• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN

2.2 Realitas dan Imajinasi Politik dalam Kumpulan

Realitas lain yang ditampilkan dalam kumpulan cerpen ITPM adalah realitas politik. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa membaca kumpulan cerpen ITPM membawa ingatan pada berbagai peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi pra, saat, dan pasca reformasi.

Pun realitas politik dalam kumpulan cerpen ini tentang realitas politik yang terjadi di Indonesia pada masa-masa pra, saat, pasca reformasi, dan sebuah konklusi tentang realitas politik yang akan terjadi selamanya.

Berbicara tentang politik berarti berbicara tentang negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, politik berarti: pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan; segala urusan dan tindakan mengenai kenegaraan atau terhadap negara lain; dan cara bertindak dalam menangani masalah.

Politik dalam pembahasan ini adalah segala urusan dan tindakan mengenai kenegaraan. Etimologis kata politik berasal dari bahasa Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Dari polis ini kemudian diturunkan kata-kata lain seperti “politeis” (warga negara), “politikos” (nama sifat yang berarti kewarganegaraan), “politike techne” (kemahiran politik), dan “politike episteme” (ilmu politik).

Kemudian orang Romawi mengambil oper perkataan Yunani itu dan menamakan pengetahuan tentang negara (pemerintah) “ars politika”, artinya kemahiran tentang masalah-masalah negara. (Isjwara, 1982: 21)

2.2.1 Sebelum a. Hegemoni

Secara etimologis, kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani,

egemonia/egemon, yang berarti pemimpin/penguasa yang lazimnya berhubungan

dengan konteks kenegaraan. Sejak abad ke-19, hegemoni memperoleh makna baru. Pengertiannya menjadi lebih sering merujuk pada situasi tertentu saat terjadinya donimasi politik dari suatu negara kuat terhadap negara lain yang lemah.

Dalam terminologi Gramsci, hegemoni tidak hanya berarti satu dominasi politik dalam relasi antarnegara, tetapi juga bisa berarti dominasi pada bidang- bidang lainnya yang lebih umum seperti, pandangan hidup, kebudayaan, ideologi, dan sebagainya. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator. (Patria dan Arif, 1999:121)

Hegemoni, salah satu realitas yang terjadi di Negeri Bebek, negeri latar terjadinya cerita “Paman Gober”. Paman Gober adalah seorang yang sangat kaya raya. Pengaruhnya sangat besar terhadap setiap aspek kehidupan di negeri bebek. Ia menguasai perekonomian negeri bebek. Ia menjadi ketua perkumpulan unggas kaya di negeri bebek selama beberapa generasi. Ia menjadi penguasa yang tak tergantikan di Negeri Bebek. Para pelajar seperti Kwak, Kwik, dan Kwek sampai bingung dengan sejarah kepemimpinan di negerinya yang tidak pernah berubah. Para generasi di bawah Paman Gober juga sudah menyerah, tidak ada harapan bagi mereka untuk menjadi pemimpin.

Kenyataan lainnya adalah, meskipun sangat kaya raya, Paman Gober sangat pelit dan rakus. Ia hanya mengumpulkan kekayaan untuk dirinya sendiri. Di gudang uang miliknya, ia kerap menghitung kekayaannya. Ia punya resep makanan untuk membuat bebek-bebek rajin bekerja meskipun diberi upah yang sedikit.

Terhadap orang-orang di sekelilingnya, terhadap tetangga ia tidak pernah peduli. Tehadap Donal keponakannya, ia juga sangat pelit. Donal dan keponakan- keponakan Donal, Kwak, Kwik, dan Kwek, sering diperasa tenaganya dan dirampas haknya. Jika Donal memprotes maka subsidi untuk Donal akan segera diberhentikan. Meskipun demikian kedudukannya tidak tergantikan. Ia memang

sudah sangat tua, bulu-bulunya pun telah rontok. Tetapi kekuasaannya seolah-olah abadi. Tidak ada yang berani melawan, tidak ada yang berani bicara.

“Kalimat semacam itu masuk dalam buku otobiografinya, Pergulatan

Batin gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin

sukses. Hampir tiap bab dalam buku itu mengisahkan bagaimana Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan.” (Kematian Paman Gober, ITPM:7)

Kenyataan yang paling memprihatinkan dan menyedihkan bagi Nenek Bebek, sesepuh Kota Bebek adalah kenyataan bahwa Paman Gober, meskipun rakus dan pelit, ia menjadi pantutan. Ia dikagumi dan dicintai kanak-kanak sedunia. Kisah hidupnya dibukukan, dijadikan bacaan wajib bagi bebek-bebek yang ingin kaya. Paman Gober memang bukan tokoh teladan, tapi ia tidak dibenci. Ia memang akan menangis tersedu-sedu karena kehilangan uang satu sen, tapi ia menjadi legenda yang disukai. Bahkan jika ada orang yang berniat merusak reputasi Paman Gober, orang tersebut tidak mendapat simpati, alih-alih mendapat simpati, orang tersebut akan dimusuhi.

“Suatu hal yang menjadi keprihatinan nenek bebek, sesepuh Kota Bebek yang mengasingkan diri ke sebuah pertanian jauh di luar kota, adalah kenyataan bahwa Paman Gober dicintai kanak-kanak sedunia. Paman Gober menjadi legenda yang disukai. Paman Gober begitu rakus. Paman Gober begitu pelit. Tapi ia tidak dibenci. Setiap kali ada seseorang mengecam, menyaingi, pokoknya mengancam reputasi Paman Gober, sebagai orang kaya, justru orang itu tidak mendapat simpati. Paman Gober bisa menangis tersedu-sedu meski hanya kehilangan uang satu sen. Ia sama sekali bukan tokoh teladan, tapi mengapa ia bisa begitu dicintai?” (Kematian Paman Gober, ITPM:5)

Realitas yang ditampilkan dalam cerpen Kematian Paman Gober ini adalah potret situasi politik di Indonesia pra reformasi. Kisah Paman Gober ini adalah kisah hegemoni pemerintahan orde baru. Masa ketika Soeharto berkuasa di

Indonesia. 32 tahun Soeharto berkuasa dan kekuasaannya seolah-olah tidak tergantikan. Ia menguasai hampir di setiap bidang kehidupan. Ia memiliki banyak perusahaan, ia juga memiliki banyak harta kekayaan. Ia tidak pula dibenci, tetapi dielu-elukan sebagai Bapak Pembangunan. Setiap orang yang mengeluarkan kritik terhadapnya dituduh subversif dan ditahan karena menghina pemerintah. Tidak ada yang berani dan tidak ada yang bisa melawan. Kisah hidupnya pun ditulis secara heroik sebagai pahlawan bagi Indonesia, menjadi pelajaran sejarah wajib bagi anak-anak di sekolah tingkat dasar.

Ia terus memimpin Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Kekuasaannya tidak tergantikan. Pemilu tetap berlangsung, seolah-olah sangat demokratis. Calon-calon pemimpin yang lain serasa pelengkap saja, selalu ia yang terpilih, sampai-sampai seperti tidak ada calon yang lain.

“Bab terakhir diberi judul Sampai Kapan Saya Berkuasa? Memang, Paman Gober adalah ketua terlama Perkumpulan Unggas Kaya. Entah kenapa, ia selalu terpilih kembali, meski pemilihan selalu berlangsung seolah-olah demokratis. Begitu seringnya ia terpilih, sampai-sampai seperti tidak ada calon yang lain.” (Kematian Paman Gober, ITPM:7)

SGA menyajikan realitas yang terjadi di Indonesia ini ke dalam cerpen

Kematian Paman Gober dengan menganalogikan Soeharto sebagai Paman Gober.

Wikipedia, ensiklopedia elektronik berbahasa Indonesia mencatat bahwa Gober Bebek, atau Paman Gober, adalah bebek adalah fiksi yang diciptakan oleh dalam cerit 178, dipublikasikan ole

Selama beberapa dekade, Gober muncul dari sebagai karakter pendukung menjadi figur utama dunia Bebek, bahkan tercipta nama populer masih ada hingga kini. Dengan popularitas karakter ini terus meningkat, ia muncul dalam berbagai film dan permainan video. Gober, bersama dengan beberapa karakter terutama d

Nama Gober berasal dari novel dikonfirmasi oleh Barks, namun terdapat teori bahwa industrialis Skotlandia tahun, menjadi mode untuk Paman Gober (dalam

pada usia 13 tahun).

Contoh lain untuk Gober adalah karakter (tanpa nama) dengan karakteristik Gober: cambang, kacamata dan Namun bagi masyarakat kebanyakan Paman Gober dikenal sebagai tokoh dalam cerita komik Walt Disney. Paman Gober,seperti halnya Donal Bebek, Kwak, Kwik, Kwek, Lang Ling Lung, Gerombolan Si Berat, Mimi Hitam, Gus Angsa adalah tokoh komik Walt Disney yang sudah sangat familiar. Namun demikian di tangan SGA tokoh-tokoh yang biasanya mengundang tawa ini membuat pembaca tersenyum pahit. Betapa tidak, bagaimana selama ini orang-orang dapat mencintai

satu tokoh yang sangat pelit dan rakus. Jutaan orang “kanak-kanak sedunia” (hlm. 5) menyukai tokoh yang curang, licik, suka memeras, rakus, dan gila harta. SGA menjerumuskan pembaca pada pemikiran tersebut. Caranya adalah dengan menampilkan parodi yang melawan konvensi genre-nya sendiri. Biasanya prosedur sebuah parodi adalah dengan mengambil satu atau beberapa teks yang secara sengaja diimitasi –tepatnya diplesetkan. Efek pragmatik dari pemlesetan itu adalah apa yang biasa disebut sebagai “lucu”. Akan tetapi cerpen “Kematian Paman Gober” justru membalik arah prosedur ini, komik Paman Gober yang “lucu” sebagai hipogramnya, diplesetkan sedemikian sehingga menjadi sebuah cerita yang memberikan ironi yang “tidak lucu”. (Budiman, 2005:66).

Pemlesetan tokoh Paman Gober sebagai Soeharto juga sangat terlihat jelas pada petikan paragraf di bawah ini. Dan ketika Donal Bebek memberanikan diri untuk bertanya kepada Paman Gober mengapa ia tidak mengundurkan diri saja, menyepi dan merenungkan arti hidup ke tanah pertanian (Kris Budiman menulis Tapos, Budiman, 2005: 68), Paman Gober malah menjawab dengan rentetan pertanyaan retoris.

“Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang berani bicara.

“Paman Gober,” kata Donal suatu hari, “Mengapa Paman tidak mengundurkan diri saja, pergi ke pertanian seperti Nenek, menyepi dan merenungkan arti hidup? Sudah waktunya Paman tidak terlibat lagi dengan urusan duniawi.” “Lho, kau mau saja Donal. Aku mau hidup jauh dari Kota Bebek ini. Memancing, main golf, makan sayur asem, dan membaca falsafah hidup bangsa bebek. Tapi, apa mungkin aku menolak untuk dicalonkan? Apa mungkin aku menolak kehormatan yang diberikan segenap unggas? Terus terang, sebenarnya sih aku lebih suka mengurus peternakan.” (Kematian Paman Gober, ITPM:9)

Pada masa hegemoni itu, tidak ada yang tahu kapan perubahan akan terjadi. Semuanya terasa bagai mimpi. Berakhirnya kekuasaannya mungkin hanya

berakhir sesudah “Paman Gober” meninggal dunia. Tidak ada yang dapat dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu, kematian Paman Gober.

“Apakah ini hakikat hidup bebek?’ “Bukan, itu hakikat hidup Paman Gober.”

Sementara itu, di gudang uangnya yang sunyi, Paman Gober masih terus menghitung uangnya dari sen ke sen, tidak ditemani siapa-siapa. Matanya telah rabun. Bulunya sudah rontok. Sebetulnya ia sudah pikun, tapi ia tidak tergantikan. Semua bebek menunggu kematian Paman Gober. Tiada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk kota bebek membuka koran, yang ingin mereka ketahui cuma satu: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca berita kematian Paman Gober, di halaman pertama.” (Kematian Paman Gober, ITPM:11)

b. Tindakan Subversif dan Penculikan

Tindakan politis yang biasa dilakukan oleh penguasa untuk membungkam lawan politiknya demi mempertahankan hegemoni kekuasaannya adalah dengan melakukan tindakan-tindakan subversif seperti penculikan. Di Negeri Bebek, penguasa pun melakukan tindakan subversif dan mengancam setiap orang yang hendak melakukan perlawanan. Setiap bebek yang berani mengkritik akan disembelih.

“Bisa, tapi jangan asal meleter, nanti kamu kusembelih.”

“Aduh kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan oleh manusia.” “Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia?”

“Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?” “Yang jelas manusia bisa makan manusia.”

“Tapi paman mau menyembelih sesama bebek, apakah sudah mau meniru sifat manusia?” (Kematian Paman Gober, ITPM:8)

Dalam cerpen Taksi Blues realitas penculikan dan tindakan subversif terjadi di Jakarta. “Posisi di mana?” “Menteng.” (Taksi Blues, ITPM: 55) Sekelompok orang, mereka adalah bekas aparat yang dipecat, dijadikan kambing hitam atas aksi penculikan yang mereka lakukan atas perintah atasan.

“Waktu itu abang bilang cuma menuruti perintah atasan.” “Memang perintah atasan yang kita turuti waktu itu.”

“Tapi kenapa jadi kita yang salah? Kenapa kita yang dipecat? Bukan atasan kita?”

“Memang kenyataannya begitu Din, kita diperintahkan menculik Joni. Kita diperintahkan membuangnya di tepi jalan.” (Taksi Blues, ITPM: 67- 68)

Atas tuduhan tersebut, mereka dipecat. Memang benar mereka membunuh, tanpa pengadilan. Menghajar dan menembak korban tanpa dakwaan. Tapi mereka melakukan atas perintah atasan mereka di militer. Sedang atasan mereka yang memberi perintah, tidak terkena ganjaran. Ia masih sehat dan enak- enakan di rumahnya yang mewah, dengan kekayaan dan isteri muda. Geram melihat kecurangan ini, orang-orang tersebut mengadakan pembalasan. Menghukum atasan mereka itu sendiri, tanpa pengadilan, sama seperti perintah kepada orang-orang yang telah mereka culik.

“Kita harus pakai otak kita. Menculik orang yang belum jelas kesalahannya. Membunuh tanpa pengadilan. Menghajarnya dulu sebelum menembaknya. Mau dibolak-balik, itu tetap suatu kesalahan.”

“Itu perintah atasan toh, Bang?” “Yak!”

“Atasan kita ikut salah dong!” “Yak!”

“Tapi dia sampai sekarang tidak diapa-apakan. Enak-enakan di rumahnya yang mewah.”

“Dengan tujuh mobil.” “Dengan istri muda.”

“Yah. Dengan istri muda. Bangsat!”

“Yah. Orang-orang di atas itu memang bangsat!” (Taksi Blues, ITPM: 68- 69)

“Jadi kita menghukumnya sendiri Bang. Tanpa pengadilan, sama seperti dia lakukan kepada orang-orang yang kita culik bang?” (Taksi Blues, ITPM: 70)

Tindakan subversif ini adalah realitas yang terjadi di Indonesia sebelum reformasi. Di tahun 1998, banyak terjadi penculikan aktivis pro demokrasi. Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003 mencatat Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Indonesia menyimpulkan 22 orang tewas, 39 orang

mengalami luka tembak, dan 20 orang hilang dalam Peristiwa Semanggi. Pun pada masa-masa sebelum itu banyak terjadi penculikan terhadap aktivis-aktivis pro demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, siapa yang berani mengkritik pemerintah akan ditindak. Penembak misterisu (Petrus) pada masa itu juga sangat populer. Orang-orang yang dituduh subversif dapat dengan mudah dibunuh tanpa pengadilan.

Menyajikannya SGA memperlihatkan bahwa manusia bisa menjadi sangat kejam, bisa membunuh sesamanya jika merasa terusik dan terganggu kekuasaannya. Seorang supir taksi menjadi tokoh utama, terlibat percakapan dengan para pelaku penculikan yang hendak melakukan aksi balas dendam kepada atasannya. Perjalanan ke balik malam, demikian SGA menyebutnya.

c. Ketidakbebasan Pers dan Mengemukakan Pendapat

Negeri Bebek adalah negeri yang tidak demokratis. Kebebasan pers menjadi barang langka. Tidak ada lagi berita yang bisa dibaca di Koran. Semua berita dikendalikan oleh penguasa. Tidak ada lagi informasi yang berarti.

“Karena memang tiada lagi berita yang bisa dibaca di koran. Banyak kabar, tapi bukan berita. Banyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan pengetahuan.koran- Paman Gober, ITPM koran telah menjadi kertas, bukan media.” (Kematian:6)

Kebebasan mengemukakan pendapatpun tidak ada lagi di Kota Bebek. Bebek-bebek yang berani angkat bicara akan disembelih. Tidak ada lagi hak bicara.

“Ketika Donal bertanya dengan kritis, mengapa Paman Gober tidak pernah peduli kepada tentangga, bantuan keuangannya kepada Donal segera dihentikan.”

“Kamu bebek tidak tahu diri, sudah dibantu masih meleter pula.” “Apakah saya tidak punya hak bicara?”

“Aduh kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan oleh manusia.” “Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia?”

“Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?” “Yang jelas manusia bisa makan manusia.”

“Tapi paman mau menyembelih sesama bebek, apakah sudah mau meniru sifat manusia?” (Kematian Paman Gober, ITPM:8)

Realitas yang terjadi di Kota Bebek ini adalah realitas yang terjadi juga di Indonesia sebelum reformasi. Kebebasan pers terpasung. Tidak sedikit media yang dibredel dan ditutup, dituduh memprovokasi massa. Tidak ada lagi hak bicara dan mengemukakan pendapat. Datangnya reformasi disambut dengan sangat meriah oleh masyarakat. Euforia kebebasan berpendapat terjadi di mana- mana. Pers bernafas lega. Tidak ada lagi sensor pemberitaan, yang ada hanya kode etik pers. Tidak ada lagi pembredelan karena semua masalah bisa diselesaikan dengan hak jawab, hak koreksi, atau kewajiban koreksi dari media itu sendiri.

Data Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan majalah ini dari tanggal 15 -25 April 2003, terhadap 1.050 redponden di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Makasar bahwa lebih dari 37 persen responden mengaku merasakan kebebasan berorganisasi dan menentukan pilihan politik jauh lebih baik di era reformasi jika dibanding dengan era sebelum reformasi, era Soeharto. Lebih dari 35 persen responden mengaku kemudahan mendapat informasi dan kemudahan menyampaikan pendapat jauh lebih baik dibanding dengan masa-masa pemerintahan Soeharto.

Realitas yang terjadi ini disampaikan dengan mengimajinasikan masyarakat Indonesia seperti warga bebek. Secara semiotic, pemilihan karakter bebek untuk menggambarkan citra diri masyarakat Indonesia yang tidak punya kebebasan mengemukakan pendapatnya. Segala sesuatu ditentukan oleh

pemimpin dan yang lain silahkan “membebek”. Inilah citra diri masyarakat yang hendak disampaikan SGA.

Menggambarkan keterpasungan pers SGA menyebut tiada lagi berita yang bisa dibaca di koran. Banyak kabar, tapi bukan berita. Banyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan pengetahuan.koran, koran telah menjadi kertas, bukan media (Kematian Paman Gober, ITPM: 6).”

Pembredelan media ini tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Para pengusaha yang memiliki modal dan akses dengan penguasa o\pun dapat dengan “seenak perutnya” menuduh sebuah media memancing rakyat bertindak subversif.

“Kamu tidak akan membredelnya kan hanya karena membuat Sari tidak bisa tidurkan?” Suaminya hanya mendengus. Ia mendengus. Ia menyingkap gorden, melihat rembulan yang terang di atas pohon palem. (Dongeng Sebelum Tidur, ITPM: 23)

d. Persaingan Politik dan Kampanye Partai

Membaca cerpen “Sembilan Semar” dalam kumpulan cerpen ini membawa ingatan pada demam Semar dan kampanye Pemilu tahun 1996.

Dalam cerpen ini dikisahkan tentang kehadiran yang muncul tiba-tiba di berbagai sudut kota. Anak-anak buahnya melaporkan. Laporan ini membuat sang komandan aparat keamanan di Jakarta ini bingung. Delapan semar muncul secara bersamaan. Semar yang pertama kali muncul adalah Semar Putih di bundaran Hotel Indonesia. Ia marah-marah, tangannya menuding ke angkasa. Komandan menjadi ketakutan, karena semar yang marah adalah petaka. Lalu Semar Merah muncul di Patung Pizza, ia menari-nari menirukan tarian perang orang Indian. Semar Hijau menyusul kemudian. Ia muncul di dekat Patung Diponegoro, bertapa

dalam kerumunan orang banyak. Semar Hitam menggemparkan dengan aksi

bungee jumping di Patung Pemuda Menuding.

Kemunculan Semar Kuning membuat heboh di jalan tol, ia main skate board di atas kap mobil-mobil yang macet sepanjang jalan tol. Semar ungu melakukan aksi duduk di tangga Gedung Dewan perwakilan Rakyat. Semar oranye tiba-tiba muncul di layar tv, ia berada di antara pemain basket NBA, merebut bola dari Michael Jordan maupun Shaquille O’Neal, melakukan slam dunk sampai seratus kali di ring kedua tim.

Kemunculan Semar-Semar ini menimbulkan tanda tanya bagi komandan. Apakah ini hanya sebuah provokasi pihak-pihak tertentu atau benarkan Semar-Semar itu adalah Semar asli. Kalau memang asli, apakah mungkin Semar asli berjumlah delapan orang. Menentukan mana yang asli pun membuatnya bingung, orang-orang terlanjur percaya keaslian semua Semar itu.

Lagi pula kedatangan Semar ke dunia nyata adalah peristiwa besar. Tentu ada hal-hal penting perlu segera diselesaikan Semar. Klimaksnya, dalam kebingungannya, komandan diperhadapkan kenyataan sulit, ia telah berubah menjadi Semar Fiberglass.

“Lapor komandan! Ada Semar di Patung pizza.”

“Lho Semar lagi? Maksud kamu di bundaran Hotel Indonesia?” (Sembilan Semar, ITPM:29)

“Merah! Di Ha-I Semarnya putih!”

“Di sana yang gadungan, Komandan! Ini betul-betul Semar merah yang asli!” “Semar merah, Semar putih! Mana yang asli? (Sembilan Semar, ITPM:31)

“Laporan! Semar hijau di Patung Diponegoro dikerumuni orang banyak. Apakah yang harus saya lakukan? (Sembilan Semar, ITPM:34)

“Sudah tiga Semar yang muncul hari ini. Semar putih, Semar Merah, dan Semar hijau. Apakah maknanya? Semar-semar ini ketiga-tiganya

lebih meyakinkan sebagai Semar. Bisa saja ketiga-tiganya Semar asli. Apalah yang tidak mungkin bagi Semar bukan?” (Sembilan Semar, ITPM:35)

“Semar hitam, Komandan! Semar hitam muncul di Patung Pemuda Menuding.” (Sembilan Semar, ITPM:36)

“Semar putih mengacungkan telunjuknya ke angkasa dengan bibir bergetar menahan amarah di bundaran Hotel Indonesia. Semar merah berputar-putar menarikan tari perang orang indian di Patung Pizza. Semar hijau bertapa dikerumuni orang banyak di Patung Diponegoro. Semar Hitam menggemparkan dengan ataraksi bungge jumping di Patung Pemuda Menuding.” (Sembilan Semar, ITPM:37)

“Semar kuning main skate board di atas kap mobil-mobil yang macet sepanjang jalan tol. Semar ungu melakuakan aksi duduk di tangga Gedung Dewan perwakilan Rakyat. Semar oranye tiba-tiba muncul di layar tv, ia berada di antara pemain basket NBA, merebut bola dari Michael Jordan maupun Shaquille O’Neal, melakukan slam dunk sampai seratus kali di ring kedua tim.” (Sembilan Semar, ITPM:38) “Hari ini delapan semar datang ke Jakarta, tulis Komandan itu dalam catatan hariannya, aku sudah berlatih untuk menghadapi setiap kejutan, tapi tidak kejutan seperti ini. Sayang sekali, foto-foto yang dibuat para wartawan tidak ada yang jadi. Sampai sekarang aku tidak tahu, Semar itu sebenarnya betul-betul ada atau tidak.” (Sembilan Semar, ITPM:41) Kehadiran sosok Semar dalam cerpen ini mengingatkan kita akan demam Semar dan kampanye partai di tahun 1996. Pada masa itu partai-partai politik dengan label msing-masing berlomba-lomba menarik perhatian

Dokumen terkait