• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN

2.1 Realitas dan Imajinasi Sosial dalam Kumpulan

2.1.3 Sesudah

Masa sesudah reformasi adalah masa-masa peralihan. Orang-orang menanti perubahan yang telah dijanjikan reformasi. Cerpen-cerpen di subbab “sesudah” pada kumpulan cerpen ITPM ini menggambarkan situasi sosial di Indonesia pasca reformasi. Berikut ini adalah realitas sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen ITPM.

a. Pertentangan Rasial dan Trauma Sosial

Pertentangan rasial adalah konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat karena adanya perbedaan ras. Konflik tersebut membekas menjadi trauma sosial bagi masyarakat. Masyarakat menjadi jadi saling curiga, tidak ada lagi rasa percaya kepada kelompok sosial yang berbeda ras.

Mayat-mayat dibiarkan begitu saja teronggok di jalanan. Mayat orang- orang yang dikasihi salah satu golongan masyarakat di negeri latar terjadinya cerita ini, ditinggalkan seperti bangkai-bangkai di tepi jalan. Banyak anggota keluarga mereka yang telah meninggal karena diare, muntah-muntah, atau tidak tahan lagi terhadap luka bacokan yang diterima. Mereka tidak punya waktu lagi untuk mengadakan upacara penghormatan, sekadar pemakaman yang layak.

Mereka bukan terlalu sibuk dengan rutinitas kerja, melainkan mereka harus berjuang untuk menyelamatkan diri sendiri. Berlari atau Eksodus sejauh mungkin agar terbebas dari ancaman kelompok lain yang ingin menghabisi keberadaan kelompok mereka di muka bumi. Mereka berjuang menyelamatkan diri. Sebab membuang-buang waktu (termasuk untuk pemakaman) berarti bunuh diri. Tertinggal di barisan belakang berarti siap-siap menjadi korban hunusan pedang lawan.

Realitas inilah yang terjadi pada masyarakat di negeri latar cerita (tidak disebutkan nama negerinya). Pertentangan rasial terjadi. Satu kelompok ingin menumpas kelompok rasial lainnnya. Kelompok yang satu merasa terganggu dengan kehadiran kelompok lainnya. Keamanan dan kenyamanan mereka terasa terusik.

“Jenazah atawa mayat atawa bangkai itu akhirnya kami tinggalkan begitu saja di tepi jalan. Kami tidak punya waktu untuk segala macam upacara. Setiap kali seseorang meninggal karena diare, muntah-muntah, atau tidak tahan lagi dengan luka-luka bacokan, kami hanya meninggalkannya dengan doa secukupnya.” (Eksodus, ITPM:185)

Hal yang paling memprihatinkan adalah ketika kelompok minoritas yang terpojokkan tersebut kembali ke tanah asal mereka, mereka ditolak. Mereka dianggap orang asing di negeri yang telah mereka tinggali selama beberapa generasi dan di negeri asal mereka.

“Ya, tapi orang tua kami berasal dari sini dan kami tidak mempunyai tempat lain untuk pergi. Di tempat pengungsian orang-orang selalu berkata, “Pergilah kalian wahai pendatang, kalian hanya akan menimbulkan masalah di sini. Tidak ada tempat lain untuk pergi.”

“Tidak juga di sini.” (Eksodus, ITPM:192)

Luka penolakan itu meninggalkan bekas. Menjadi trauma sosial, menjadi ingatan yang hampir hilang. Ingatan tentang hidup tentram yang pernah dijalani bersama orang-orang yang kini berbalik menyerang mereka. Orang-orang yang pernah hidup berdampingan bersama, hidup seperti saudara telah menjadi musuh. Tidak ada lagi senyum ramah atau tawa yang renyah. Semua berubah seringai yang buas dan hati yang kejam tiada ampun. Kenyataan pahit ini menyisakan trauma sosial bagi kelompok minortas ini. Trauma sosial yang akan terus membekas selama beberapa generasi.

“Izinkan kamu menyelamatkan diri dengan ingatan yang hampir hilang, hampir terbang karena tiada pernah mengira betapa orang-orang yang

pernah hidup seperti saudara dengan senyum mereka yang ramah dan tawa mereka yang renyah bisa tiba-tiba berubah ganas begitu buas begitu kejam tanpa ampun tiada terkira.” (Eksodus, ITPM:187)

“Mereka merajam siapapun tanpa belas kasihan. Orang tua, wanita dan anak-anak, dan orang sakit, dibunuh dengan kejam.

“Para pendatang, pergilah jauh-jauh dan jangan kembali kalau kalian masih ingin hidup. Enyahlah. Pergi. Kami tidak ingin melihat kalian lagi.” (Eksodus, ITPM:190)

` Realitas ini jugalah yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Kerusuhan rasial yang terjadi saat reformasi berlangsung masih menyisakan luka dan pertentangan-pertentangan. Kaum-kaum minoritas yang dianggap mengancam kesejahteraan kaum mayoritas masih saja ditekan. Masyarakat Cina dengan segala eksistensinya belum mendapat tempat dalam peradaban pribumi. Cina dianggap sebagai pembuat onar, pengganggu stabilitas hidup masyarakat.

Kaum keturunan Tionghoa sebagai korban kerusuhan Mei 1998 tidak dengan cepat dapat melupakan luka, penyiksaan, dan penyerangan yang telah mereka alami. Bekasnya tidak saja pada cacat fisik, kehilangan orang-orang tercinta, dan melahirkan anak hasil pemerkosaan, ada luka batin yang menjadi trauma sosial. Kepercayaan itu tidak dengan mudah menjadi pulih. Banyak yang eksodus, pindah ke luar negeri. Indonesia menyisakan luka pada ingatan.

Seperti di tulis Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003 tentang trauma yang tersisa di ingatan para korban kerusuhan Mei 1998. Adalah Atju dan Awi suaminya, mereka adalah keturunan Tionghoa korban kerusuhan rasial Mei 1998. Saat Jakarta dilanda kerusuhan hebat, massa tidak melewatkan menjarah dan membakar toko milik Atju.

“Peristiwa tragis itu tentu saja menimbulkan trauma yang dalam bagi pasangan suami-istri itu. Apalagi, menurut Bea, mereka membangun toko ini dengan cucuran peluh dan air mata selama 30 tahun. Selalin itu satu- satunya bisnis yang mereka pahami hanya berjualan bumbu masakan.

Dalam film hitam-putih, ia (Bea Wiharta, Fotografer Reuters) merekam setiap kejadian yang dialami keluarga ini, mulai dari puing bangunan yang terbakar hingga toko yang akhirnya berdiri kembali. Bea juga mengabadikan setiap proses yang dilewati oleh pasangan suami-isteri ini. Ada adegan saat mereka tetap gigih berjualan di sela-sela bangunan yang terbakar, megupas bawang dan meracik bumbu untuk dijual kembali, bahkan mengantar barang dagangan ke langganan dengan berjalan kaki atau mengengkol sepeda tua. Dan tanpa harus berkata banyak, esai foto Bea bercerita lebih banyak dari kata-kata itu sendiri.” (Tempo edisi 23 Mei 2005: 130)

Trauma juga dialami para korban pemerkosaan kerusuhan Mei 1998. Banyak di antara mereka yang tidak ingin kembali dan tinggal di Indonesia lagi. Seperti Dini (Tempo edisi 25 Mei 2003:169), Dini salah satu perempuan keturunan Tionghoa korban pemerkosaan yang memilih tinggal di Amerika Serikat. Dini bersaksi kepada majalah Tempo bahwa ia telah diperkosa tiga lelaki tegap berambut cepak sekitar tanggal 15 Mei 1998. Setelah peristiwa itu, Dini memilih tinggal di Amerika Serikat. Cerita yang sama juga terjadi pada Lina, Lina pun akhirnya tinggal bersama dengan tantenya di Taiwan.

“Kesaksian lain diungkap Nyonya Wati. Selain Mei Ling, ia juga pernah menolong seorang korban lain. Namanya Lina (bukan nama asli, pun keturunan Cina). Umurnya baru 14 tahun. Ketika itu, 14 Mei 1998 sekitar pukul 15.00, Lina baru pulang sekolah. Seperti biasa, begitu tiba di rumahnya di Kawasan Kapuk, ia lalu menyiapkan kue bikinan ibunya untuk dijual ke warung.

Baru berjalan beberapa meter, tiba-tiba ia dihadang massa beringas. Gadis itu lari ketakutan ke dalam rumah. Tapi belasan laki-laki mengejarnya. Lina lalu “digarap” beramai-ramai. “Saya tidak ingat berapa orang, pokoknya banyak,” Wati menirukan.

Aksi binatang itu membuat jiwa Lina terguncang. Seperti Mei Ling, tiap kali melihat lelaki, juga perempuan bercelana panjang, ia mengkerut ketakutan.

Malangnya lagi setelah itu menstruasinya tak kunjung datang. Rupanya dia hamil. Setelah konsultasi dengan dokter dan rohaniawan, keluarga memutuskan dia untuk menggugurkan si jabang bayi.

“Saya mengantar dia ke dokter kandungan,” ujar Wati, yang satu setengah tahun menampung Lina dirumahnya. Syukurlah setelah menjalani terapi intensif, remaja itu pulih kembali. Akhirnya, pada tahun 2000 Lina diboyong tantenya ke Taiwan. Setahun lalu ia berkirim surat. Kepada Wati, Lina mengabarkan: kini ia telah menikah.” (Tempo edisi 25 Mei 2003: 169)

Trauma tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat keturunan Tionghoa korban kerusuhan Mei 1998. Taruma itu juga tersisa pada masyarakat pribumi yang menyaksikan secara langsung persitiwa kerusuhan tersebut. Bambang, seorang purnawirawan menjadi trauma sampai akhirnya mengundurkan diri dari militer. Tak tanggung-tanggung Bambang pun mengabdikan hidupnya pada agama. Ia menyaksikan sendiri kerusuhan Mei. Ia ditugaskan untuk memimpin pasukan untuk mengamankan kerusuhan kala itu, tetapi ia tidak dapat melakukan apapun. Kekuatan massa terlalu besar. Ia hanya bisa marah dan bingung, tanpa bisa berbuat apapun. Akhirnya pasukan pun ditarik.

“Mimpi buruk itu rupanya membekas dalam dirinya. Akhirnya, tak lama setelah kerusuhan Mei 1998, Bambang pun memilih mengundurkan diri dari militer. Ia lalu menjauhkan diri dari senjata., dan mengabdikan sisa hidupnya dengan melayani seorang pemuka agama.” (Tempo edisi 25 Mei 2003: 160)

Pertentangan rasial yang terjadi di Indonesia pasca reformasi tidak hanya antara pribumi dengan masyarakat keturunan Tionghoa. Perang antar suku juga terjadi. Pada November 1998, terjadi tragedi berdarah di Ketapang, Jakarta Pusat. Perkelahian antara pemuda Ketapang dengan kelompok pemuda Ambon. Perkelahian tidak hanya antar suku saja tetapi membawa isu agama. Pada 25 Agustus 1999 juga terjadi bentrokan antara kelompok pro kemerdekaan dengan aparat kubu pro otonomi di Dili. Mereka sama-sama masyarakat Timor-Timur.

Berangkat dari realitas tersebut, SGA menyajikannya dalam cerpen

negeri. Kelompok minoritas ditindas, dibunuh, dan dicecar. Menggambarkan kengerian tragedi rasial di Indonesia tersebut, SGA menggambarkannya sebagai terkepung seperti binatang buruan. Manusia kehilangan harga dan arti. Manusia dibunuh dan dibantai seperti binatang. Tidak ada lagi perikemanusiaan.

“Ketika mereka datang menyerbu dan membakar rumah kami, mereka menembaki siapapun yang lari ke luar dari dalam rumah. Kami terkepung seperti binatang buruan.” (Eksodus, ITPM:185)

Betapa hebatnya perang antar ras tersebut diceritakan dengan menyebutkan jumlah satu kelompok ras yang tinggal setengahnya karena habis terbantai. Sesampainya di negeri asal mereka, mereka juga dianggap asing lalu diusir.

“Ketika kami tiba di tempat yang disebut sebagai tempat asal kami, jumlah kami tinggal separuhnya. Tempat yang disebut sebagai tempat asal kami ini jauh lebih asing daripada tempat di mana kami disebut sebagai pendatang. Kami tidak mengenal apapun di sini. Udaranya terlalu panas bagi kami. Bahasanya memang kami kenal, tapi rasanya diucapkan dengan cara yang lain. Ketika kamu turun dari kapal, orang-orang dari tempat yang disebut sebagai tempat asal kami itu memandangi kami seperti orang-orang asing.” (Eksodus, ITPM:191)

Sampai akhirnya yang tersisa dari kaum itu hanyalah satu orang saja. Setelah mengembara tanpa henti, mencari tempat yang mau menerima kehadiran mereka, yang tersisa hanya satu orang saja. Si aku, tokoh dalam cerita, pencerita akuan yang mengisahkan perjalanan kelompok suku mereka. Hanya ia yang tersis di bawah terik matahari. Sayangnya tak satu pun juga yang dapat menerima kehadirannya. Meski tinggal seorang diri. Ia dipandang sebagai bagian dari kaum yang mendatangkan petaka dimanapun.

Sekalipun ia telah berjanji tidak akan bekerja, hanya mengemis dan bersembahyang saja. Sehingga tidak mungkin ia dapat menguasai perekonomian

dan perdagangan. Ia tetap tidak diterima sebagai pendatang. Tidak ada tempat bagi Si Aku di manapun.

“Kemudian, dari suku kami yang telah terus mengembara tanpa henti itu, tinggal aku sendiri yang berdiri di bawah terik matahari. Di depan sebuah pintu gerbang kota, seorang penjaga perbatasan menahan diriku.” (Eksodus, ITPM:195)

“Orang asing, kasihan benar dirimu, tapi aku tidak bisa menolongmu. Kamu tidak boleh memasuki kota ini. Kamu berasal dari suku yang menimbulkan masalah di tempat baru. Maaf, kami tidak bisa menerima kamu.” (Eksodus, ITPM:196)

“Aku tidak akan bekerja, tidak akan berdagang, dan tidak akan melakukan kegiatan apapun yang mengganggu kehidupan kalian. Aku hanya mau hidup. Meski hanya dengan menjadi pengemis di kota ini. Dengan begitu aku tidak akan pernah mengambil alih , apalagi menguasai kegiatan hidup kalian. Aku hanya akan mengemis dan bersembahyang. (Eksodus, ITPM:196)

b. Kejahatan yang Abadi

Kejahatan yang abadi berarti kejahatan yang ada untuk selamanya. “Kejahatan terjadi disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perikelakuan-perikelakuan sosial lainnya.” (Soekanto, 1982:380).

Desa tempat tinggal Si Aku tinggal telah berubah menjadi kota. Waktu yang berlangsung selama 200 tahun telah membawa perubahan besar. Sawah- sawah yang biasa dilalui tokoh dan tempatnya menunggu kedatangan kekasihnya di pinggiran desa telah berubah menjadi pasar dan gedung-gedung megah. Jalan- jalan sudah beraspal dan ujungnya tergabung dengan jalan tol. Sisa-sisa masa lalu hanya pohon beringin besar dan Si Aku yang telah menjadi patung.

“Aku mendengar desaku tumbuh menjadi kota, sawah-sawah berubah menjadi pasar dan di belakang pasar itu tumbuh gedung-gedung yang megah. Matahari senja yang turun selalu terjepit di antara gedung-gedung bertingkat itu. Jalanan setapak di depanku kini beraspal, dan di ujungnya

bersambung dengan jalan tol. Hanya tinggal aku dan pohon beringin yang masih tertinggal dari masa lalu. Muncul jalan kereta api entah dari mana, dan di belakang punggungku nampaknya di bangun sebuah stasiun.” (Patung, ITPM: 168)

Tokoh Aku telah menjadi patung. Selama dua ratus tahun menanti kedatangan kekasihnya melawan iblis. Kekasihnya tersebut pergi berjuang untuk membunuh iblis dan berjanji akan kembali setelah selesai membunuh iblis. Ia akan segera kembali sambil menenteng kepala iblis sebagai hadiah perkawinan mereka.

Dua ratus tahun sudah menanti, si kekasih belum juga kembali. Sampai akhirnya dalam penantiannya lelaki itu menjadi patung. Kekasihnya entah di mana keberadaannya, entah sudah mati atau belum. Ia sendiri telah menjadi patung dan belum mati-mati. Sementara iblis belum juga mati. Iblis masih saja berkeliaran. Iblis adalah penguasa segala kejahatan dan kejahatan masih merajalela. Selama lebih dari 200 tahun kejahatan tersebut tidak teratasi. Kejahatan tersebut terasa berlangsung abadi. Tidak dapat ditumpas. Seperti juga halnya iblis belum terbunuh, iblis tidak pernah mati.

“Inilah patung Lelaki yang Menunggu Kekasihnya. Patung ini tidak dipahat oleh siapapun karena dia berasal dari manusia yang hidup. Duaratus tahun yang lalu ia berpisah di tempat ini dari kekasihnya, yang pergi untuk…” (Patung, ITPM: 169)

“Iblis kan memang tidak pernah mati.”

“Lha, iya, konyol betul orang itu. Barangkali kekasihnya itupun sudah mati sekarang. Lha wong iblis masih berkeliaran.”

“Ya, begitulah, tapi orang ini pokoknya menunggu.” (Patung, ITPM: 167) Iblis memang tidak pernah mati. Kejahatan di negeri tersebut memang abadi. Inilah realitas yang terjadi di dalam kumpulan cerpen ITPM. Walaupun menyadari hal tersebut, pemuda yang lain, pada masa 200 tahun kemudian, meminta kekasihnya untuk setia menantinya seperti lelaki yang telah menjadi

patung tersebut. Ia juga akan pergi membunuh iblis, meneruskan tugas kekasih lelaki yang telah menjadi patung. Walaupun ia tahu benar, iblis tidak akan pernah mati. Tapi menurutnya memang harus ada yang berkorban. Harus ada yang berjuang untuk membunuh iblis.

“Lihatlah patung itu,” ujar lelaki itu, “dia orang yang menunggu kekasihnya sampai menjadi patung,”

“Aku tahu,” kata gadis itu, “nenekku yang cerita.” “Kamu bisa seperti dia?”

“Maksudmu?”

“Bisa menunggu aku sampai aku kembali?”

“Aku selalu setia padamu, kapan kamu akan kembali?” “Kalau tugasku sudah selesai.”

“Apa tugasmu?” “Membunuh iblis.”

“Tapi iblis tidak pernah mati!”

“Aku tidak peduli. Harus selalu ada orang yang melawan iblis, meskipun iblis tidak pernah mati.” (Patung, ITPM: 170)

Setelah kekasihnya berangkat pergi melawan iblis. Si gadis pun setia menunggu kedatangan kekasihnya di stasiun. Dia datang lagi dan duduk di bangku stasiun di hadapan patung lelaki yang menunggu kekasihnya membunuh iblis sambil memberi makan burung-burung dara. Sampai akhirnya si gadis menjadi patung juga.

“Esoknya dia datang lagi. Duduk di bangku yang ada di hadapanku sambil memberi makan burung-burung dara. Sebentar-sebentar dia melihat jam tangannya. Aku tahu, dia akan terus menunggu di bangku itu, sampai jadi patung.” (Patung, ITPM: 171)

Realitas bahwa iblis tidak pernah mati, kejahatan yang abadi ini adalah juga realitas sosial yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Kejahatan merajalela di mana-mana. Banyak terjadi konflik. Berita-berita di surat kabar masih saja memberitakan berbagai tindak kekerasan. Korupsi banyak yang terungkap ke permukaan. Kasus-kasus perkelahian banyak terjadi. Pengadilan acap kali pula berubah fungsinya menjadi ajang jual beli keputusan dan

premanisme masih merajalela. Parahnya perekonomian terjungkal, krisis moneter terjadi sehingga angka kejahatan tidak terkendali.

Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003, merunut berbagai peristiwa besar, kejahatan dan tindak kekerasan yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Beberapa peristiwa tersebut adalah:

-18 November 1998

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan 22 orang tewas, 39 orang mengalami luka tembak, 84 orang luka ringan, dan 20 orang hilang dalam Peristiwa Semanggi.

-22 November 1998

Di Jalan Ketapang, Jakarta, 11 gereja dibakar. Delapan hari kemudian, 10 mesjid dan musala dihancurkan di Kupang, disusul pembakaran 2 gereja di Pangandaran. Inilah awal pecahnya kerusuhan berlatar SARA di Maluku dan Kalimantan.

-19 Februari 1999

Tommy Soeharto, Ricahrdo Gelael, Beddu Amang menjadi terdakwa dalam kasus tukar guling PT Goro-Bulog.

-12 April 1999

Tommy Soeharto mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. -1 Februari 2000

Menko Perekonomian Rizal Ramli menyatakan Rp. 90 miliar dana Bulog masuk ke kas Golkar- inilah awal mula kasus Buloggate II.

-9 Juli 2000

Mantan Kepala Bulog, Rahardi Ramelan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Bulog (Buloggate II) senilai Rp. 54,6 miliar.

-22 September 2000

Tommy Soeharto divonis bersalah 18 bulan penjara dan ganti rugi Rp. 30 miliar kepada negara.

-3 November, Tommy Soeharto menghilang. -11 November 2001

Ketua Umum Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay dibunuh. -29 November 2001

Tommy Soeharto tertangkap di Jalan Maleo, Bintaro Jaya Sektor IX, Jakarta Selatan.

-Desember 2001

Deklarasi Malino, yang mengakhiri pertikaian antara kelompok Kristen dan Islam di Poso, di tandatangani.

-20 Mei 2002

Provinsi Timor Timur resmi merdeka dan lepas dari Indonesia. -Juli 2002

Puluhan ribu tenaga kerja ilegal mengalir pulang ke Kalimantan menyusul ancaman hukuman imigrasi Malaysia yang berlaku pada 1 Agustus 2002. -11 September 2002

Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara memeriksa harta Jaksa Agung M.A. Rachman. Dia dituduh melanggar sumpah jabatannya dan menyembunyikan kekayaan negara yang seharusnya dilaporkan. -8 Oktober 2002

Tujuh orang anggota Kopasus ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Ketua Umum Dewan Presidium Papua, Theys Hiyo Eluay. -12 Oktober 2002

Bom meledak di Kuta, Bali. Menewaskan 198 nyawa, kebanyakan korban adalah turis Australia dan Inggris. Iman Samudra, Muchlas, dan Ali Gufron didakwa untuk peledakan ini.

-3 Desember 2002

Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara merekomendasikan pemberhentian Jaksa Agung M.A. Rachman kepada presiden Megawati -17 Desember 2002

Indonesia kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan. Melalui Pengadilan Internasional di Den Haag, kedua pulau ini jatuh ke tangan Malaysia. -12 Mei 2003

Sidang kasus peledakan bom di Kuta, Bali di gelar. Tersangka utamanya adalah tiga bersaudara, Amrozy, Muchlas, dan Ali Gufron. (Tempo edisi 25 Mei 2003: 30-31)

Peristiwa-peristiwa di atas adalah peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di Indonesia pacsa reformasi. Menggambarkan betapa kejahatan tidak akan pernah habis, SGA menceritakannya dalam cerpen “Patung” sebagai iblis yang tidak akan pernah mati. SGA mengimajinasikan penantian hilangnya kejahatan dari muka bumi sebagai penantian seorang pemuda selama 200 tahun. Menanti kedatangan kekasihnya membunuh iblis sampai ia menjadi patung.

Pembacaan cerpen ini membawa identifikasi diri pembaca hanya kepada “aku” tokoh protagonis yang berubah menjadi patung sementara menunggu kekasihnya berperang melawan iblis.

Proses pengidentifikasian ini juga bukan tanpa masalah. Seperti ditulis Budiman (2005:71). Masalahnya terletak pada identitas seksual “aku” yang pada awal cerita berpotensi mengecoh pembaca. Seperti pengalaman dalam membaca narasi, bahwa tokoh yang biasa berperang adalah laki-laki dan yang menunggu adalah perempuan. Akibatnya pembaca menyangka bahwa tokoh yang telah menjadi patung adalah perempuan dan kekasihnya yang sedang pergi berperang melawan iblis adalah laki-laki.

Prasangka yang dipenuhi beban ideologi gender ini kemudian berubah ketika pembaca sampai pada halaman ke empat cerpen ini. Yang pergi bertempur “kekasihku” adalah seorang perempuan dan yang menunggu “aku” adalah laki- laki. Struktur stereotipe gender ini kembali terbalik pada bagian akhir cerita, bahwa yang menunggu kali ini adalah “aku” seorang gadis manis dan yang pergi bertempur “kekasihku” adalah laki-laki. Struktur yang pada awalnya telah dijugkirbalikkan secara mengejutkan ini dikembalikan lagi ke pola relasi semula, kembali terjerat ke dalam stereotipe gender.

Budiman (2005: 73-74) menulis bahwa mungkin saja Seno sendiri tidak sempat memikirkan kemungkinan interpretasi ini, tetapi paling tidak dari pembolakbalikan pola relasi ini masih tetap tidak kehilangan message yang barangkali diniatkan pengarang, yaitu bahwa iblis tidak akan pernah mati, meski telah dilawan siapapun, entah seorang perempuan atau pun laki-laki.

“Dia memang tahu segalanya. Hampir tiada hal yang tidak diketahuinya seperti dia tahu bahwa iblis sebetulnya tidak pernah mati. Pada saat itu

pun aku tahu betapa aku akan terus-menerus menunggui kedatangannya sampai mati. Namun inilah yang barang kali tidak pernah diketahuinya:

Dokumen terkait