• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kebagusan data yang diperoleh. Uji validitas dan reliabilitas ini dilakukan terhadap kuesioner yang telah disusun mengikuti kaidah perancangan kuesioner. Dengan melakukan uji validitas ini diharapkan dapat mengurangi terjadinya bias terhadap kuesioner yang diajukan kepada responden.

1. Validitas Alat Ukur

Pengujian validitas kuesioner dilakukan menggunakan bantuan software SPSS version 11.5 for Windows. Pengukuran validitas ini dilakukan untuk mendapatkan pertanyaan-pertanyaan kuesioner yang valid. Syarat sebuah butir pertanyaan valid adalah jika koefesien korelasinya dianggap signifikan.

Pengujian validitas dilakukan dengan mengujikan sejumlah 30 kuesioner kepada responden. Jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden kemudian dilakukan penghitungan nilai dan ditabulasikan untuk melihat tingkat validitas masing-masing pertanyaan yang diajukan.

Dari penghitungan menggunakan SPSS version 11.5 for Windows didapatkan hasil seperti yang terdapat pada lampiran hasil analisis validitas kuesioner. Dari hasil uji validitas tersebut menunjukkan bahwa kedua belas pertanyaan tertutup yang diajukan semuanya valid.

Pengujian validitas yang dimaksudkan disini adalah validitas konstruk yang diukur dengan menggunakan teknik korelasi product

moment dan Pearson. Untuk uji validitas isi dilakukan melalui telaah kepustakaan dan konsultasi dengan dosen pembimbing.

Secara statistik angka korelasi yang harus dibandingkan dengan angka kritik tabel korelasi nilai – r. Dengan jumlah responden uji validitas yang diambil sebanyak 30 sampel, maka dengan taraf signifikansi 5%

didapatkan angka signifikansi 0,361. Pertanyaan-pertanyaan yang valid dalam kuesioner memiliki angka korelasi diatas 0,361 (taraf signifikansi 5% atau 0,05). Pertanyaan-pertanyaan yang valid tersebut berarti telah memiliki validitas konstruk dan terdapat konsistensi internal (internal consistency) dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut (Safira, 2004).

Pada kuesioner yang dirancang, semua pertanyaan yang diberikan valid. Kisaran r kuesioner adalah antara 0,409 sampai dengan 1,000, maka dapat disimpulkan bahwa semua pertanyaan yang diberikan kepada responden mempunyai validitas konstruk dan terdapat konsistensi internal diantara pertanyaan-pertanyaan.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat diandalkan atau dipercaya. Pengujian reliabilitas pada penelitian ini dilakukan terhadap semua pertanyaan yang terdapat pada variabel amatan karena semua pertanyaan tersebut valid sehingga dapat dilakukan pengujian reliabilitas terhadapnya. Tabel 2 berikut menunjukkan nilai realibilitas Alpha kuesioner.

Tabel 2. Nilai Reliabilitas Alpha Kuesioner yang Dihitung dengan Teknik Cronbanch Alpha

Variabel Amatan Reliabilitas Alpha

Kemampuan Teknik 0,7643

Perilaku kerja 0,7250

Kinerja yang dimiliki LATKER 0,7565

Softskill penunjang 0,8078

Tingkat kelayakan pengangkatan 1,0000

Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa angka reliabilitas alpha variabel amatan berkisar antara 0,7250 sampai dengan 1,000.

Angka-34 angka reliabilitas alpha ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai r tabel sebesar 0,361 (n = 30, α = 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur (kuesioner) yang digunakan dapat dipercaya dan diandalkan dalam hal ketepatan dan konsistensi hasil pengukuran (kuesioner reliable).

C. DESKRIPSI ANALISIS EFEKTIVITAS PROGRAM LATKER SEBAGAI METODE PENERIMAAN KARYAWAN

Uji efektivitas ini dilakukan dengan melihat tingkat penerimaan atau kepuasan supervisor sebagai user terhadap lulusan LATKER yang terdapat di area kerjanya. Dari tingkat penerimaan atau kepuasan supervisor tersebut akan didapatkan tingkat efektivitas program LATKER yang telah dilaksanakan di PT Unilever, Tbk.

Beberapa parameter atau variabel terukur yang digunakan adalah (1) kemampuan teknik yang dimiliki oleh lulusan LATKER, (2) perilaku kerja lulusan LATKER di area kerjanya, (3) kinerja yang dimiliki oleh lulusan LATKER dalam menjalankan tugasnya, (4) softskill penunjang kerja yang dimiliki lulusan LATKER, dan (5) tingkat kelayakan pengangkatan lulusan LATKER menjadi karyawan PT Unilever, Tbk berdasarkan sudut pandang supervisor (user). Dari parameter-parameter ini nantinya akan dapat diambil persentase efektivitas program LATKER. Lampiran 1 menunjukkan kerangka metode rekrutmen dan seleksi yang digunakan oleh PT Unilever, Tbk untuk karyawan dengan job class 4-5 secara lengkap.

1. Identifikasi Metode Rekrutmen dan Seleksi di PT Unilever, Tbk Gambar 4 menunjukkan proses penerimaan karyawan melalui jalur Latihan Kerja (LATKER). Secara lengkap metode penerimaan karyawan pada PT Unilever, Tbk., Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1.

Dari lampiran 1 terlihat bahwa terdapat tiga jalur untuk menjadi karyawan PT Unilever, Tbk, yaitu reguler (normal), LATKER, dan COMBANTRA. Tiga buah jalur tersebut berupakan metode yang digunakan oleh PT Unilever, Tbk dalam menjaring calon-calon karyawan.

 

Gambar 4. Metode Penerimaan Karyawan Level Bottom Line pada PT Unilever, Tbk., Indonesia.

a. Sumber LATKER

LATKER merupakan singkatan dari latihan kerja. Menurut pengamatan di area dan hasil wawancara dengan Technical Staff

G

Proses Rekrutmen dan seleksi

OK

Proses 6 bulan program

Wawancara user

Kontrak karyawan PT. Unilever Medical check up

OK

LULUS

36 Training and Recruitment PT Unilever, Tbk didapatkan bahwa sumber LATKER adalah melalui lembaga atau institusi pendidikan.

Tahapan rekrutmen dan seleksi hingga mencapai wawancara awal biasanya dilakukan di institusi terkait. Sumber LATKER utamanya adalah melalui SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), walaupun ada yang merupakan lulusan SMU (Sekolah Menengah Umum). Strategi yang biasanya disebut dengan on the school recruitment ini menjadi agenda tetap PT Unilever dalam menjaring calon peserta LATKER yang dilakukan secara terus-menerus.

Sumber LATKER ini pada dasarnya adalah sumber eksternal, kemudian setelah memasukki program LATKER ini nantinya, sumber rekrutmen dan seleksi sekunder bisa dikatakan sudah menjadi sumber internal. Hal ini dikarenakan sumber penerimaan karyawan (rekrutmen dan seleksi) dilakukan terhadap calon-calon yang sudah dididik dalam perusahaan. Dengan kata lain sumber ini berasal dari dalam perusahaan (sumber internal). Sebagaimana disampaikan oleh Matis (1982), sumber internal adalah sumber yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri. Sebagaimana dengan pernyataan Walker (1992), bahwa merekrut talenta dari luar perusahaan penting karena membawa ide-ide baru, pengalaman baru, dan suatu diversitas kemampuan dan pendidikan dibutuhkan untuk menerapkan perubahan yang diinginkan. Keuntungan – keuntungan pengambilan sumber-sumber dari internal dan lulusan eksternal perusahaan dapat dilihat pada tabel 3.

Hal tersebut menunjukkan semangat perusahaan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan yang sama dengan menggunakan sumber internal perusahaan (kemampuan adaptasi dan teknik yang baik), tetapi merupakan ”darah baru” yang belum terkontaminasi oleh hal-hal buruk dalam perusahaan. Sehingga diharapkan mampu menjaga motivasi kerja pada karyawan. Hal ini dapat dilaksanakan tanpa adanya kecemburuan dari karyawan yang sudah lama di perusahaan karena jabatan yang ditawarkan merupakan

posisi terbawah dalam perusahaan. Selain itu, harga pekerja yang lebih murah dibandingkan dengan profesional merupakan nilai tambah dalam pemilihan sumber LATKER ini.

Tabel 3. Kelebihan-Kelebihan Penggunaan Sumber Rekrutmen Internal dan Eksternal.

No Sumber Internal Sumber Eksternal 1. Tidak membutuhkan masa

adaptasi yang lama

Darah baru, sudut pandang baru 2. Kemampuan yang sudah

mumpuni Lebih murah daripada seorang

profesional 3. Biaya rekrutmen dan seleksi

yang lebih murah Belum terkontaminasi oleh situasi politik atau kelompok-kelompok dalam perusahaan 4. Meningkatkan motivasi

karyawan untuk bekerja

Strategi penggunaan sumber LATKER tersebut mempunyai beberapa kelebihan antara lain : (1) perusahaan memperoleh pilihan untuk menentukan sekolah-sekolah mana yang dianggap mempunyai reputasi yang bagus, (2) target jumlah pelamar dapat dengan mudah dipenuhi, (3) biaya iklan yang lebih murah karena penyebaran informasi rekrutmen dilakukan melalui pihak sekolah, (4) seleksi awal administratif mudah karena bisa dilakukan lebih awal oleh pihak sekolah sesuai dengan permintaan perusahaan. Beberapa keuntungan tersebut menjadi rekrutmen di sekolah-sekolah masih menjadikan pilihan utama dalam penentuan calon peserta LATKER yang potensial.

Disamping beberapa kelebihan diatas, kalau lebih kita cermati rekrutmen di sekolah mempunyai beberapa kekurangan yang riskan, diantaranya : (1) proses seleksi yang cenderung sama dari tahun ke tahun akan memudahkan peserta karena bisa saja sudah disiapkan oleh pihak sekolah dengan memberikan pelatihan-pelatihan terkait dengan metode seleksi yang dilakukan. Hal ini tentunya akan sangat merugikan bagi perekrut karena calon yang didapatkan bisa saja tidak

38 potensial. Atau dengan kata lain tingkat terjadinya kecurangan akibat bocornya mekanisme seleksi besar. (2) masalah jadwal yang harus mengikuti jadwal sekolah seringkali menjadi kendala. Hal ini karena terkadang kebutuhan calon karyawan pada suatu waktu tidak bisa dipenuhi akibat jadwal yang berbenturan dengan agenda-agenda sekolah.

b. Rancangan Program LATKER

Program LATKER yang dilakukan di PT Unilever merupakan suatu program yang dirancang untuk menutupi kelemahan dari penerimaan karyawan melalui jalur reguler atau normal. Kelemahan yang ingin ditutupi adalah tingkat adaptasi karyawan yang lama, keterampilan teknis yang kurang, softskill yang masih rendah, dan tingkat kinerja karyawan reguler yang masih rendah. Hal ini disesuaikan dengan analisis jabatan nantinya peserta LATKER akan ditempatkan, yaitu :

• Untuk mengisi posisi teknisi (bila memenuhi syarat)

• Untuk mengisi posisi operator (bila memenuhi syarat)

Peserta program LATKER ini mempunyai status tidak memiliki ikatan kerja, artinya tidak ada tanggung jawab bagi perusahaan untuk mengangkat peserta LATKER nantinya menjadi karyawan. Hal ini menguntungkan perusahaan, yaitu jika peserta LATKER dirasakan tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan setelah menjalani proses LATKER perusahaan diperbolehkan untuk tidak mengangkatnya menjadi karyawan. Demikian juga jika perusahaan sedang tidak membutuhkan karyawan baru, maka tidak ada kewajiban bagi perusahaan setelah habis masa LATKER untuk mengangkat peserta LATKER tersebut.

Selain keuntungan yang diperoleh itu, terdapat kerugian jika menerapkan pasal tidak ada ikatan kerja, yaitu peserta LATKER yang potensial dapat saja mengundurkan diri dengan atau tanpa pemberitahuan ditengah-tengah proses LATKER berjalan. Hal ini

tentunya sangat merugikan perusahaan karena biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terbuang dengan percuma.

2. Analisis Korelasi dan Efektivitas Program LATKER terhadap Parameter-Parameter Harapan.

a. Analisis Efektivitas Program LATKER terhadap Pencapaian Kemampuan Teknik Peserta LATKER

Kemampuan atau keahlian teknik merupakan suatu hal yang harus dimiliki oleh karyawan level operator dan engineering.

Kemampuan ini merupakan penilaian utama bagi karyawan dapat atau tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

Penilaian dilakukan oleh supervisor atau penyelia. Hal ini dikarenakan supervisor merupakan user yang nantinya akan berinteraksi secara langsung dengan lulusan LATKER dalam menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan pada suatu area kerja. Efektivitas program LATKER terhadap pencapaian parameter-parameter harapan ditentukan oleh tingkat kepuasan supervisor terhadap lulusan program LATKER.

Analisis terhadap kemampuan teknik ini dilakukan dengan melihat reaksi responden terhadap tiga jenis pertanyaan, yaitu (1) kemampuan teknik yang dimiliki oleh lulusan LATKER, (2) kemampuan lulusan LATKER dalam melakukan analisa trouble yang terjadi pada suatu mesin, (3) pengetahuan LATKER terhadap proses kerja di area kerjanya. Penentuan kemampuan teknik ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan dengan Technical Staff Training and Recruitment yang menyatakan bahwa kemampuan teknik merupakan acuan utama dalam pelaksanaan program LATKER yang disesuaikan dengan kebutuhan area. Tiga pokok mendasar yang harus dimiliki dalam kemampuan teknik, yaitu (1) kemampuan proses, (2) kemampuan praktis teknis dengan pemberian materi basic technique I.

dan (3) kemampuan analisis, yang dalam hal ini ditonjolkan pada trouble shooting.

Dalam perencanaan pelatihan PT Unilever (2008), disebutkan bahwa kemampuan Basic Tecnique I terdiri atas : alat-alat ukur

40 sederhana dan teliti, alat tes dan monitor sederhana, alat perkakas tangan, perkakas potong, perkakas bantu, pelumasan, komponen mekanik mesin, kelistrikan. Materi-materi tersebut adalah kemampuan teknik dasar yang harus dikuasai oleh karyawan level jabatan 4-5.

Dari hasil analisa menunjukkan nilai korelasi antara program LATKER terhadap pencapaian kesesuaian kemampuan teknik menurut supervisor adalah 0,76 pada nilai α sebesar 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terhadap hubungan yang kuat antara program LATKER yang dijalankan dengan penerimaan kemampuan teknik lulusan LATKER. Maksudnya, terdapat hubungan atau korelasi yang kuat terhadap pencapaian kemampuan teknik yang diharapkan dengan rancangan program LATKER yang dilakukan.

Selain itu, nilai uji-t menunjukkan bahwa nilai t-hitung adalah sebesar 12,24. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai t-tabel sebesar 1,659 sehingga hipotesis H0 ditolak atau H1 diterima.

Hal ini menunjukkan bahwa program LATKER mampu memenuhi pencapaian kesesuaian kemampuan teknik yang harus dimiliki calon karyawan dengan harapan supervisor PT Unilever, Tbk.

Dari Tabel 4 secara keseluruhan nilai persentase jawaban tersebut menunjukkan bahwa responden (supervisor) yang menyatakan jelek terhadap kemampuan teknik yang dimiliki oleh lulusan LATKER sebesar 0,50%. Sedangkan lulusan LATKER yang dinilai kemampuan tekniknya kurang hanya sebesar 10,61%.

Supervisor yang menyatakan cukup terhadap kemampuan teknik yang dimiliki mempunyai persentase sebesar 65,15%. Supervisor yang menyatakan kemampuan teknik yang dimiliki lulusan LATKER sangat baik sebesar 23,74%. Dari angka-angka tersebut menunjukkan bahwa program LATKER efektif dalam pencapaian kesesuaian kemampuan teknik yang dimiliki peserta LATKER dalam memenuhi harapan supervisor.

Tabel 4. Persentase Pencapaian Kepuasan Supervisor terhadap Kemampuan Teknik yang Dimilliki oleh Lulusan LATKER.

b. Analisis Efektivitas Program LATKER terhadap Pencapaian Kesesuian Perilaku Kerja Lulusan LATKER

Perilaku adalah salah satu kunci seorang karyawan dapat diterima oleh lingkungan kerjanya atau tidak. Dengan perilaku yang baik tentunya akan mempermudah proses adaptasi karyawan di area kerjanya. Perilaku atau tingkah laku yang sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku di suatu lingkungan kerja akan sangat menentukan bagi perkembangan karier karyawan tersebut.

Pengujian parameter (variabel) perilaku kerja yang dimiliki oleh lulusan LATKER ini diwakili oleh dua buah pertanyaan dalam kuesioner. Dua pertanyaan itu mencakup tingkah laku lulusan

NO PERTANYAAN

Rata-rata persentase 0 0,00%

1 0,50%

2 10,61%

3 65,15%

4 23,74%

42 LATKER di lingkungan kerja dan kepatuhan peserta LATKER terhadap tata tertib kerja perusahaan.

Menurut Kossen Stan (1991), menyatakan bahwa dibawah kondisi perilaku yang buruk, akan sangat sulit untuk mempertahankan output (produk) yang baik dalam jangka waktu yang lama.

Keuntungan biasanya secara langsung terpengaruh ketika perilaku yang buruk menurunkan produktivitas. Moral atau perilaku yang tinggi, tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas yang tinggi, tetapi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi total output.

Dari hasil pengolahan kuesioner menunjukkan bahwa nilai korelasi antara program LATKER dengan pencapaian perilaku kerja lulusan LATKER menurut supervisor adalah sebesar 0,54 dengan α sebesar 0,05. Hal ini menunjukkan hubungan yang terjadi antara program LATKER dengan pencapaian kesesuaian perilaku kerja peserta LATKER agak kuat.

Dari uji-t menunjukkan besarnya t-hitung parameter perilaku kerja adalah sebesar 6,379. Nilai ini jauh lebih besar daripada nilai t-tabel sebesar 1,659. Maka dapat diketahui bahwa hipotesis H1 dapat diterima. Dengan kata lain program LATKER mampu mencapai pemenuhan kesesuaian perilaku kerja yang harus dimiliki oleh calon karyawan PT Unilever, Tbk., Indonesia. Berikut adalah tabel 5 yang menyajikan persentase jawaban responden terhadap perilaku kerja yang dimiliki oleh lulusan LATKER.

Penilaian parameter jelek, kurang, cukup, dan bagus dalam pencapaian perilaku kerja diberikan batasan sehingga responden tidak bingung bagaimana dalam menentukan berada di level mana nilai perilaku kerja lulusan LATKER. Batasan itu antara lain : (1) untuk pertanyaan no. 9 yang berkaitan dengan kepatuhan terhadap peraturan kerja, nilai jelek diberikan jika peserta LATKER tidak patuh terhadap peraturan kerja dan melakukan pelanggaran, nilai kurang jika masih melakukan pelanggaran dalam kerjanya, nilai cukup jika patuh pada

peraturan walaupun pernah melakukan pelanggaran dan tidak melakukan pengulangan atas pelanggaran tersebut, dan nilai bagus jika tidak pernah melakukan pelangggaran terhadap peraturan kerja perusahaan. (2) untuk pertanyaan no 11 yang berkaitan dengan perilaku kerja lulusan LATKER di area kerjanya batasan yang diberikan adalah nilai jelek untuk lulusan LATKER yang tidak sesuai dengan norma kesopanan, nilai kurang jika kurang menghargai atasan, pembimbing, dan rekan kerja, nilai cukup jika menghargai atasan dan rekan kerja, nilai bagus jika lulusan LATKER berperilaku sesuai dengan norma-norma kesopanan dan menghormati atasan dan rekan kerja. Tabel 5 menunjukkan persentase jawaban responden terhadap pertanyaan perilaku kerja.

Tabel 5. Persentase Pencapaian Kepuasan Supervisor terhadap Perilaku Kerja yang Dimilliki oleh Lulusan LATKER.

NO PERTANYAAN

DALAM KUESIONER NILAI JAWABAN

Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa responden cukup puas dengan perilaku kerja yang dimiliki oleh lulusan LATKER. Hal ini ditunjukkan oleh persentase sampel yang dinyatakan oleh responden memiliki perilaku kerja yang sangat baik sebesar 49,25% dan cukup

44 baik sebesar 48,48%. Sedangkan sampel yang dinyatakan memiliki perilaku kerja yang kurang baik sebesar 2,27% dan tidak ada sampel yang dinilai oleh responden mempunyai perilaku kerja yang jelek dalam lingkungan kerjanya. Persentase tersebut menunjukkan bahwa program LATKER efektif dalam memenuhi harapan perilaku kerja yang harus dimiliki oleh peserta LATKER.

Hal itu bisa diakibatkan karena masih rendahnya tingkat kontaminasi pengaruh buruk dari lingkungan kerja dalam perusahaan karena sumber yang digunakan dalam perekrutan adalah sumber eksternal. Ini sesuai dengan pernyataan Matis (1982), bahwa keuntungan dari merekrut calon karyawan dari luar perusahaan (sumber eksternal) adalah karyawan baru tersebut belum terkontaminasi semangat dan budaya buruk dari perusahaan karena belum masuk dalam kelompok-kelompok politis perusahaan sehingga bisa dibentuk moralnya sesuai dengan keinginan perusahaan.

c. Analisis Efektivitas Program LATKER terhadap Pencapaian Harapan Kinerja yang Harus Dimiliki oleh Lulusan LATKER

Kinerja merupakan bagian penting bagi penerimaan seorang karyawan di lingkungan kerjanya. Perusahaan tentu akan merugi jika menerima seorang karyawan yang memiliki kinerja yang buruk.

Penilaian kinerja seorang karyawan bagian operator dan engineering dilakukan oleh supervisor bagian tersebut. Kinerja yang dimaksud dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kriteria atau diwakili oleh 4 pertanyaan dalam kuesioner. Pertanyaan itu antara lain : (1) pemahaman lulusan LATKER terhadap tanggung jawab jabatan yang diemban, (2) kemampuan lulusan LATKER dalam menjalankan perintah atasan atau pengawasnya, (3) etos kerja yang dimiliki oleh lulusan LATKER, dan (4) cara bekerja safety yang dimiliki oleh lulusan LATKER.

Dari hasil penghitungan nilai korelasi antara program LATKER dengan pencapaian harapan kinerja yang harus dimiliki oleh lulusan LATKER didapatkan rs sebesar 0,759 dengan α sebesar 0,05. Nilai ini

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara program LATKER yang dijalankan terhadap pencapaian harapan kinerja yang harus dimilki oleh lulusan LATKER dalam sudut pandang supervisor atau user. Dengan kata lain program LATKER yang dijalankan oleh PT Unilever, Tbk., Indonesia terkait erat terhadap pencapaian harapan kinerja yang harus dimiliki oleh lulusan LATKER. Tabel 6 menunjukkan persentase jawaban responden terhadap kinerja yang dimiliki lulusan LATKER.

Tabel 6. Persentase Pencapaian Kepuasan Supervisor terhadap Kinerja yang Dimilliki oleh Lulusan LATKER.

NO PERTANYAAN

DALAM KUESIONER NILAI JAWABAN

Rata-rata persentase 0 0,00%

1 0,00%

2 5,30%

3 60,23%

4 34,47%

46 Pada uji-t yang dilakukan didapatkan t-hitung untuk X3 (kinerja) sebesar 12,368. Nilai ini jauh lebih besar dari t-tabel yang hanya sebesar 1,659. Hal ini menunjukkan hipotesis H1 dapat diterima atau tolak H0. Jadi program LATKER mampu memenuhi pencapaian kesesuaian kinerja yang dimiliki peserta LATKER terhadap harapan supervisor PT Unilever, Tbk.

Dari Tabel 6 dapat dilihat secara keseluruhan tingkat penerimaan supervisor terhadap kemampuan kinerja yang dimiliki oleh lulusan LATKER. Persentase responden yang memberikan penilaian kinerja lulusan LATKER jelek adalah sebesar 0%, nilai

kurang sebesar 5,30%, nilai cukup sebesar 60,23%, dan nilai bagus sebesar 34,47%. Dari hasil ini menunjukkan bahwa program LATKER yang berjalan di PT Unilever, Tbk., Indonesia efektif dalam pencapaian harapan kinerja yang harus dimiliki oleh lulusan LATKER. Kepuasan supervisor terhadap kinerja yang dimiliki oleh lulusan LATKER ini secara langsung akan mempermudah bagi penerimaan karyawan dari lulusan LATKER karena memenuhi tuntutan kinerja yang dibutuhkan.

d. Analisis Efektivitas Program LATKER terhadap Pencapaian Kemampuan Softskill yang Harus Dimiliki Lulusan LATKER dalam Sudut Pandang Supervisor

Kemampuan softkill yang dimaksudkan disini adalah kemampuan komunikasi dan kemampuan teamwork lulusan LATKER di area kerjanya. Terkadang kemampuan komunikasi dengan atasan dan rekan kerja sangat menentukan seorang karyawan dapat diterima dalam suatu lingkungan kerja tersebut. Seorang supervisor tentunya tidak akan menyukai anak buahnya yang susah untuk diajak berkomunikasi dalam menyampaikan ide dan gagasannya. Teamwork atau mampu bekerja secara tim adalah suatu hal yang wajib dimiliki oleh seorang karyawan. Hal ini tidak terlepas dari pekerjaan-pekerjaan di area yang melibatkan kerja secara kelompok. Sangat merugikan jika karyawan yang dimiliki oleh perusahaan tidak dapat bekerja secara

tim. Mungkin secara individu bagus, tetapi jika secara tim kurang akan menyebabkan ketimpangan dalam alur kerja. Menurut Technical Staff Training and Recruitment kemampuan LATKER dalam berkomunikasi akan menentukan lolos atau tidak dalam wawancara oleh supervisor. Hal ini tentunya menunjukkan pentingnya kemampuan komunikasi. Oleh karena itu program LATKER tentunya harus mampu memenuhi tuntutan kemampuan komunikasi dan teamwork yang harus dimiliki oleh karyawan.

Dari analisis korelasi rank Spearman didapatkan nilai rs X4

(kemampuan softskill) adalah sebesar 0,732 dengan α sebesar 0,05.

Pencapaian besaran angka ini menunjukkan bahwa program LATKER yang berjalan memiliki hubungan yang agak kuat terhadap pencapaian softskill yang harus dimiliki oleh lulusan LATKER. Dengan kata lain program LATKER yang berjalan di PT Unilever, Tbk., Indonesia cukup erat kaitannya terhadap pencapaian harapan softskill yang harus dimiliki oleh lulusan LATKER.

Dari uji-t yang dilakukan didapatkan nilai t-hitung X4 adalah sebesar 11,328. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai t-tabel sebesar 1,659 dengan α sebesar 0,05. Ini artinya hipotesis H0 ditolak atau H1 dapat diterima. Dengan kata lain Program LATKER mampu memenuhi harapan supervisor terhadap kemampuan softskill

Dari uji-t yang dilakukan didapatkan nilai t-hitung X4 adalah sebesar 11,328. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai t-tabel sebesar 1,659 dengan α sebesar 0,05. Ini artinya hipotesis H0 ditolak atau H1 dapat diterima. Dengan kata lain Program LATKER mampu memenuhi harapan supervisor terhadap kemampuan softskill

Dokumen terkait