• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 River Basin Organization (RBO)

2.3.2 RBO di Indonesia

Kelembagaan atau institusi pengelola sumber daya air untuk Wilayah Sungai (WS) di Indonesia masih relatif baru yakni dimulai pada tahun 1995 (Kurniawan 2009). Pada awalnya pengertian pengelolaan SDA lebih berkonotasi sempit yakni kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Berkenaan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pengertian Pengelolaan Sumber daya air sudah mencakup pengertian yang lebih luas meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi-konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air (Gunalatika 2004).

Hingga akhir tahun 2008 di Indonesia telah terbentuk 59 UPTD Balai PSDA yang tersebar di 15 Provinsi dan 30 UPT BBWS/BWS dan 2 BUMN pengelola sumber daya air wilayah sungai, yakni Perum JasaTirta I (WS Brantas dan WS Bengawan Solo) dan Perum Jasa Tirta II (WS Citarum). Oleh karena itu secara keseluruhan telah ada 91 Pengelola SDAWS atau River Basin Organization

(RBO).

Menurut Sarwan (2009) secara garis besar, saat ini di Indonesia terdapat tiga model institusi pengelola sumber daya air wilayah sungai atau biasa disebut River Basin Organization (RBO), yakni: (a) RBO dengan O & M cost recovery di dalamnya terdapat pengusahaan sumber daya air wilayah sungai (PJT I dan PJT II); (b) RBO yang hanya melaksanakan O & P prasarana sumber daya air dengan biaya APBD (59 UPTD di bawah Dinas PU provinsi); dan (c) RBO dengan kegiatan lengkap mulai dari perencanaan, pengembangan dan O & P dengan biaya APBN dan belum melaksanakan OM cost recovery (30 UPT/BWS/BBWS dibawah Ditjen Sumber daya air, Kementerian Pekerjaan Umum).

a) Balai Besar/Balai Wilayah Sungai (BBWS/BWS)

Berdasarkan Permen PU Nomor 11A/PRT/M/2006 wilayah sungai lintas negara, lintas provinsi dan strategis nasional yang jumlahnya 69 buah merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber daya air (Wright dan Sanjaya 2007). Ketika melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah dalam hal ini Departemen PU dengan persetujuan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara membentuk

30 UPT BWS/BBWS yang terdiri 11 UPT BBWS dan 19 UPT BWS dengan wilayah kerja meliputi 69 WS kewenangan pusat.

Wilayah kerja UPT BBWS/BWS menggunakan wilayah kerja hidrologis/wilayah sungai. Namun dari 69 WS kewenangan pusat hanya ada 30 BWS/BBWS, sehingga satu BWS/BBWS umumnya mempunyai wilayah kerja lebih dari 1 WS. Namun dilain pihak, terdapat 1 WS (Ciujung-Cidanau, Cidurian, Ciliwung Cisadane dan Citarum) dengan 3 (tiga) UPT BBWS.

Pada awal tahun 2007 pembentukan unit pengelola SDAWS bergulir terus dengan bertambahnya 30 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Wilayah Sungai (BWS) dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pengelola SDAWS sebagai organisasi struktural yang berada dibawah Direktorat Jenderal Sumber daya air. Pembentukan 30 UPT BBWS/BWS tersebut merupakan konsekwensi logis dari adanya kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan SDA sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pasal 14, 15, 16 dan adanya sistem unified budget yang tidak dikenal lagi organisasi proyek (Sarwan, 2009). Pemerintah pusat mempunyai kewenangan melaksanakan pengelolaan SDAWS pada wilayah sungai yang bersifat lintas negara, lintas provinsi dan strategis nasional. Balai Besar Wilayah Sungai mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) Menyusun pola dan rencana pengelolaan;

2) Menyusun rencana dan pelaksanaan penyuluhan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai;

3) Melakukan pengelolaan SDA yang meliputi konservasi, pembangunan, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak;

4) Menyiapkan rekomendasi teknis dalam pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA;

5) Melaksanakan OP, pengelolaan sistem hidrologi dan pemberdayaan masyarakat.

b) Balai PSDA

Pada awalnya, Balai PSDA berbentuk satgas PSDA yang dibentuk di lima WS pilot. Satgas ini dibentuk dengan SK Dirjen Pengairan, bukan merupakan unit organik di bawah Ditjen Pengairan maupun Dinas PU Provinsi, namun bersifat

sementara dan bertanggung jawab kepada kepala dinas PU pengairan provinsi. Satgas PSDA ini cukup unik sebab yang membentuk adalah Dirjen Pengairan (pusat) namun bertangggung jawab kepada kepala Dinas Provinsi (daerah) dan SDM nya pun sebagian besar merupakan SDM campuran dari daerah dan PIPWS. Hal ini dapat dipahami karena pada saat itu belum ada kejelasan wewenang pengelolaan SDA sehingga muncul anggapan bahwa Dinas PU di daerah berafiliasi ke Departemen Pekerjaan Umum.

Kemudian, pada tanggal 23 Oktober 1996 Menteri dalam Negeri menerbitkan keputusan No. 179 Tahun 1996 tentang pedoman pembentukan dan Tata Kerja Balai PSDA. Dengan Kepmen Mendagri tersebut disiapkan pembentukan Balai PSDA sebanyak 30 buah di Pulau Jawa yakni Jawa Timur tahun 1996 (9 Balai) disebut Balai PSAWS, tahun 1997 di Jawa Barat 6 Balai PSDA, tahun 1999 di Jawa Tengah 7 Balai PSDA dan 2 Balai PSDA di DIY. Pembentukan Balai PSDA termasuk lima organisasi Satgas PSDA sebagai pilot untuk menjadi Balai PSDA. Fungsi Balai PSDA adalah:

1) Perumusan kebijakan operasional di bidang pengelolaan SDA;

2) Pembinaan pelaksanaan operasional di bidang SDA meliputi pembinaan program, pembinaan konservasi dan pelestarian, pembinaan teknik, pembinaan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan serta pembinaan pemanfaatan;

3) Penyediaan fasilitas dan sistem investasi pengusahaan SDA;

4) Pemberian perijinan pemanfaatan air dan SDA serta pelaksanaan pelayanan umum di bidang pengelolaan SDA;

5) Fasilitasi pelaksanaan pengelolaan SDA;

6) Pengawasan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan SDA; 7) Penyelenggaraan tugas-tugas ketatausahaan.

Tugas Balai PSDA lebih dititikberatkan pada pengelolaan WS dalam arti sempit (yakni OP SDA) sebagaiman dituangkan dalam Kepmendagri diatas. Melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 pengertian pengelolaan SDA menjadi sedemikian luas yakni upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Maka dalam merumuskan tugas dan fungsi UPT BBWS/BWS mengikuti pengertian yang ada dalam

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004. Tugas BWS/BBWS adalah melaksanakan pengelolaan sumber daya air yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi, serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi-konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.

Berkaitan dengan wilayah kerja antara UPTD/Balai PSDA yang saat ini berjumlah 59 buah dan UPT (BWS/BBWS) yang saat ini berjumlah 31 buah, separuh lebih mempunyai wilayah kerja yang saling overlaping. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar UPTD/Balai PSDA dibentuk mendasarkan pembagian wilayah sungai sesuai dengan Peraturan Menteri PU No. 39 tahun 1989 sedangkan wilayah kerja UPT (BWS/BBWS) mendasarkan wilayah sungai sebagimana diatur dalam Permen PU Nomor 11A Tahun 2006.

Pada saat penataan organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 41 Tahun 2007 dalam kenyataannya wilayah kerja UPTD/Balai PSDA hampir tidak mengalami perubahan bahkan ada kecenderungan jumlah UPTD bertambah banyak. Overlapping wilayah kerja antara UPTD dengan UPT tersebut dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan sering menimbulkan keraguan khususnya bagi rekan-rekan dari UPTD.

c) Model Perum Jasa Tirta (PJT I dan PJT II)

Permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sejak 30 tahun lalu dalam melaksanakan kegiatan O & P adalah keterbatasan dana. Keterbatasan ini mengakibatkan penurunan fungsi prasarana pengairan karena mengurangi umur teknis dan unjuk kerja bangunan tersebut. Akibatnya kemampuan mensuplai air guna memenuhi tuntutan berbagai sektor pemanfaat (pertanian, domestik, industri dan lingkungan) mengalami penurunan juga.

Guna menjawab persoalan di atas, digagas pendirian suatu badan usaha yang memiliki tugas pokok mengelola wilayah sungai beserta prasarana pengairan yang telah dibangun, sehingga pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai sektor dapat tersedia secara akuntabel. Pada tanggal 4 November 1986, dalam rapat yang dipimpin Menteri PU disepakati pembentukan suatu lembaga yang menangani wilayah sungai Kali Brantas dengan nama Perum Jasa Tirta Brantas. Selanjutnya, dalam PP Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perum Jasa Tirta dikukuhkan sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang berkedudukan di Kota Malang.

Pemerintah menerbitkan PP Nomor 93 Tahun 1999 (13 Oktober 1999) yang mengatur kembali keberadaan Perum Jasa Tirta. Sesuai Pasal 2 Ayat (2) dari PP tersebut, ditetapkan Perum jasa Tirta sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 5 Tahun 1990 diubah namanya menjadi Perusahaan Umum (Perum) JasaTirta I. Pada 14 september 2000 terbit Kepres Nomor 129 tahun 2000 dengan menambah wilayah kerjanya dengan Wilayah Sungai (WS) Bengawan Solo beserta 25 anak sungainya.

PJT I diberi wewenang memungut iuran eksploitasi dan pemeliharaan (EP) kepada para pengguna komersial dan hasil dana yang diperoleh digunakan untuk membiayai kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Melalui

pendiriannya, PJT tersebut mulai diterapkan prinsip "pemanfaat membayar” (user pay principle), meskipun hanya terbatas pada pemanfaat yang bersifat komersil saja seperti penggunaan air baku untuk air minum, airbaku untuk industri dan air baku untuk tenaga listrik.

Sebelum PJT I Brantas berdiri lebih dulu Perum Otorita Jatiluhur (POJ) yang mengelola WS Citarum telah dibentuk dengan PP Nomor 20 Tahun 1970. POJ merupakan peleburan dari berbagai institusi yang berada di wilayah Jatiluhur. Institusi-institusi tersebut adalah Proyek Irigasi Jatiluhur (Dep. PU), Proyek Pengairan Tersier Jatiluhur (Depdagri), PN Jatiluhur (Dep. Industri) dan Jawatan Jawa Barat Balai Daerah Purwakarta (Propinsi Jawa Barat). Dapat dipahami bahwa pada awal pendiriannya POJ memiliki wilayah kerja terbatas pada bagian hilir (wilayah Jatiluhur) dengan tugas pokok OP jaringan irigasi Jatiluhur dan pengelolaan tenaga listrik. Dengan demikian, POJ melaksanakan pelayanan umum yang bersifat sosial dan sekaligus pengusahaan air yang bersifat komersial. POJ memobilisasi dana iuran dari para penerima manfaat guna pembiayaan OP prasarana SDA dan pelaksanaan usahanya.

PP tentang POJ ini mengalami beberapa kali penyesuaian dengan terbitnya PP Nomor 35 Tahun 1980 dan disesuaikan lagi dengan PP Nomor 42 Tahun 1990. Selanjutnya terbit PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum dan POJ diubah dan disesuaikan dengan nama Perum Jasa Tirta II (PJT II) berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 1999.

Berdasarkan konteks pengelolaan wilayah sungai, kenyataan dil apangan menunjukkan bahwa peran PJT II berbeda dengan PJT I. Wilayah kerja PJT II lebih terkonsentrasi pada pengelolaan bendungan Jatiluhur dan wilayah pelayanannya di hilir, sedangkan di bagian tengah terdapat dua bendungan yaitu Saguling dan Cirata yang dibangun dan dikelola oleh PLN untuk pembangkit tenaga listrik. Demikian pula pada bagian hulu, dapat dikatakan kegiatan yang dilakukan oleh PJT II sangat minimal.