• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi A: Informan 1 dan Informan 2

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

1. Relasi A: Informan 1 dan Informan 2

a. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1

Tabel 2.2. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1

KETERANGAN TEMPAT HARI,

TANGGAL WAKTU

Wawancara I The Jack’s

Cafe, Selokan

Mataram

Kamis, 9 Oktober

2014

17.30 –

19.00 WIB

Wawancara II Kost Informan

1, Paingan

Sabtu, 18 Oktober

2014

16.00 –

17.00 WIB

Wawancara III Perpustakaan

Kampus III

Universitas

Sanata Dharma,

Paingan

Senin, 27 Oktober

2014

15.15 –

16.00 WIB

Member checking Coffee dan

Read, Paingan

Selasa, 13 Januari

2015

13.00 –

14.00 WIB

b. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2

Tabel 2.3. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2

KETERANGAN TEMPAT HARI,

TANGGAL WAKTU

Wawancara I Kost Informan

2, Mrican

Sabtu, 18 Oktober

2014

08.00 –

10.00 WIB

Wawancara II Kost Informan

2, Mrican

Jumat, 31 Oktober

2014

08.30 –

10.00 WIB

Member checking Melalui telepon Selasa, 13 Januari

2015

09.00 –

09.30 WIB

c. Relasi A dari Sudut Pandang Informan 1

Hilangnya sosok ayah sebagai panutan dan menyaksikan ibunya

yang depresi membuat informan 1 menilai perceraian sebagai sesuatu

yang mengerikan. Ketakutan-ketakutan yang dirasakan informan 1 saat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

itu tidak ia ceritakan kepada saudara kandungnya (informan 2).

Informan 1 juga mengaku bahwa saudara kandungnya tidak bercerita

mengenai ketakutan-ketakutannya saat itu kepada informan 1. Informan

1 mengatakan bahwa mereka tidak perlu saling bercerita secara eksplisit

tentang hal tersebut, karena mereka sudah saling memahami keadaan

masing-masing. Seperti yang dinyatakan oleh informan 1:

“Cerita yo enggak tho yo. Aku sama Mbak Rina udah

sama-sama paham.” (Informan 1, 67 – 68)

Baik informan 1 maupun saudara kandungnya kesulitan dalam

menerima keadaan keluarganya yang baru. Informan 1 yang saat itu

baru berusia delapan tahun mengatakan bahwa saudara kandungnya

menjadi sering menangis semenjak kepergian ayahnya. Informan 1

yang juga merasa terpukul dengan perceraian orangtuanya, merasa

sumpek setiap kali saudara kandungnya menangis. Seringkali informan

1 memilih untuk keluar rumah ketika hal itu terjadi, atau bahkan

memukul saudara kandungnya agar diam.

Tanpa ayahnya, informan 1 dan keluarganya tetap tinggal di

rumah mereka di Magelang. Informan 1 dan saudara kandungnya

bertemu dan berinteraksi dengan satu sama lain setiap hari selama di

rumah. Pada tahun 2010, saudara kandung informan 1 pindah ke

Yogyakarta untuk kuliah. Informan 1 menyusulnya pada tahun 2014

untuk berkuliah di universitas yang sama. Keduanya pulang ke

Magelang secara rutin setiap minggu, yaitu dari hari Jumat sore sampai

dengan hari Minggu sore.

33

Semenjak di Yogyakarta, informan 1 masih sering bertemu

dengan saudara kandungnya. Informan 1 dan saudara kandungnya biasa

bertemu tiga sampai lima kali seminggu. Pertemuan tersebut

berlangsung selama satu jam sampai seharian penuh. Informan 1

mengatakan bahwa ia senang setiap kali bertemu dengan saudara

kandungnya. Selain bertemu langsung, informan 1 juga berinteraksi

dengan saudara kandungnya melalui pesan singkat hampir setiap hari.

Hal ini tampak dalam wawancara:

“Kalau interaksi... Sering, sering, cukup sering. ... Itu kalau

lewat ponsel. Tapi kalau ketemu langsung, biasa, ngomong

biasa. ... Kadang dua hari sekali, kadang tiga hari sekali,

seminggu itu pasti ada bolongnya. ... Ya bisa satu dua jam,

nggak ngitungin sih. Kalau di rumah ya seharian, kecuali

pas lagi ada acara. ... Tiga lima kali, itu termasuk di

Magelang.” (Informan 1, 184 – 218)

Seringkali informan 1 dan saudara kandungnya bertemu sesuai

kebutuhan, seperti keperluan untuk membawa barang ke Magelang,

mengajak satu sama lain untuk makan bersama, dan lain sebagainya.

Informan 1 bisa membicarakan banyak hal dengan saudara kandungnya,

mulai dari kesehariannya di kampus sampai masalah-masalahnya yang

berat. Cerita-cerita tentang kehidupan informan 1 di kampus adalah

seputar gaya mengajar dosennya, kesulitan dalam mengikuti kuliah, dan

sebagainya. Masalah-masalah berat seperti pengalaman diolok teman

atau putus hubungan dengan pasangan juga bisa informan 1 ceritakan

kepada saudara kandungnya.

Informan 1 mengaku bahwa ia selalu bercerita kepada saudara

kandungnya ketika sedang ada masalah. Hal ini dilakukan informan 1

karena ia melihat saudara kandungnya sebagai orang yang

berpengalaman dan nyaman untuk dijadikan tempat bercerita. Saudara

kandung informan 1 dirasa bisa memberikan solusi dan bimbingan yang

dibutuhkannya untuk dapat mandiri menyelesaikan masalah. Informan

1 selalu mengecek suasana hati saudara kandungnya sebelum

menceritakan masalahnya. Apabila saudara kandungnya sedang

kedatangan tamu bulanan, informan 1 melihat hal tersebut dari raut

muka saudara kandungnya, dan informan 1 memilih untuk bercerita di

lain waktu karena tidak ingin mengganggu saudara kandungnya.

Informan 1 menceritakan dalam wawancara:

“Kalau ada masalah, pasti cerita. Aku biasanya pasti

cerita. ... Kayak cerita di kampus, ini dosennya enak apa

enggak, terus bisa ngikutin pelajaran atau enggak, terus

tanya timbal balik, gitu. ... Ya aku anggap dia lebih

berpengalaman, jadi lebih bisa memberikan solusi. Ya aku

cerita masalahku apa adane. Kayak diputus pacar, terus

balik, terus kayak di-bully teman, dan sebagainya.”

(Informan1, 201 – 202 dan 226 – 235)

Kegiatan bercerita antara informan 1 dan saudara kandungnya

merupakan hal yang timbal balik. Saudara kandung informan 1 pun

dikatakan informan 1 sering bercerita kepadanya. Informan 1 terkadang

heran mengapa orang yang sudah berpengalaman seperti saudara

kandungnya meminta nasihat dari dirinya yang masih anak kecil, tetapi

informan 1 tetap mencoba memberikan nasihat untuk membantu

saudara kandungnya. Informan 1 mengatakan bahwa dirinya lebih

35

sering memberikan kata-kata untuk menenangkan saudara kandungnya,

karena nasihatnya tidak selalu diikuti oleh saudara kandungnya. Tidak

jarang informan 1 juga bertindak langsung untuk membantu saudara

kandungnya, bahkan ikut merasa kesal dengan orang yang tidak disukai

oleh saudara kandungnya. Seperti yang dinyatakan dalam wawancara:

“... Kalau sekarang sih ngasih nasihatnya, wis kalem wae.

Jadi nasihatnya lebih buat nenangin dia aja. ... Kalau aku

lebih suka bertindak sih. Kalau kemarin waktu laptopnya

dia rusak... Langsung tak bawa ke counter, sing mbayar

aku. ... Pernah ikut sebal sama orang, ya nggak langsung

ngomong ke orangnya. Ya ikut sebal sama orang yang

disebali sama mbakku.” (Informan 1, 260 – 271)

Informan 1 dan saudara kandungnya dibesarkan oleh ibu mereka

selama bertahun-tahun terakhir. Walau begitu, informan 1 merasa

bahwa terdapat perbedaan dalam perlakuan ibunya terhadap dirinya.

Informan 1 mengatakan bahwa ibunya selalu berusaha memenuhi

keinginan saudara kandungnya, sementara informan 1 diajarkan untuk

tidak iri hati. Informan 1 juga merasa bahwa ibunya lebih dekat dengan

saudara kandungnya karena keduanya sama-sama perempuan. Akan

tetapi, hal ini tidak membuat informan 1 sebal terhadap ibu maupun

saudara kandungnya.

Informan 1 mengatakan bahwa ia dan saudara kandungnya sering

bertengkar ketika masih sama-sama tinggal di Magelang. Pertengkaran

biasa terjadi seminggu sekali, serta diwarnai oleh tangisan dan pukulan.

Informan 1 mengatakan bahwa pertengkaran terjadi karena hal-hal

sepele. Sejak sekitar tahun 2009, informan 1 sudah jarang bermasalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan saudara kandungnya. Ketika ada konflik pun, keduanya

memilih untuk diam daripada saling memukul atau menangis.

Konflik-konflik ini tidak berlangsung lama, yaitu sekitar dua sampai tiga hari.

Informan 1 berkata bahwa konflik biasanya selesai dengan sendirinya

ketika emosi sudah reda dan salah satu berinisiatif untuk mengajak

bicara. Meskipun begitu, tidak jarang keduanya saling meminta maaf

terlebih dahulu. Informan 1 mengatakan:

“Kalau semenjak dewasa ini, nggak pernah. Ya kalau ada

masalah paling masalah kecil lah. Tapi kalau dulu pas dia

masih di Magelang, sering banget, hampir dibilang satu

minggu itu kalau nggak ada pukul memukul tangis

menangis itu nggak bisa itu. Paling nggak seminggu sekali

ada pasti.” (Informan 1, 301 – 306)

Informan 1 mengatakan bahwa secara keseluruhan, ia merasa

dekat dengan saudara kandungnya. Pertemuan keduanya yang tidak

terlalu intens dirasa informan 1 menghambatnya untuk membentuk

hubungan yang lebih dekat lagi dengan saudara kandungnya. Informan

1 berharap ia dapat tetap dekat dan berkomunikasi dengan saudara

kandungnya, walaupun saudara kandungnya pindah ke Surabaya.

d. Relasi A dari Sudut Pandang Informan 2

Pada pertengahan tahun 2010, informan 2 pindah ke Yogyakarta

untuk memudahkannya dalam menjalani perkuliahan. Informan 2 dan

saudara kandungnya (informan 1) yang sebelumnya bertemu setiap hari

menjadi lebih jarang bertemu. Pada tahun 2014, saudara kandung

informan 2 menyusulnya ke Yogyakarta untuk kuliah di universitas

37

yang sama. Informan 2 menyatakan bahwa ia jarang bertemu dengan

saudara kandungnya, yaitu hanya sekitar seminggu sekali sesuai dengan

kebutuhan. Meskipun jarang bertemu, informan 2 dan saudara

kandungnya berkomunikasi hampir setiap hari lewat pesan singkat

maupun telepon. Pada minggu-minggu terakhir di Yogyakarta sebelum

informan 2 pindah ke Surabaya, ia dan saudara kandungnya menjadi

lebih sering bertemu. Informan 2 mengaku bahwa ia senang setiap

bertemu dengan saudara kandungnya. Terbukti dari hasil wawancara:

“... Akhir-akhir ini sih iya (berkomunikasi), soalnya dia

bantuin aku pindahan. Ya, sering, kalau misalnya lagi butuh

apa gitu, ya sering. ... Akhir-akhir ini seminggu sekali sih,

setiap Jumat sebelum pulang. ... Ketemu Kristo itu, Sabtu,

Minggu, kemarin. Tiga kali. ... Kalau misalnya ketemu, yo

wis, senang. ... Iya, sering. Kalau ada masalah gitu juga,

suka telepon. Jadi walaupun jarang ketemu, masih bisa

telepon.” (Informan 2, 220 – 221, 233, 269, dan 424 - 425)

Ketika keduanya bertemu, informan 2 dan saudara kandungnya

bercakap-cakap mengenai kuliah dan keadaan keuangan

masing. Selain itu, mereka juga membicarakan pasangan

masing-masing, kabar terbaru ayah mereka, dan cerita-cerita tentang keseharian

keduanya. Informan 2 mengatakan bahwa saudara kandungnya

bukanlah orang yang terbuka, tetapi saudara kandungnya dapat

bercerita banyak padanya. Ketika saudara kandung informan 2

mengkonsultasikan masalah-masalahnya, informan 2 berusaha

membantu dengan memberikan saran. Akan tetapi, informan 2 merasa

bahwa sarannya tidak selalu diikuti. Dalam wawancara disebutkan:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Tapi akhir-akhir ini, semenjak kita kuliah, ya cerita.

Misalnya ada apa, dia sama pacarnya gimana, sering

cerita. ... Apa ya, ya kuliahnya dia. Terus, masalah

keuangannya dia selama kuliah, cerita tentang pacarnya

dia. Aku cerita tentang pacarku, ya tukar-tukaran cerita

gitu. Cerita tentang bapak mungkin, sekali-sekali.”

(Informan 2, 192 – 194)

Informan 2 sendiri mengatakan bahwa ia lebih banyak bercerita

pada pacarnya. Namun, informan 2 masih senang bercerita pada

saudara kandungnya. Ketika menceritakan masalah yang dimilikinya,

informan 2 mendapatkan umpan balik yang baik dan membangun dari

dari saudara kandungnya. Informan 2 juga merasa bahwa saudara

kandungnya sangat protektif terhadap dirinya, sehingga tidak jarang

saudara kandungnya akan langsung bertindak untuk membantu

informan 2 menyelesaikan masalahnya. Hal ini tampak dari kata-kata

informan 2:

“Dia overprotective sebenarnya sama aku. Kayak pernah

kan, aku berantem sama pacar, terus aku cerita ke Kristo.

Terus Kristo-nya, ngerasa, “Wah, kok mbakku diginiin

sih?” Terus dia ngomong sama Mas Bondan. Kelihatan

sayangnya sih. ... Feedback yang membangun yang jelas.

Tapi selama ini dia memberikan feedback yang baik sih,

yang membangun. Bisa membuat aku lebih sabar, lebih

tenang.” (Informan 2, 303 – 313)

Meskipun dibesarkan bersama-sama oleh ibu, informan 2

merasakan perbedaan perlakuan ibunya terhadap dirinya dan saudara

kandungnya. Informan 2 merasa bahwa ibunya lebih memperhatikan

saudara kandungnya ketimbang dirinya, tetapi hal tersebut tidak

mempengaruhi sikap informan 2 terhadap ibu maupun saudara

kandungnya.

39

Sebelum informan 2 pindah ke Yogyakarta, ia dan saudara

kandungnya sering bertengkar karena masalah-masalah sepele. Akan

tetapi, sekarang ini konflik sudah sangat jarang di dalam hubungan

mereka. Jika terjadi konflik, hanya akan berlangsung selama satu atau

dua jam, kemudian keduanya akan berbaikan dan bercakap-cakap lagi

seperti biasa. Informan 2 mengatakan:

“... Kayak gitu itu. Tapi semakin ke sini, kita kan semakin

dewasa. Yo marah yo marah aja, tapi nggak sampai diam

beberapa hari. Paling sejam dua jam, paling cuma

mbuh!”, paling cuma gitu doang. Nggak pernah yang

kayak dulu lagi. ... Kita main, terus pulang, terus ceritanya

udah ngajak ngobrol lagi. Udah baikan lagi.” (Informan 2,

318 – 322 dan 356 - 357)

Informan 2 menggambarkan hubungannya dengan saudara

kandungnya sebagai hubungan kakak-adik yang suportif. Informan 2

mendukung saudara kandungnya melalui nasihat-nasihat dan tindakan

langsung yang dilakukan untuk membantu saudara kandungnya.

Sebaliknya, saudara kandung informan 2 mendukung informan 2

dengan memberikan nasihat, bertindak untuk menyelesaikan masalah

informan 2, bahkan hadir langsung dalam momen-momen penting

dalam hidup informan 2. Bahkan saudara kandung informan 2 yang

mendukung rencananya untuk bekerja di Surabaya dan menikah tahun

2016. Informan 2 merasa bahwa ia dan saudara kandungnya saling

menjaga dengan mengkomunikasikan informasi-informasi penting.

Selain itu, informan 2 juga berusaha menjadi contoh yang baik untuk

adiknya dengan aktif di berbagai kegiatan, supaya adiknya tidak meniru

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ayah dan kakaknya yang tertua. Informan 2 pun tidak segan untuk

membantu saudara kandungnya ketika sedang mengalami kesulitan

keuangan. Informan 2 menyatakan demikian:

“Jadi, ya, sama-sama saling memberikan informasi, saling

memberikan dukungan, saling menjaga. ... “Bisa nikah

kapan, Bu?” Terus kata ibu, “Ya, 2018 yo, bar Kristo

rampung kuliah.” Nah, Kristo tuh malah bilang, “Ojo, Bu.

2016 aja, Bu, selak tuo Mas Bondan-nya, 31 tahun. Ojo

2018.” Jadi malah Kristo yang mbelaniaku.” (Informan 2,

507 – 509, dan 625 – 629)

Dikarenakan rencana informan 2 untuk mencari kerja di

Surabaya, informan 2 dan saudara kandungnya akan menjadi lebih

jarang bertemu. Informan 2 berharap ia dapat tetap berkomunikasi

dengan saudara kandungnya dan agar saudara kandungnya tetap

semangat menjalani kehidupan. Informan 2 juga bercita-cita untuk

mengajak saudara kandungnya berlibur ke Surabaya.

e. Kesimpulan Relasi A

1) Kedekatan/keintiman

Informan 1 dan informan 2 berkomunikasi hampir setiap hari

meskipun tinggal terpisah. Keduanya bertemu setiap minggu,

berkisar satu sampai lima kali seminggu. Durasi setiap pertemuan

berkisar dari satu jam sampai seharian penuh. Baik informan 1

maupun informan 2 merasa senang ketika bertemu, dan terdapat

keinginan untuk berinteraksi dengan satu sama lain secara lebih

intens di masa depan.

41

Selama di Yogyakarta, keduanya bertemu untuk pemenuhan

kebutuhan sehari-hari, seperti untuk mencari makan bersama-sama,

meminta bantuan, atau untuk pulang ke Magelang. Pertemuan

informan 1 dan informan 2 juga diisi dengan kegiatan saling bertukar

cerita. Informan 1 menyatakan bahwa ia selalu menceritakan

masalahnya kepada informan 2, karena ia memandang informan 2

sebagai figur yang lebih berpengalaman dan mampu memberikan

solusi. Setelah bercerita dengan informan 2, informan 1 merasa lega.

Selain menceritakan masalahnya, informan 1 juga seringkali

menceritakan kesehariannya kepada informan 2. Informan 1 selalu

memperhatikan dan mempertimbangkan suasana hati informan 2

terlebih dahulu sebelum bercerita agar tidak menambah beban

pikiran informan 2.

Informan 2 sering menceritakan keseharian dan

masalah-masalahnya pada informan 1. Informan 2 memandang informan 1

sebagai orang yang lebih tenang, bijak, dan perhatian, sehingga

informan 2 merasa nyaman untuk bercerita kepadanya. Informan 2

juga menyatakan kecemasannya ditinggalkan oleh informan 1.

2) Konflik/persaingan yang rendah

Informan 1 dan informan 2 sering bertengkar ketika masih

kecil. Informan 1 merasa bahwa ibunya memperlakukannya dengan

berbeda, karena terlihat seolah-olah ibu informan 1 lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menyayangi informan 2. Informan 1 sudah tidak mempermasalahkan

hal itu karena merasa bahwa ibunya dan informan 2 lebih dekat

karena sama-sama perempuan. Sebaliknya, informan 2 justru merasa

bahwa informan 1 lebih disayang oleh ibunya karena sering

membelikan barang untuk informan 1. Meski demikian, informan 2

menyadari bahwa seorang adik memang membutuhkan perhatian

lebih dan sekarang pun kebutuhan keduanya terpenuhi secara

seimbang, sehingga informan 2 tidak lagi mempermasalahkan

perbedaan perlakuan dari ibunya.

Saat ini, informan 1 dan informan 2 sudah jarang bermasalah.

Masalah-masalah yang muncul biasanya terjadi karena sifat jahil

atau kekeraskepalaan informan 1. Akan tetapi, keduanya mampu

menyelesaikan masalah dengan cepat dan tanpa kekerasan.

3) Solidaritas

Solidaritas dalam relasi A terlihat kuat. Ketika memiliki

masalah, informan 1 dan informan 2 akan saling memberikan solusi,

bahkan terkadang bertindak langsung, untuk membantu satu sama

lain. Informan 1 menyampaikan bahwa ia pernah merasa sebal

dengan orang yang menyakiti informan 2. Relasi A juga merupakan

relasi yang saling suportif. Informan 1 mendukung informan 2

melalui nasihat atau solusi yang diberikan, mendukung keinginan

dan keputusan informan 2, serta menghadiri momen-momen penting

43

dalam hidup informan 2. Informan 2 sendiri mendukung informan 1

melalui kata-kata, baik itu nasihat, omelan, maupun penyemangat.

Informan 2 juga berusaha menjadi contoh yang baik untuk informan

1 karena merasa bahwa anggota keluarga mereka yang lainnya

kurang cocok dijadikan panutan.

4) Relasi Symmetrical dan Complementary (Knapp dan Vangelisti,

1995)

Pada masa kanak-kanak, informan 1 dan informan 2 belum

dapat membentuk relasi yang complementary karena keduanya

memiliki sifat keras kepala dan masih mementingkan haknya sendiri.

Akan tetapi, saat ini keduanya sudah mampu mengesampingkan ego

masing-masing sehingga konflik lebih jarang terjadi. Bahkan,

informan 1 seringkali menenangkan informan 2 ketika merasa

khawatir atau tidak yakin. Sebaliknya, ketika informan 1 bertindak

gegabah, informan 2 menenangkannya dan membantu meluruskan

masalah. Selain sifat complementary tersebut, relasi A juga memiliki

sifat symmetrical. Hal tersebut tampak ketika informan 1 dan

informan 2 saling membantu memenuhi kebutuhan masing-masing,

seperti kebutuhan untuk bercerita dan mengekspresikan diri.

Keduanya saling memberi perhatian dan penguatan. Hal ini

menunjukkan bahwa kedua informan menerapkan relasi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bersifat complementary maupun symmetrical dalam hubungan

mereka.

Dokumen terkait