• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Remaja

2.2.1. Pengertian Remaja

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Hurlock, remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesunggguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang menyatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah

usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan sama, atau paling tidak sejajar.

Remaja adalah kelompok umur 10-19 tahun. Mereka berada pada periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Mereka tidak hanya mengalami perubahan fisik akan tetap juga mengalami peningkatan emosi yang menyeluruh dengan manifestasi sebagai perilaku agresif, perasaan cinta yang berlebihan, perasaan iri hati, takut, khawatir, frustasi, ingin tahu afeksi, sedih dan senang, emosi yang berubah-ubah dan meningkat memengaruhi lingkungan keluarga masyarakat sehingga mereka ikut merasakan akibatnya (World Health Organization, 1986).

2.2.2. Batasan Usia Remaja

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Mappiare, masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir.

Dalam kategori pemuda, mempertimbangkan dinamika kesehatan, psikologis, dan sosiologis yang bervariasi, perlu dibedakan antara remaja atau teenagers (13-19 tahun) dan dewasa muda atau young adults (20-24 tahun) (Amriel, 2008).

2.2.3. Perkembangan Remaja

Tahap perkembangan remaja begitu menentukan, mengingat remaja berhadapan dengan beraneka tuntutan sosial dan perubahan-perubahan peran yang fundamental. Untuk menangani tekanan-tekanan eksternal tersebut, individu harus mengonsolidasi

pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapatkan tentang diri mereka, seperti pengetahuan dirinya sebagai anak, umat, murid, anggota klub, dan lain-lain. Selanjutnya, berdasarkan seperangkat pengetahuan tentang citra diri tersebut, individu dituntut untuk mengintegrasikan satu sama lain kedalam sebuah identitas pribadi yang merefleksikan kesadaran akan masa silam yang telah dijalani individu serta masa mendatang yang akan dilaluinya. Disinilah terbuka celah bagi kemungkinan berlangsungnya konflik antara individu (ego) dengan lingkungan sosial, terutama teman-teman sebayanya (Amriel, 2008).

Apabila konflik teratasi, maka terbentuklah identitas diri (ego identity) yang sehat. Identitas ego yang berkembang dengan baik ini merupakan kepercayaan diri yang terbentuk sebagai hasil kemampuan remaja dalam memelihara harmonisasi (kesamaan dan kesinambungan) antara dirinya dengan orang-orang lain (Amriel, 2008).

Menurut Amriel (2008) yang mengutip pendapat Havighurst , remaja yang tidak mampu melaksanakan tugas-tugas perkembangan tersebut akan semakin mempertebal tembok pembatas antara individu dengan orang-orang disekitarnya. Ia terkurung ditengah kebebasan, kesepian ditengah keramaian, sunyi dipusaran hiruk pikuk, lumpuh ditengah impitan manusia-manusia produktif, bahkan yang paling tragis adalah terperosok ke jati diri yang sesat san negatif. Melarikan diri dari realitas, sebagai kompensasi atas kegagalan diri, akhirnya dijadikan sebagai ‘solusi’. Salah satunya adalah dengan mengonsumsi narkoba. Efek menurunnya kesadaran yang ada

kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama, efek halusinogen membuat individu pengguna narkoba terlena, seakan-akan tidak ada problem yang menyangkut dipundaknya.

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Shaw dan Costanzo, remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode perkembangan.

Dua aspek yang selalu berkaitan dengan remaja adalah kemerdekaan (independence) dan identitas diri (self-identity). Seiring berjalannya waktu, mereka terus menerus melepaskan keterikatan emosional dari orang tua. Secara universal, kedua hal inilah yang menjadi ciri utama kelompok remaja. Hal yang turut memengaruhi pola perubahan identitas remaja maupun kebebasannya adalah situasi dan kondisi masyarakat tempat remaja bertumbuh, misalnya budaya, pendidikan atau teknologi (Amriel, 2008).

2.2.4. Karakteristik Umum Perkembangan Remaja

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Bischof, masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson disebut dengan identitas ego (ego identity).

Salah satu tugas perkembangan yang paling sulit pada masa remaja adalah penyesuaian sosial. Penyesuaian ini harus dilakukan terhadap jenis kelamin yang berlainan dalam suatu relasi yang sebelumnya tidak pernah ada dan

terhadap orang dewasa diluar keluarga dan lingkungan sekolah. Pada masa ini remaja paling banyak menghabiskan waktu mereka di luar rumah bersama dengan teman sebaya mereka sehingga bisa dipahami apabila teman sebaya sangat berpengaruh terhadap sikap, cara bicara, minat, penampilan, dan perilaku remaja (Palang Merah Indonesia, 2010).

Menurut Asrori (2009) sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja, yaitu: a. Kegelisahan

Remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan idealisme, angan-angan, atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan, dan ingin mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menambah pengetahuan, sehingga mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah.

b. Pertentangan

Pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orang tua, sehingga menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orang tua kemudian ditentangnya sendiri karena dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. c. Mangkhayal

Keinginan untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya tersalurkan. Biasanya hambatannya dari segi keuangan atau biaya, akibatnya mereka lalu mengkhayal (positif dan negatif), mencari kepuasan, bahkan menyalurkan

soal prestasi dan jenjang karier, sedang remaja putri lebih mengkhayalkan romantika hidup.

d. Aktivitas kelompok

Berbagai macam keinginan para remaja seringkali tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala (misalnya kurangnya biaya, larangan dari orang tua). Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan kegiatan bersama.

e. Keinginan mencoba segala sesuatu

Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity) karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin bertualang, menjelajah segala sesuatu da mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialami. Selain itu, didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Akibatnya, tidak jarang secara sembunyi-sembunyi, remaja pria mencoba merokok karena sering melihat orang dewasa melakukannya. Remaja putri seringkali mencoba memakai kosmetik baru, meskipun sekolah melarangnya.

2.2.5. Remaja dan Orang Tua

Pola komunikasi yang berbeda antara orang tua dan remaja menyebabkan proses komunikasi menjadi distorsi, padahal komunikasi adalah inti dari relasi dan interaksi antar orang tua dengan anak remajanya. Jika para remaja menemukan

keamanan dan kenyamanan berdiskusi dengan orang tuanya, tentu saja jauh lebih baik daripada mereka mencari informasi diluar rumah, apakah di sekolah, teman-teman, para pakar, atau lembaga-lembaga konsultasi yang keamanannya belum terjamin dan tingkat kompetensinya belum terbukti (Sahrani, dkk, 2008).

Beberapa titik kritis komunikasi remaja dan orang tua adalah saling curiga, tidak menghargai, terlambat memberi tanggapan, terlalu cepat memotong, monopoli, orang tua menghakimi, saling memaksakan keinginan, anak remaja merasa orangtua terlalu lamban, metode penyampaian. Untuk menjalin komunikasi yang intim mesra dan bersahabat anatara orang tua dan remaja adalah: ciptakan saling pengertian, ciptakan atmosfer bersahabat, mendengarkan keluhan anak, berikan jalan keluar bukan cela, jangan menjadi hakim, alat pendidikan, sabar mandengarkan, singkirkan hierarki, pola komunikasi yang baik, dan menjaga kesantunan (Sahrani, dkk, 2008).

Ada tiga fungsi utama komunikasi antara orang tua dan anak remajanya (Sahrani, dkk, 2008), yaitu :

1. Menyampaikan pesan

Metode paling efektif untuk menyampaikan pesan antara kedua belah pihak adalah melalui komunikasi lisan ketika orang tua berhadapan langsung atau bertatap muka dengan anak remajanya.

2. Menerima pesan

Syarat utama menjadi penerima pesan adalah kesediaan untuk mendengarkan. Minimnya kesediaan untuk mendengarkan pesan menyebabkan pesan tidak

3. Isi

Berupa gagasan, perasaan, opini, cita-cita, tuntutan, harapan, suara hati, nasihat, pesan perdamaian dan lainnya.

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Soekanto, sangat penting bagi remaja adalah mendapatkan bimbingan agar rasa ingin tahu yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-kegiatan positif, kreatif, dan produktif, misalnya ingin menjelajah alam sekitar untuk kepentingan penyelidikan atau ekspedisi. Jika keinginan semacam itu mendapat bimbingan dan penyaluran yang baik, akan menghasilkan kreatifitas remaja yang sangat bermanfaat, seperti kemampuan membuat alat-alat elektronika, menghasilkan temuan ilmiah yang berbobot, menghasilkan kolaborasi musik dengan rekan sebaya. Jika tidak, dikhawatirkan dapat menjurus kepada kegiatan atau perilaku negatif, misalnya mencoba narkoba, minum-minuman keras, perilaku seks pranikah yang berakibat terjadinya kehamilan.

2.2.6. Remaja dan Teman Sebaya

Teman sebaya adalah anggota kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik. Misalnya orang-orang yang sama usianya, latar belakangnya, pekerjaannya, gaya hidupnya, atau pun pengalamannya. Semakin banyak kesamaan yang ada, semakin besar kemungkinan orang tersebut menerima pesan-pesan yang disampaikan sesamanya (Palang Merah Indonesia, 2010).

Remaja cenderung lebih dekat dan lebih sering berbicara mengenai aspek-aspek kepribadian tertentu dengan remaja lain yang sebaya daripada dengan orangtua atau gurunya. Teman sebaya adalah teman yang sangat akrab, karena jenis kelamin yang

sama atau usia yang berdekatan, atau rumah berdekatan, atau belajar di tempat yang sama, atau memiliki minat yang sama dan seterusnya. Biasanya sesama teman sebaya hampir tidak ada rahasia. Oleh karena itu, kedekatan sesama teman yang sebaya dapat saling mempengaruhi untuk sesuatu menuju kebaikan (Palang Merah Indonesia, 2010).

Dokumen terkait