• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

C. Saran

Bagi peneliti lain yang selanjutnya akan melakukan penelitian terkait

topik penelitian ini, disarankan untuk menambah informan penelitian

sehingga mencakup variasi pola relasi yang ideal, yaitu relasi kakak laki-laki

dengan adik laki-laki, kakak laki-laki dengan adik perempuan, kakak

perempuan dengan adik perempuan, serta kakak perempuan dengan adik

laki-laki. Untuk mengatasi keterbatasan metode wawancara, peneliti memerlukan

kelihaian serta kepekaan dalam membuat dan mengajukan pertanyaan,

maupun dalam membangun rapport dengan informan. Observasi partisipasi

juga bisa dilakukan untuk memperkaya data yang tidak didapatkan dari

wawancara.

79

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2007). APA Dictionary of Psychology.

Washington DC: American Psychological Association.

Arnett, J. J. (2006). G. Stanley Hall’s Adolescence: Brilliance and Nonsense.

History of Psychology, Vol. 9, No. 13, 186-197.

Aronson, S. R. & Huston, A. C. (2004). The Mother-Infant Relationship in Single,

Cohabiting, & Married Families: A Care for Marriage? Journal of Family

Psychology, Vol. 18, No. 1, 5-18.

Bank, S. P., & Kahn, M. D. (1982). The Sibling Bond. New York: Basic Books.

Basrowi & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka

Cipta.

Bisono, T. (2009). Meet Tika on the Book: We Have a Problem, But I’m on Your

Side...!. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Borden, M. E. (2003). The Baffled Parent's Guide to Sibling Rivalry. New York:

McGraw-Hill.

Brody, G. H. (1998). Sibling relationship quality: Its causes and consequences.

Annual Review of Psychology, Vol. 49, 1-24.

Brody, G. H. (2004). Siblings’ direct and indirect contributions to child

development. Current Directions in Psychological Science, Vol. 13, 124-126.

Brown, C. (2006). Social Psychology. London: Sage Publications.

Bukatko, D. (2008). Child and Adolescent Development: A Chronological

Approach. Boston: Houghton Mifflin Company.

Cicirelli, V. G. (1989). Feelings of attachment to siblings and well being in later

life. Psychology and Aging, Vol. 4, 211-216.

Conger, K. J., Stocker, C., & McGuire, S. (2009). Sibling socialization: The

effects of stressful life events and experiences. Dalam L. Kramer & K. J.

Conger, Siblings as Agents of Socialization, New Directions for Child and

Adolescent Development, Vol. 126, 45-60. San Fransisco: Jossey-Bass.

Creswell, J. W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Approaches. Third Edition. California: Sage Publications.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik: Panduan bagi Orang

Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Fauzi, A. (4 Agustus 2011). Menekan Angka Perceraian. Diunduh 20 September

2013, dari http://news.detik.com/

read/2011/08/04/141444/1696529/471/menekan-angka-perceraian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Feinberg, M. E., McHale, S. M., Crouter, A. C., & Cumsille, P. (2003). Sibling

differentiation: sibling and parent relationship trajectories in adolescence.

Child Development, Vol. 74, No. 5, 1261–1274.

Fowler, C. (2009). Motives for Sibling Communication. Communication

Quarterly, Vol. 57, No. 1, 51-66.

Furman, W. & Buhrmester, D. (1985). Children’s perception of the qualities of

sibling relationships. Child Development, Vol. 56, 448-461.

Goetting, A. (1986). The developmental tasks of siblingship over the life cycle.

Journal of Marriage and the Family, Vol. 48, 703-714.

Gunarsa, Y. S. D. & Gunarsa, S. D. (1990). Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta:

PT. BPK Gunung Mulia.

Gunarsa, Y. S. D. (2002). Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta: PT.

BPK Gunung Mulia.

Hadriani, P. (11 April 2013). Aktivis Perempuan: Angka Perceraian Kian

Fantastis. Diunduh 20 September 2013, dari

http://www.tempo.co/read/news/2013/04/11/174472661/Aktivis-Perempuan-Angka-Perceraian-Kian-Fantastis

Hurlock, E. B. (1955). Adolescent Development. Second Edition. New York:

McGraw-Hill Book Company, Inc.

Jennings, M. (1998). Siblings’ perception’s of their divorce experiences and the

quality of the sibling relationship. Tesis.

Kier, C. & Lewis, C. (1998). Preschool sibling interaction in separated and

married families: Are same-sex pairs or older sisters more sociable? Journal of

Child Psychology and Psychiatry, Vol. 39, 191-201.

Knapp, M. L. & Vangelisti, A. L. (1995). Interpersonal Communication and

Human Relationships. Massachusetts: Allyn & Bacon.

Koerner, S. S., Wallace, S., Lehman, S. J., Lee, S., & Escalante, K. A. (2004).

Sensitive mother-to-adolescent disclosures after divorce: Is the experience of

sons different from that of daughters? Journal of Family Psychology, Vol. 18,

No. 1, 46-57.

Lerner, R. & Steinberg, L. (2009). Handbook of Adolescent Psychology: Third

Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

MacKinnon, C. E. (1989). An observational investigation of sibling interactions in

married and divorced families. Developmental Psychology, Vol. 25, No. 1,

36-44.

Martinez, Jr., C. R. & Forgatch, M. S. (2002). Adjusting to Change: Linking

Family Structure Transitions With Parenting and Boys’ Adjustment. Journal of

Family Psychology, Vol. 16, No. 2, 107-117.

Medinnus, G. R. & Johnson, R. C. (1969). Child and Adolescent Psychology:

Behavior and Development. New York: John Wiley & Sons, Inc.

81

Morrison, K. (2013). Men After Divorce: Ego, Self Esteem, and Recovery.

Diunduh 10 Juni 2014, dari

http://www.huffingtonpost.com/kyle-morrison/men-after-divorce-ego-sel_b_3145814.html

Myers, D. G. (2012). Psikologi Sosial, Edisi 10, Buku 2. Jakarta: Penerbit

Salemba Humanika.

Myers, S. M. & Goodboy, A. K. (2010). Relational maintenance behaviors and

communication channel use among adult siblings. North American Journal of

Psychology, Vol. 12, No. 1, 103-106.

Noller, P. & Fitzpatrick, M. A. (1993). Communication in Family Relationships.

New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Noor, J. (2011). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya

Ilmiah. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Oxford. (2003). The Oxford American Dictionary and Thesaurus: With Language

Guide. New York: Oxford University Press, Inc.

Oxford. (2008). Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University

Press, Inc.

Poerwadarminta, W. J. S. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.

Jakarta: Balai Pustaka.

Riggio, H. R. (2001). Relation between parental divorce and the quality of adult

sibling relationships. Journal of Divorce and Remarriage, Vol. 36, 67-82.

Riggio, H. R. (2006). Structural features of sibling dyads and attitudes toward

sibling relationships in young adulthood. Journal of Family Issues, Vol. 27 (9),

1233-1254.

Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup.

Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Sarosa, S. (2012). Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: PT. Indeks.

Seven Factors Identified as the Main Causes of Divorce. (10 September 2005).

Diunduh 24 Juli 2014, dari

http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=154737

Shriner, J. A. (1999). Adult Sibling Relationships. Ohio: Ohio State University

Extension.

Skolnick, A. S. & Skolnick, J. H. (1983). Family in Transition: Fourth Edition.

Kanada: Little, Brown & Company Limited.

Smith, J. A. (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Stocker, C. M. (1984). Children’s perceptions of relationships with siblings,

friends, and mothers: Compensatory processes and links with adjustment.

Journal of Child Psychology and Psychiatry, Vol. 35, 1447-1459.

Survey Conducted by National Fatherhood Initiative Reveals Top 8 Reason for

Divorce. (2010). Diunduh 24 Juli 2014, dari

http://www.thejosephfirmpa.com/survey-conducted-by-national-fatherhood-initiative-reveals-top-8-reasons-for-divorce/

Wallerstein, J., Lewis, J. M., & Blakeslee, S. (2000). The Unexpected Legacy of

Divorce: The 25 Year Landmark Study. New York: Hyperion.

What Are the Most Common Causes of Divorce? (2008). Diunduh 24 Juli 2014,

dari http://www.divorcereform.org/cau.html

White, L. K. & Riedmann, A. (1992). Ties among adult siblings. Social Forces,

Vol. 71, 85-102.

Yelland, I. & Daley, D. (2009). Expressed emotion in children: Associations with

sibling relationships. Child: Care, Health dan Development, Vol. 35, No. 4,

568-577.

Yusuf, S. (2010). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

83

INFORMED CONSENT

Pada kesempatan ini, saya Ni Luh Made Utari Praharsini, mahasiswi

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, ingin memohon

bantuan dan kesediaan Saudara/i untuk berpartisipasi sebagai responden penelitian

saya. Penelitian mengenai kualitas relasi antar saudara kandung pada remaja dari

keluarga bercerai ini saya lakukan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi saya

di Fakultas Psikologi.

Peneliti akan melakukan wawancara beberapa kali dengan Anda, dan

setiap wawancara akan direkam menggunakan alat perekam. Dalam proses

wawancara tersebut, peneliti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk

menggali pengalaman Anda mengenai perceraian orangtua dan relasi Anda

dengan saudara kandung Anda, sehingga memungkinkan Anda mengalami

perasaan tidak nyaman. Oleh karena itu, apabila Anda merasa tidak nyaman untuk

berbagi informasi, Anda berhak untuk mengundurkan diri sebagai responden

penelitian saya.

Kerahasiaan informasi Anda akan dilindungi. Informasi Anda hanya akan

saya bagikan dengan dosen pembimbing saya. Identitas Anda akan dirahasiakan

dan nama Anda hanya akan disebutkan dengan menggunakan inisial.

Kesediaan Anda menjadi responden penelitian saya akan sangat membantu

saya, dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan Psikologi, serta dapat

bermanfaat bagi orang lain yang juga mengalami perceraian orangtua. Tanda

tangan Anda menyatakan bahwa Anda secara sukarela membuat keputusan untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini. Atas pengertian dan partisipasinya, saya

mengucapkan banyak terima kasih.

Responden Penelitian Peneliti

__________________ Ni Luh Made Utari Praharsini

84

VERBATIM WAWANCARA INFORMAN 1

No. Verbatim Transformasi Tematik

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Umm, bisa minta tolong menyebutkan identitasnya? Dari nama, usia?

Eh, nama saya SKBA, usia 19 tahun.

Eh, oke. Kamu berapa bersaudara? Terus nama saudara kandung kamu dan usia saudara kandung kamu?

Saudara kandung ada dua. Dua kakak. Kakak pertama cowok, namanya ANW, usianya sekitar duapuluh... Duapuluh delapan. Kakak kedua cewek, namanya MATP, biasa dipanggil Rina, usia duapuluh dua. Kapan orangtua kamu bercerai? Mungkin tahun berapa?

Kalau lebih tepatnya kapan bercerainya saya kurang tahu, tapi mulai pisahnya itu tahun 2003 pertengahan kok, bulan Agustus lebih tepatnya.

Umm, bisa diceritakan proses perceraian

orangtuamu seperti apa? Maksudnya, kalau ada sidang, sidangnya itu seperti apa?

Kalau prosesnya pada awalnya itu ya ribut-ribut biasa lah, kalau kayak suami istri kalau ada masalah ribut-ribut gitu, tapi ini ributnya ini benar-benar udah fatal banget, gitu lho. Soalnya ini kan ada orang ketiga, ada orang ketiga di keluarga kami. Nah, di situ, eh, ibu saya kan memang nggak terima soalnya anak-anak kan masih pada kecil kan, tapi situ, eh, bapakku memutuskan lebih

I1 memperkenalkan dirinya yang berusia 19 tahun dan memberitahu nama serta usia kedua saudara kandungnya. (1 – 10)

I1 menyatakan bahwa perpisahan

orangtuanya diawali dengan keributan karena adanya orang ketiga dari pihak bapak, dan bapaknya memutuskan untuk memilih orang ketiga tersebut serta menceraikan ibu I1. (11

85

26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53

memilih sama si cewek itu. Kalau proses perceraiannya itu lewat sidang. Itu bapak nggak pernah datang, kalau yang saya dengar itu bapak nggak pernah datang, karena waktu itu saya masih kecil jadi saya nggak bisa ikut sidang. Bapak itu nggak pernah menghadiri sidang, jadi dia pakai pengacara. Akhirnya secara hukum, keluarga besar saya, maksudnya ibu saya, kalah. Tapi ibu saya nggak pernah menandatangi surat cerai. Tapi kalau menurut bapak, itu sudah termasuk perceraian, jadi sudah cerai, istilahnya seperti itu.

Jadi yang meminta cerai itu bapak? He em.

Itu sidangnya tahun 2003 juga?

Kalau sidangnya itu kemungkinannya 2004. Ya kalau nggak 2003 akhir, 2004-an.

Pas 2003 itu umur kamu... Umur delapan tahun.

Berarti kamu udah paham kenapa orangtua kamu bercerai?

Eh, sejak kecil sudah paham, sudah paham. Kamu tahu ada orang ketiga itu dari siapa?

Soalnya waktu itu pernah, pernah ibu nelepon, nelepon marah-marahin cewek. Kan di situ aku mulai mikir, ini ada apa, kan nggak beres sama keluarga. Kok ibu ngomong sama ceweknya itu bilang gini... Emm, apa, emm, apa ya... Ya pokoknya itu sebagai orang ketiga, saya pahamnya sebagai orang ketiga. Tapi omongannya sudah lupa sih, sudah lama banget.

I1 merasa bahwa dirinya masih terlalu kecil untuk mengikuti sidang, tetapi ia mendengar bahwa bapaknya tidak pernah menghadiri sidang. (26 – 31)

I1 menyatakan bahwa ibunya tidak

menandatangani surat cerai tetapi bapaknya sudah menganggap cerai. (31 – 35)

I1 menyatakan bahwa dirinya sudah mengetahui adanya orang ketiga tersebut sejak kecil karena mendengar ibunya menelepon seorang perempuan sambil marah-marah. (43 – 53)

86

54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81

Em, oke. Saat itu, bagaimana kamu menghadapi perceraian?

Akunya? Nek aku dulu itu menghadapinya itu sebagai sesuatu sing ngeri, apalagi melihat ibuku yang depresi gitu. Kan sebagai anak, gimana ya, ngerasanggak enak juga, kehilangan sosok yang menurutku patriotis banget gitu lho, yang kemungkinan besar dewasanya sebagai panutanku gitu, tapi malah kehilangan sosok itu. Ya jadinya kan, yaaa piye ya.. Ya istilahnya ngerilah, ya nggak kebayang nanti ke depannya mau jadi apa tanpa sosok bapak itu.

Kamu cerita nggak ke Mbak Rina soal ketakutan-ketakutanmu itu?

Cerita yo enggak tho yo. Aku sama Mbak Rina udah sama-sama paham.

Mbak Rina cerita ke kamu soal ketakutannya nggak

dulu?

Enggak pernah ik.

Lalu Mbak Rina menyikapi kamu seperti apa saat itu?

Ya biasa sih... Nggak ada perubahan sifat gitu. Kayak mbakku biasa. Nggak terus nemenin aku kemana-mana, podo wae.

Kalau Mbak Rina waktu itu menghadapi perceraian bapak ibu seperti apa?

Kalau Mbak Rina menghadapi perceraian itu, kalau yang saya ingat, hampir sama. Hampir sama kayak aku. Dia itu, ya kayak nggak terima gitu. Jadi kalau nganu ya

I1 melihat perceraian orangtuanya sebagai sesuatu yang mengerikan, karena melihat ibunya yang depresi serta merasa kehilangan sosok panutan. (54 – 64)

I1 merasa bahwa dirinya dan saudara kandungnya sudah saling memahami ketakutan masing-masing walaupun tidak saling bercerita. (65 – 71)

I1 merasa bahwa tidak ada perubahan sikap dari saudara kandungnya ketika ia merasakan ketakutan tersebut. (72 – 75)

I1 menyatakan bahwa saudara kandungnya tidak terima dengan perceraian orangtua dan banyak menangis. (77 – 86)

Keintiman atau ikatan emosional antara I1 dan saudara kandungnya tampak ketika keduanya yang tidak saling menceritakan ketakutannya tentang perceraian orangtua, tetapi I1 merasa hal itu tidak perlu karena sudah merasa saling memahami keadaan masing-masing. (65 – 69)

Solidaritas yang kurang sewaktu I1 dan saudara kandungnya masih SD tampak ketika saudara kandung I1 tidak berbuat apa-apa untuk I1 ketika I1 merasa takut dengan perceraian orangtuanya. (72 – 76)

87

82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109

dikit-dikit nangis. Biasa ya kalau anak cewek kayak gitu. Apalagi itu sekitar umur berapa ya, sebelas, sebelas tahun.

Kamu bisa tahu kalau dia ngerasanggak terima itu

gimana?

Dari perubahan sifat wae. Jadi misalnya gini... Jadi sering cengeng, sering nangis.

Kalau dia nangis, apa yang kamu lakukan? Kadang nek pas suntuk, keluar. Ya maksudnya keluar main. Tapi pas nganutuh, hajar. Ya pas lagi nggak mau dengarin, ya hajar, ya main pukul.

Kamu yang pukul? Kenapa? Iya, pernah dulu... Sumpek tho yo.

Sekarang setelah bercerai, kamu sama Mbak Rina ikut orangtua yang mana?

Setelah bercerai ikut ibu.

Itu keputusan pengadilan atau memang keputusan kamu dan Mbak Rina?

Keputusan aku sama Mbak Rina sendiri. Pengennya ikut ibu emangan.

Gimana prosesnya sampai bisa sampai pada keputusan itu?

Ya kayaknya milih dewe-dewe. Eh, ya, ketoke milih dewe-dewe... Nggak lewat diskusi juga.

Kenapa nggak mau ikut bapak?

Soalnya nggak mau ikut yang salah gitu, pengennya ikut yang benar.

Oh, gitu... Sekarang kamu melihat bapak kamu

I1 memilih untuk pergi atau memukulnya karena merasa sumpek ketika saudara kandungnya menangis. (89 – 94)

I1 dan saudara kandungnya memutuskan sendiri-sendiri untuk ikut dengan ibu karena

tidak mau ikut pihak yang “salah”. Hingg sekarang I1 masih melihat bapaknya sebagai pihak yang bersalah atas perceraian

orangtuanya. (95 – 111)

Solidaritas yang kurang serta konflik sewaktu I1 dan saudara kandungnya masih SD tampak ketika I1 kesal dengan saudara kandungnya yang menangis karena takut akan perpisahan

orangtuanya, yang dilanjutkan dengan tindakan I1 memukuli saudara

kandungnya atau pergi dari rumah. (89 –

94)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137

masih sebagai orang yang “salah”?

Kalau sekarang sih, ya, kalau salah, iya tetap salah. Tapi kalau ditanya apakah dia, buat aku, apakah dia masih bapakku? Kalau secara biologis iya, tapi kalau aku mandang dia di jalan gitu, aku mandang dia bukan bapakku tapi orang lain.

Kenapa bisa begitu?

Ya karena udah lama nggak pernah ketemu, nggak pernah ketemu, nggak pernah ada ikatan yang mendalam. Kayak biasanya kalau anak diajak pergi makan bareng, ada ikatan antara anak sama bapak, ada komunikasi interaksi gitu. Itu kan udah lama banget, sampai sekarang 2014 udah nggak pernah ada komunikasi lagi.

Hmm, gitu?

Iya. Komunikasi dalam arti temu muka.

Terus setelah perceraian, sekolah kamu gimana? Berarti, setelah sekitar kamu delapan tahun itu, apakah kamu jadi sering membolos atau nilai kamu menurun?

Kalau sekolahku, sejak kecil terhitung biasa-biasa aja. Bolos sih enggak. Nggak nakal-nakal banget sih, nakal ya nakal wajar sih, nakal anak kecil pada umumnya, gitu. Nakal wajar maksudnya jarang di rumah, dolan, pulang main telat. Sering nggak di rumah. Padahal dolan-nya masih di sekitar rumah.

Menurutmu ada perubahan nggak di sekolah? Dari nilaimu ada perubahan nggak?

I1 merasa bahwa ia tidak dekat dengan bapaknya karena tidak pernah berkomunikasi ataupun bertemu layaknya bapak dan anak biasanya, bahkan memandang bapaknya sebagai orang lain. (112 – 123)

I1 merasa bahwa nilainya standar, tidak membolos, dan nakal sewajarnya setelah perceraian. (126 – 132)

I1 sering tidak di rumah dan pulang terlambat setelah bermain di luar rumah. (133 – 135) I1 merasa termotivasi untuk belajar karena ingin menyenangkan ibunya dalam keadaan

Keintiman yang kurang sewaktu I1 dan saudara kandungnya masih SD terjadi karena I1 lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah setelah perceraian, sehingga frekuensi dan durasi interaksi menjadi terbatas. (133 – 134)

89

138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165

Nilai akademis sih tetap standar. Tapi lebih kesadaran buat belajar lagi, pengen nyenengin ibu, gitu. Merasa ada motivasi. Lha nek kondisinya gitu, nek nilaiku jeblok... Ya, lucu tho.

Hmm, terus, hubunganmu dengan teman-teman kamu setelah perceraian seperti apa? Dalam artian, sebelum perceraian kan kamu sudah punya teman-teman main, setelah perceraian apakah kalian masih sering ketemu atau gimana?

Kalau dulu itu, tahun 2003 itu kebetulan aku waktu itu tuh pindah, pindah SD. Jadinya kan ikut ibu, jadi ini teman-teman baru... Teman-teman baru jadi sebisa mungkin aku dapat banyak teman buat ngehibur aku sendiri, jadi berusaha mendekatkan diri supaya aku sendiri senang, gitu... Nggakmikirin urusan rumah. Hmm, sebelumnya kamu tinggal di mana?

Sebelumnya di Perumahan Bumi Prayudan, di Magelang Kabupaten, Mertoyudan. Setelah bercerai masih di situ, cuma pindah sekolah, itu pun sebelum bercerai. Jadi memang tradisi keluarga, dari ibuku, kan ibuku PNS, guru... Nah, itu SD dari sejak TK harusnya dipindah sekolah dekat rumah supaya mandiri, tapi aku dipindahnya waktu pas 3 SD.

Setelah bercerai bapak tinggal di mana?

Bapak pada awalnya pindah ke rumahnya mbahku, ke rumah ibuke bapak, itu di desa. Masih Magelang. Eh, kalau soal Mbak Rina. Menurut kamu, setelah bercerai, sekolahnya Mbak Rina gimana?

Nilai-keluarganya kurang baik. (136 – 141)

Setelah perceraian orangtua dan kepindahan I1 ke SD yang baru, I1 mencari teman baru sebanyak-banyaknya untuk menghibur dirinya sendiri dan tidak memikirkan keadaan di rumah. (142 – 160)

I1 menyatakan bahwa bapaknya pindah rumah setelah bercerai. (161 – 163) I1 menyatakan bahwa saudara kandungnya tetap berprestasi dan tidak membolos. (164 –

172)

Keintiman yang kurang sewaktu I1 dan saudara kandungnya masih SD terjadi ketika I1 memilih untuk beralih kepada teman-temannya untuk mencari

kesenangan karena tidak senang memikirkan keadaan rumahnya yang kacau, sehingga mengurangi frekuensi dan durasi interaksi dengan saudara kandung. (142 – 152)

90

166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193

nilainya menurun atau enggak?

Kalau Mbak Rina yang aku lihat sejak itu, kan waktu itu Mbak Rina kelas 6 SD, kelas 6 SD waktu itu dia malah berprestasi, sebenarnya dari dulu dia berprestasi jadi tetap progress, konstan nilainya, tetap, gitu.

Nggak pernah bolosan?

Enggak, nggak pernah, rajin malahan.

Kalau hubungan Mbak Rina sama teman-temannya

gimana? Masih suka ketemuan main bareng? Kalau ketemu teman-teman, kalau intensitasnya... Menurutku intensitasnya tambah banyak ketemu teman-temannya, tapi kalau soal dijauhin sama teman-temannya aku kurang tahu.

Kamu sendiri mengalami dijauhin sama teman-teman

nggak?

Oh, enggak, enggak.

Oke. Sekarang kamu dan Mbak Rina sering berinteraksi? Sesering apa?

Kalau interaksi... Sering, sering, cukup sering. Itu kalau, eh, biasanya kalau ada butuhnya. Kalau ngomongin hal-hal tetek bengek itu kalau di rumah, lagi ketemu tatap muka itu baru ngomongin hal-hal sepele. Tapi kalau lagi nggak ketemu itu kadang kalau ada butuhnya aja, kayak

“ayo makan bareng”, “ayo bawainini”, “ayo pulang bareng”, kayak gitu. Itu kalau lewat ponsel. Tapi kalau

ketemu langsung, biasa, ngomong biasa. Apakah kamu tiap hari kabar-kabaran sama mbakmu? Walaupun cuma lewat HP?

I1 menyatakan bahwa saudara kandungnya semakin sering bertemu teman-temannya. (173 – 178)

I1 tidak mengalami dijauhi oleh teman-temannya. (178 – 181)

I1 dan saudara kandungnya sering berinteraksi, walaupun tidak setiap hari. Mereka berkomunikasi mengenai keseharian lewat ponsel dan bertemu ketika ada

kebutuhan. (182 – 196)

Keintiman sewaktu I1 dan saudara kandungnya masih SD menjadi kurang ketika saudara kandung I1 lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya setelah perceraian, sehingga mengurangi frekuensi dan durasi interaksi dengan I1. (173 – 177)

Keintiman muncul ketika terdapat frekuensi interaksi yang tinggi, terlihat dari I1 dan saudara kandungnya yang berkomunikasi hampir setiap hari. Isi interaksi antara keduanya mencakup pembicaraan mengenai keseharian masing-masing maupun untuk memenuhi

Dokumen terkait