BAB II ANALISIS ALUR NOVEL PANGERAN DIPONEGORO:
2.6 Rangkuman
Penulis menyimpulkan bahwa analisis struktur alur dalam NovelPangeran Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tahapan alur tidak seluruhnya berjalan lurus, progresif. Terdapat peristiwa flash back pada subbab nomor lima puluh. Flash back dimunculkan untuk menjelaskan latar belakang kematian Sultan Hamengku Buwono IV dan peristiwa kematiannya.
Tahapan penyituasian dimulai dengan peristiwa pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Ratnaningsih. Dalam tahap ini, muncul konflik kecil yang terjadi karena ketidaksesuaian pendapat Pangeran Diponego dengan ibundanya Raden Ajeng Mangkarawati dalam menentukan prosesi pernikahan. Raden Ajeng Mangkarawati menginginkan anaknya menikah dengan adat keraton,
tetapi Pangeran Diponegoro menginginkan adat seperti rakyat biasa. Konflik tersebut menjelaskan sikap Pangeran Diponegoro sebagai orang islam taat yang tidak suka dengan jabatan keraton. Selain itu, Pangeran Diponegoro ingin membuktikan kepada rakyatnya bahwa ia adalah bagian dari rakyat melalui prosesi pernikahannya.
Tahap pemunculan konflik dimulai ketika muncul tokoh bernama Danurejo IV. Dalam alur novel ini, Danurejo IV memiliki kepentingan yang berlawanan dengan Pangeran Diponegoro. Danurejo IV adalah patih yang menjadi kaki tangan Belanda. Danurejo IV berada di balik beberapa peristiwa seperti kematian Sultan Hamengku Buwono III dan Sultan Hamengku Buwono IV.
Tahap peningkatan konflik dimulai ketika Pangeran Diponegoro dan Danurejo IV sama-sama duduk sebagai dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono V. Situasi ini menimbulkan konfrontasi langsung antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV. Peristiwa-peristiwa dalam tahapan ini adalah berbagai upaya Danurejo IV menyingkirkan Pangeran Diponegoro.
Tahap Klimaks terjadi pada peristiwa penyerangan pasukan Belanda ke Puri Tegalrejo, kediaman Pangeran Diponegoro. Tahapan ini terjadi pada subbab nomor enam puluh dua. Penyerangan pasukan Belanda terjadi karena hasutan Danurejo IV terhadap Belanda melalui Residen Smissaert.
Penulis menyimpulkan tidak terdapat tahap penyelesaian dalam novel Pangeran Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah. Hal ini dikarenakan cerita berhenti pada tahap klimaks, yaitu penyerangan pasukan Belanda ke Puri
Tegalrejo. Selain itu, juga tidak terdapat jalan keluar dalam menyelesaikan konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV dan Belanda.
BAB III
SITUASI POLITIK DI YOGYAKARTA
PADA MASA KOLONIAL INGGRIS DAN BELANDA TAHUN 1811-1825
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan situasi politik di Yogyakarta pada masa kolonial Inggris dan Belanda tahun 1811-1825. Situasi politik di Yogyakarta dalam beberapa teks sejarah menjadi acuan penulis dalam rangka memahami fakta-fakta sejarah. Pemaparan teks sejarah digunakan penulis dalam rangka melakukan analisis pendekatan historis terhadap novel Pangeran Diponegoro : Menuju Sosok Khalifah.
Penulis hanya memfokuskan situasi politik di Yogyakarta pada masa kolonial Inggris dan Belanda tahun 1811-1825. Hal ini berkaitan dengan setting waktu dalam novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.Remy Sylado sebagai pengarang menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Inggris melalui Raffles sampai masa pemerintahan Belanda melalui Van Der Capellen.
Pada tahun-tahun tersebut telah terjadi peralihan pemerintahan Inggris dan Belanda di Nusantara, termasuk Keraton Yogyakarta. Lebih khusus, situasi politik yang terjadi di Yogyakarta pada masa peralihan pemerintahan Inggris dan Belanda menjadi pemicu terjadinya perang jawa tahun 1825-1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang mengharuskan penulis memaparkan
situasi politik dalam rangka memahami intrik-intrik politik yang terjadi di dalam novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.
3.1 Situasi Politik Sebelum tahun 1811
Dalam rangka memahami situasi politik dalam rentan waktu tahun 1811- 1825, penulis terlebih dahulu memaparkan situasi politik pada masa sebelumnya, karena situasi politik pada masa-masa ini sangat berpengaruh terhadap masa-masa setelah tahun 1811.
3.1.1 Permulaan Berdirinya Kerajaan Mataram Yogyakarta
Kerajaan Mataram Yogyakarta didirikan oleh Mangkubumi setelah melakukan pemberontakan terhadap Keraton Surakarta. Pemberontakan Mangkubumi dapat diselesaikan melaui perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Dalam perjanjian tersebut, Mangkubumi diangkat sebagai Sultan atas setengah daerah pedalaman kerajaan Mataram. Kemudian Mangkubumi membuka hutan di daerah yang sekarang di kenal dengan nama Yogyakarta. Pada saat itulah Mangkubumi menobatkan dirinya sebagai Sultan Hamengku Buwono I dan Mataram Yogyakarta berdiri. (Sukanto,1958:8)
Wilayah kerajaan Mataram di Yogyakarta dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan Perjanjian Giyanti seperti berikut, (1)Nagara, yaitu ibukota atau tempat kedudukan raja, (2)Nagara Agung, yaitu daerah-daerah di sekitar kota
tempat kedudukan raja, (3)Mancanegara, yaitu daerah-daerah taklukan kerajaan.(Sagimun, 1955:31)
Nagara Agung langsung dikuasai dan diperintah oleh raja dan patih beserta bupati-bupati yang juga menjadi nayaka-nayaka (boleh disamakan dengan menteri-menteri dari kabinet kerajaan). Para pegawai raja biasanya mendapat tanah lungguh di daerah Nagara Agung, sedangkan di daerah Mancanegara dikuasai dan diperintah oleh bupati-bupati yang mewakili raja di daerah-daerah itu dan biasanya tinggal di luar ibu kota kerajaan. Bupati-bupati mancanegara itu dikepalai oleh seorang bupati wadana (bupati kepala).(Sagimun, 1955:31)
Wilayah keraton Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti adalah sebagai berikut, (1)Nagara meliputi kota tempat kedudukan raja atau Sultan Yogyakarta, (2)Nagara Agung meliputi daerah-daerah di sekitar ibu-kota Ngayogyakarta Adiningrat, Pajang di sebelah barat daya Surakarta, Sukowati di sebelah timur laut Surakarta, Bagelan, Kedu, Bumi-Gede di sebelah barat laut Surakarta, (3) Mancanegara meliputi daerah-daerah Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras, Karas, Selo, Warung, Grobogan. (Sagimun, 1955:32)
3.1.2 Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono II tahun 1792- 1810
Pada tanggal 2 April 1792, Pangeran Adipati Anom (Raden Mas Sundara) diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II setelah Sultan Hamengku Buwono
I meninggal pada tanggal 24 Maret 1792. Dalam literatur, baik dalam babad maupun tulisan asing, Sultan Hamengku Buwono I digambarkan sebagai seorang yang berhasil memimpin keraton Yogyakarta dan dicintai oleh rakyatnya. Hal ini berlainan dengan gambaran Sultan Hamengku Buwono II, yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sepuh (Sukanto, 1958:47). Carey (2012:183) mengatakan bahwa masa pemerintahan Sultan Sepuh adalah awal kekacauan politik di Yogyakarta secara berturut-turut hingga meletusnya perang jawa pada tahun 1825. Segera setelah pengangkatannya, Sultan Sepuh mengganti sebagian besar bupati-bupati dan pegawai-pegawai semasa Sultan Hamengku Buwono I. Pejabat- pejabat kerajaan yang baru ini tidak sebaik seperti pada masa Sultan Hamengku Buwono I. Reformasi kepejabatan yang dilakukan Sultan Sepuh merupakan strategi politiknya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan keinginannya.
Dalam masa pemerintahannya, Sultan Sepuh memberlakukan beberapa kebijakan yang secara garis besar membuat kekayaan pribadinya meningkat berkali lipat. Sultan Sepuh meningkatkan beban pajak kepada penduduknya baik di wilayah Negara Agung, maupun Mancanegara. Beban mereka terdiri dari empat macam pajak yaitu pajak tanah, pajak pacumpleng, pajak kerigaji, dan yang terakhir adalah aneka pajak dan tugas rodi tidak tetap yang dikenal dengan sejumlah nama seperti taker tedhak, wang bekti, gugur gunung, dan pagaweyan. Walaupun aneka pajak tersebut tidak terlalu membebani di wilayah Negara
Agung, tetapi merupakan beban yang sangat berat di Mancanegara wilayah timur di mana pajak-pajak tersebut diatur oleh para bupati.(Carey, 66:2012)
Sampai Agustus 1812, ketika kewajiban-kewajiban rodi bupati wilayah timur di ibu kota kerajaan ditiadakan, beban kerja yang sangat berat ditimpakan kepada tenaga kerja dari daerah wilayah-wilayah timur. Hal ini terjadi khususnya di Yogyakarta dalam program kebijakan Sultan Sepuh lainnya yaitu melaksanakan aneka proyek pembangunan untuk pesanggrahannya. (Carey, 66:2012)
Sementara itu, pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II inilah Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal untuk wilayah Hindia Timur oleh pemerintah Belanda-Prancis (Sagimun, 35:1955). Pada tanggal 5 Januari 1808, Marsekal Herman Willem Daendels tiba di Batavia. Misi utamanya adalah menjadikan Jawa dan kepulauan Nusantara lainnya sebagai Pangkalan Militer dalam rangka menghadapi ancaman Inggris di Lautan Hindia.(Carey, 184-185:2012)
Pada periode ini, masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II beserta kedatangan Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur telah memicu serangkaian kekacauan di Keraton Yogyakarta. Kebijakan aneka pajak yang diterapkan Sultan Sepuh dan misi militer Daendels membuat rakyat yang berada dalam pemerintahan Keraton Yogyakarta menjadi sengsara. Berbagai kepentingan politik pun akhirnya muncul akibat dari kebijakan Sultan Sepuh dan Daendels.
Walaupun tugas darurat Daendels bersifat militer, ia juga diberi kekuasaan yang besar untuk melaksanakan reformasi pada pemerintahan yang korup warisan
VOC. Kepengurusan VOC sudah diserahkan kepada kekuasaan pemerintahan Belanda menyusul kebangkrutan perusahaan dagang itu pada tahun 1799. (Carey, 186:2012)
Misi militer Daendels dalam masa pemerintahannya ini berdampak besar terhadap situasi politik di Yogyakarta. Carey (186:2012) mengatakan bahwa salah satu pertimbangan strategis terpenting Daendels dalam merencanakan pertahanan Jawa adalah menetralisir kedudukan keraton-keraton yang mandiri. Kewenangan dan pengaruh keraton itu dianggap oleh Daendels bisa menjadi pesaing bagi pemerintahannya. Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta merupakan ancaman besar karena sumber daya militer dan cadangan dananya yang kuat dari hasil aneka pajak yang pernah dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono II.
Pada tanggal 28 Juli 1808, Daendels menetapkan peraturan upacara resmi baru dalam konteks hubungan pemerintah kolonial dengan keraton-keraton di Jawa. Dalam peraturan tersebut, ditetapkan misalnya minister-minister (residen) dilarang mempersembahkan sirih atau minuman, akan tetapi mereka harus menyuruh mempersembahkannya oleh pesuruh-pesuruh yang berpakaian, selang- seling kepada raja dan kepada minister. Selain itu, tempat duduk minister harus sejajar dengan tempat duduk raja (Sukanto, 59:1958). Dengan kata lain, Daendels menginginkan kedudukan pemerintahannya sejajar dengan keraton Yogyakarta secara simbolis walaupun hal ini merupakan penghinaan terhadap adat-istiadat keraton. Peraturan Daendels tentang tata cara upacara resmi keraton dengan
pemerintahan kolonial menjadi dasar awal perselisihan diantara Sultan Sepuh dengan Daendels.
Selain itu, untuk menjalankan misi pertahanan militernya atas ancaman serbuan Inggris, Daendels makin menekan keraton-keraton untuk membuka pintu masuk bagi persediaan kayu kawasan mancanegara timur. Semua tuntutan tertuju pada tonggak-tonggak kayu keras untuk pembangunan garis-garis pertahanan laut yang baru di benteng Lodewijk di Surabaya. Namun pada awal 1809, tuntutannya diperluas hingga mencakup larangan swasta untuk menjual kayu jati lewat perbatasan ke daerah-daerah pasisir yang dikuasai oleh Belanda dan hal ini secara nyata menandakan berlakunya monopoli kayu oleh pemerintahan Daendels (Carey, 248:2012). Dengan kata lain, penduduk wilayah timur keraton Yogyakarta dirugikan baik oleh kebijakan Sultan Sepuh maupun kebijakan Daendels. Hal ini menimbulkan pemberontakan yang dipimpin oleh bupati yang mengepalai wilayah timur, Raden Ronggo. (Carey, 300:2012)
Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun dari tahkta kerajaan pada awal Januari 1811 oleh Daendels. Selanjutnya Daendels mengangkat Putra Mahkota, ayah Pangeran Diponegoro, sebagai Sultan Hamengku Buwono III yang lebih dikenal sebagai Sultan Raja. Akan tetapi Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh oleh Daendels diperbolehkan tinggal di dalam keraton. Sagimun (37:1955) berpendapat bahwa kondisi dimana Sultan Raja yang telah diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono III berada berdampingan dengan Sultan Sepuh di keraton membuat keadaan politik intern keraton Yogyakarta menjadi kacau.
Kekacauan ini terbukti ketika pemerintahan Belanda-Prancis berhasil dikalahkan Inggris oleh ekspedisi yang dilakukan Lord Minto dan Raffles. Sultan Sepuh memanfaatkan situasi ini untuk merebut tahktanya kembali dari Sultan Raja. Dalam masa-masa seperti ini, patih Danurejo II dibunuh oleh Sultan Sepuh karena banyak membantu Daendels dalam misi menjatuhkan Sultan Sepuh sebagai raja Yogyakarta. (Sagimun, 39:1955)
Hal ini meninggalkan warisan penderitaan yang menjelma dalam pengelompokan politik pada awal abad ke sembilan belas. Pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo III (bupati Madiun) di Madiun pada November-Desember 1810, misalnya, menggugah dukungan yang besar di daerah itu karena pemberontakan tersebut merupakan gerakan daerah yang secara bersama ditujukan baik kepada Pakubuwono IV, Sultan Hamengku Buwono II, maupun kepada Belanda. Pada waktu yang sama, banyak diantara para bupati wilayah timur mendukung ayah Diponegoro, Putra Mahkota Yogyakarta, melawan Sultan Sepuh selama pertarungan kekuasaan di keraton pada 1810-1812 karena Putra Mahkota Yogyakarta jauh lebih lunak dalam menuntut kerja rodi.(Carey, 68:2012)
3.2 Situasi Politik Kesultanan Yogyakarta pada Masa Pemerintahan Inggris tahun 1811-1816
Pada tanggal 3 Agustus 1811, angkatan perang Inggris mendarat di Batavia. Enam minggu kemudian, kepulauan Nusantara jatuh ke tangan Inggris. Pada tanggal 19 September 1811, Thomas Stamford Raffles resmi menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Timur untuk pemerintahan Inggris. (Sukanto, 129:1958)
Menanggapi kekrisuhan kekuasaan yang terjadi di keraton Yogyakarta, Raffles tidak menginginkan Sultan Sepuh kembali duduk sebagai raja Yogyakarta. Sultan Sepuh dianggap terlalu angkuh dan tidak bisa diajak kerja sama dengan siapa pun selama tidak menguntungkan kepentingan pribadinya. Melalui sebuah ekspedisi, Raffes berhasil menduduki Yogyakarta dan memaksa Sultan Sepuh kembali turun dari kedudukannya sebagai raja. Pada masa-masa ini, Inggris memanfaatkan putra mahkota dan Notokusumo untuk menggulingkan pemerintahan Sultan Sepuh. Akibat dari ekspedisi ini, Sultan Sepuh diasingkan oleh Raffles ke pulau Pinang.( Sukanto, 1958:95)
Segera setelah ekspedisi Raffles, perubahan-perubahan penting segera mempengaruhi kondisi perpolitikan di Keraton Yogyakarta. Putra Mahkota kembali diangkat menjadi raja Yogyakarta oleh Raffles. Notokusumo (adik Sultan Sepuh) yang berjasa membantu Raffles selama penyerbuannya ke Yogyakarta, diberikan jabatan sebagai pangeran yang merdeka. Notokusumo mendirikan keratonnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama Pakualaman.
Akan tetapi, Putra Mahkota berselisih dengan Notokusumo. Putra Mahkota sangat benci kepada Notokusumo. Pendirian ini logis mengingat Putra Mahkota masih kuatir bahwa Notokusumo akan menjadi Sultan dengan bantuan Inggris. Dalam babad diceritakan bahwa Putra Mahkota berusaha mencari jalan untuk membunuh Notokusumo (Sukanto,1958:92). Dua kekuatan politik di
Yogyakarta antara kasultanan dengan Pakualaman yang saling bermusuhan ini menimbulkan kerawanan pada tataran elit keraton.
Di sisi lain, bantuan Raffles terhadap Putra Mahkota untuk mengangkat dirinya menjadi Raja Yogyakarta bukan tanpa syarat. Raffles membuat perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian 1812. Secara garis besar, perjanjian tersebut merugikan pihak keraton dan semakin memperbesar kekuatan politik Inggris dalam intervensinya terhadap keraton Yogyakarta. Beberapa isi perjanjian yang penting adalah melarang para raja memiliki pasukan militer apa pun kecuali yang diizinkan oleh pemerintah Inggris untuk melindungi diri dan daerah kekuasaan mereka. (Carey, 2012:441).
Dalam perjanjian yang diprakarsai Raffles, Pemerintahan Inggris juga mengambil alih berbagai wilayah barat dan timur daerah Mancanegara, dan tanah inti kesultanan di Nagara Agung. Kedu sebagai daerah paling makmur di Jawa dan merupakan penghasilan utama keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta juga diambil alih oleh pihak Inggris.(Carey, 2012:442)
Pemberlakuan kerangka pajak tanah di wilayah-wilayah yang diambil alih untuk menghasilkan pajak menimbulkan penderitaan yang berat bagi penduduk setempat. Tidak hanya tuntutan pajak terlalu tinggi, tapi penduduk, khususnya yang berladang, juga dipaksa membayar tunai dengan mata uang perak, bukan dengan hasil pertanian. Hal ini menjeremuskun mereka ke tangan rentenir Tionghoa yang membebankan bunga tinggi. Aneksasi wilayah oleh Raffles pada
Agustus 1812 memperparah masalah-masalah sosial di keraton-keraton dan secara lebih luas lagi dalam masyarakat Jawa. (Carey, 2012:446)
3.2.1 Situasi Politik Pada Masa Sultan Hamengku Buwono III tahun 1812- 1814
Sultan Hamengku Buwono III diangkat oleh Raffles menjadi raja Yogyakarta pada juni 1812. Setelah itu, putra Sultan Hamengku Buwono III, Bendoro Raden Mas Sudomo diangkat menjadi Putra Mahkota. Ibunda Sultan Hamengku Buwono III, Ratu Kedaton diangkat menjadi Ratu Ageng. Ratu Ageng diberi tugas khusus sebagai pengasuh Putra Mahkota. Istri Sultan Hamengku Buwono III, diangkat menjadi Ratu Kencono. (Carey, 2012:413)
Banyak pengangkatan baru menyangkut mereka yang memberikan dukungan paling besar kepada Sultan Hamengku Buwono III semasa perebutan kekuasaan dengan ayahnya, Sultan Sepuh. Yang terkemuka diantara mereka adalah anggota keluarga Danurejan. Ikatan baru yang penting antara keluarga dekat Sultan Hamengku Buwono III dan Danurejan juga dijalin melalui pernikahan dua putri Danurejan dengan putra-putra raja baru. Pernikahan ini membawa genapnya pemulihan martabat keluarga Danurejan setelah tidak menentu di bawah kekuasaan Sultan Hamengku Buwono II.(Carey, 2012:432)
Meskipun kerawanan besar yang menyertai awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, kekuasaan singkatnya selama dua puluh sembilan bulan itu merupakan salah satu kurun kemakmuran yang berlangsung damai dan
berhasil bagi Yogyakarta. Dalam hal pemerintahan kerajaan, perbaikan penting telah berhasil diwujudkan dibandingkan pemerintahan pendahulunya yang boros dan menyusahkan. Pembangunan banyak pondok berburu dan wisma di pedesaan yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono II dihentikan dan diadakan penghematan ketat atas belanja keraton guna mengisi harta kekayaan. Pada saat wafatnya Sultan Hamengku Buwono III, November 1814, Keraton Yogyakarta telah memiliki kas keuangan sekitar 60.000 Dolar Spanyol. (Carey, 2012:455)
Pada paruh kedua pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, terjadi beberapa perubahan politik penting. Pada 17 Maret 1813, melalui perjanjian yang diprakarsai oleh Raffles, persoalan tanah Pakualam akhirnya berhasil diselesaikan. Penyelesaian ini mengakui bahwa Pangeran yang berkedudukan merdeka itu dan keluarganya berada di bawah perlindungan langsung pemerintah kolonial dan pemerintah tersebut akan membayar Paku Alam berupa tunjangan bulanan sebesar 750 Dolar Spanyol.(Carey, 2012:460)
Perubahan penting lain dalam pemerintahan adalah pengangkatan patih baru. Sumodipuro diangkat sebagai Raden Adipati Danurejo IV pada 2 Desember 1813. Latar belakang pengangkatannya adalah keperluan yang semakin mendesak untuk mengganti penjabat patih, Mas Tumenggung Sindunegoro (Danurejo III) yang sudah pikun dan sering membuat kesalahan dalam membicarakan urusan dengan residen. (Carey, 2012:462)
Pada awalnya Patih Danurejo IV adalah pejabat yang cakap dan disukai. Namun seiring dengan pengaruh politiknya yang kuat sebagai patih yang
menghubungkan keraton Yogyakarta dengan pemerintahan kolonial, Danurejo IV berubah menjadi seorang pemeras dan pajabat yang korup. Ia memonopoli sumber pendapatan kerajaan. Ia juga menuntut uang dari penguasaan tanah jabatan baru yang ia tandatangai selain bergiat di bidang jual-beli tanah Yogyakarta. Semua wewenang dan kekuasaannya, menjadikan Patih Danurejo IV seseorang yang sangat kaya. Perilakunya menimbulkan bencana yaitu pemerintahan Yogyakarta mulai tersendat-sendat. Perselisihan di kalangan pejabat tinggi menjadi semakin parah. Babad Diponegoro menggambarkan Danurejo IV sebagai “setan berpakaian manusia yang merampok orang sembari duduk”.(Carey, 2012:464)
Empat hari setelah pelantikan Sumodipuro sebagai patih, Kapitan Cina, Tan Jin Sing diangkat menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat dengan tanah jabatan senilai 800 cacah. Surat pengangkatan dari Sultan ditandatangani oleh residen Yogyakarta, Crawfurd pada 6 Desember 1813 dan secara khusus menyatakan Tan Jin Sing telah diberi gelar dan tanah jabatan sebagai imbalan atas jasa-jasanya kepada pemerintah Inggris dan Sultan Hamengku Buwono III pada tahun 1812. (Carey, 2012:466)
Namun pengangkatan tersebut dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono III hanya karena tekanan. Perasaan anti Tionghoa di kalangan rakyat sudah memanas di Yogyakarta setelah bantuan orang-orang Cina melalui Tan Jin Sing terhadap ekspedisi Raffles Juni 1812 untuk mengepung keraton Yogyakarta. Jadi, pengangkatan Tan Jin Sing sebagai seorang bupatimiji Yogyakarta (pejabat yang
langsung di bawah perintah Sultan) tidak terjadi pada saat yang baik dalam hubungan Tionghoa dengan Jawa. (Carey, 2012:466)
Dengan demikian situasi politik di Yogyakarta menjadi semakin rawan terhadap intrik-intrik politik. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, kekuatan politik yang dimiliki seorang patih dipegang oleh Danurejo IV. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Danurejo IV adalah pejabat yang tidak punya moral, koruptor, dan dikenal sebagai kaki tangan kolonial. Selain itu, muncul kekuatan politik baru di Yogyakarta yang secara langsung berada dalam perlindungan pemerintahan Inggris yaitu Pakualaman yang dipimpin oleh musuh Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono III, yaitu Notokusumo. Selain itu, kekuatan Cina secara politis juga telah disahkan oleh Raffles setelah pengangkatan Tan Jin Sing sebagai Raden Tumenggung.
Dalam situasi politik seperti di atas, Tanggal 3 November 1814, Sultan Hamengku Buwono III wafat. Cerita babad menyiratkan bahwa wafatnya Sultan Hamengku Buwono III dengan tiba-tiba menimbulkan kecemasan luar biasa di keraton. Ratu Ageng, Ibunda Sultan Hamengku Buwono III, khawatir jika putra mahkota belum siap menjadi raja Yogyakarta. Sementara itu, Diponegoro menyatakan bahwa tidak seorang pun di Yogyakarta yang memperkirakan Sultan wafat secepat itu. (Carey, 2012:475)
3.2.2 Situasi Politik pada Masa Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode Pemerintahan Inggris Tahun 1814-1816.
Putra Mahkota, Djarot (adik Pangeran Diponegoro tetapi berbeda ibu) diangkat oleh Inggris menjadi Sultan Hamengku Buwono IV pada bulan September tahun 1814. Pada saat itu, Sultan Hamengku Buwono IV masih berusia tiga belas tahun. (Sukanto,1958:100)
Wafatnya Sultan Hamengku Buwono III secara mendadak merupakan pertanda buruk bagi Yogyakarta, karena terjadi tepat ketika harapan sedang tumbuh bahwa nasib baik kesultanan mungkin akan terpulihkan setelah malapetaka pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II. Kenyataan bahwa Yogyakarta sekarang harus diperintah oleh seorang yang masih kanak- kanak membuka lebar kemungkinan persekongkolan dan korupsi di keraton. (Carey, 2012:47)
Garnham selaku residen Yogyakarta pada masa ini, membentuk dewan perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengku Buwono IV. Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, dan dua bupati keraton Raden Tumenggung Ronodiningrat dan Raden Tumenggung Mertonegoro, diangkat menjadi wali Sultan Hamengku Buwono IV.(Carey, 2012:476)