• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI

5.1.2. Rasio Return on Equity (ROE)

5.1.2. Rasio Return on Equity (ROE)

Dendawijaya (2000) mengemukakan bahwa rasio ROE lebih banyak diamati oleh para pemegang saham bank serta investor di pasar modal yang ingin membeli saham bank yang bersangkutan. Bagi para pemegang saham bank serta investor, rasio ROE ini penting untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran dividen. Jika rasio ROE suatu bank meningkat, maka berarti terjadi peningkatan laba bersih dari bank yang bersangkutan. Kemudian, peningkatan laba bersih tersebut akan menyebabkan peningkatan harga saham bank.

Gambar 5.3. memperlihatkan pergerakan ROE Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa. Tampak pada gambar tersebut bahwa pola pergerakan ROE dari ketiga bank tersebut tidak jauh berbeda dengan pergerakan ROA pada gambar sebelumnya. Pergerakan ROE Bank Persero sejak awal periode penelitian menunjukkan peningkatan secara perlahan-lahan, tetapi turun dalam jumlah yang cukup signifikan menjelang akhir periode penelitian. Penurunan yang terbilang cukup signifikan tersebut pertama kali terjadi pada Juni 2005, dimana

ROE turun sebesar 23,3 persen menjadi hanya sebesar 4,4 persen dari posisi Mei 2005 sebesar 27,7 persen. Penyebabnya ditengarai sama dengan penurunan ROA pada periode yang sama, yakni terkait dengan penurunan laba Bank Persero. Sementara, penurunan yang cukup signifikan untuk kedua kalinya terjadi pada Januari 2006. Penurunan ROE pada periode tersebut merupakan penurunan terbesar, sehingga ROE berada pada posisi -13,76 persen (posisi ROE terendah selama periode penelitian) dari posisinya pada Desember 2005, yakni 22,87 persen. Penyebab turunnya ROE ini masih terkait dengan penurunan laba bersih Bank Persero yang terkait dengan masalah risiko kredit. Kondisi terpuruknya ROE Bank Persero pada periode tersebut berimplikasi pada penurunan harga saham Bank Persero secara umum. Sejak Februari 2006 hingga akhir periode penelitian, secara garis besar terjadi perbaikan posisi ROE Bank Persero perlahan-lahan, meskipun jumlahnya masih di bawah rata-rata ROE pada tahun 2003 dan 2004.

ROE BUSN Devisa pada awal periode penelitian (hingga September 2001) bergerak dalam angka yang negatif, dengan titik terendah ROE pada Mei 2001, yakni -38,73 persen. Kondisi ROE yang negatif ini sangat erat kaitannya dengan kondisi laba bersih BUSN Devisa pada periode tersebut yang juga menunjukkan kondisi perolehan laba yang negatif (BUSN Devisa secara garis besar mengalami kerugian). Kerugian ini disebabkan oleh spread negatif akibat peningkatan suku bunga dana yang tinggi sementara suku bunga kredit tidak dapat dinaikkan dengan seketika, terganggunya arus pendapatan bank akibat meningkatnya jumlah kredit bermasalah karena banyak perusahaan yang collapse

pada masa krisis, serta berbagai kerugian yang terjadi akibat fluktuasi nilai tukar (Agung et.al. 2001). Namun, pada Oktober 2001 ROE BUSN Devisa meningkat dalam jumlah yang signifikan, yakni sebesar 40,11 persen menjadi 20,02 persen dibandingkan posisinya pada September 2001, yakni -20,09 persen. Peningkatan ini terkait dengan perolehan laba bersih pada Oktober 2001 sebesar Rp. 5.229 miliar dan telah membalikkan keadaan perolehan laba yang negatif pada bulan sebelumnya.

Gambar 5.3. ROE Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa

-40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 2001 2002 2003 2004 2005 2006 ROE_D TREND_ROE_D 0 4 8 12 16 20 24 28 2001 2002 2003 2004 2005 2006 ROE_ND TREND_ROE_ND -20 -10 0 10 20 30 40 2001 2002 2003 2004 2005 2006 ROE_P TREND_ROE_P

Keberhasilan BUSN Devisa dalam meningkatkan perolehan laba pada periode tersebut tidak terlepas dari peningkatan atau tambahan modal pada bank. Tetapi, secara keseluruhan dengan kemampuan mengatur dan mengalokasikan dana yang tersedia, BUSN Devisa mampu secara konsisten memperbaiki posisi ROE hingga akhir periode penelitian. Dengan kemampuannya untuk terus melakukan ekspansi kredit dengan bunga yang kompetitif serta kontrol yang kuat, membuat aset dan laba bank ini semakin meningkat, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan penambahan modal pada bank tersebut. Terbukti pada Desember 2006, ROE BUSN Devisa telah mencapai 20,04 persen.

Hampir sama kondisinya dengan pergerakan ROA, pergerakan ROE pada BUSN Non Devisa juga cenderung berfluktuasi. Fluktuasi ini disebabkan oleh kondisi perolehan laba serta permodalan BUSN Non Devisa yang cenderung mengalami perubahan dalam jumlah yang signifikan. Misalnya, ROE BUSN Non Devisa sempat mengalami penurunan pada September 2002 hingga ke posisi 3,72 persen (merupakan titik terendah ROE selama periode penelitian) dari posisi pada Agustus 2002 sebesar 15,05 persen. Pada periode tersebut, perolehan laba bersih BUSN Non Devisa secara keseluruhan hanya sebesar sembilan puluh miliar rupiah, turun drastis dibandingkan perolehan laba pada Agustus 2002 yang tercatat sebesar Rp. 342 miliar. Hingga akhir periode penelitian, tampak bahwa kinerja BUSN Non Devisa dari segi rasio ROE semakin menunjukkan penurunan. Kondisi ini dapat dilihat dari pergerakan rata-rata ROE sepanjang tahun 2006, yakni 11,82 persen, menurun dibandingkan rata-rata pergerakan ROE pada tahun 2004 dan 2005, yakni sebesar 19,95 persen dan 15,62 persen.

Gabungan trend pergerakan ROE Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa dapat dilihat pada Gambar 5.4. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada awal periode penelitian, starting point ROE tertinggi dimiliki oleh Bank Persero, disusul oleh BUSN Non Devisa, dan terakhir BUSN Devisa. Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi perubahan posisi ROE pada akhir periode penelitian. ROE tertinggi justru dimiliki oleh BUSN Devisa yang pada awal periode penelitian justru mempunyai ROE terendah dibandingkan dua kelompok bank lainnya. Sementara, posisi ROE Bank Persero kini lebih rendah dibandingkan ROE BUSN Devisa, yang diikuti oleh ROE BUSN Non Devisa.

Gambar 5.4. Trend ROE Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa Turunnya ROE Bank Persero diantaranya disinyalir akibat melambatnya ekspansi kredit dibandingkan BUSN Devisa yang semakin aktif meningkatkan pangsa pasarnya. Pelambatan ekspansi kredit pada Bank Persero salah satunya ditengarai akibat besarnya setoran dividen Bank Persero sebesar lima puluh persen dibandingkan BUSN yang hanya sebesar tiga puluh persen. Hal ini berimplikasi pada kemampuan bank dalam mengalokasikan dana bagi kebutuhan ekspansi kredit. Hal ini sejalan dengan peningkatan secara signifikan ROE BUSN

-20 -10 0 10 20 30 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Devisa selama periode penelitian dibandingkan dua kelompok bank lainnya (terutama Bank Persero). Besar kecilnya setoran dividen tampak mempengaruhi ROE kelompok bank yang bersangkutan. Karena perbedaan setoran dividen itulah, maka BUSN mempunyai dana modal yang lebih besar dari laba yang diperoleh untuk ekspansi kredit.

Namun, kesempatan ini tampaknya belum dimanfaatkan secara optimal oleh BUSN Non Devisa. Sepanjang periode penelitian, pergerakan ROE BUSN Non Devisa kurang menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kendala utama yang dihadapi oleh BUSN Non Devisa memang masalah permodalan. Secara individual, masih banyak bank yang tergolong BUSN Non Devisa yang memiliki modal di bawah ketentuan minimum yang terdapat dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yakni seratus miliar rupiah. Misalnya, berdasarkan data per Desember 2004, diketahui bahwa seluruh BUSN Non Devisa hanya memiliki modal sekitar Rp. 2,728 triliun atau rata-rata setiap bank hanya memiliki modal sebesar Rp. 77,94 miliar. Selain itu, tingkat pertumbuhan permodalannya pun sangat rendah. Selama kurun waktu empat tahun dari tahun 2001 hingga 2004, permodalan kelompok BUSN Non Devisa hanya tumbuh sebesar 13,28 persen atau bertambah hanya Rp. 320 miliar. Dengan kata lain, rata-rata pertumbuhan permodalan hanya 4,5 persen. Dengan kondisi terbatasnya modal seperti ini, sulit bagi BUSN Non Devisa untuk melakukan ekspansi kredit yang diharapkan dapat meningkatkan laba bersihnya, yang pada gilirannya akan meningkatkan ROE bank tersebut.