• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro : menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado (pendekatan historis).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro : menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado (pendekatan historis)."

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

i

DALAM NOVELPANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH

KARYA REMY SYLADO

(PENDEKATAN HISTORIS)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Nama : Bitbit Pakarisa NIM : 07 4114 007

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Hidup Adalah Bermain (Kak Seto)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yang Maha Tak Tertebak Ayah dan kedua ibuku,

(5)

v

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu:

1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih atas segala bimbingan saya untuk meyelesaikan skripsi ini.

2. SE Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing II, terima kasih atas segala bimbingannya kepada saya untuk menyelesesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia. 4. Ayah dan kedua ibu saya, yang telah memberikan doa, semangat, dan

dukungan materiil kepada penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

(6)
(7)
(8)
(9)

ix

Pakarisa, Bitbit. 2012. “Intrik Politik dalam Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Karya Remy Sylado: Pendekatan Historis.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan analisis struktural yang difokuskan pada analisis alur, mendeskripsikan situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825, dan menganalisis serta mendeskripsikan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Penelitian ini diawali dengan analisis struktur teks sastra yang difokuskan pada analisis alur, deskripsi teks sejarah, yaitu situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825, analisis teks sastra, yaitu intrik politik dalam novel Pagengeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, kemudian menarik relevansi antara fakta sejarah dengan hasil analisis teks sastra.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis, deskripsi, perbandingan, dan klasifikasi. Metode analisis digunakan untuk menganalisis isi teks sastra. Metode perbandingan digunakan untuk menarik relevansi antara teks sastra dengan teks sejarah. Metode klasifikasi digunakan untuk mengklasifikasikan bantuk-bentuk intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Metode deskripsi digunakan untuk mendeskripsikan teks sejarah dan hasil penelitian data.

(10)

x

Danurejo IV dalam usahanya menduduki jabatan perwalian Atas Sultan Hamengku Buwono IV, (e) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Paku Alam I, (f) intrik politik Belanda dalam usahanya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwono IV, (g) intrik politik Danurejo IV dalam usahanya menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Terdapat relevansi antara teks sejarah tentang situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825 pada bab III dengan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah pada bab IV. Situasi politik pada teks sejarah yang relevan dengan intrik politik Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah adalah buktinya.

(11)

xi

Pakarisa, Bitbit. 2012. “The Political Intrigues inPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, A Novel by Remy Sylado: A Historical Approach”. An Undergraduate Thesis (S-1). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Department of Indonesian Literature, Literature Faculty, Sanata Dharma University.

This study focuses on the political intrigue in a novel by Remy Sylado entitled Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. There are four purposes in this study. They are (1) to analyze and describe a structural analysis focused on plot analysis, (2) to elaborate a political situation in Yogyakarta in 1811-1825, and (3) to analyze and to explain the political intrigue in a novel entitled Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.

In the research, the researcher conducted historical approach. The researcher started the study by analyzing the structure of literature texts focused on plot analysis. Then, the researcher analyzed the description of history texts which was politics situation in Yogyakarta in 1811-1825. The next step was analyzing the literature text which was political intrigue in the novel. The last step the researcher did was finding out the relevancy between history facts and the result of analyzing the literature text.

Method used in this study was analysis, descriptive, comparison, and classification method. Analysis method was employed to analyze the content of literature text. Comparison method was used to gain the relevance between literature text and historical text. Classification method was used to classify the forms of political intrigues in novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Descriptive method was used to describe historical text and the research findings

(12)

xii

Buwono IV, and (7) Danurejo IV’s political intrigue to eliminate Prince Diponegoro. There was the relevancy between the history texts related to politics situation in Yogyakarta in 1811-1825 that the researcher employed in chapter III and political intrigue in the novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah in chapter IV. The proof of this was the politics situation in the history texts engaged with political intrigue in the novel.

(13)

xiii

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

KATA PENGANTAR………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… ... vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... viii

ABSTRAK... ix

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

1.5 Tinjauan Pustaka……….. 13

1.6 Landasan Teori... 13

1.6.1 Teori Alur... 13

(14)

xiv

1.7.1 Politik……… .. 16

1.7.2 Intrik……… 18

1.7.3 Intrik Politik………. 18

1.8 Pendekatan………. .. 18

1.9 Metode Penelitian………... 19

1.9.1 Metode Pengumpulan Data……… 20

1.9.2 Metode Analisis Data………... 21

1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data... 23

1.10 Sumber Data………. 23

1.10.1 Sumber Data Primer... . 23

1.10.2 Sumber Data Sekunder... 24

1.11 Sistematika Penyajian………... 24

BAB II ANALISIS ALUR NOVELPANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH... 25

2.1 Tahap Penyituasian……….. 25

2.2 Tahap Pemunculan Konflik………. 32

2.3 Tahap Peningkatan Konflik………. 71

2.4 Tahap Klimaks……… 84

2.5 Tahap Penyelesaian……….. 87

(15)

xv

INGGRIS DAN BELANDA TAHUN 1811-1825... 91 3.1 Situasi Politik di Yogyakarta Sebelum Tahun 1811. ... 92

3.1.1 Permulaan Berdirinya Kerajaan Mataram

Yogyakarta……… 92

3.1.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono II Tahun 1792-1810.. 93 3.2 Situasi Politik Kesultanan Yogyakarta pada Masa

Pemerintahan Inggris Tahun 1811-1816... 99 3.2.1 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono III Tahun 1812-1814. 101 3.2.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Inggris Tahun 1814-1816 ... 105 3.3 Situasi Politik pada Masa Pemerintahan Belanda

Tahun 1816-1825 ... 107 3.3.1 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono IV dalam Periode

Pemerintahan Belanda Tahun 1816-1825... 107 3.3.2 Situasi Politik pada Masa

Sultan Hamengku Buwono V Tahun 1822-1826 . 110

(16)

xvi

MENUJU SOSOK KHALIFAH... 117 4.1 Intrik Politik pada Masa

Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III ... 118 4.1.1 Usaha Danurejo IV Mengacaukan Hubungan Antara

Inggris dengan Keraton Yogyakarta……… 118 4.1.2 Intrik Politik Sultan Hamengku Buwono III

dalam Usaha Menyingkirkan Paku Alam I

sebagai Lawan Politiknya... 121 4.1.3 Intrik Politik Orang-Orang Belanda dalam Peristiwa

Kematian Sultan Hamengku Buwono III ... 123 4.2 Intrik Politik pada Masa Pemerintahan

Sultan Hamengku Buwono IV……… ... 127 4.2.1 Intrik Politik Danurejo IV dalam Usaha

Menduduki Jabatan Perwalian atas

Sultan Hamengku Buwono IV ... 127 4.2.2 Usaha Danurejo IV Menyingkirkan Paku Alam I

sebagai Lawan Politiknya ... 131 4.2.3 Intrik Politik Belanda dalam Peristiwa Kematian

Sultan Hamengku Buwono IV... 134 4.3 Intrik Politik pada Masa Perwalian

(17)

xvii

Pangeran Diponegoro sebagai Lawan Politiknya .. 138

4.4 Relevansi Fakta Sejarah dengan Intrik Politik dalam Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah... 146

BAB V PENUTUP……….. 155

5.1 Kesimpulan……… . 155

5.2 Saran……… 157

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo (1979: 65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Novel sebagai salah satu genre sastra juga merupakan produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali fenomena kehidupan (Sardjono, 1992: 10).

Objek karya sastra adalah realitas, apa pun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 2006: 171).

(19)

Dalam konteks sastra, sejarah juga dapat menjadi inspirasi utama pengarang dalam menciptakan karya sastra.Dick Hartoko menjelaskan jika roman historis, roman sejarah, mengambil bahan dan tokoh-tokohnya dari masa silam, biasanya dengan maksud untuk menampilkan suasana pada zaman tertentu. Bahan diterima dari penelitian sejarah tetapi diolah, diatur dan ditafsirkan menurut daya imajinasi sendiri (1986: 60).

NovelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado adalah salah satu karya sastra yang bersumber dari sejarah. Sejarah Pangeran Diponegoro menjadi dasar penciptaan novel sejarah ini. Oleh karena itu, novel ini bisa dikategorikan sebagai novel sejarah.

(20)

Ageng berpendapat bahwa kepandaian dan kemampuan seperti itu harus dikuasai oleh calon pemimpin seperti Ontowiryo. Suami Ratu Ageng yang merupakan Sultan Hamengku Buwono I sudah memiliki firasat tentang kepemimpinan Ontowiryo di masa yang akan datang dalam memerangi Belanda sejak ia masih balita.

Pada sekuel yang pertama ini menggambarkan perjalanan spiritual Ontowiryo. Ontowiryo lebih suka pergi ke bukit-bukit, ke hutan, ke goa-goa untuk bersemedi daripada mengikuti perkembangan situasi keraton. Pada fase itulah tercetus pertama kali dalam pikiran Ontowiryo bahwa pada usia empat puluh tahun dia harus menyelamatkan Jawa dari penjajahan. Sekuel yang pertama ini diakhiri dengan cerita Pangeran Diponegoro yang mulai memikirkan calon istrinya.

Sekuel novel yang kedua yaitu Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah menggambarkan konflik-konflik yang dialami oleh Diponegoro. Dalam novel ini dideskripsikan kolonialisme Belanda dan Inggris yang dibantu oleh kaki tangan orang-orang pribumi menjadi faktor utama terjadinya perang Jawa. Intrik politik menjadi alat utama untuk menjalankan dan memperebutkan kekuasaan baik pihak Belanda, pribumi kaki tangan Belanda, maupun Keraton Yogyakarta sendiri.

(21)

yang taat pada nilai-nilai keislaman sekaligus mencintai budaya Jawa sebagai identitasnya. Baginya Islam adalah cita-cita luhur keraton sejak Mataram Islam berdiri.

Dikisahkan bahwa Diponegoro jatuh cinta kepada Ratnaningsih. Karena Diponegoro adalah anak dari Sultan Raja, maka pernikahan Diponegoro dengan Ratnaningsih harus dilakukan dengan adat keraton. Namun sebagai seorang pemeluk agama Islam yang taat dan sejak kecil hidup di luar keraton, Diponegoro menolak prosesi pernikahan dengan cara keraton. Baginya Keraton sudah tidak lagi mencerminkan cita-cita rakyatnya. Pendudukan kolonial Belanda dan Inggris menjadikan keraton hanya sebagai boneka untuk kepentingan Kolonial. Keraton Yogyakarta pun semakin jauh dari nilai-nilai Islam yang diyakininya. Selain itu, dengan menikah seperti cara rakyat biasa, Diponegoro ingin membuktikan kepada rakyat Yogyakarta kalau dia adalah bagian dari mereka.

(22)

Pada akhirnya prosesi pernikahan dilakukan dengan cara adat keraton walaupun tetap dilangsungkan di luar kompleks keraton, yaitu di Tegalrejo. Diponegoro tidak bisa mengelak pernyataan salah satu ahli budaya dari Bantul yaitu Ki Projosubroto. Ki Projosubroto menjelaskan bahwa adat rakyat biasa sebenarnya tidak berbeda dengan adat keraton. Selama ini rakyatlah yang justru semakin jauh dari adatnya. Lebih lanjut, keraton berfungsi untuk menjadi benteng adat budaya dengan memelihara prosesi budaya Jawa.

Intrik politik mulai terlihat ketika muncul tokoh yang bernama Danurejo IV. Danurejo IV adalah patih adipati yang diangkat oleh Raffles pada masa pendudukan Inggris di Nusantara. Walaupun Danurejo IV diangkat oleh Inggris, namun perangainya yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan pribadi membuat ia bisa dimanfaatkan oleh siapapun yang membayarnya.

(23)

mendadak. Dengan begitu, Marlborough akan menganggap keraton meremehkannya.

Intrik-intrik politik mulai meningkat ketika Muntinghe, orang Belanda yang merupakan tuan tanah, memiliki rencana jangka panjang untuk membuka tanah di sebelah Tegalrejo. Rencana tersebut selalu dihalang-halangi oleh Sultan Raja. Lalu Muntinghe berpikir untuk membunuh Sultan Raja yang terlihat pada kutipan berikut:

“Bikin Sultan Raja sakit, supaya matinya alami. Cari resepnya dari tukang obat Cina. Pasti orang Cina punya obatnya. Lalu kalau Sultan Raja mati, bisa direka dulu untuk sementara hadirnya putra mahkota sebagai Sultan Sepuh Hamengku Buwono IV, sampai akhirnya Sultan Sepuh bebas dari pembuangan. Kenapa saya ingin Sultan Sepuh bebas? Dulu dengan pihak kita, dia mengecewakan. Tapi, sekarang, setelah Sultan Raja naik di bawah kendali Inggris, Sultan Raja lebih tidak baik terhadap kita ketimbang Sultan Sepuh. Lain dari itu, secara pribadi Sultan Sepuh menjanjikan kepada saya, bisa mengalihkan tanah di sebelah Tegalrejo itu untuk saya beli. Selama orang Belanda lain tidak pernah melihat itu.” (Remy, 2008: 121)

Dari kutipan di atas, Belanda yang berkepentingan untuk menguasai tanah di Yogyakarta melakukan intrik politik dengan cara membunuh Sultan Raja. Selama ini, Sultan Raja selalu menghalangi keinginan Muntinghe untuk investasi tanah di Tegalrejo. Selain itu, tanah di Tegalrejo tersebut dikuasai oleh Ratu Ageng dan Diponegoro adalah pewaris selanjutnya. Dengan kata lain, rencana Muntinghe ini secara langsung akan menimbulkan konflik dengan Pangeran Diponegoro.

(24)

Peristiwa sebelumnya adalah pernikahan Diponegoro yang tidak mengundang Crawfurd. Crawfurd adalah residen Inggris pada saat itu. Hubungan yang tidak harmonis antara Sultan Raja dengan Crawfurd semakin terlihat. Pada peristiwa tersebut, justru yang diundang adalah Marlborough walaupun secara birokrasi berada di bawah Crawfurd. Dengan kata lain, apabila Sultan Raja mati saat itu, maka pandangan umum yang timbul adalah penguasa Inggris yang menghendaki kematian itu.

Dalam melaksanakan berbagai intrik politiknya, Belanda selalu menggunakan orang-orang pribumi yang bisa dibayar dengan uang. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

“Bukankah dalam peta tata pemerintahan di Nusantara, yang kita baca dari catatan-catatan VOC sejak dua ratus tahun lalu, perpanjangan tangan kita adalah manusia-manusia kelas tikus dan kucing seperti Danurejo IV?” Muntinghe tertawa. Dia terpuaskan. “Anda Betul,“ katanya (Remy, 2008: 146).

Dalam kutipan di atas, Engelhard berusaha meyakinkan Muntinghe untuk menggunakan Danurejo IV dalam menjalankan rencananya membunuh Sultan Raja. Pada akhirnya Danurejo IV berhasil menjalankan rencana tersebut dengan mempengaruhi Secodiningrat, tokoh pemimpin Cina di Yogyakarta untuk membuatkankan obat racun. Upah yang besar dari Belanda tidak bisa ditolak baik oleh Danurejo IV maupun Secodiningrat.

(25)

Kepemimpinan Djarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV hanya berlangsung sebentar. Djarot dibunuh oleh Danurejo IV atas perintah dari Belanda. Danurejo IV kembali menggunakan jasa Secodiningrat untuk membuatkan racun. Djarot meninggal setelah diracun dalam perjalanan berliburnya di pantai selatan Yogyakarta.

Diponegoro mencurigai bahwa adiknya, Djarot tidak meninggal karena sakit. Dia menduga kalau Djarot meninggal karena dibunuh oleh Danurejo IV. Namun demikian, Diponegoro tidak langsung bertindak atas dasar kecurigaannya tersebut. Ia masih percaya dengan panggilan rohaninya yaitu akan berperang menyelamatkan Jawa ketika usianya menginjak 40 tahun.

Kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IV segera digantikan oleh Sultan Menol. Sultan Menol masih berusia 4 tahun. Kali ini Diponegoro mau mendampingi Sultan Menol sebagai penasihatnya. Di lain pihak, Danurejo IV juga duduk sebagai penasihat. Hal ini menimbulkan konfrontasi langsung antara Diponegoro dengan Danurejo IV.

(26)

Kesabaran Diponegoro makin diuji dengan adanya peraturan pemungutan pajak tanah paksa dari pemimpin Belanda di Batavia, Van Der Capellen. Diponegoro dilapori beberapa muridnya yang melihat langsung beberapa anak buah Wironegoro dan Danurejo IV memungut pajak secara paksa kepada rakyat Yogyakarta. Mendapat laporan seperti itu, Diponegoro mencoba untuk melihatnya sendiri. Diponegoro segera bertindak dengan memukuli para tukang pemungut pajak.

Melihat anak buahnya dipukuli oleh Diponegoro, Danurejo IV dan Wironegoro segera melapor kepada residen Belanda. Beberapa kali Residen Smissaert mengajak Diponegoro untuk berunding di kantornya yaitu villa Bedoyo. Danurejo IV berusaha mempengaruhi Smissaert untuk segera menindak tegas Diponegoro. Keberadaan Diponegoro membuat Danurejo IV tidak bisa leluasa untuk memperoleh keuntungan dari pemungutan pajak.

(27)

Penulis hanya akan menganilis karya Remy Sylado pada sekuel novel yang kedua yaitu Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Hal ini dikarenakan dalam rangka memahami intrik politik yang terjadi sebelum perang Jawa terjadi, pada sekuel yang kedua inilah intrik-intrik politik yang dilakukan oleh pihak Belanda, orang-orang pribumi kaki tangan Belanda, maupun Keraton Yogyakarta sendiri meningkat. Hal ini terjadi karena kepentingan pihak-pihak tersebut yang ingin memperebutkan dan memanfaatkan kekuasaan yang ada. Situasi inilah yang mengharuskan Diponegoro untuk mengambil sikap, yaitu pernyataan perang terhadap kolonial. Dengan kata lain, Diponegoro mulai terlibat secara langsung dalam situasi politik di Jawa, khususnya daerah Yogyakarta waktu itu.

Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk menganalisis novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado. Penulis akan memaparkan intrik politik dalam novel ini yang menyebabkan terjadinya perang Jawa.

Dalam menganalisis intrik politik novel Pangeran Diponegoro: Menuju

(28)

kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama dengan kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Dalam penelitian ini, penulis hanya akan melihat kedekatan antara novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado dengan beberapa teks sejarah antara lain Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padam karya Sagimun MD, dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperiumkarya Sartono Kartodirjo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana alur dalam novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado?

1.2.2 Bagaimana situasi politik di Yogyakarta dalam teks sejarah pada masa pendudukan kolonial Belanda dan Inggris tahun 1811-1825? 1.2.3 Bagaimana intrik politik yang terjadi dalam Novel Pangeran

(29)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan alur dalam novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado.

1.3.2 Mendeskripsikan situasi politik di Yogyakarta dalam teks sejarah pada masa kolonial Inggris dan Belanda tahun 1811-1825.

1.3.3 Menjelaskan intrik politik yang terjadi dalam Novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Dalam dunia sastra Indonesia, Penelitian ini dapat menambah wawasan tentang penelitian sastra bercorak historis.

1.4.2 Penelitian ini dapat membantu praktisi sastra dalam memahami novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado.

(30)

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahkarya Remy Sylado belum pernah diteliti sama sekali.

1.6 Landasan Teori

Penulis menggunakan beberapa teori untuk kerangka berpikir. Teori-teori tersebut adalah teori alur, teori historis sastra, konsep politik, intrik, dan intrik politik.

1.6.1. Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita (Aminuddin, 1991 : 83).

Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap

generating circumstances atau tahap pemunculan topik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4) tahapclimaxatau tahap klimaks, dan (5) tahap denouementatau tahap penyelesaian.

(31)

pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap bertikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap pemunculan konflik adalah tahapan munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150).

1.6.2 Teori Sastra Historis

(32)

pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Dan ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 2006:171).

Sesuai dengan perkembangan metode dan teori di satu pihak, usaha untuk menghindarkan sekat pemisah antar disiplin di pihak lain, masalah-masalah sosiologi dan sejarah dalam sastra justru menemukan tempat yang subur. Setidaknya ada tiga masalah yang perlu dikemukakan dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan historis, yaitu (1) relevansi fakta-fakta sejarah, dalam hal ini berkaitan dengan isi. (2) Homologi unsur-unsur, dalam hal ini berkaitan dengan struktur. (3) Relevansi proses kreatif dalam hal ini berkaitan dengan perkembangangenresastra (Ratna, 2005: 354).

(33)

masyarakat lama, novel sejarah bagi masyarakat modern dianggap sebagai memiliki fungsi-fungsi ganda, fungsi estetis sekaligus dokumen sosial

Keberadaan fakta-fakta sejarah dalam sastra tidak harus memberikan makna yang sama dengan sejarah. Tujuan karya sastra dengan sejarah jelas berbeda. Sesuai dengan hakikatnya, tujuan karya seni adalah kualitas estetis, artinya, apapun yang terkandung di dalamnya difungsikan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila fakta sejarah memberikan makna sebagai kebenaran yang dapat dipercaya, sebaliknya karya sastra justru memberikan pertimbangan lain, bahkan sebaliknya (Ratna, 2005:356)

1.7 Batasan Istilah

1.7.1 Politik

Penulis menggunakan konsep politik dalam rangka memahami intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado.

(34)

(http://id.wikipedia.org/wiki/Politik#Etimologi). Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengertian politik sebagai kebijakan.

Ramlan Surbakti (1992: 1-2), menjelaskan sejak awal hingga perkembangan yang terakhir ada sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

(35)

1.7.2 Intrik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intrik adalah penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan (KBBI, 2008: 544). Penulis menggunakan istilah intrik untuk mengidentifikasi segala bentuk penyebaran kabar bohong yang dilakukan tokoh-tokoh dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifahuntuk menjatuhkan lawan politiknya masing-masing.

1.7.3 Intrik Politik

Politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rakyat (Surbakti, 1992: 2). Intrik adalah penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan (KBBI, 2008: 4). Dalam penelitian ini, penulis menggabungkan istilah intrik dan politik sebagai batasan istilah intrik politik yaitu usaha penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rakyat.

1.8. Pendekatan

(36)

Diawali dengan melakukan analisis struktural terhadap novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Langkah selanjutnya adalah melihat teks sejarah yang berkaitan dengan situasi politik di Yogyakarta pada tahun 1811-1825. Setelah itu. penulis memfokuskan pada peristiwa-peristiwa yang menghadirkan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Langkah terakhir adalah menarik relevansi antara intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah dengan situasi politik di Yogyakarta tahun 1811-1825 dalam beberapa teks sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan

Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey,Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padamkarya Sagimun MD,dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperium karya Sartono Kartodirjo.

1.9 Metode Penelitian

(37)

Metode penelitian meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data seperti berikut.

1.9.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka adalah studi yang mengambil objek penelitiannya dari kepustakaan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel, sebuah drama, sekumpulan puisi atau cerpen, babad, geguritan, tradisi lisan, dan sebagainya dianggap valid sebagai objek, baik untuk menyusun makalah, skripsi, tesis, dan disertasi ( Ratna, 2004:17). Metode tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu isi novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut.

(38)

memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak.

1.9.2 Metode Analisis Data

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode analisis, deskripsi, perbandingan, dan klasifikasi data. Metode analisis digunakan untuk menganalisis unsur alur dan intrik politik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado. Metode analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis, misalnya, karya sastra, maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra (Ratna, 2004:48)

Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2004: 48). Analisis isi laten akan menghadirkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan melahirkan makna.

(39)

alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72).

Metode perbandingan digunakan oleh peneliti untuk mengkomparasi novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado dengan beberapa teks sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir

Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey, Perdjanjian Gianti-Perang Pahlawan Dipanegara karya Soekanto, Pahlawan Dipanegara Berdjuang: Bara Api Kemerdekaan Tak Kunjung Padamkarya Sagimun MD,dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari emporium Sampai Imperium karya Sartono Kartodirjo. Metode perbandingan di sini terbatas pada pengertian metode perbandingan dalam hubungan intertekstual antara dua karya sastra yang saling menunjukkan persamaan. Prinsip metode perbandingan ini ialah persamaan antara karya sastra satu dengan karya sastra yang lain. Persamaan ini dapat berupa struktur, unsur pembentuk strukturnya, gaya bahasa, dan sebagainya.(Pradopo, 2002: 22)

(40)

1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Pasca menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif untuk menyajikan hasil analisis data. Metode deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72). Metode deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.

1.10 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.10.1 Sumber Data Primer

Judul Buku : Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Pengarang : Remy Sylado

Tahun Terbit : 2008

(41)

1.10.2 Sumber Data Sekunder

Judul Buku : Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 jilid II

Pengarang : Peter Carey Tahun Terbit : 2012

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan KITLV

Halaman : 507 Halaman

1.11 Sistematika Penyajian

(42)

BAB II

ANALISIS ALUR

NOVELPANGERAN DIPONEGORO: MENUJU SOSOK KHALIFAH

KARYA REMY SYLADO

Dalam upaya melakukan penelitian yang menggunakan pendekatan historis, maka penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural atau analisis unsur intrinsik. Penulis memfokuskan analisis struktur hanya pada analisis alur yang ada dalam novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, karena alur ceritalah yang sangat potensial menggambarkan intrik politik yang terjadi dalam novel ini.

Penulis menganalisis alur dengan menitikberatkan pada peristiwa-peristiwa penting dalam urutan waktu yang membentuk alur novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Tahapan alur yang digunakan penulis adalah lima tahapan alur menurut Nurgiyantoro. Nurgiyantoro membagi tahapan tersebut menjadi tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian (Nurgiyantoro, 2007: 149). Analisis alur novel ini akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 TahapSituation/Penyituasian

Tahap penyituasian adalah tahap awal dalam novelPangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Tahap penyituasian dalam novel ini berisi pengenalan

(43)

tokoh-tokoh cerita. Tahap ini juga menjadi pembuka cerita, pemberian informasi awal cerita yang melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap penyituasian dalam novel ini adalah sebagai berikut.

Dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, subjudul dimulai dengan nomor tiga puluh satu. Subjudul nomor satu hingga tiga puluh diceritakan pada novel sequel yang pertama yaitu Pangeran Diponegoro:

Menggagas Ratu Adil.

Pada subjudul nomor tiga puluh, alur dimulai dengan pengenalan tokoh bernama Bendara Raden Ayu Ratnaningsih. Ratnaningsih digambarkan sebagai wanita cantik berkulit langsat, bertubuh singset, dan berpenampilan luwes (Hlm.1-2).

Pengenalan tokoh Raden Ayu Ratnaningsih beranjak ke pembuka cerita yaitu peristiwa pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta. Kedatangan Pangeran Diponegoro ke keraton dalam rangka silaturahmi pada hari Lebaran. Dalam peristiwa pertemuan tersebut dipaparkan juga tokoh bernama Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah paman Pangeran Diponegoro yang berperan sebagai tokoh yang mempertemukan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro. (Hlm. 11)

Pertemuan antara Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro membuat mereka saling jatuh cinta. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(44)

lubuk hatinya, suatu kembaran pengalaman batin yang misterius, yang belum pernah dirasakannya sampai sepanjang usianya yang sekarang. (Hlm. 12)

Pembuka cerita berlanjut dengan pemunculan tokoh Ratu Ageng. Ratu Ageng adalah istri Sultan Hamengku Buwono I. Ia juga merupakan nenek buyut Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng adalah orang yang mengasuh Pangeran Diponegoro sejak kecil di Puri Tegalrejo.

Ratu Ageng melihat pertemuan Raden Ayu Ratnaningsih dengan Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng melihat bahwa Pangeran Diponegoro jatuh cinta terhadap Raden Ayu Ratnaningsih. Ratu Ageng segera meminta keduanya untuk menentukan tanggal pernikahan. (Hlm. 13)

Tahap penyituasian mulai mengarah pada sikap tokoh Pangeran Diponegoro. Terjadi konflik kecil dalam penentuan pernikahan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak suka melangsungkan pernikahannya menurut istiadat keraton. Di lain pihak, ibunda Pangeran Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati menginginkan anaknya menikah menurut istiadat keraton. (Hlm. 16)

Latar bergerak menuju ke Puri Tegalrejo, kediaman Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Dengan sikapnya yang melawan adat keraton, Pangeran Diponegoro berkata kepada Nenek Buyutnya, Ratu Ageng.

(45)

Sebagai tokoh protagonis dalam Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, Pangeran Diponegoro lebih memilih untuk terikat pada adat bangsanya yaitu bangsa Jawa dan rakyatnya. Pangeran Diponegoro tidak setuju jika harus terikat pada adat keturunan darah birunya yaitu sebagai anak tertua dari selir Hamengku Buwono III. (Hlm. 17)

Latar bergerak ke rumah Raden Ayu Ratnaningsih. Ibunda Pangeran Diponegoro, Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi berkunjung ke rumah Ratnaningsih. Kedatangan ibu dan paman dari Pangeran Diponegoro tersebut bertujuan untuk membujuk Ratnaningsih supaya Pangeran Diponegoro mau menikah menurut adat keraton. Pangeran Bei berpendapat bahwa keponakannya yang sama-sama mereka percayakan harapannya untuk menjadi pemimpin rakyat tidak ada artinya jika tidak menunjukkan asalnya dari darah seorang pemimpin. Ratnaningsih menuruti perintah Raden Ajeng Mangkarawati, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi untuk mencoba membujuk Pangeran Diponegoro agar mau menikah dengan adat keraton.(Hlm. 18-19)

(46)

Pada Subbab nomor tiga puluh satu, penyituasian bergerak pada sikap Raden Ajeng Mangkarawati. Raden Ajeng Mangkarawati mencari segala cara untuk membujuk anaknya supaya menikah dengan adat keraton. Mangkarawati tidak mungkin menyampaikan kegundahan tersebut pada suaminya, Sultan Hamengku Buwono III. Raden Ajeng Mangkarawati masih ingat bahwa suaminya yang baru saja naik tahta menjadi sultan karena rekayasa Raffless bahkan pernah ditolak Pangeran Diponegoro ketika ditawari jabatan di keraton. Satu-satunya harapannya adalah Atibroto Darmokusolo di desa Mojo, Surakarta yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Mojo. Tokoh ini cukup dihormati oleh Pangeran Diponegoro. Mangkarawati berharap dengan bantuan Kiai Mojo, Pangeran Diponegoro mau mengubah pendiriannya.(Hlm. 23-24)

Kiai Mojo diundang Raden Ajeng Mangkarawati ke Tegalrejo untuk membahas pernikahan Pangeran Diponegoro. Sebelumnya, Kiai Mojo sudah diminta bantuan oleh Raden Ajeng Mangkarawati untuk membujuk Pangeran Diponegoro supaya mau mengubah pendiriannya. Dalam rapat di Tegalrejo tersebut, Kiai Mojo gagal membujuk Pangeran Diponegoro untuk melangsungkan pernikahan sesuai adat keraton. Peristiwa tersebut membuat Kiai Mojo berpikir apa yang terjadi sehingga Pangeran Diponegoro bersikeras dengan sikapnya. Ketika rapat tersebut selesai dan ia pulang ke desa Mojo, Kiai Mojo berbicara sendiri di atas kudanya,

(47)

pribadi-pribadi Jawa yang pecah: meniru ha-hal lahir bangsa Barat yang kafir, dan mengira itu pantas, padahal keadaan rohani mereka tidak laras. ”pasti itu masalahnya”, Kata Kiai Mojo Bercakap sendiri di atas kudanya. Dia pun ingat bahwa gara-gara keadaan susila dan akhlak orang-orang di kraton sudah demikian kedodoran-dalam mana sultan sendiri tidak sanggup menjadi contoh yang baik- menyebabkan Ratu Ageng dulu menyingkir dari kraton dan membangun puri di Tegalrejo. (Hlm. 34)

Pada subbab tiga puluh dua, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan Kiai Mojo untuk berkunjung ke Surakarta. Pangeran Diponegoro sampai ke Surakarta pada siang hari. Sambil makan durian, Pangeran Diponegoro berdiskusi dengan Kiai Mojo dan para santrinya di pendopo Kiai Mojo. Mereka mendiskusikan tentang politik penjajahan Inggris yang tengah berkuasa di

Batavia, kebaikan dan keburukan raja-raja Jawa: Paku Buwono IV di Surakarta dan Hamengku Buwono III di Yogyakarta, roda bisnis orang-orang Cina, dan rakyat jelata yang makin susah tak bisa makan dan berpenyakit cacar. (Hlm. 43)

Baru pada malam harinya, Kiai Mojo menyampaikan maksudnya mengundang Pangeran Diponegoro ke Surakarta. Kiai Mojo menceritakan bahwa ibunda Pangeran Diponegoro pernah menangis di pendoponya karena pendirian Pangeran Diponegoro yang hanya mau menikah dengan adat rakyat biasa. Pangeran Diponegoro merasa sudah berkata pada nenek buyutnya bahwa ia harus membuktikan kalau ia bagian dari rakyat. Kiai Mojo memberikan saran kepada Pangeran Diponegoro untuk mengatakan apa yang pernah ia katakan kepada nenek buyutnya itu. (Hlm. 45-46)

(48)

Pada awalnya ia diundang ke Tegalrejo untuk menjelaskan tata cara pernikahan sesuai adat rakyat biasa karena reputasinya sebagai ahli budaya. Namun Ki Pujosubroto menjelaskan bahwa adat perkawinan Jawa yang benar harus terikat pada tata cara yang diterapkan keraton. Lebih lanjut, Ki Pujosubroto menjelaskan bahwa keratonlah yang menjadi benteng budaya Jawa termasuk tata cara pernikahan sejak Mataram Buddha sampai Mataram Islam. Dia juga menjelaskan bahwa justru rakyat Jawa yang mengindahkan adat istiadat tersebut. Pangeran Diponegoro tidak bisa membantah penjelasan Ki Pujosubroto. Setelah itu, Ki Pujosubroto menjelaskan tata cara pernikahan adat Jawa secara rinci dari kitab yang ia bawa di depan Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng, Raden Ajeng Mangkarawati, dan paman-pamannya yaitu Pangeran Bei dan Pangeran Mangkubumi. (Hlm. 49-52)

Setelah semuanya sepakat, maka persiapan lain segera diputuskan. Salah satunya adalah pemilihan tempat yang diputuskan oleh Ratu Ageng. Ratu Ageng memilih Puri Tegalrejo sebagai tempat pernikahan Pangeran Diponegoro. Bagi Ratu Ageng, Pangeran Diponegoro besar di Tegalrejo, maka pesta pernikahannya juga harus dilangsungkan di Tegalrejo. (Hlm. 59)

(49)

Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah karya Remy Sylado merupakan sekuel kedua dari novel sebelumnya yang berjudul Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil. Oleh sebab itu tahap penyituasian dalam novel ini tidak memuat gambaran pelukisan, pengenalan situasi latar, dan pengenalan tokoh secara terinci.

2.2 TahapGenerating Circumtances/Tahap Pemunculan Konflik

Tahap ini merupakan tahap ketika konflik awal mulai dimunculkan. Masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Konflik akan berkembang menjadi konflik pada tahap yang berikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149).

Pemunculan konflik dalam novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah mulai terlihat pada saat Pangeran Diponegoro mencoba melawan adat keraton dalam upacara pernikahan yang mulai direncanakannya. Masalah mengenai penentuan prosesi perkawinan Pangeran Diponegoro menggambarkan sikapnya yang membenci akhlak yang tidak baik akibat pengaruh dari penjajahan kolonial Inggris dan Belanda sebelumnya. (Hlm. 16)

(50)

diangkat oleh Gubernur Jenderal Inggris, Raffles. Danurejo IV digambarkan sebagai sosok yang tidak karuan, perangainya angkuh, dan congkak. (Hlm. 61)

Kemunculan Danurejo IV menyebabkan terciptanya konflik-konflik baru pada peristiwa-peristiwa berikutnya. Pemunculan konflik dimulai dengan intrik yang dilakukan Danurejo IV. Danurejo IV memanfaatkan pesta pernikahan Pangeran Diponegoro.

Danurejo IV mendapat undangan dari Tegalrejo dalam rangka pernikahan Pangeran Diponegoro. Pada awalnya, ia tidak begitu peduli dan hanya mengingat bahwa yang akan menikah itu adalah putra sulung Sultan Raja atau Sultan Hamengku Buwono III dari anaknya yang mencapai tiga puluh dua orang. Namun saat ia pergi ke Vredeburg, Danurejo IV bertemu dengan tokoh yang bernama Van Rijnst. Van Rijnst adalah tokoh orang Belanda yang sekarang bekerja untuk Inggris setelah Nusantara dikuasai oleh Inggris. Danurejo IV memberitahu kepada Van Rijnst tentang pernikahan salah satu anak Sultan Hamengku Buwono III, Pangeran Diponegoro. (Hlm. 61-62)

(51)

Hamengku Buwono III setelah menurunkan Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II, dilecehkan karena ketidaktahuan pihak Inggris tentang pernikahan anak Sultan Hamengku Buwono III tersebut. Selain itu, Danurejo IV juga menitikberatkan pembicaraan tentang pernikahan tersebut pada tempat perhelatannya yang dilaksanakan di luar keraton yaitu di Puri Tegalrejo. (Hlm. 62)

Dialog antara Van Rijnst dengan Danurejo IV di Vredeburg itu membuat Van Rijnst berpikir untuk memanfaatkan situasi tersebut. Van Rijnst ingin menghasut Crawfurd untuk memperoleh keuntungan pribadinya sebagai orang Belanda. Dalam pikirannya ia berbicara sendiri.

(4) “Ada hal ganjil di balik perhelatan putra Sultan Raja di Puri Tegalrejo dan bukan Keraton Yogyakarta.” Maunya, dengan membahas itu kepada Marlborough, tak usah Crawfurd, dia bisa pengaruhi kebijakan Inggris yang kepalang sudah menaikkan Sultan Raja di Takhtanya. Sementara dalam amatannya selama ini Sultan Sepuh sebagai Hamengku Buwono II yang sudah digeser oleh Raffles itu, lebih mudah dikendalikan oleh Belanda. (Hlm. 64)

Namun Crawfurd dalam pandangan Van Rijnst bukanlah orang yang mudah dihasut. Tokoh ini digambarkan sebagai residen yang berpenampilan serius khas orang Inggris. Usianya 29 tahun. Ia menjabat sebagai residen Yogyakarta pada periode 1811-1814 dan kemudian pada periode Januari 1816 sampai Agustus 1816. Keseriusannya tersebut membuatnya terkesan sebagai orang yang kaku. Selain itu, ia juga terkesan tak acuh kepada orang lain dan lebih sering duduk di meja kerjanya untuk menulis naskah History of the East Indian Archipelago. (Hlm. 71)

(52)

satu-satunya orang asing yang menunjukkan perhatiannya pada pribumi. Namun Marlborough saat itu sedang mengidap penyakit salesma. Timbul niat Van Rijnst untuk datang ke ruang kerja Marlborough menawarkan pengobatan tradisional Jawa yaitu mengerik-kerikkan uang sen ke kulit badan. Hal ini dilakukannya agar bisa mendekati Marlborough. Akhirnya Marlborough menyuruh Van Rijnst untuk meminta Danurejo IV mencarikan tukang kerik. (Hlm. 65)

Latar bergerak ke Tegalrejo. Di lain pihak, tiga hari sebelum perhelatan di Tegalrejo, Ratu Ageng memutuskan untuk mengundang pihak Inggris untuk datang ke acara pernikahan Pangeran Diponegoro. Orang yang diundang adalah Marlborough. (Hlm. 67)

(53)

Keraton Yogyakarta. Tujuan utama Danurejo IV sebenarnya terlihat dalam kutipan berikut

(5) Di luar itu, tujuannya yang utama adalah kepercayaan pihak Inggris akan semakin besar, dan jangkauan laba yang diraihnya dalam mengatur bisnis orang Cina akan semakin luas juga. Yang dia dambakan, jika Inggris menaruh rasa percaya kepadanya, dan namanya menjadi harum di mata penguasa tertinggi di Batavia yang beberapa waktu lalu menganugerahkannya sebagai patih, maka peta bisnis Cina yang bisa dipegangnya adalah seluruh bekas wilayah Mataram sebelum Perjanjian Giyanti: mulai dari Indramayu di barat sampai Blambangan di timur, termasuk Madura. (Hlm. 70)

Pada Subbab nomor tiga puluh lima, latar bergerak ke Puri Tegalrejo. Tiga hari sudah berlalu setelah Danurejo IV mengambil undangan pernikahan Pangeran Diponegoro milik Marlborough. Hari ini adalah hari pernikahan Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Ratnaningsih. Keterangan Ki Pujosubroto tentang seluk beluk adat dilaksanakan dengan semestinya. (Hlm. 75)

Di sisi lain, pada subbab nomor tiga puluh enam, Danurejo IV melaksanakan intrik yang ia telah rencanakan sebelumnya. Sebelum berangkat ke pernikahan Pangeran Diponegoro di Puri Tegalrejo, Danurejo IV singgah dulu ke Vredeburg. Seperti yang sudah ia rencanakan tiga hari sebelumnya, Danurejo IV baru memberikan undangan pernikahan Pangeran Diponegoro pada hari ini kepada Marlborough. Danurejo IV berhasil membuat Marlborough tidak datang ke pesta pernikahan Pangeran Diponegoro karena alasan undangan yang mendadak. (Hlm. 89-90)

(54)

ingin berterimakasih terhadap Van Rijnst karena sarannya menggunakan pengobatan kerik berhasil. Dalam pertemuan tersebut, Van Rijnst menanyakan kepada Marlborough perihal kedatangan Danurejo IV sebelumnya yang terlihat gembira. Pertanyaan itu yang menyebabkan Danurejo IV ketahuan berbohong kalau undangan pernikahan Pangeran Diponegoro diberikan baru hari ini. Marlborough menjelaskan bahwa Danurejo IV datang ke kantornya untuk memberikan undangan pernikahan tersebut. Ternyata Van Rijnst mengetahui bahwa undangan tersebut telah diberikan kepada pos penjaga Vredeburg tiga hari sebelumnya. (Hlm. 93-94)

Latar kembali ke Tegalrejo. Danurejo IV yang baru saja singgah ke Vredeburg, telah sampai ke Tegalrejo untuk menghadiri acara pernikahan Pangeran Diponegoro. Di tengah-tengah pesta pernikahan, Danurejo IV juga menghasut Pangeran Mangkubumi. Danurejo IV mengaku bahwa sebelum ke acara ini, ia sempat singgah ke Vredeburg untuk menjemput Marlborough, tetapi yang bersangkutan tidak mau. (Hlm. 95)

(55)

Pada subbab nomor tiga puluh tujuh, alur bergerak ke Batavia. Setting waktunya adalah bulan Desember 1812. Marlborough datang ke Batavia untuk merayakan pesta pergantian tahun bersama Raffles dan pejabat Inggris lainnya di Batavia. Sebelum berangkat ke Batavia, Marlborough ternyata menyimpan rasa penasaran terhadap peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro yang dilangsungkan bukan di kompleks keraton. Marlborough menyimpulkan bahwa seakan-akan Sultan Hamengku Buwono III mengalah untuk meninggalkan keraton guna mendatangi pesta pernikahan tersebut demi Pangeran Diponegoro. (Hlm. 101-102)

Pesta pergantian tahun tersebut sempat dinodai oleh peristiwa tenggelamnya kapal Inggris Phoenix yang membuat kapten kapal tersebut, James Bowen Esq meninggal sepekan sebelum tahun baru. Kapal tersebut karam setelah kalah dalam pertempuran dengan Pangeran Anom di Sambas, utara Pontianak. Seluruh pejabat Inggris di Batavia mengenakan pakaian hitam untuk menghadiri peletakan nisan James Bowen Esq. Peristiwa tersebut membuat Raffles tertekan karena memerintahkan James Bowen Esq untuk menyerang Pangeran Anom di Sambas tanpa konsultasi dengan komando militer. (Hlm. 103)

(56)

bukunya History of Java walaupun dalam posisi yang tertekan seperti sekarang. (Hlm. 103)

Peristiwa selanjutnya adalah perbincangan antara Raffles dan Marlborough tentang Yogyakarta pada malam hari. Raffles meminta Marlborough untuk menceritakan hal-hal menarik yang terjadi di Yogyakarta, kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan Crawfurd. Raffles memang tidak begitu menyukai Crawfurd. Marlborough yang sebelum datang ke Batavia masih penasaran dengan peristiwa pernikahan Pangeran Diponegoro, menceritakan kejadian tersebut kepada Raffles. Marlborough menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut merupakan isyarat kekuatan kharisma Pangeran Diponegoro sampai-sampai membuat ayahnya yang raja itu datang ke tempat yang ia pilih untuk pestanya. Raffles tertarik dengan cerita Marlborough tersebut. Raffles meminta Marlborough untuk mencatat apa saja yang dianggap perlu untuk penyusunan bukunya. Dalam perbincangan tersebut, Raffles juga memberitahu kepada Marlborough tentang rencana-rencananya mengelola Nusantara.

(6) Hal istimewa yang menjadi perhatian saya, dan itu akan saya wujudkan dalam tindakan, adalah pada tahun depan ini saya akan mengeluarkan peraturan tentang pelarangan melakukan praktik jual-beli budak. (Hlm.106)

Selain itu, Raffles juga menyampaikan pandangannya tentang Belanda. Menurutnya, Belanda sudah melakukan kejahatan buruk yaitu perbudakan. Raffles digambarkan sebagai tokoh yang sangat membenci Belanda. (Hlm.106-107)

(57)

disebutnya rahasia. Bersama dengan Trowt, tokoh yang juga dipercayai olehnya, Raffles melakukan pembicaraan serius dengan Marlborough. Raffles berpesan kepada Marlborough untuk selalu berhati-hati terhadap orang Belanda yang ada di Vredeburg. Marlborough mengatakan hanya ada satu orang Belanda yang ada di Vredeburg, yaitu Van Rijnst yang ia sebut sebagai ilmuwan. (Hlm.108)

Penjelasan mengenai tokoh Van Rijnst terlihat dalam perbincangan tersebut. Raffles menyanggah pernyataan Marlborough bahwa Van Rijnst adalah seorang ilmuwan. Menurut catatan-catatan dari orang-orang Belanda yang ada di Batavia, Van Rijnst adalah seorang oportunis yang memiliki banyak kasus eksploitasi manusia. Lebih lanjut, dalam konteks politik, Raffles berpesan kepada Marlborough untuk berhati-hati terhadap semua orang Belanda. Raffles juga menunjukkan sebuah salinan surat awal abad ke tujuh belas tentang kejahatan Belanda terhadap orang-orang Inggris. Melalui perbincangan tersebut, timbul kebencian Marlborough terhadap Van Rijnst. (Hlm.111)

Peristiwa kepergian Marlborough ke Batavia di atas menjelaskan adanya ketidaksesuaian kepentingan Inggris dengan orang-orang Belanda. Pemunculan konflik ini terus berkembang ke ke peristiwa-peristiwa berikutnya. Rencana untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono III adalah pemunculan konflik berikutnya.

Pada subbab tiga puluh delapan, Di Yogyakarta, Van Rijnst pergi ke rumah tokoh bekas residen Belanda pada zaman Daendels yang masih berada di Yogyakarta yaitu Engelhard. Terjadi percakapan di antara keduanya di serambi rumah Engelhard seperti pada kutipan berikut ini.

(58)

“Dengar? Dengar dari siapa?”(Hlm. 119)

Ternyata orang yang dimaksudkan Van Rijnst dalam dialog di atas ada di dalam rumah. Engelhard mempersilahkan tokoh bernama Muntinghe keluar dari dalam rumahnya. Dialog selanjutnya adalah seperti pada kutipan berikut.

(8) “Ya, saya tahu, karena saya bertemu langsung dengan Sultan Sepuh di tempat pembuangannya, bahwa dia bermaksud merebut kembali takhtanya yang sekarang diduduki oleh Sultan Raja,” Kata Muntinghe.

“Hambatannya, jangan lupa, Sultan Raja dinaikkan oleh Inggris, “kata Engelhard. “Ini memang rencana jangka panjang, “kata Muntinghe.

“Tujuannya apa?” tanya Van Rijnst.

“Rencana jangka panjang saya, saya ingin membuka tanah di sebelah Tegalrejo, “Kata Muntinghe. “Tanah itu bagus untuk investasi. Sementara Sultan Raja menghalang-halangi.” (Hlm. 119-120)

Muntinghe juga memiliki ide untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono III untuk melancarkan roda bisnisnya. Ia juga memanfaatkan hubungan yang tidak harmonis antara Sultan Hamengku Buwono III dengan Residen Crawfurd untuk melancarkan rencananya. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut

(9) “Makanya,” Kata Muntinghe, “Kalau Sultan Raja yang menghalang-halangi itu bisa mati sekarang, pandangan umum yang timbul adalah penguasa Inggris yang menghendaki kematiannya itu.” (Hlm. 120)

(10) “Bikin Sultan Raja sakit, supaya matinya alami. Cari resepnya dari obat Cina. Pasti orang Cina punya obatnya. Lalu, kalau Sultan Raja mati, bisa direka dulu untuk sementara hadirnya putra mahkota sebagai Sultan Hamengku Buwono IV, sampai Sultan Sepuh bebas dari pembuangannya.(Hlm. 121)

(59)

Muntinghe adalah tuan tanah yang memiliki kekayaan yang sangat besar. Ia lahir di Amsterdam, dan lulus sekolah tinggi hukum di Groningen. Pada awalnya kedatangannya ke Batavia di masa pemerintahan Gubernur Jendral Albertus H. Weise, ia adalah sekretaris kedua pemerintahan pusat. Sekarang di masa pemerintahan Inggris, Muntinghe adalah anggota Right Honorable the Governor General in Council. Kekayaannya diperoleh dari bisnis spekulasi pertanahan, membeli Pamanukan, Indramayu, Kandanghaur dengan harga $30.000 lalu disewakan kepada orang Cina $10.000 per tahun. (Hlm. 114)

Sementara itu Engelhard adalah bekas residen Belanda yang dipecat oleh Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1808. Karena pemecatan tersebut, kekayaannya berupa tanah sekitar mancanegara Yogyakarta, daerah burung walet di Karangbolong, dan penghasilan F 100 per tahun disita dan jatuh ke tangan Daendels. Setelah Daendels ditarik pulang ke Belanda, Engelhard belum sempat mengambil kembali kekayaan-kekayaannya tersebut karena Nusantara sudah direbut oleh Inggris. (Hlm. 128)

(60)

menjadi terkesan sombong di mata Muntinghe. Peristiwa tersebut sempat membuat Muntinghe kecewa dan enggan memanfaatkan Danurejo IV. (Hlm. 123-124)

Pada subbab nomor tiga puluh sembilan, tahap pemunculan konflik berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dialami Pangeran Diponegoro, Danurejo IV, Residen Crawfurd, dan Engelhard secara bersamaan. Danurejo IV ternyata menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekati Muntinghe. Peristiwa berikutnya adalah Danurejo IV kembali mendatangi rumah Engelhard bertemu dengan Muntinghe untuk menyampaikan penyesalannya. Namun Muntinghe sudah pergi ke Surakarta. Engelhard mengatakan kepada Danurejo IV kalau lusa kemungkinan Muntinghe kembali lagi ke rumahnya. Danurejo IV memohon Engelhard untuk mempertemukannya lagi dengan Muntinghe. Danurejo IV berharap mendapat keuntungan dari pertemuan tersebut. Engelhard memberitahu bahwa sebenarnya Danurejo IV akan diberi tugas yang sangat rahasia oleh Muntinghe. Engelhard kemudian menyuruh Danurejo IV menemui Van Rijnst di Vredeburg untuk mencari tahu tugas rahasia tersebut. (Hlm. 126)

(61)

Rijnst memberitahukan bahwa tugas tersebut bisa Danurejo IV laksanakan beberapa bulan lagi bertepatan dengan kepergiannya pulang ke Belanda. (Hlm. 127)

Di lain pihak, Marlborough yang pada akhir tahun 1812 berada di Batavia sudah kembali lagi ke Yogyakarta. Residen Crawfurd menanyakan perihal kepergiannya ke Batavia. Marlborouhg hanya memberitahukan bahwa di Batavia ia hanya diminta menceritakan situasi dan kejadian-kejadian yang menarik di Yogyakarta untuk bahan buku yang akan ditulis Raffles. Crawfurd sempat menanyakan perihal kabar bahwa dirinya akan segera ditarik oleh Raffles dari Yogyakarta. Namun Marlborough menjelaskan bahwa Raffles tidak menyinggung Crawfurd sama sekali. (Hlm. 132)

Alur berpindah ke kehidupan Pangeran Diponegoro. Setelah menikah, Saat ini Raden Ayu Ratnaningsih sudah hamil tujuh bulan. Sesuai adat Jawa, acara mitoni pun digelar. Ayah Pangeran Diponegoro yang hadir pada acara tersebut melakukan tradisi membanting kendi. Dalam kepercayaan Jawa, apabila kendi yang dibanting pecah, maka anak yang lahir adalah putri. Namun jika kendi yang dibanting tidak pecah, maka anak yang lahir adalah putra. Ternyata kendi tersebut tidak pecah. Segera setelah prosesi tersebut, Sultan Hamengku Buwono III mengajak Pangeran Diponegoro untuk berkuda ke Kaliurang besok harinya.(Hlm. 135-136)

(62)

para pengawal keraton. Sesampainya di Kaliurang, Sultan Hamengku Buwono III memberitahukan maksudnya mengajak Pangeran Diponegoro berkuda ke Kaliuarang. Ia gembira karena kendi yang dibanting pada prosesi mitoni hari sebelumnya, tidak pecah. Artinya anak Pangeran Diponegoro adalah laki-laki dan bisa menjadi penerus tahkta kesultanan Yogyakarta di masa mendatang. Dengan kata lain, Sultan Hamengku Buwono III menginginkan Pangeran Diponegoro menjadi Pangeran Adipati Anom, calon Hamengku Buwono IV. Namun Pangeran Diponegoro menolak terlibat dalam tatanan pemerintahan keraton. Ia masih tetap pada pendiriannya untuk menjadi rakyat biasa di Puri Tegalrejo. (Hlm.138)

Dalam peristiwa tersebut, Sultan Hamengku Buwono III juga menyampaikan beberapa firasat buruknya kepada Pangeran Diponegoro. Sultan Hamengku merasa ada orang-orang yang yang membahayakan kedudukannya. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut

(11) “Aku punya firasat buruk, Belanda sedang main di belakangku, entah dengan Paku Alam I entah pula dengan Danurejo IV.”(Hlm.139)

Sultan Hamengku Buwono III juga memberitahukan kepada Pangeran Diponegoro bahwa dirinya tidak menyukai Crawfurd. Namun Crawfurd dianggap Sultan Hamengku Buwono III tidak bermain di belakangnya. Ketidaksukaannya hanyalah karena masalah ketidakcocokan dalam menangani tatanegara di Yogyakarta. (Hlm.139)

(63)

sudah mengatur cara-caranya. Sultan Hamengku Buwono III mengatur dan menyewa kecu (perampok bayaran) untuk merampok dan membunuh Notokusumo dengan berpura-pura tidak tahu yang mereka bunuh adalah Notokusumo. Rencana tersebut tidak terlaksanakan karena para kecu takut terhadap kutukan yang bisa saja terjadi pada diri mereka meskipun Sultan Hamengku Buwono III menjamin akan menanggung akibatnya. (Hlm.141)

Ternyata percakapan Pangeran Diponegoro dengan Sultan Hamengku Buwono III didengar oleh mata-mata Belanda yang bekerja sebagai pengawal keraton. Pada malam harinya, mata-mata tersebut mendatangi rumah Engelhard dan memberitahukan isi percakapan antara Pangeran Diponegoro dengan Sultan Hamengku Buwono III. Pada saat itu, Muntinghe telah kembali ke rumah Engelhard setelah peristiwa sebelumnya pergi ke Surakarta. Mendengar keterangan dari mata-mata tersebut, Engelhard dan Muntinghe segera berpikir untuk melakukan politik adu domba antara Sultan Hamengku Buwono III dengan Paku Alam I. Mereka berencana menggunakan jasa Danurejo IV untuk menjalankan rencana-rencana itu. Rencana Engelhard dan Muntinghe menggerakkan alur menuju pemunculan konflik yang lebih kompleks. (Hlm.143-145)

(64)

meyakinkan bahwa Danurejo IV adalah sosok yang sempurna untuk menjalankan rencana-rencanya. Dalam pandangan Engelhard, Danurejo IV adalah sosok yang bisa menghamba pada siapapun yang memberikannya keuntungan besar. Walaupun Danurejo IV diangkat oleh Inggris, Ia tetap bisa dimanfaatkan untuk menjalankan apapun asalkan mendapat upah yang besar. (Hlm. 146)

Pada subbab nomor empat puluh satu, latar bergerak kembali ke Tegalrejo. Marlborough datang Mengunjungi Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Marlborough digambarkan datang dengan niat yang tulus dan dengan sopan santun yang menghargai tradisi Jawa. Peristiwa Kedatangan Marlborough ini terjadi dua hari setelah acaramitoniyang dilangsungkan di Tegalrejo. Kedatangan Marlborough ini dalam rangka silaturahmi sekaligus menyampaikan penyesalannya tidak hadir dalam acara pernikahan Pangeran Diponegoro delapan bulan sebelumnya. Peristiwa silaturahmi tersebut membuat Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro mengetahui bahwa tidak hadirnya Marlborough dalam pesta pernikahan Pangeran Diponegoro delapan bulan silam ternyata adalah rekayasa Danurejo IV.(Hlm. 150)

(65)

Danurejo IV menyatakan maksudnya datang ke rumah Tan Jin Sing di daerah Pecinan. Danurejo IV meminta bantuan Tan Jin Sing untuk meracik obat untuk dijadikan racun. Danurejo IV tidak memberikan keterangan apa-apa terhadap Tan Jin Sing perihal maksud menyuruhnya membuatkan racun. Danurejo IV hanya memberikan keterangan bahwa racun tersebut dikehendaki oleh Belanda untuk menimba keuntungan buat mereka. Awalnya Tan Jin Sing menolak niat tersebut. Tetapi akhirnya Tan Jin Sing tergoda setelah Danurejo IV memberikan uang dengan jumlah yang sangat banyak untuk imbalannya. Padahal uang-uang tersebut sudah dikorupsi oleh Danurejo IV sebelumnya setelah mendapatkannya dari Van Rijnst. Ketika Danurejo IV keluar dari rumah Tan Jin Sing, ia berpas-pasan dengan Ong Kian Tiong di daerah Pecinan. Ong Kian Tiong adalah pedagang keliling yang cukup dekat dengan orang-orang di Puri Tegalrejo. (Hlm 156-159)

Pada subbab nomor empat puluh dua, alur bergerak meloncat pada peristiwa kelahiran putra Pangeran Diponegoro. Pada malam harinya, digelar acara selamatan. Sultan Hamengku Buwono III ikut hadir disana. (Hlm. 165)

(66)

di tangan Muntinghe. Rencana adu domba tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut

(12) “Bunyi artikel 21 dalam perjanjian ini bisa jadi senjata untuk memperkeruh keadaan. “ Kata Engelhard kepada Danurejo IV. “Melihat bahwa Sultan Raja tidak melaksanakan perjanjian tentang keharusan memberi kelonggaran dan kesempatan kepada Notokusumo selaku Paku Alam untuk masuk dalam dinas gubernermen Inggris, maka sepatutnya Crawfurd menegur Sultan Raja. Menegur berarti menyalahkan kerja Sultan Raja, “kata Engelhard.(Hlm. 168)

Perjanjian tersebut memaksa Crawfurd untuk menegur Sultan Hamengku Buwono III. Dengan kata lain, hubungan Crawfurd dengan Sultan Hamengku Buwono III akan terkesan semakin mengeruh. Setelah itu, rencana untuk membunuh Sultan Hamengku Buwono III dengan racun dari Tan Jin Sing baru dilaksanakan. Dengan begitu, orang-orang akan menganggap bahwa Crawfurd lah yang paling dituduh. (Hlm.169)

Sultan Hamengku Buwono III akhirnya meninggal karena racun buatan Tan Jin Sing. Kematian Sultan Hamengku Buwono III membuat Pangeran Diponegoro terkejut. Pangeran Diponegoro kemudian datang ke keraton untuk melayat kematian ayahnya tersebut. (Hlm.170)

(67)

Pangeran Bei, Pangeran Mangkubumi dan Ratu Ageng untuk mengangkat adiknya, Ibnu Jarot menjadi Sultan Hamengku Buwono IV. Karena adiknya masih anak-anak, Pangeran Diponegoro juga menyarankan untuk menempatkan orang-orang dewasa yang arif untuk membimbingnya. (Hlm. 176)

Masalah yang timbul adalah orang-orang yang akan duduk mendampingi Ibnu Jarot akan ditentukan oleh pihak Inggris. Setelah Kematian Sultan Hamengku Buwono III, Crawfurd ditarik oleh Raffles dan digantikan oleh residen Garnham. Garnham lah yang akan menentukan orang yang akan mendampingi Ibnu Jarot. Kemungkinan terbesarnya adalah Danurejo IV.(Hlm. 177)

(68)

Pangeran Mangkubumi mendapat laporan dari Raden Tumenggung Pringgodiningrat mengenai rapat tentang penentuan pengganti Sultan Hamengku Buwono III yang berlangsung sebelumnya. Pangeran Mangkubumi marah karena pihak keraton tidak dilibatkan dalam rapat tersebut. Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Bei segera mengumpulkan kakak-kakak Ibnu Jarot dan memanggil Danurejo IV. (Hlm. 180)

Dalam pertemuan tersebut beberapa kakak Ibnu Jarot tidak datang. Salah satunya adalah Pangeran Diponegoro yang menyatakan keengganannya. Sebelumnya, Danurejo IV menjelaskan alasannya tidak melibatkan kakak-kakak Ibnu Jarot. Menurutnya orang-orang yang dia undang untuk menggelar rapat sebelumnya bersama Residen Granham adalah orang –orang yang dianggapnya bisa dipercaya. Mendengar pernyataan Danurejo IV tersebut, Pangeran Bei terpancing emosinya. Pangeran Bei emosi karena menafsirkan pernyataan Danurejo IV bahwa dengan kata lain orang keraton dan kakak-kakak Ibnu Jarot adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Pangeran Bei hampir memukul Danurejo IV, namun dicegah oleh Pangeran Mangkubumi. (Hlm. 181-182)

Alur bergerak terus ke rapat-rapat selanjutnya. Setelah rapat memutuskan Ibnu Jarot diangkat menjadi Sultan Hamengku Bunowo IV, rapat selanjutnya adalah membahas langkah-langkah penasihat-penasihat Ibnu Jarot. Dalam rapat tersebut, Danurejo IV memberikan pendapatnya seperti terlihat pada kutipan berikut.

(69)

(14) “Kita semua tahu orang Cina adalah bangsa pekerja yang paling tekun. Penyewaan tanah kepada orang Cina bisa menghasilkan keuntungan ganda: tanahnya tidak hanya ditanam padi, tebu, atau kopi, tapi dengan tanaman-tanaman itu jelas akan didirikan juga pabrik-pabriknya. Nah, sudah dapat dibayangkan lapangan kerja yang terbuka lebar bagi rakyat.”(Hlm. 183)

Semua orang yang mengikuti rapat tersebut diam karena ragu mendengar pendapat Danurejo IV. Di satu sisi pendapat Danurejo IV cerdas, tetapi di sisi lain sifatnya yang angkuh membuat mereka ragu kepada kesungguhannya. (Hlm. 183)

Keesokan harinya di Tegalrejo, Pangeran Mangkubumi menyatakan keraguannya kepada Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Pangeran Mangkubumi merasa Danurejo IV adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Ratu Ageng menanggapi bahwa apapun yang terjadi kalau Inggris mempercayainya, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Pangeran Diponegoro hanya mendengar tanpa merespon pembicaraan tersebut. (Hlm. 184)

(70)

Pada subbab nomor empat puluh empat, alur bergerak pada peristiwa pergantian dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono IV. Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ronodiningrat, dan Raden Tumenggung Mertodiningrat yang sebelumnya berkedudukan sebagai dewan perwalian Sultan Hamengku Buwono IV digantikan oleh Paku Alam I atas keputusan Raffles. (Hlm. 186-188)

Danurejo IV sangat marah dengan keputusan Raffles. Dengan demikian, rasa kebanggaan Danurejo IV hilang. Selain itu, kebiasaan hura-hura seperti minum-minuman beralkohol dari Eropa pun hilang. Pengaruh kebiasaan Belanda yang dibawa oleh Danurejo IV ke keraton cukup kuat walaupun pada saat ini adalah zaman penjajahan Inggris. Danurejo IV sendiri pada peristiwa-peristiwa sebelumnya adalah kaki tangan Belanda. (Hlm. 189)

(71)

kembali ke cita-cita kebangsaan beragama dari Sultan Agung dan Sultan Hamengku Buwono I (Hlm. 191-193)

Pangeran Mangkubumi datang ke Tegalrejo saat Pangeran Diponegoro dan Penghulu Mlangi berbincang-bincang. Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi sudah dihasut oleh Danurejo IV. Pangeran Mangkubumi menceritakan bahwa Danurejo IV baru saja bertemu dengannya. Hasutan Danurejo IV itu adalah perihal kedudukan Paku Alam I sebagai wali dari Sultan Hamengku Buwono IV. Dengan kata lain, Paku Alam I berkedudukan untuk mengatur Sultan Hamengku Buwono IV yang masih sangat remaja. Hal tersebut melecehkan trah Hamengku Buwono. (Hlm. 196)

Pada subbab nomor empat puluh lima, diskusi antara Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, dan Penghulu Mlangi terus berlanjut. Danurejo IV dan Paku Alam I dalam pandangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, dan Penghulu Mlangi telah gagal membimbing Ibnu Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Kedudukan keduanya justru membuat Ibnu Jarot berubah menjadi pribadi yang kebarat-baratan. Pangeran Diponegoro yang menilai adiknya sebagai pribadi yang baik tiga tahun sebelumnya akhirnya mau untuk ke keraton untuk menasehati Sultan Hamengku Buwono IV. (Hlm. 200-2003)

(72)

Yogyakarta. Kedudukannya sebagai residen akan digantikan kembali oleh Crawfurd. Residen Garnham juga mengatakan bahwa sedang terjadi perundingan antara Inggris dengan pihak Belanda. Perundingan tersebut untuk mengembalikan Nusantara kepada Belanda. (Hlm. 206-207)

Pada Subbab nomor empat puluh enam, latar bergerak ke Keraton Yogyakarta. Setting waktunya adalah awal Januari 1816. Pangeran Diponegoro datang ke Keraton setelah mendapat undangan perpisahan dari Sultan Hamengku Buwono IV dalam rangka acara perpisahan Residen Garnham. Rencananya, Pangeran Diponegoro ingin sekaligus menasihati Sultan Hamengku Buwono IV seperti yang telah ia janjikan sebelumnya dengan Pangeran Mangkubumi dan Penghulu Mlangi. (Hlm. 213)

(73)

Marlborough juga hadir dalam acara tersebut. Ia sempat ber

Gambar

Tabel 1 Relevansi Teks Sastra Intrik Politik Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah Karya Remy Sylado dengan Beberapa Teks Sejarah seperti Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Karya Peter Carey, Perdjanjian  Gia

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, yang menjadi pokok permasalahan adalah aspek sosial yang terdapat dalam novel Perjalanan Menuju Langit karya Muhammad Muhsin Lahajji dengan

Strategi politik yang terdapat dalam novel PRDCM karya Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut. 1) Perjuangan terbuka dan perjuangan diam-diam berupa penyelundupan

data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/ verifikasi. Hasil penelitian ini meliputi: 1) analisis kajian tentang latar sosiologis karya sastra novel Pulang

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel Pulang karya Leila S.. Chudori dan implikasi pada pembelajaran sastra di

Tujuan penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan konflik politik yang terkandung dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan analisis sosiologis; dan 2)

Penyimpangan alur tersebut berjumlah 32 alur, yang meliputi: (1) kewaspadaan Kretajaya terhadap Arya Pulung; (2) dendam Arya Pulung terhadap Kretajaya; (3) keadaan Tumapel

Tujuan penelitian ini adalah 1) Mendeskripsikan unsur struktural yang meliputi tokoh, alur, latar, tema dan amanat dalam novel Kronik Betawi karya Ratih