• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN

2.1 Realitas dan Imajinasi Sosial dalam Kumpulan

2.1.4 Selamanya

Subbab ini adalah subbab terakhir dalam kumpulan cerpen ITPM. Subbab ini hanya terdiri dari satu buah cerpen, “Karnaval”. Membaca subbab-subbab dalam kumpulan cerpen ini secara linear-kronologis, kita dapat menyimpulkan bahwa subbab ini adalah kesimpulan dari setiap peristiwa yang terjadi dalam kumpulan cerpen ini, sebuah realitas yang abadi, akan tetap ada selamanya.

Iblis tidak pernah mati. Inilah realitas yang ditampilkan dalam kumpulan cerita ITPM pada subbab “Selamanya”. Sebuah keabadian kejahatan di dunia. Karnaval berbicara tentang sebuah pesta jalanan, pertunjukan jalanan, pawai dalam rangka pesta perayaan. Dalam karnaval, aneka pertunjukan dengan

bermacam corak menarik perihal perayaan ditampilkan. Pawai ini melibatkan ratusan orang, bahkan hampir dari seluruh warga, sebagai bagian dari barisan pawai yang menampilkan aksi pertunjukan atau sebagai penonton saja.

Realitas yang diceritakan dalam cerpen ini adalah bahwa di suatu tempat sedang berlangsung sebuah karnaval. Karnaval yang sangat panjang. Bagaikan punggung seekor ular naga. Meliuk-liuk, tidak kelihatan ujung barisan pawai. Suara terompet menjauh, terbawa angin melintasi barisan yang sangat panjang. Suasana gegap gempita dan sangat riuh sehingga suara-suara yang terdengar tidak jelas lagi. Tidak jelas lagi suara tawa, suara berkelakar, teriak, atau sorak-sorai gembira.

“Bagaikan punggung seekor ular naga. Langkah-langkah kaki menggesek aspal. Suara terompet menjauh. Di ujung sana orang bersorak-sorai. Aku tidak mendengar apa-apa. Untuk apa. Aku hanya ingin melihat cahaya.” (Karnaval, ITPM:204)

Karnaval berlangsung begitu meriah. Kembang api meledak-ledak. Barisan pawai dipenuhi cahaya. Orang-orang dengan wajah yang dirias lewat silih berganti. Orang-orang menari, karnaval semakin meriah dengan atraksi badut. Barisan-barisan yang lewat silih berganti menampilkan atraksi-atraksi yang berbeda. Ada barisan terompet, barisan gajah yang dirias sedemikan rupa, barisan penari ular, dan penyair yang membacakan puisi.

“Kembang api meledak-ledak. Hujan cahaya. Aku menonton karnaval. Orang-orang dengan wajah yang dirias lewat silih berganti. Orang-orang menari-nari. Badut-badut jungkir balik. Kemudian datang barisan terompet. Trer-tet-tetet.” (Karnaval, ITPM:203)

Meriahnya karnaval juga diisi dengan pertunjukan piano, simbal yang berdencing, dan ragam atraksi lainnya. Kemeriahan karnaval ini membuat sebagian penonton yang berdiri di pinggir jalan, terseret masuk ke dalam barisan

karnaval. Termasuk tokoh aku, seorang anak yang sedang menonton karnaval di tepi jalan bersama ibunya. Si anak terkagum-kagum, takjub melihat keindahan karnaval. Ia kagum dengan terangnya suasana karnaval. Cahaya mengalir keluar bersama kunang-kunang yang keluar dari mulut para penonton yang terpana menyaksikan pertunjukan.

“Seorang wanita pemain piano mengiringinya. Kemudian dari balik tuts piano itu mengalir darah. Setiap kali piano itu berdenting, darah terus- menerus mengalir dan membuncah.” (Karnaval, ITPM:206)

“Tidakkah mereka tahu bahwa dari mulut-mulut mereka sesekali keluar serombongan kunang-kunang yang langsung melayang ke atas barisan? Beratus-ratus, beribu-ribu, berjuta-juta mulut manusia menggeluarkan bermilyar-milyar kunang-kunang yang menerangi malam sehingga mejadi begitu terang begitu benderang dan begitu meriahnya sampai terus menancap dalam ingatan. Berjuta-juta manusia berdiri mematung di tepi jalan. Mulut mereka menganga. Kunang-kunang mengalir dari mulut mereka.” (Karnaval, ITPM:207)

“Aku menonton karnaval. Para pemain akrobat berloncatan. Bunyi simbal riuh rendah berdencing-dencing. Mercon terus-menerus dibunyikan. Langit terang karena kembang api. Aku mau bilang itu bagus sekali. Aku menengok ke belakang. Kulihat kios pop korn itu. Ibu tidak ada di sana.” (Karnaval, ITPM:214)

Perjalanan karnaval kemudian menembus ruang. Anak kecil yang terbawa dalam barisan pawai ikut bersama barisan melewati benteng-benteng dengan pintu gerbang yang diturunkan menjadi jembatan, sebuah kerajaan dengan penjaga yang berbaju jirah dan panah api di tangan. Karnaval juga melewati dusun-dusun di padang pasir, kemah-kemah perkampungan masyarakat pengemis. Karnaval juga melintasi hutan rimba, di mana penontonnya adalah para pekerja tambang. Karnaval juga melintasi perang antar suku di mana orang-orang saling membunuh dan menikam dengan kelewang. Penonton di setiap tempat yang dilewati karnaval terpesona dan dari mulut mereka juga mengalir keluar jutaan kunang-kunang.

“Segalanya semakin tidak bisa dikenal. Karnaval melewati benteng- benteng dengan pintu gerbang yang diturunkan menjadi jembatan. Temboknya begitu tinggi dengan penjaga-penjaga beraju jirah dengan senjata panah api di tangannya.” (Karnaval, ITPM:224)

“Karnaval melewati dusun-dusun di padang pasir yang hanya terdiri dari tenda-tenda saja. Para penonton di sini terdiri dari para pengemis compang-camping yang menadahkan tangan dengan mulut yang terus menerus berucap, “Beri saya sedekah Tuan, beri saya sedekah.”

Karnaval melewati hutan rimba yang pekat dengan suara harimau mengaum di kejauhan, para pekerja tambang keluar dari gua-gua dengan penuh lumpur membawa linggis dan menggenakan topi berlampu.

Karnaval melewati pertempuran antar-suku yang kejam dan berdarah. Kulihat orang-orang saling menikam dan saling menetakkan klewang tanpa perasaan. Sepanjang jalan penonton terpesona. Di kota-kota termakmur orang-orang berdasi dan berkaca mata hitam meskipun malam tak pernah menjadi siang tetap saja ternganga dengan kunang-kunang yang terus mengalir dari mulutnya.” (Karnaval, ITPM:224-225)

Karnaval memang berlangsung demikian meriahnya. Tidak ada yang tidak terpesona. Semua orang suka dengan karnaval. Sayangnya karnaval diwarnai dengan kengerian, kejahatan, dan keasusilaan. Di pinggiran karnaval, pria dan wanita berbuat mesum sesukanya. Seorang pria dan perempuan berambut kepang bercinta di antara keriuhan karnaval. Pangeran dan puteri bercinta di dalam kereta kencana yang lewat di antara barisan pawai. Tidak ada rasa malu. Persetubuhan dipertontonkan. Orang tua menutup mata anak-anaknya, tidak memperbolehkan anak-anak melihatnya, sedang mata mereka terbuka lebar. Orang-orang bertindak

sok suci.

“Sepasang kekasih itu berteriak bersama: “Aaaagghhhh!” Tidak ada yang melihatnya. Orang-orang menonton karnaval. Aku melihat mereka. Gadis berkepang itu menurunkan roknya. Lelaki itu mengikatkan kembali ikat pinggangnya. Lantas keduanya menonton karnaval. Tiba-tiba laki-laki itu melotot kepadaku. Sekarang aku menonton karnaval.” (Karnaval, ITPM:206)

“Pintu kereta kencana itu terbuka. Putri raja sudah setengah telanjang sedangkan pangeran sudah tidak mengenakan celana. Para orang tua

menutupi mata anak-anaknya, tapi mata mereka sendiri terbuka lebar- lebar.” (Karnaval, ITPM:215-216)

Orang-orang berbaju hitam muncul di tengah-tengah karnaval. Mereka memegang parang dan mengayun-ayunkan kelewang di jalanan. Teriakan mereka menyeramkan. Pembantaian terjadi. Jerit kesakitan terdengar di mana-mana. Senjata tajam diayunkan dan drama pembunuhan telah dimulai. Wajah-wajah terpercik darah.

Para pasukan hitam pembunuh tersebut meneyanyikan kidung pembunuhan. Langkah mereka seirama lagu yang dinyanyikan. Karung-karung berisi mayat dipikul dalam barisan. Syair mereka mengatakan mereka ingin hancurkan kebahagiaan, tak akan ada kedamaian dalam kehidupan sebab mereka adalah iblis yang terlahir untuk mengacau kehidupan. Mereka bangga menjadi iblis dengan keberadaan mereka yang abadi.

Di belakang para penonton yang bersorak-sorai anak kecil tersebut melihat mayat-mayat bergelantungan di tiang listrik. Pembantaian massal, orang- orang digantung dan ditusuk seperti sate, enam orang dalam satu tusukan. Darahnya menyiprat megotori tembok kota, sehingga ia bertanya “Apakah orang- orang menonton karnaval setelah melakukan pembantaian?” (Karnaval, ITPM:228)

“Di antara cahaya tiba-tiba begitu banyak orang berbaju hitam memegang parang. Mereka menari-nari di jalanan mengayunkan kelewang. Suara tambur berdentam-dentam. Cahayanya berkilatan. Mereka berteriak-teriak menyeramkan. Kukerjapkan mataku berusaha memperjelas pemandangan di antara seribu satu cahaya yang terus menerus berkilat dan berkerdap. Terdengar jeritan kesakitan yang memilukan. Senjata-senjata tajam diayunkan. Kulihat wajah-wajah terpercik darah.” (Karnaval, ITPM:210)

“Di belakang para penonton yang bersorak-sorai kulihat pemandangan itu. Mayat-mayat bergelantungan di tiang listrik. Mereka digantung, disembelih, dan sebagian disate dengan bambu runcing, terkadang enam orang sekaligus. Mereka ditusuk perutnya, tembus dari satu tubuh ke tubuh lain, lantas dikerek naik ke tiang listrik. Mayat-mayat bergelantungan tertiup angin yang dingin sepanjang jalan. Darahnya menetes-netes seperti baru saja terjadi pembantaian itu. Mereka bergelantungan di tiang listrik, di wuwungan toko, dan darahnya menyiprat di tembok-tembok kota.” (Karnaval, ITPM:227-228)

Sepanjang karnaval berlangsung, penonton tidak pernah merasa jenuh menonton. Tetapi karnaval telah membuat mata para aktor, para pemain dalam pentas karnaval menjadi sayu. Mereka tidak bahagia, jenuh. Perjalan panjang tanpa akhir yang dipenuhi kengerian membuat karnaval yang demikian megah bagi penonton di pinggiran karnaval, terasa menekan. Tidak hanya penari ular, gajah dan ular sawah pun bermata sayu.

“Ibu! Lihat! Gajah itu sedih?”

Ibu melihat gajah itu sejenak. Mata gajah itu menatapku, seperti mendengar kata-kata. Kemudian gajah itu memandang ibu. Gajah itu seperti ingin berhenti. Tapi pawang di atas itu memukulkan sebuah cambuk. Gajah itu tidak jadi menghentikan langkahnya. Kepalanya saja yang menoleh. Ibu dan gajah saling berpandangan. Pawang itu melecutkan cambuknya.

“Jangan dilihat seperti itu,” katanya berteriak kepada ibu.” (Karnaval, ITPM:202-203)

“Ular sawah itu bergerak naik dan turun, bagaikan membelit sebatang pohon. Lidah ular itu sebentar-sebentar keluar bergetar-getar. Dari lidah semacam inikah keluar kata-kata yang menggoda Hawa agar memakan buah terlarang itu? Tapi mata ular sawah itu begitu sayu. Mata penari itu juga sayu. Kenapa mata mereka begitu sayu?” (Karnaval, ITPM:208) “Mata mereka sayu!”

“Kasihan. Barangkali mereka bosan ikut karnaval.”

Aku tidak mengerti kenapa karnaval bisa membuat mata siapapun menjadi sayu. Kulihat mata semua orang berbinar-binar di sini. Mata semua orang berbinar-binar. Begitu berbinarnya mata itu sehingga cahaya dari binar mata itu meletup ke udara malam.” (Karnaval, ITPM:209)

Membaca cerpen ini sulit mencari referensinya di dunia nyata, pada peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia. Berbeda dengan beberapa cerpen sebelumnya, seperti “Jakarta Suatu Ketika”, “Clara”, atau “Paman Gober” yang langsung membawa pikiran pembaca pada sebuah pemahaman yang sama. Karena itu, pencarian realitas dalam cerpen ini adalah hasil penafsiran dari pembacaan berulang-ulang.

Realitas yang disampaikan dalam cerpen ini menyangkut peristiwa sosial yang akan terus berlangsung selamanya. Tidak akan pernah berakhir. Apakah itu pada masa prareformasi, saat reformasi berlangsung, dan pascareformasi. Peristiwa sosial itu akan terus berlangsung, tidak mengenal waktu. Realitas sosial tersebut adalah bahwa kejahatan akan selalu ada pada tiap masa. Kejahatan yang abadi sebab iblis tidak pernah mati.

“Jangan mimpi dunia damai Jangan mimpi hidup santai Kami iblis menguji iman Dengan siksaan terkejam Kami bangga jadi iblis Kami bangga jadi setan Hidup sekali tak pernah mati

Tuk merusak kemanusiaan” (Karnaval, ITPM:212)

Menggambarkan realitas sosial tersebut, SGA menggeber imajinasi dengan menyajikannya sebagai sebuah karnaval. Pawai pertunjukan untuk sebuah perayaan. Perayaan kehidupan manusia. Sebagai sebuah drama kehidupan. kehidupan manusia yang panjang, yang melintasi ruang dan waktu. Karnaval yang tidak ketahuan di mana ujung pangkalnya. Kehidupan yang juga tidak diketahui dengan pasti kapan dimulai dan berakhirnya.

Sepanjang karnaval hari tidak pernah menjadi siang, selalu saja malam. Hanya cahaya kunang-kunang yang keluar mengalir dari mulut yang ternganga membuat karnaval banjir cahaya, bermilyar-milyar kunang-kunang. Menggambarkan kelamnya kehidupan yang harus dijalani. Selalu ada kejahatan memang, tapi akan selalu ada pula terang, kebaikan dalam kemanusiaan.

Aku, seorang anak kecil dijadikan tokoh cerita. Imajinasi pembaca dibawa ke cara pandang anak kecil akan dunia yang sulit dipahami. Ia pada awalnya sangat ingin menonton karnaval bersama ibunya. Tetapi kemudian ia terlepas dari genggaman tangan ibu dan hilang. Padahal ibu telah berpesan agar memegang tangan ibunya.

”Di tepi jalan, ibu menggandeng tanganku. “Jangan lepas, nanti kamu hilang,” katanya. Aku menggenggam tangannya erat-erat. Ibu menggandeng tanganku erat-erat. Karnaval mengalir. Aku memandang dengan kepala miring.” (Karnaval, ITPM:201)

Terlepas dari gandengan ibu, anak tersebut terseret dalam arus karnaval. Menjadi bagian dari barisan karnaval. “Aku di dalam karnaval, menonton dunia di kiri kanan jalan.” (Karnaval, ITPM:222)

Tidak hanya anak itu, para penonton yang keasyikan menonton pun terseret dan ikut menari dalam barisan. Mereka terhanyut dan tidak tahu lagi kemana pergi. Ini mengibaratkan manusia modern yang terbawa arus zaman, tidak sadar kemanakah kehidupan telah menuntun langkahnya. Mereka terlalu asik dengan apa yang ditawarkan keindahan zaman. Sulit untuk kembali dan meninggalkan drama kehidupan dalam karnaval. Apa yang diimpikan semua orang ada dalam karnaval. Tidak hanya orang dewasa yang terbawa arus karnaval, pada gilirannya seorang anak akan belajar memahami pahit getir kehidupan.

“Kadang-kadang para penonton begitu tertariknya pada karnaval sampai ikut-ikut masuk ke dalam karnaval. Ikut menari-nari di antara cahaya lantas terhanyut dalam barisan lantas tak pernah ada yang tahu lagi kemana dia pergi.” (Karnaval, ITPM:213)

“Kamu tidak capek? Kamu tidak ingin pulang?” Ibu bertanya ke dekat telingaku.

Aku menggeleng, memegang tangan ibu. segalanya yang kuinginkan ada di sini. Para penonton karnaval mendapatkan segalanya yang mereka inginkan.” (Karnaval, ITPM:214)

Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sepanjang masa tersebut digambarkan SGA sedemikian imajinatif. Kejahatan kemanusiaan berlangsung di antara penonton karnaval, terjadi di dalam barisan karnaval, tetapi karnaval terus berjalan. Darah mengalir setiap kali tuts piano yang mengiringi bait-bait syair sang pujangga ditekan. Barisan iblis dalam wujud manusia membantai banyak orang. Mereka berderap menyanyikan syair-syair pujaan untuk iblis. Mayat-mayat bergelantungan di tiang listrik.

Meskipun demikian, karnaval melintasi berbagai tempat, melintasi negeri dengan benteng yang tinggi, istana dengan pintu gerbang yang dijadikan jembatan, dan penjaga pintu gerbangnya terdiri dari pasukan berpanah api. Karnaval juga melintasi berbagai negeri asing, pemukiman bertenda di padang pasir, penduduknya hanya pengemis yang selalu berteriak meminta sedekah kepada setiap orang lewat. Melintasi hutan belantara, karnaval disambut auman harimau dari kejauhan. Penduduknya adalah para pekerja tambang dengan linggis di tangan dan senter di topi. Melintasi daerah kota, penduduknya berdasi dan berkaca mata hitam, meski waktu di tempat-tempat yang dilalui karnaval tidak pernah menjadi siang.

Karnaval melintasi daerah di mana perang antar suku terjadi. Semuanya sama-sama ternganga dan dari mulut mereka juga mengalir keluar kunang-

kunang. Imajinasi ini bermakna kejahatan kemanusiaan, terjadi di mana saja. Dari zaman ke zaman, dari waktu ke waktu, di semua belahan dunia, di keramaian atau di tengah hutan, di pusat kota atau pengasingan pertambangan, di istana dengan pertahanan kuat ataupun di daerah tandus sekalipun. Kejahatan tetap ada, iblis tidak pernah mati.

“Aku sudah berada di negeri asing. Aku tak tahu sudah berapa jauh sampai keluar dari negeriku. Tiada sesuatu pun yang sama dengan negeriku di sini…. Namun mata mereka berbinar, juga menonton karnaval. Dari binar mata itu juga meloncat cahaya yang menerangi malam. Mulut mereka juga ternganga dan terkekeh-kekeh dan dari mulut- mulut terbuka itu juga mengalir kunang-kunang yang berhamburan ke langit malam…” (Karnaval, ITPM:220)

Semua semarak yang disajikan karnaval hanya seperti limun uap, yang medesis setiap kali dibuka lalu lenyap. Semarak karnaval tidak abadi. Mengapa orang harus mempertahankan semarak yang dihasilkan kejahatan yang tidak akan pernah abadi?

“Gadis-gadis menjual limun. Orang-orang membeli limun uap itu. Kalau tutup botolnya dibuka terdengar suara mendesis kuat. Gadis-gadis tersenyum. Kulihat karnaval.” (Karnaval, ITPM:208)

Tokoh dalam cerita ini adalah anak kecil yang ingin menonton karnaval. Di tengah-tengah perayaan, ia kehilangan ibunya. Terseret arus karnaval dan tergabung dalam barisan pawai. Bukan itu saja, ia tiba-tiba berubah menjadi bagian dari gerak karnaval. Ia menjadi sais sebuah kereta pertunjukan dalam barisan karnaval. Ia mengenakan baju yang aneh sekali, baju karnaval, identitas diri yang telah berubah.

“Kemana orang tuanya?” kudengar suara laki-laki. “Mana aku tahu,” jawab wanita itu.

“Sudah. Tinggal dulu anak itu! (Karnaval, ITPM:218)

“Jalannya lambat tapi seirama dengan gerak karnaval. Aku memegang cambuk sambil duduk di kursi sais. Para penonton bertepuk-tepuk

melihatku. Rupa-rupanya aku mengenakan baju yang aneh sekali. Baju karnaval. Aku duduk memegang cambuk.” (Karnaval, ITPM:220)

“Sepanjang malam aku duduk di kursi sais dan malam tidak akan pernah menjadi siang. Di kiri kanan jalan orang-orang menonton karnaval tidak putus-putusnya. Aku berdiri, ingin tahu berapa panjang barisan karnaval ini, tetapi aku tidak bisa melihat ujungnya.” (Karnaval, ITPM:222)

Berada dalam barisan karnaval membuat anak secara alami menyesuaikan diri. Begitu juga kehidupan manusia, manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pengaruh pergaulan dan lingkungan sedemikian besar terhadap diri seseorang. Lingkungan yang buruk mengubah kebiasaan baik banyak orang. Tidak hanya berbajukan baju karnaval, wajah si anak pun dibanjiri cahaya dan berubah menjadi belang-belang, seperti halnya semua peserta barisan karnaval.

“Cahaya pelangi membanjir mengubah wajah siapapun yang kulihat jadi belang-belang. Wajah-wajah yang dari sananya sudah dirias serba belang- belang. Wajahku pun barangkali jadi belang-belang. Segalanya gemerlapan mandi cahaya. Aku menatapnya dalam kesunyian. Aku di dalam karnaval. Aku menuju entah kemana dan akan sampai di mana.” (Karnaval, ITPM:224)

Selanjutnya SGA menggunakan pembasuhan diri sebagai tindakan penyucian diri dan kembalinya kesadaran yang telah hilang. Hujan turun, semuanya menjadi basah. Pembasuhan oleh air ini diimajinasikan sebagai tindakan pengembalian kesadaran. Setelah hujan turun, kesadaran anak itu kembali. Ia ingat akan percakapan sebelum berpisah dengan ibu, kemudian menemukan dirinya sendiri dan ibu yang telah hilang. Bukan hanya dirinya yang dikenalnya, tapi semua yang dia lihat tiba-tiba ia kenali kembali. Kembali dari sebuah keterasingan.

“Hujan turun dan segalanya menjadi basah. Selain itu tiada yang berubah. Bangunan basah dan berkilat-kilat. Pepohonan menjadi basah dan

menetes-neteskan air. Angin melemparkan curah hujan ke segala arah. Semua orang basah kuyup. Semua orang tetap menonton karnaval. Sebelum karnaval dimulai semua orang mengharapkan jangan hujan.” (Karnaval, ITPM:228-229)

“Kamu mau menonton karnaval?” “Karnaval! Karnaval!”

“Mudah-mudahan jangan hujan,” kata Ibu. Di tepi jalan, Ibu menggandeng tanganku. “Jangan dilepas, nanti kamu hilang,” katanya.

Hujan berhenti. Di tepi jalan tiba-tiba kulihat Ibu. Segalanya tiba-tiba kukenal kembali. (Karnaval, ITPM:229)

Kejutan diakhir cerita juga sangat imajinatif. Kembalinya kesadaran tokoh disertai dengan kondisi diri yang telah berubah. Tiba-tiba tokoh membelah menjadi dua. Satu tokoh adalah aku yang baru saja sadar dari “trance”, ia telah menjadi tua dan satu lagi tokoh aku dalam gandengan tangan ibu yang masih tetap seorang anak-anak. Aku yang telah menjadi tua sangat terkejut dengan kenyataan baru ini. Dirinya yang masih kecil dan ibu memandang kepadanya, lalu sebuah pertanyaan dari dirinya sendiri yang masih anak-anak terlontar, “Ibu, kenapa orang tua itu memanggilmu?” Tak kudengar jawaban ibu. Tak kudengar jawaban ibu. Akhir kisah tanpa sebuah kepastian. Klimaks yang menggantung.

“Kulihat diriku di samping Ibu. Mereka menonton karnaval. Keduanya basah kuyup. Diriku digandeng Ibu erat-erat dan keduanya memandang kepadaku. Kulihat diriku menunjuk ke arahku. Kudengar ia berkata, “Ibu, kenapa orang tua itu memanggilmu?”

Tak kudengar jawaban Ibu.

Tak kudengar jawaban Ibu.” (Karnaval, ITPM:230)

Dokumen terkait