• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Fakta Sejarah dengan Intrik Politik dalam Novel

BAB II ANALISIS ALUR NOVEL PANGERAN DIPONEGORO:

4.4 Relevansi Fakta Sejarah dengan Intrik Politik dalam Novel

Sebagai upaya melakukan pendekatan historis, penulis telah memaparkan teks sejarah tentang situasi politik di Yogyakarta tahun 1811-1825 pada bab III. Pada bab IV, penulis telah memaparkan intrik politik yang terjadi dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Dari pemaparan tersebut, terdapat relevansi antara fakta sejarah yang penulis paparkan pada bab III dengan intrik politik yang terjadi dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Danurejo IV sebagai tokoh antagonis dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah sejalan dengan pemaparan teks sejarah pada bab III. Danurejo IV berperan besar mengacaukan atmosfer politik keraton Yogyakarta sejak pengangkatannya oleh Raffles hingga pecahnya perang Jawa. Pemaparan teks sejarah pada Bab III juga menunjukkan Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan Danurejo IV dan memuncak saat masa perwalian Sultan Hamengku Buwono V. Hal tersebut sejalan dengan Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah yang menggerakkan alur kepada intrik-intrik yang dilakukan Danurejo IV.

Pada bab III, terlihat adanya perselisihan antara Paku Alam I dengan Sultan Hamengku Buwono III. Perselisihan di antaranya timbul setelah Raffles memberikan hak istimewa terhadap Notokusumo dengan mengangkatnya sebagai Pangeran yang Merdeka dengan gelar Paku Alam I. Pengangkatan atas Notokusumo adalah hadiah dari Raffles karena jasa-jasanya membantu Raffles

dalam penyerbuannya ke keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku II. Namun kedekatan antara Inggris dengan Notokusumo membuat Sultan Hamengku Buwono III khawatir Notokusumo ingin merebut kekuasaannya sebagai raja Yogyakarta melalui bantuan Inggris. Situasi tersebut sejalan dengan alur novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III, terdapat intrik politik yang dilakukan Sultan Hamengku Buwono III dengan tujuan menyingkirkan Paku Alam I. Sultan Hamengku Buwono III pernah berniat untuk membunuh Paku Alam I karena kekhawatirannya terhadap Paku Alam I yang ingin merebut kekuasaannya sebagai raja Yogyakarta.

Peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono III menunjukkan kalangan keraton Yogyakarta terkejut dan tidak siap. Ketidaksiapan pihak keraton berdasarkan atas umur putra mahkota yang baru berumur tiga belas tahun. Kematian Sultan Hamengku Buwono III juga terjadi saat keuangan keraton mulai stabil. Pada saat itu, Danurejo IV, Tan Jin Sing, dan Paku Alam I telah menduduki jabatannya masing-masing. Ketiganya memiliki hubungan yang tidak baik dengan Sultan Hamengku Buwono III. Latar peristiwa tersebut menunjukkan relevansinya dengan Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Remy Sylado mengolahnya menjadi intrik politik orang-orang Belanda melalui Danurejo IV dan Tan Jin Sing dalam peristiwa pembunuhan Sultan Hamengku Buwono III.

Relevansi antara fakta sejarah dengan intrik politikPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahjuga terlihat pada masa-masa perwalian Sultan Hamengku

Buwono IV. Pada Bab III, Danurejo IV dengan ketiga tumenggungnya yaitu Tumenggung Pringgodiningrat, Tumenggung Ronodiningrat, dan Tumenggung Mertonegoro diangkat oleh Garnham menjadi wali dari Sultan Hamengku Buwono IV. Namun, posisi mereka segera digantikan Paku Alam I oleh Raffles. Penunjukannya karena kepentingan Raffles menempatkan orang kepercayaannya tersebut di jajaran keraton Yogyakarta. Setelah Belanda kembali menguasai Nusantara, Paku Alam I mundur dan Danurejo IV kembali mengambil alih jabatan wali Sultan Hamengku Buwono IV. Perubahan kedudukan politik pada peristiwa tersebut sejalan dengan situasi dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah sehingga menggerakkan alur pada intrik politik Danurejo IV masa perwalian Sultan Hamengku Buwono IV.

Dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, Sultan Hamengku Buwono IV wafat karena diracun oleh orang-orang Belanda melalui Danurejo IV dan Tan Jin Sing. Hal ini menunjukkan relevansinya dengan teks sejarah pada bab III. Beberapa sejarawan seperti Peter Carey dan Sagimun memaparkan bahwa Sultan Hamengku Buwono IV wafat karena diracun.

Pemaparan teks sejarah pada bab III menunjukkan hubungan yang tidak baik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Jawa sejak bantuan Tan Jin Sing kepada Raffles pada masa penyerbuan Raffles ke keraton Yogyakarta dan pengangkatan Tan Jin Sing sebagai kapitan Cina pada masa pemerintahan kolonial Inggris. Situasi yang demikian menunjukkan relevansinya dengan intrik politik Danurejo IV dalam memanfaatkan dewan perwalian Cina yang dikepalai

Tan Jin Sing. Beberapa kali Danurejo IV menyinggung masalah sensitifitas hubungan antara masyarakat Jawa dengan etnis Tionghoa. Hal ini yang menggerakkan alur Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada usaha pembunuhan Pangeran Diponegoro oleh Danurejo IV dengan memanfaatkan orang-orang Cina.

Di dalam teks sejarah, aliran politik liberal yang dianut sejak masa pemerintahan Daendels hingga Raffles telah menyebabkan praktik sewa-menyewa tanah di daerah kerajaan Mataram Yogyakarta dikuasai oleh para pemilik modal baik orang-orang Cina maupun orang-orang Eropa. Praktik sewa-menyewa tanah tersebut semakin marak pada saat pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV. Namun Van Der Capellen menghapus kebijakan tersebut pada saat pemerintahannya setelah peralihan pemerintahan kolonial dari Inggris kepada Belanda. Akibat dari kebijakan Van Der Capellen, orang-orang Cina dan Eropa merasa dirugikan karena tanah yang mereka sewa dari Keraton diberhentikan. Oleh karena itu, mereka menuntut ganti rugi uang terhadap keraton yang menyebabkan keraton Yogyakarta terlilit utang. Keadaan tersebut ditentang oleh Pangeran Diponegoro. Situasi ini terjadi pada saat masa perwalian Sultan Hamengku Buwono V dimana Pangeran Diponegoro menjadi salah satu dari wali tersebut.

Pemaparan teks sejarah di atas menunjukkan adanya relevansi dengan intrik politik dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Van Der Capellen menuntut utang sebanyak 40.000 real Spanyol kepada para pejabat

keraton melalui residen Smissaert. Situasi tersebut dimanfaatkan Danurejo IV sehingga menggerakkan alurPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahpada intrik politiknya untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Secara garis besar, pemaparan teks sejarah pada bab III telah menunjukkan relevansinya dengan pemaparan intrik politik dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada bab IV. Sebagai pengarang, Remy Sylado mengolah situasi politik dalam teks sejarah menjadi intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 1 Relevansi Teks Sastra Intrik Politik Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Karya Remy Sylado dengan Beberapa Teks Sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti- Perang Pahlawan Dipanegarakarya Soekanto,Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padam karya Sagimun MD, dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperium karya Sartono Kartodirjo tentang Situasi Politik di Yogyakarta Tahun 1811-1825.

No NovelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok

Khalifah

Teks Sejarah Relevansi

IV mengacaukan hubungan Inggris dengan keraton Yogyakarta.

sebagai patih. Danurejo IV adalah pemeras dan pejabat yang korup. Babad Diponegoro via Carey (2012:464) mengatakan Danurejo IV sebagai “Setan berpakaian manusia yang merampok orang sembari duduk”.

tokoh Danurejo IV yang berperangai pemeras dan pejabat korup dalam teks sejarah menjadi intrik politik Danurejo IV merekayasa pernikahan Diponegoro untuk mengacaukan hubungan antara keraton Yogyakarta dengan Inggris. Tujuan utamanya adalah menguasai bisnis sewa tanah. Dalam hal ini, relevansi antara teks sejarah dengan novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah hanyalah kesamaan gambaran Danurejo IV sebagai seorang patih yang licik sejak awal kemunculannya.

2 Intrik politik Sultan Hamengku Buwono III dalam usaha menyingkirkan Paku Alam I Sebagai lawan politiknya

Sukanto (1958:92) menjelaskan bahwa Sultan Hamengku Buwono III khawatir kedudukannya sebagai Raja direbut Paku Alam I dengan bantuan Inggris. Babad Diponegoro via Sukanto menjelaskan bahwa Sultan Hamengku Buwono III berusaha mencari jalan untuk membunuh Paku Alam I.

Sukanto menjelaskan bahwa Sultan Hamengku Buwono III pernah berencana membunuh Paku Alam I karena kekhawatirannya akan perebutan kekuasaan melalui bantuan Inggris. Hal ini relevan dengan intrik politik dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Remy Sylado menggambarkan niat Sultan Hamengku Buwono III membunuh Paku Alam I dengan jalan menyewa perampok bayaran. Tujuan utamanya adalah menyingkirkan Paku Alam I sebagai lawan politiknya.

3 Intrik politik orang- orang Belanda dalam peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono III

Pada tanggal 3 November 1814, Sultan Hamengku Buwono III wafat. Sultan Hamengku Buwono III wafat secara tiba-tiba sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan keraton. kecemasan pihak keraton karena menganggap putra mahkota yang masih kanak-kanak tidak akan bisa memerintah (Carey, 2012:475) Kematian Sultan Hamengku Buwono III juga terjadi saat keuangan keraton mulai stabil. Pada saat itu, Danurejo IV, Tan Jin Sing, dan Paku Alam I telah menduduki jabatannya masing-masing. Ketiganya memiliki hubungan yang tidak baik dengan Sultan Hamengku Buwono III

Dalam teks sejarah, kematian Sultan Hamengku Buwono III terjadi saat keuangan keraton mulai membaik. Selain itu, dalam konteks politik, Danurejo IV dan Tan Jin Sing sama- sama telah diangkat Inggris sebagai pejabat di masing-masing posisinya. Relevansi di antara kedua teks ini adalah sama-sama menggambarkan reaksi kalangan keraton Yogyakarta bahwa kematian Sultan Hamengku Buwono III akan membawa masalah besar bagi pemerintahan keraton Yogyakarta. Dalam hal ini, putra mahkota yang baru berusia tiga belas tahun dianggap belum bisa menduduki posisi raja Yogyakarta. Remy Sylado mengolah peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono III dalam teks sejarah menjadi intrik politik orang- orang Belanda melalui Danurejo IV dan Tan Jin Sing dalam peristiwa pembunuhan Sultan Hamengku Buwono III. Tujuan utamanya adalah menguasai tanah di Tegalrejo untuk

investasi. Selain itu, dalam teks sejarah, Sultan Hamengku Buwono III telah terlibat perselisihan dengan Sultan Hamengku Buwono II sejak masa-masa peralihan dari pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris. Hal ini juga menunjukkan relevansi antara teks sejarah dengan Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Intrik politik yang digambarkan Remy Sylado memperlihatkan bahwa Sultan Hamengku Buwono II terlibat di balik kematian Sultan Hamengku Buwono III. Sultan Hamengku Buwono II memanfaatkan kepentingan orang- orang Belanda seperti Muntinghe untuk merebut kekuasaannya kembali setelah diasingkan oleh Raffles ke penang.

4 Intrik politik Danurejo IV dalam usaha menduduki jabatan perwalian Sultan Hamengku Buwono IV

Granham sebagai residen Inggris menunjuk Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ronodiningrat, dan Raden Tumenggung Mertonegoro sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV (Carey, 2012:476).Namun Raffles mengirimkan perintah kepada Garnham agar Paku Alam I ditunjuk sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV

Dalam teks sejarah, Danurejo IV beserta ketiga tumenggung lainnya sempat menjabat sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV sebelum diturunkan oleh Raffles melalui residen Garnham. Fakta sejarah tersebut relevan dengan intrik politik yang dipaparkan Remy Sylado dalam menggambarkan usaha Danurejo IV menduduki jabatan wali Sultan Hamengku Buwono IV. Danurejo IV mengelabuhi kalangan keraton Yogyakarta dengan menggunakan tameng nama Raffles untuk menduduki jabatan sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV. Namun Raffles justru memerintahkan Garnham menunjuk Paku Alam I menggantikan Danurejo IV sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV.

5 Usaha Danurejo IV menyingkirkan Paku Alam I sebagai lawan politiknya

Pada Agustus 1816, Danurejo IV mengambil alih wewenang Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV (Carey, 2012:478)

Pada masa-masa pergantian pemerintahan dari Inggris ke Belanda, Danurejo IV mengambil alih wewenang Paku Alam I sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV. Peristiwa sejarah tersebut relevan dengan intrik politik yang dipaparkan oleh Remy Sylado. Remy Sylado mengolah peristiwa sejarah tersebut menjadi intrik politik Danurejo IV dalam usahanya mengambil alih posisi wali Sultan Hamengku Buwono IV dari Paku Alam I dengan menghasut orang-

orang keraton Yogyakarta. 6 Intrik politik Belanda

dalam peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono IV

Pada tanggal 6 Desember 1822, Sultan Hamengku Buwono IV wafat setelah melakukan perjalanan ke salah satu pesanggrahannya. Carey (2012:591) dan Sagimun (1955:43) mengatakan bahwa Sultan Hamengku Buwono IV menurut beberapa orang meninggal karena diracun.

Relevansi di antara kedua teks ini adalah sama-sama menggambarkan kematian Sultan Hamengku Buwono IV akibat racun. Dalam hal ini, Remy Sylado mengolahnya menjadi intrik politik Belanda membunuh Sultan Hamengku Buwono IV melalui Danurejo IV dengan menggunakan racun buatan Tan Jin Sing. Tujuan utamanya adalah menempatkan Sultan Hamengku Buwono II kembali menjadi raja Yogyakarta. Namun, baik dalam teks sejarah maupun teks Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, setelah peristiwa kematian Sultan Hamengku Buwono IV, posisi raja Yogyakarta justru diberikan kepada Pangeran Menol yang masih berusia tiga tahun. 7 Usaha Danurejo IV menyingkirkan Pangeran Diponegoro sebagai lawan politiknya

Pangeran Diponegoro bersama Danurejo IV menduduki jabatan sebagai wali Sultan Hamengku Buwono V. Carey (2012:591) menyebut persaingan antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV dengan cepat berkobar menjadi permusuhan terbuka.

Pada masa perwalian Sultan Hamengku Buwono V, Van Der Capellen sebagai gubernur jendral Belanda menghapus sistem penyewaan tanah oleh swasta. Sejak tahun 1817, dikeluarkan larangan bagi Cina untuk berusaha di Priangan, dan bagi Eropa di tanah kerajaan. (Kartodirjo (1999:338). Akibat dari kebijakan Van Der Capellen, keraton Yogyakarta mengalami kerugian keuangan. Salah satunya adalah utang Keraton terhadap pemerintahan kolonial Belanda sebesar 50.000 Dolar Spanyol dalam urusan ganti rugi terhadap penyewaan tanah di Bedoyo

Pangeran Diponegoro Mundur setelah situasi tersebut menimbulkan perselisihan dengan Danurejo IV

Baik di dalam teks sejarah maupun di novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, masa-masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V adalah masa puncak ketegangan antara Pangeran Diponegoro dengan Danurejo IV dan Belanda. Ketegangan di antara keduanya karena Pangeran Diponegoro menduduki posisi wali Sultan Hamengku Buwono V yang berakibat perselisihannya dengan Danurejo IV. Remy Sylado mengolah situasi politik ini menjadi intrik-intrik politik Danurejo IV menyingkirkan Pangeran Diponegoro karena dianggap sebagai penghalang bagi kepentingannya. Dalam melakukan intrik politiknya, Danurejo IV menggunakan isu rasis terhadap kaum Tionghoa untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Hal ini relevan dengan realita sejarah bahwa hubungan antara Etnis Tionghoa dengan pribumi memang memburuk sejak ekspedisi Raffles ke keraton Yogyakarta yang mendapat bantuan dari kapitan Cina, Tan Jin Sing. Selain itu, kedua teks pada masa perwalian Sultan Hamengku Buwono V sama- sama menggambarkan kondisi keuangan keraton yang memburuk karena beban utang akibat peraturan

dari Van Der Capellen mengenai larangan swasta baik Eropa maupun Tionghoa menjalankan bisnis sewa tanah. Situasi ini diolah Remy Sylado untuk menggambarkan intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Pangeran Diponegoro dengan memanfaatkan permasalahan utang keraton Yogyakarta terhadap pemerintahan kolonial Belanda.

BAB V

Dokumen terkait