• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rangkaian Pra Pernikahan di Kabupaten Bireuen

ANTROPOLOGI HUKUM KELUARGA KABUPATEN BIREREUN

2. Rangkaian Pra Pernikahan di Kabupaten Bireuen

Untuk menjalani ikatan yang halal menurut agama dan Negara dalam membina sebuah rumah tangga. Setidaknya ada beberapa rangkaian yang harus dilalui untuk menyandang status suami isteri. Rangkaian ini merupakan sutu kelebihan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh dalam praktik perkawinan, dimana proses itu dapat terealisakan dengan satu tarikan nafas beradaban.

Dalam sistem pelaksanaan perkawinan di Aceh terdapat berbagai ragam tradisi dalam pelaksanaanya, mulai dari cah rauh, jak ba ranup, Ba ranup gaca, prosesi pernikahan sampai dengan acara respepsi atau kanduri kawen. Mengingat beragam proses pelaksaan yang demikian merupakan sebuah kekayaan dalam adat istiadat yang ada di aceh. tentu saja proses yang dilakukan dalam sistem pelaksaan perkawinan di berbagai masing-masing daerah yang ada di Aceh tentu memiliki karakter kedaerahannya sendiri, dimana pelaksaannya tergambar bagaimana wujud kedaerahan tempat mereka mendiami.

Sesuai dengan judul yang kita angkat tentang praktek perkawinan yang ada di kabupaten Bireuen, maka disini penulis akan mendiskripsikan bagaimana praktek yang sesungguhnya dalam hal perkawinan di Kabupaten Bireuen yang pernahmenjadi Ibu kota ketiga Republik Indonesia ketika jatuhnya Yogyakarta pada 1948.7

6 Sumber : Bagian Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan, tanggal 20 September 2011.

7Desi Safnita Saifan, Sempat Jadi Ibu Kota RI. Bireuen Belum Miliki Monumen, Kompas.com - 09/10/2013, 19:16 WIB

a. Cah Rauh

Cah rauh tentu saja bukanlah bahasa yang asing terdengar ditelinga masyarakat Aceh, kerana ini merupakan langkah awal yang dilaksanakan setelah kedua insan saling kenal mengenal. Dalam hal ini sang calon pengantin laki-laki mengungutuskan seseorang yang dekat dengannya dan ia percayai sebagai delegasi yang ia utuskan untuk mendatang kekediaman sang perempuan yang akan ia persuntingya. Selain memberi mandate delegasi juga ia berikan beberapa buah tangan

saka kupi dan roti kering kepada delegasi tersebut untuk memberikan kepada keluarga perempuan yang akan didatanginya ini merupakan sebuah adat untuk bertamu.

Sebagai delegasi tersebut telah melakukan kesepakatan dengan calon pengantin laki-laki untuk melaksakan beberapa tahapan yang ia laksnakan dalam mempererat hubungan dua insan yang telah saling kenal mengenal. dalam hal ini penyebutan delegasi tersebut dalam Bahasa Aceh sebagai selangkee. Tentu saja sebagai selangke ada beberapa tugas yang harus ia selesaian sesuai dengan jabatan yang ia emban dari temanya itu.

Diantara beberapa rangakain tugas yang harus diselasaikan yang pertama adalah mendatangi kekediaman sang calon perempuan itu. Dalam pertemuan tersebut sebagai seulangkee terlebih dahulu memperkenalkan dirinya kepada kedua orng tua perempuan ia adalah sebagai utusan dari calon pengantin pria. Setelah ia memperkenalkan dirinya barulah memperkenalkan sang laki-laki yang memberi tugas kepadanya sebagai seulangkee. Disini seulangkee memperkenalkan latar belakang laki- laki yang memberi mandat kepadanya baik dari sisi pendidikannya, pekerjaannya dan silsilah kekeluargaanya kepada keluarga calon mempelai perempuan.

Setelah ia memperkenalkan temannya yang akan mempersuntikan perempuan itu dihadapan orang tua atau walinya secara detail ia juga turut membicarakan apakah anak perempuannya itu sudah ada yang melirik sebelumnya. Jika memang dari keluarga tersebut telah menyepakati hubungan anakya dengan seorang laki-laki yang telah diceritakan oleh seulangkee maka tahapan berikutnya yang dilakukan

selangkee adalah membahas kapan kesediaan dari pihak keluarga permpuan untuk menerima kedatangan keluarga dari pahak laki-laki.

Bila dalam pertemuan tersebut pihak keluarga perempuan tidak menyetujui hubungan ini berlanjut, maka pihak permpuan tidak menolak dengan serta merta, namun merka akan memberikan berbagai alasalan apakah anakyna itu masih dalam pendidikan atau lainya yang secara logis dan etika yang baik supaya tidak tersinggung perasaan dari pihak laki-laki.

Dalam pertemuan itu sebagai delagasi biasaya diutus satu orang atau dua orang sebagai pendampig seulangke ini bertujuan untuk menjaga pembicaraan antara dua pihak agar tidak menjadi konsumsi public terhadap hubungan yang dibungun kedua belah pihak apalagi nanti apabila kedatangan seulangke ini tidak direspon dengan baik ataupun ditolak.

b. Khitbah/pinangan atau disebut Jak Ba Ranup

Tunangan merupakan peristiwa kedatangan para pihak keluarga laki-lki pasca nota kesepkatan yang dikantongi dalam proses cah rauah

dilakukan oleh seulangkee. Praktik Pinangan atau disebut juga Jak Ba Ranup yangyang dilakukan oleh masyarakat Kota Juang ini merupakan sebuah tahapan awal dalam rankaian pra-pernikahan.

Dalam prosesi jak ba ranup tersebut dihadiri oleh para keluaga pihak calon pengantin laki-laki dan juga dihari oleh unsur pemerintahan gampoeng dan peutuha gampong lainnya yang memiliki peran dalam proses upacara pertunangan tersebut.

Prosesi jak ba ranup tersebut merupakan acara resmi dan memiliki susunan acara secara tertib dan teratur, yang dimulai dengan sambutan penghormatan atas kehadiran pihak calon pengantin laki-laki. Setelah itu kata sambutan utusan dari pihak calon suami atas berbagai sambutan kehangatan diterimanya kehadiran para tetamu dari pihak laki-laki serta perbincangan terhadap para catin dan penyerahan sirih yang telah dikemas oleh perajin sirih dan juga bingkisan lainnya seperti berbagai jenis kue khas kedaerahan.

Pada saat jak ba ranup tersebut turut juga diberikan oleh pihak

calon linto berupa beras tergantung kesanggupan pihak laki-laki dan juga berbagai makanan khas daerah Aceh beserta barang-barang lainnya. Mulai dari buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita serta perhiasan yang semuanya disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria.

c. Mahar/Jiname

Dalam acara jak ba ranup juga akan sekaligus ditetapkan jumlah mahar yang diinginkan calon pengantin wanita. Dalam bahasa Arab mahar adalah “bentuk mufrad sedang bentuk jamaknya adalah

mahurun yang secara etimologi berarti maskawin”8. Jika ditinjau dari segi etimologi “kata as-shadaq yang memiliki arti mahar/maskawin bagi isteri”.9 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Shadaq adalah pemberian khusus laki-laki kepada seorang wanita (calon isteri) pada waktu akad nikah. Secara umum, kata lain yang biasa digunakan untuk mahar dalam Alquran adalah “kata ajr yang berarti penghargaan atau hadiah yang di berikan kepada pengantin wanita”10. Sesungguhnya kata

ajr itu merupakan sesuatu yang tidak dapat hilang. Secara etimologi

8 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hal. 431.

9 Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi’i, terj. Mohammad Kholison, (Surabaya: Imtiyaz, 2013), hal. 235.

10 Abdul Rahman I., Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 67.

mahar juga berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu Fiqih adalah “pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya”11. Menurut Sayyid Sabiq, mahar adalah pemberian wajib dari suami pada isteri sebagai jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya. H.S.A al-Hamdani dalam buku Risalah Nikah mengatakan: mahar ialah pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya12.

Kemudian mengenai definisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan mahar adalah “pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”13.

Ada beberapa definisi mahar yang dikemukakan oleh ulama mazhab di antanya mazhab Hanafi yang mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta yang menjadi hak isteri karena akad perkawinan atau terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikannya sebagai harta yang wajib dibayarkan suami kepada isterinya ketika berlangsung akad nikah sebagai imbalan dari kesediaan penyerahan kepada suami (senggama) Ulama mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan isteri halal untuk digauli. Ulama mazdhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan

11 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Hal. 105.

12 Sayyid Sabiq, Alih Bahasa M. Tholib, Fikih Sunnah Jilid 7, (Bandung: Ma’arif 1999), hal. 53.

13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 46.

ulama mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai imbalan dari suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim. Termasuk juga kewajiban untuk melakukan senggama14 Sedangkan Quraish Shihab mengatakan bahwa mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada isteri dan anak-anaknya15.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah VII beliau menjelaskan bahwa “di zaman Jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini, kepadanya diberi mahar”16. Mahar sudah dikenal pada masa jahiliyah, jauh sebelum datang Islam datang. Akan tetapi, mahar sebelum datangnya Islam bukan diperuntukkan kepada calon isteri, melainkan kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak isteri, karena konsep perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu sama dengan transaksi jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan ayah atau keluarga dekat laki-laki dari calon isteri sebagai pemilik barang.