• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELUARGA ACEH: ANEUK JAMEE

2. Sistem bahasa dan Adaptasi

Seperti pada umumnya sebuah daerah tertentu yang memiliki alat komunikasi, suku aneuk Jamee juga memiliki bahasa daerah yang juga menjadi alat komunikasi. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat aneuk Jamee adalah bahasa Jamee. Kosa kata bahasanya terdiri dari bahasa dominan Minangkabau daripada bahasa Aceh.11 Juga di daerah Aceh, sistem huruf yang khas tidak dikenal sejak dahulu. Tulisan-tulisan yang dipakai dalam bahasa-bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeulu dan Klut adalah tulisan Arab-Melayu. Huruf ini dikenal setelah datangnya agama Islam di Aceh dan merupakan huruf-huruf yang banyak dijumpai pada batu nisan raja dan hikayat-hikayat.12

Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, kecik merupakan kepala kampung yang merupakan pucuk pimpinan pemerintahan kampung. Di samping sebagai kepala pemerintahan, kecik juga berperan melaksanakan urusan adat istiadat di kampungnya. Selain kecik, di kampung-kampung dalam masyarakat etnik aneuk Jamee terdapat imam menasah yang bertugas dalam urusan kerohaniaan dan keislaman. Hubungan imam menasah dengan kecik sangat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada kecik yang merangkap sebagai imam menasah.13

10Budaya Aceh, Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tahun 2009, hlm. 103.

11Budaya Aceh, Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tahun 2009, hlm. 103.

12 Team Peneliti T. Syamsuddin, dkk, Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Ace, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Aceh, (Banda Aceh: Juli 1994), hlm. 11.

13 Budaya Aceh, Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tahun 2009, hlm. 104.

Di samping peran imam menasah dan kecik tersebut, dalam tatanan masyarakat etnik aneuk Jamee juga terdapat lembaga adat yang disebut dengan tuha peut. Jumlah tuha peut ini tidak selalu sama, kadangkala ada lima orang dan ada tujuh orang. Hal ini disesuaikan dengan keadaan di kampung tersebut, semakin banyak jumlah tuha peut di kampung tersebut. Keberadaan tuha peut ini berfungsi sebagai tempat penyelesaian permasalahan yang muncul dalam lingkungan masyarakat setempat, seperti menyelesaikan sengketa warga masyarakat, memberikan masukan-masukan yang bijak dan nasihat bagi masyarakat kampung.14

Masyarakat etnis aneuk Jamee pernah dipimpin oleh raja-raja kecil yang disebut dengan “Datuk/datuak/Datu” seperti yang terdapat di Susoh (Abdya), yang secara administrasinya berada di bawah kekuasaan Datuak Rawo. Kecamatan Samadua (Aceh Selatan) pernah menghidupkan empat kedatukan masing-masing dipimpin oleh seorang datuk. Keempat datuk ini mempunyai kekuasaan yang terdiri dari tiga wilayah kemukiman, yaitu kemukiman Kasiak Putih, Suang, Pantai Laweh, dan Sawang. Keempat datuk/datuak/datu ini masing-masing Datuak Kasiah Putih, Datuak Suang, Datuak Pantai Laweh, dan Datuak Sawang; masing-masing mereka memerintah daerah kekuasaannya sendiri dan hanya tunduk kepada Sultan Aceh. Sedangkan datuak yang pernah berkuasa di Tapaktuan adalah Datuak Raja Ahmad dan Datuak Tetah.15

Meskipun Datuak tersebut memiliki peran yang sangat besar dan berat, mereka memiliki kedudukan yang lebih dominan sebagai pemangku adat daripada kedatukan, ia lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat. Sebagai pemegang tampuk pemerintahan, datuak selalu bekerja sama dengan perangkat hukum adat, ulama, dan orang tua kampung (tuha peut). Sistem pemerintahan dalam masyarakat etnik aneuk Jamee merupakan

14 Budaya Aceh, Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tahun 2009, hlm. 104.

15 Budaya Aceh, Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tahun 2009, hlm. 104.

sistem pemerintahan yang bersumber dari hukum adat yang disesuaikan dengan hukum Islam.

Masyarakat etnis Jamee mengenal tiga lapisan dalam masyarakat, yaitu golongan Datuak dan kerabatnya sebagai lapisan atas, yang mempunyai wilayah kekuasaannya terdiri dari beberapa kampung. Pada masa pemerintahan kesultanan Aceh, golongan Datuak ini diberi wewenang memelihara adat endogamy dan mencari jodoh di ingkungan lapisan mereka sendiri. Gelar kebangsawanan mereka adalah kombinasi dengan gelar kebangsawanan pada kerajaan Aceh, yaitu Teuku-Datuk.16

Golongan kedua disebut Hulubalang yang mempunyai kekuasaan di bawah datuak. Golongan menengah lainnya adalah ulama yang terdiri dari tuangku imam dan kaji. Golongan ketiga sebagai lapisan bawah yang merupakan rakyat biasa. Selain dari tiga golongan itu, masih terdapat golongan sayid, yaitu keturunan campuran antara aneuk Jamee dengan suku Arab.

Juga hubungan sosial dalam sistem kesatuan hidup masyarakat Aceh dan aneuk Jamee adalah pada umumnya mempunyai dasar aktifitas hubungan-hubungan sosial. Hubungan ini tampak dalam bentuk kerjasama, baik bentuk kerjasama dalam ujud balas berbalas, maupun dalam ujud kepentingan bersama yang tidak merupakan balasan. Oleh karena itu istilah gotong-royong dalam masyarakat Aceh dapat dibagi ke dalam bentuk gotong royong untuk berbalas-balasan, dan gotong-royong untuk kepentingan bersama yang tidak mengharapkan adanya balasan.17 Gotong-royong berbalas-balasan yang umumnya terdapat pada seluruh masyarakat Aceh, adalah suatu kerjasama beberapa anggota masyarakat, karena tiap-tiap anggota masyarakat tersebut ingin mendapat balasan yang serupa pada

16 Budaya Aceh, Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tahun 2009, hlm. 105.

17 Team Peneliti T. Syamsuddin, dkk, Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Ace, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Aceh, (Banda Aceh: Juli 1994), hlm. 146.

waktu ia butuhkan. Kegiatan ini terjadi dalam bentuk mencangkul dan menyabit padi atau meu rub-rub pada masyarakat aneuk Jamee.

Dalam tatanan kehidupan masyarakat juga dikenal perkumpulan-perkumpulan berdasarkan adat pada masyarakat Aceh umumnya kebanyakan tidak begitu melembaga. karena kebanyakan perkumpulan-perkumpulan tersebut tidak kontinu sifatnya, seperti perkumpulan-perkumpulan barzanzi dan perkumpulan silat. Namun demikian, meski siatnya tidak kontinu dan hanya musiman, kalau satu gampong sudah ada, maka gampong lain akan mengikuti mendirikan organisasi barzanzi. Organisasi ini hampir merata ada pada tiap-tiap masyarakat Aneuk Jamee, Aceh Barat, Aceh Besar, Gayo dan sebagian pada masyarakat Pidie dan Aceh Timur.18 Organisasi yang paling banyak berkembang pada waktu tertentu di kalangan Aneuk Jamee adalah organisasi bela diri (silat).