• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekontruksi Antropologi Hukum Keluarga Pidie

ANTROPOLOGI HUKUM KELUARGA PIDIE

7. Rekontruksi Antropologi Hukum Keluarga Pidie

Fenomena poligami, yang marak diperbincangkan saat ini hendaknya dimaknai secara lebih dewasa dan komprehensif, dan janganlah terjebak pada suatu penafsiran terhadap teks-teks Al-Qur’an dengan cara yang sempit dan tekstual semata. Namun haruslah ditafsirkan dengan menggunakan akal, logika, dan secara kontektual sehingga dapat dimaknai sesuai dengan Asbabul Nuzul yang diinginkan oleh Allah Swt.

Wanita, sebagai salah satu ciptaan Allah Swt, pastinya diciptakan dengan tujuan tertentu, yang pasti mulia dan penting bagi kehidupan dan keseimbangan kosmos dan kosmik di alam semesta ini. Hendaknya juga mereka dihormati sesuai dengan kodrat dan perannya baik dalam lingkup privat/keluarga maupun lingkup publik/masyarakat.

Semangat yang diusung Alquran (An-Nur; 32) bahwa pernikahan itu akan mengayakan sesorang jelas terbukti, baik kekayaan dalam makna kemudahan dalam hidup, kekayaan dalam makna kaya akan pengalaman hidup bersama. Kekayaan jiwa yang bermakna kita sudah semakin matang dalam hal mengolah dan mengatasi konflik rumah tangga.

Kekerasan rumah tangga (KDRT) adalah diantara faktor besar sebuah rumah tangga tak terselamatkan lagi. KDRT ini sendiri menjadi penyebab alas an cerai gugat di Pidie. Salah satu alasan terjadinya KDRT ini adalah faktor

19 Lalu penulis melihat bahwa trend pernikahan Pidie-China saat itu belum menjadi sebuah hal yang biasa, walaupun etnis China sendiri secara berangsur-angsur mendiami Pidie bahkan kemudian bisa berasimilasi dengan masyarakat Pidie.

ekonomi sehingga suami melampiaskan (peusakhop) kepada istrinya. Ketidakmampuan mengelola emosi sehingga menjadi tindak kekerasan rumah tangga telah diulas dalam sudut pandang psikologi oleh Korsbeg bahwa ada empat tipe kekerasan rumah tangga; phisical abuse, psychological abuse, material abuse, dan violation of right.20

KDRT selanjutnya akan menyebabkan perkembangan anak menjadi negatif. Tujuan agar tercapainya sakinah, mawaddah wa rahmah tak lagi tercapai sehingga istri akan menggugat cerai suaminya. Ini yang perlu kembali dipahami para suami tentang bagaimana memuliakan istri. Memperlakukan istri sebagai sahabat dan bersikap romantis adalah sebuah laku yang telah dipraktekkan para kaum shalih terdahulu. Sehingga akan lahirlah sebuah kesatuan masyarakat terkecil yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Pendidikan tentang pernikahan tak cukup ketika prosesi akad hampir dilakukan, jauh sebelum itu pendidikan tentang menyelamatkan rumah tangga harus dibina, ulasan-ulasan akan kitab fikih klasik ahwal syakhsiyah harus bernas. Prinsip keterbukaan dan kesetiaan kepada sang istri harus diusung dalam menyelamatkan rumah tangga, naïf ketika di satu sisi kaum agamawan sendiri telah melecehkan hal-hal sakral dimaksud.

Fakta bahwa seorang perempuan berprofesi dokter di Kabupaten Pidie misalnya mahar perkawinannya haruslah pada batasan yang sangat tinggi sedangkan perempuan yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) maka jumlah maharnya cukupla dengan batasan paling rendah. Hal ini terus berjalan dan bagi masyarakat sendiri sudah tak lagi menjadi masalah besar. Padahal praktek ini sendiri sudah jauh melenceng daripada fikih terutama fikih Syafi’i yang dianut masyarakat Aceh sendiri.

Ketimpangan praktek pemberian mahar ini telah memunculkan kesan akan perendahan derajat wanita. Padahal Islam adalah agama yang menerapkan konsep musawah antara satu dengan lainnya.

Disatu sisi tingginya mahar haruslah diapresiasi dengan melihat kepada anasir-anasir positif yang ada di belakangnya. Tatapi ada ketimpangan yang besar manakala wanita Aceh telah dikastakan sesuai dengan nasab dan pekerjaaannya. Untuk itu Mahar harus dikembalikan kembali kepada konsep fikih sebenarnya..

Mahar pada akhirnya menjadi tempat untuk menaikkan grade para istri. Wanita harus dihormati dan kaum Hawa harus responsif. Tak serta merta bisa diperlakukan semena-mena. Membangun kembali konsep mahar adalah sebuah keniscayaan agar unsur-unsur maqashid syari’ah bisa terpenuhi. Kaidah Fikhiyah menyatakan, Addaf’u Aqwa min Raf’i. Mengobati menjadi hal utama daripada menghilangkan sesuatu.21

C. Kesimpulan

Salah satu dasar filosofi konsep merantau bagi masyarakat Pidie adalah keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Bagi yang belum keluarga hal ini menjadi pemicu semangat dalam rangka mersiapkan sebuah rumah tangga yang mumpuni plus mahar yang sudah fiformulasikan khusus . Bagi yang sudah berkeluarga laki-laki yang merantau menjadi wasilah untuk mencari nafkah atau penghidupan yang lebih baik.

Ada dua dimensi yang penulis sebutkan dalam menganalisa permasalahan antropogi hukum keluarga di Pidie, yang pertama adalah bentuk penerjemahan Pidie Kriet dalam permasalahan hukum keluarga, dimana Pidie Kriet justru telah menimbulkan polemik kebhasaan bagi non Pidie, sementara Pidie mampu menafsirkannya dnegan bijak lewat pemberian mahar dalam julamlah besar, walimah, kemeuweuh.

Yang kedua adalah bentuk nilai-nilai keromantisan masyarakat Pidie sangat mempengaruhi perkembangan hukum keluarga di Pidie, dimana nilai ini juga timbul bersebab sifat merantau, hal ini kemudian bahkan menjadi nilai negetif dengan adanya perceraian akibat guna-guna, disi lain banyak sekali pantun-pantun uang bermuiatan nilai romansa sebagai karakter masyarakat Pidie. Bahkan Poligami dan perkawinan dengan etnis China adalah bentuk dari pengejewantahan nilai-nilai romansa yang dimiliki masyarakat Pidie.

Harus diakui bahwa tatanan antropologi hukum keluarga di Pidie harus direkontruksi ulang, hal ini membutuhkan proses yang sangat lama bagi generasi postmodern Pidie. Rekontruksi dimaksud karena tatanan antropologi kekeluargaan di Pidie sendiri di satu sisi sudah bertentangan dengan maqashid syariah dimana disisi lain masyarakat Pidie sadar betul tentang makna sebuah kaidah, adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Adat yang menjadi bagian antropologi itu sendiri harus disesuaikan dengan

maqashid (tujuan) syariah, termasuk di dalamnya persepsi tentang mahar, sifat bermewahan dan hakikat pernikahan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad dan , Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat. (Jakarta: Amzah, 2009)

Anzib, Adat Aceh (Banda Aceh; 1989)

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponogoro, 2008)

Fathullah Gulen, Min Bazrah Ila Tsamrah, (Beirut; Darul Fikri, 2010) Harian Aceh

Harian Serambi Indonesia

Historical Record (Korsbeg, 1984).

Jakfar, Warisan Filsafat Nusantara ( Banda Aceh: Pena, 2010)

Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) Snounk Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis (Jakarta; Yayasan Soko Guru;

1985)