan tinggi dari ujung probe dengan jarak yang cukup jauh membuat batas keamanan alat ini sempit, dan dapat menyebabkan perforasi saluran kemih (17,6%). Namun demikian angka keberhasilan fragmentasi batu EHL lebih tinggi dibandingkan dengan ballisticlithotripsy yaitu mencapai 90% (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016)
2.7.4 Laser
Holmium YAG Laser saat ini dijadikan baku emas pada lithotripsi intrakorporeal.
Medium aktif dari alat ini yaitu holmium dikombinasi dengan Kristal YAG.
Pertama kali digunakan di bidang urologi pada tahun 1993 oleh Webb. Panjang gelombang 2100 nm ditransmisikan lewat fibersilica yang fleksibel dan dapat digunakan pada endoskopi rigid maupun fleksibel. Energi dari Holmium YAGlaser menghasilkan efek fotothermal yang kemudian menyebabkan vaporisasi dari batu.
Energi laser holmium YAG diabsorbsi kuat oleh air dan jangkauannya tidak lebih dari 0,5-1 mm pada medium cair, oleh karenanya alat ini memiliki batas keamanan yang cukup baik dalam mencegah kerusakan saluran kemih dan memiliki angka bebas batu yang cukup tinggi mencapai 90% (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2,5. Melakukan litotripsi (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)
Gambar 2.6. Mengeluarkan fragmen batu dengan menggunakan grasper (dikutip dari Hohenfellner
Manual Endourology, 2005)
Universitas Sumatera Utara
15
Gambar 2.7. Evaluasi sistem pelviokalises untuk mencari sisa fragmen batu (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)
2.8 Nefrostomi
Setelah selesai dilakukan PCNL maka penggunaan drainase nefrostomi biasanya dianjurkan. Pemasangan selang nefrostomi pasca PCNL memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai tamponade perdarahan yang timbul dari jalur luka nefrostomi, memberikan kesempatan bekas pungsi ginjal sembuh, drainase urin, serta memberikan akses ke sistem pelviokalises bila dibutuhkan tindakan lanjutan PCNL (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).
Tubeless PCNL diindikasikan pada kasus dengan stone burden rendah dan pada prosedur yang sederhana, cepatserta tanpa komplikasi. Tindakan yang terakhir ini
Universitas Sumatera Utara
16
dapatdikombinasikan dengan penggunaan DJ stent atau ureterkateter untuk membuat drainase urin adekuat dan mempercepatpenyembuhan perlukaan sistem pelviokalises (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011;
Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016)
Gambar 2.8. Pemasangan nefrostomi (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)
2.9 Guy’s Stone Score
Walaupun minimal invasif, namun PCNL tetap dianggap operasi besar dengan resiko komplikasi dan tidak ada jaminan sepenuhnya akan bebas batu. Sampai saat ini tidak ada metode yang ditetapkan untuk memprediksi angka bebas batu pada prosedur PCNL. (Mandal et al, 2012 ; Noureldin A, et al 2014, Thomas K, 2011)
Universitas Sumatera Utara
17
Guy’s Stone Score adalah metode yang mudah dipahami, valid dan terpercaya untuk menjelaskan keadaan batu dan memprediksi angka bebas batu. . (Mandal et al, 2012 ; Noureldin A, et al 2014, Thomas K, 2011)
Ahli bedah dapat menggunakan Guy’s stone score untuk membandingkan antara hasil kerjanya dan prediksi angka bebas batu menurut Guy’s stone score.
Selain itu juga dapat berguna untuk persiapan preoperatif dan durante operatif. . (Mandal et al, 2012 ; Noureldin A, et al 2014, Thomas K, 2011)
Tabel 2.1 Guy’s Stone Score (Thomas K et al, 2015)
skor Keterangan Ilustrasi
I Batu solid di pole tengah/bawah
18
Batu pada divertikel kaliks, atau
Batu staghorn parsial
IV Batu staghorn, atau
Batu pada pasien spina bifida atau cedera spinal
Menurut penelitian Thomas dkk, distribusi jumlah pasien yang menjalani prosedur PCNL adalah 28 % (skor I), 34 % (skor II), 21 % (skor III), 17 % (skor IV). Dan angka bebas batu adalah 81 % (skor I), 72,4 % (skor II), 35 % (skor III), dan 29 % ( skor IV) (Thomas K et al, 2011)
Menurut penelitian Mandal dkk munculnya komplikasi secara signifikan lebih sering muncul pada pasien dengan skor GSS yang lebih tinggi dan GSS telah terbukti efektif untuk memprediksi angka bebas batu, berdasrkan penelitian tersebut juga didapat angka bebas batu 100 % (skor I), 74 % (skor II), 56 % (skor III), dan 0 % (skor IV) (Mandal S et al, 2012)
Menurut penelitian Noureldin dkk, distribusi pasien berdasarkan Guy’s stone score adalah 25,4 % (skor I), 43,2 % (skor II), 11,4 % (skor III), 20 % (skor IV), Dan angka bebas batu berdasarkan Guy’s stone score adalah 91,5 % (skor I), 80 % (skor II), 47,6 % (skor III) dan 43,2 % (skor IV) (noureldin et al, 2015)
Universitas Sumatera Utara
19
Dan berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Thomas dkk, Ingimarson dkk, Vicentini dkk menyatakan bahwa Guy’s stone score berhubungan secara signifikan dengan angka bebas batu (p = 0,001 ; p = 0,003 ; p < 0,001)(Noureldin et al, 2015)
Peningkatan jumlaan ukuran batu, lokasi batu di kaliks, batu cetak dan hidronefrosis sedang sampai berat berkaitan dengan rendahnya angka bebas batu sesudah PCNL (Zhu et al, 2011)
Pasien-pasien dengan batu solid pada pelvik ginjal dan hidronefrosis yang signifkan, sudut infundibulum kaliks superior dan inferior memainkan peranan penting dalam terjadinya migrasi batu selama proses pemecahan batu, apabila dilakukan aproach lewat kaliks inferior. Sudut infundibulum kalis superior dan inferior yang lebar (lebih dari 117,5 0) cenderung mengakibatkan batu yang menyebar apabila dilakukan pemecahan batu dengan “pneumatic lithotriptor”
Berbagai kelainan anatomi ginjal terjadi pada 3 – 11 % kejadian. Berbagai kelainan anatomi terebut berkaitan dengan terjadinya batu. Hal ini disebabkan ketidaksempurnaan drainase urin yang berkaitan dengan anatomi yang abnormal.
PCNL pada pasien dengan anatomi ginjal yang abnormal tetap aman hanya saja dibutuhkan kewaspadaan, persiapan preoperatif yang baik, dan persiapan terhadap terjadinya komplikasi intra dan pasca operasi (Aminsharifi et al, 2014)
Angka bebas batu primer berbeda secara signifikan pada batu kecil (< 2 cm) dibanding batu besar (> 2 cm) (90,8% vs 76,3%, p = 0,007). Pada walnya PCNL dilakukan dalam posisi prone. Sesudah tahun 1998, Valdivia Uria menjelaskan serangkaian pasien yang menjalani prosedur dengan posisi supine.
Universitas Sumatera Utara
20
Beberapa perubahan posisi dicoba untuk mengoptimalkan hasil dan mencegah komplikasi. Prosedur PCNL menjadi lebih sulit pada pasien dengan batu cetak dibandingkan pasien yang bukan batu cetak. Menurut penelitian Astroza dkk, angka bebas batu pasien batu cetak dengan prosedur PCNL posisi prone lebih tinggi dibanding posisi supine (59,2% vs 48,4%, p<0,001) (abdelhafez et al, 2012).
Luas area permukaan sistem pelvikalises merupakan faktor anatomi yang berpengaruh pada keberhasilan PCNL. Dan pasien dengan luas area sistem pelvikalises < 20,5 cm2 memiliki angka keberhasilan yang lebih tinggi (Binbay et all, 2011).
Obesitas tidak meningkatkan komplikasi, dan tehnik operasi pada pasien obesitas tidak berbeda dengan tehnik operasi pada pasien berat badan normal.(
Ortiz et al 2014, Sofer et al 2012)
PCNL tetap aman untuk pasien berusia diatas 65 tahun dengan angka bebas batu 85 % untuk semua jenis batu.( Karami et al, 2010)
Riwayat operasi ginjal terbuka tidak mempengaruhi efesiensi PCNL.
Komplikasi yang mungkin muncul juga tidak berbeda antara pasien dengan riwayat operasi ginjal terbuka ataupun pasien tanpa riwayat operasi ginjal terbuka sebelumnya(Khorami et al, 2014)
Selain Guy’s Stone Score, ada dua sistem skoring juga yang diketahui penulis untuk memprediksi keberhasilan prosedur PCNL yaitu sistem skoring STONE nephrolithometry dan sistem skoring kompleksitas batu ginjal dari Universitas Nasional Seoul.(Jeong et al, 2013, Noureldin et al, 2015)
Universitas Sumatera Utara
21
Pada sistem skoring STONE membutuhkan CT Scan dan perhitungan HU dalam penentuan skornya, sementara sistem skoring kompeksitas batu ginjal dari Universitas Seoul membutuhkan pemeriksaan CT scan aksial dan koronal, walaupun tidak memperhitungkan jumlah dan ukuran batu. Selain itu sistem skoring kompeksitas batu ginjal dari Universitas Seoul belum terlalu banyak digunakan sentra pada penelitian-penelitian lain. .(Jeong et al, 2013, Noureldin et al, 2015) Sementara pada penelitian kami menggunakan pemeriksaan x-ray dan USG. Selain itu Guy’s stone score mulai diterima secara luas di dunia dan banyak penelitian yang berkaitan sudah dipublikasi.
Universitas Sumatera Utara
22
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik dengan desain prospektif.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Bedah Divisi Urologi RSUP H Adam Malik Medan dimulai sejak proposal dibacakan sampai terkumpulnya jumlah sampel dan penelitian dibatasi selama 6 bulan.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien yang menjalani prosedur PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel penelitian adalah pasien yang menjalani prosedur PCNL di RSUP H Adam Malik Medan sejak proposal ini dibacakan sampai terkumpulnya jumlah sampel. Dikarenakan pada penelitian-penelitian sebelumnya tidak ada mencantumkan nilai r , maka nilai r pada perhitungan jumlah sampel dianggap 0,5 dan dihitung dengan
Zα + Zβ2
n = 0,5 ln 1 + r + 3 1 – r
1,96 + 0,8422
22 Universitas Sumatera Utara
23
= 0,5 ln 1 + 0,5 + 3 1 – 0,5
= (5)2 + 3
= 28 ; maka jumlah sampel 28 orang Keterangan:
n = jumlah sampel
Zα = deviat baku α (tingkat kesalahan baku tipe I) = 5%, maka Zα = 1.96 Zβ = deviat baku β (tngkat kesalahan baku tipe II) = 20 %, maka Zβ = 0,842 r = nilai koefsisen korelasi = 0,5
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Yang termasuk kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
1. Pasien yang menjalani prosedur PCNL di Departemen Bedah Divisi Urologi RSUP H. Adam Malik Medan sejak proposal ini dibacakan sampai terkumpulnya jumlah sampel dengan ukuran batu > 20 mm.
2. Pasien dengan data dasar pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan terapi yang jelas dan lengkap.
3. Usia penderita > 18 tahun
Yang termasuk kriteria eksklusi pada pasien ini adalah:
1. Pasien yang sudah dilakukan tindakan ESWL atau endourologi sebelum dilakukan PCNL.
Universitas Sumatera Utara
24
3.5 Alur Kerja
3.6 Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan independen.
Data Sekunder : Pasien yang Menjalani Prosedur PCNL
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Skor Guy
Angka Bebas Batu Sesudah PCNL
Batu Radioopak Batu Radiolusen
Foto BNO USG
Universitas Sumatera Utara
25
Yang termasuk variabel independen dan dependen adalah:
Independen Dependen
Guy’s Stone Score Angka bebas batu sesudah prosedur PCNL
3.7 Kerangka Konsep
3.8 Defenisi Operasional
1. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) : tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises 2. Guy’s Stone Score adalah metode yang mudah dipahami, valid dan
terpercaya untuk menjelaskan keadaan batu dan memprediksi angka bebas batu, yag diuraikan sesuai berikut
Skor Guy Angka Bebas Batu sesudah prosedur PCNL
Universitas Sumatera Utara
26
Skor Keterangan Ilustrasi
I Batu solid di pole tengah/bawah dengan anatomi normal, atau
Batu solid di pelvik dengan anatomi normal
II Batu solid di pole atas dengan anatomi normal, atau
Batu multipel dengan anatomi normal, atau
Semua batu solid dengan anatomi tidak normal
III Batu multipel dengan anatomi abnormal, atau
Batu pada divertikel kaliks, atau
Batu staghorn parsial IV Batu staghorn, atau
Batu pada pasien spina bifida atau cedera spinal
3. Batu Radioopak : batu yang yang dapat terlihat pada pemeriksaan x-ray
Universitas Sumatera Utara
27
4. Batu Radiolusen : batu yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan x-ray
5. Foto BNO : suatu pemeriksaan x-ray di daerah abdomen dan pelvis untuk melihat kelainan sistem urinaria
6. CT Scan : gabungan gambaran x-ray serial yang diambil dari berbagai sudut yang berbeda dan menggunakan proses komputerisasi unntuk menghasilkan gambaran melintang atau irisan pada tubuh.
7. Angka Bebas Batu : jumlah pasien dengan fragmen batu sisa < 4 mm
3.9. Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 20. Data karakteristik sampel akan disajikan dengan tabel distribusi frekuensi. Pengukuran akurasi sistem skor Guy dan angka bebas batu akan dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.
Hubungan antara Guy’s Stone Score dan Angka Bebas Batu akan
dan dikemudian dianalisa dengan uji korelasi Spearman
Universitas Sumatera Utara
28
3.10. Masalah Etika
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan data rekam medik. Selama penelitian data rekam medik dijaga kerahasiannya dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran USU Medan.
Universitas Sumatera Utara
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Dari data pasien yang kami kumpulkan sejak Oktober 2017 sampai April 2017 , kami dapatkan data demografi sebagai berikut:
Tabel 1. Karakteristik sampel keseluruhan
Variabel Descriptive N(%)
30
Prone Supine Stone Free Tidak Ya
17 (50%) 17 (50%)
7 (20.6%) 27 (79.4%)
Secara keseluruhan, rerata usia pasien didapatkan 51.02 ± 10.4 tahun dengan jumlah laki-laki dan perempuan berturut-turut 18 dan 16 (52.9% dan 47.1%).
Kami juga mengelompokan pasien berdasarkan BMI dengan BMI Underweight (IMT<18.9), normal dengan (18.9<IMT<22.5), dan BMI Overweight (IMT>22.5) dengan rerata BMI 23.3 ± 2.9, kelompok terbanyak didapatkan dari BMI Overweight dengan 17 pasien (50% dari total sampel). Total batu didominasi oleh kelompok batu radiopak dengan 32 pasien (94.1%) dan keberhasilan terapi dengan parameter stone free rate didapatkan pada 27 pasien (79.4%).
Berikut merupakan distribusi Guy Stone Skor pada 34 pasien yang kami analisa.
Universitas Sumatera Utara
31
Tabel2. Distribusi Frekuensi Guy Stone Score.
Variabel Descriptive
GSS ( Guy Stone Score):
1
2
3
4
6 (17.6%) 8 (23.5%) 7 (20.6%) 13 (38.2%)
Total 34 (100%)
Dari 34 pasien yang kami analisa, Guy Stone Skor 4 merupakan yang terbanyak dengan 13 pasien (38.2%) dan Guy Stone Skor 1 merupakan yang terendah, dimiliki oleh 6 pasien (17.6%). Kami juga menganalisa karakteristik pasien berdasarkan Guy Stone Skor, dengan sebaran distribusi seperti tabel dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
32
Tabel 3. Karakteristik pasien berdasarkan Guys Stone Score.
Variabel
*Data parametric dipresentasikan dalam bentuk Mean ± Standard deviasi
Usia pasien rata-rata dari Guys Stone Skor 1,2,3,4 berturut-turut 50.5 ± 10.2, 48.1
± 9.7, 47 ± 8.8, 55.2 ± 11.3. Perbandingan jenis kelamin didominasi oleh laki-laki dengan perbandingan 2:1 didapatkan pada Guy Stone Skor 1 dan 4, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
33
Guy Stone Skor 2 dan 3 didominasi oleh perempuan. Pada pemeriksaan radiologis, didapatkan gambaran batu radiopak mendominasi polpulasi dari Guy Stone Skor 1 sampai 4 dengan berturut-turut, 100%, 75%, 100%, 100%.
Pada Penelitian ini kami menilai hubungan antara Guy Stone Skor dengan kerberhasilan Stone Free rate pada pasien, dengan hasil Stone free rate pada Guys Stone Skor 1-4 berturut-turut adalah 100%, 87.5%, 71.4%, dan 69.2%, dengan p-Value 0.102 dimana tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistic antara grading GSS dengan Stone free rate.
Tabel 4. Hubungan Antara Guy’s Stone Score dan Angka Bebas Batu
GSS Stone free Residual Stone % free
1 6 0 100%
r = -1,0 p = 0,000
2 7 1 87.5%
3 5 2 71.4%
4 9 4 69.2%
Total 27 7
Universitas Sumatera Utara
34
BAB V PEMBAHASAN
Sebelumnya, tidak ada sistem penilaian yang tepat untuk memprediksi hasil PCNL dan tingkat komplikasi, yang sangat penting bagi dokter dan pasien.
Sistem penilaian yang ideal harus mudah dilakukan dan harus memiliki daya penentu yang baik, mampu mengatur pasien dalam kelompok risiko sesuai dengan prognosis mereka serta memprediksi hasil dan komplikasi termasuk SFR (Stone Free Rate) setelah PCNL. Hal ini sangat penting untuk konseling pasien, pelatihan ahli bedah, dan perencanaan tindakan.
Beberapa studi telah berusaha mengklasifikasikan PCNL untuk memprediksi hasil dan komplikasi. Saat ini, sistem penilaian urolitiasis untuk hasil PCNL telah dikembangkan termasuk Guy Stone Score (GSS), STONE nephrometry dan CROES nefrolithometric nomogram. Guy Stone Score, STONE nephrometry dan CROES nomogram digunakan sebagai sistem stratifikasi untuk perencanaan tindakan bedah dan konseling pasien dalam aspek hasil operasi, tetapi hanya skor GSS dan STONE nephrometry yang dikaitkan dengan kemungkinan komplikasi.
Guy Stone Score (GSS) adalah skala pertama yang dilaporkan dan paling sederhana sehingga dapat diandalkan untuk memprediksi tingkat keberhasilan.Penelitian Thomas dkk. Menggunakan skala GSS untuk mengevaluasi SFR pada 100 pasien yang menjalani PCNL, dan melaporkan nilai
34 Universitas Sumatera Utara
35
prediksi GSS untuk SFR sebagai berikut: Kelas 1-81%, Kelas 2-72,4%, kelas 3-35% dan kelas 4-29%. Kemudian Vicentini dkk menggunakan Guy's Stone Score (GSS) untuk memprediksi hasil PCNL pada posisi supine berdasarkan CT scan dan melaporkan SFR sebagai berikut: 95%, 79,5%, 59,5% dan 40,7% untuk Kelas 1-4. Vincentini dan tim menegaskan kegunaan sistem GSS berdasarkan hasil CT scan dengan akurasi evaluasi batu ginjal sehubungan dengan hasil operasi dan komplikasi.
Beberapa penelitian melaporkan penggunaan CT (computed tomographic) scan dalam estimasi GSS untuk lebih akurat. CT scan digunakan sebagai investigasi pra operasi pada pasien batu, yang meningkatkan akurasi informasi batu dan ginjal serta sistem saluran kemih. Kami setuju bahwa CT scan preoperatif dapat memberikan akurasi lebih terkait detail anatomi seperti karakteristik batu dan anatomi sistem pelviocalices, yang merupakan faktor dalam penilaian sistem ini. Namun, GSS berdasarkan pada foto BNO dan urografi intravena cukup murah dan merupakan penyelidikan rutin umum pada pasien batu terutama di negara berkembang dengan prevalensi penyakit batu yang tinggi.
Investigasi ini memiliki keuntungan tambahan dengan dosis radiasi yang lebih rendah daripada CT scan.
Pada studi kami menggunakan GSS untuk memprediksi hasil PCNL baik posisi supine atau prone dan mendapatkan SFR sebagai berikut : 100%, 87.5%, 71,4% dan 69,2% untuk grade 1-4. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vincentini dkk yang menggunakan CT scan. Penelitian ini menegaskan bahwa GSS berdasarkan foto BNO dan urografi intravena merupakan
Universitas Sumatera Utara
36
modalitas yang berharga dalam memprediksi hasil dan tingkat komplikasi pasca PCNL. Tingkat keberhasilan, waktu operasi, tingkat kelancaran operasi (tubeless rates), dan komplikasi secara signifikan berbeda pada masing-masing kelompok GSS. Jumlah yang lebih sedikit dari semua parameter hasil positif dan lebih banyak komplikasi yang ditemukan pada pasien dengan skor GSS yang lebih tinggi.
Berdasarkan studi kami, kami tidak menemukan perbedaan bermakna dalam hal umur pasien. Hal ini ditunjukkan dari rentang pasien yang variasinya
Berdasarkan studi kami, kami tidak menemukan perbedaan bermakna dalam hal umur pasien. Hal ini ditunjukkan dari rentang pasien yang variasinya