Kebijakan Pembangunan Kota Surabaya
2.3.1.2 Rencana Pola Ruang
2.3.1.2 Rencana Pola Ruang
Pola ruang Kota Surabaya sebagai suatu metropolitan secara signifikan menunjukan bahwa pola pemanfaatan ruang bagi kawasan terbangun mencapai 60% dari luas keseluruhan kota. Luas penggunaan lahan permukiman saat ini mencapai 12.184 ha atau sebesar 37% dari luas kota. Dari luas lahan kota keseluruhan 33.048 Ha, maka diperkirakan kebutuhan lahan untuk permukiman berdasarkan analisa akan mencapai sekitar 13.553,36 Ha. Dari total kebutuhan lahan permukiman tersebut diperkirakan akan menampung sekitar 556.542 unit perumahan. Berdasarkan perhitungan data peta eksisting, luas lahan untuk permukiman ± 12.184,71 Ha, sehingga kebutuhan lahan permukiman sampai dengan tahun 2029 diperkirakan bertambah sekitar 1.368,66 Ha atau sekitar 41% dari luas kota. Keterbatasan jumlah lahan Kota Surabaya dan besarnya jumlah lahan yang dibutuhkan untuk permukiman menimbulkan upaya pemenuhan kebutuhan perumahan melalui pembangunan perumahan dengan sistem vertikal seperti adanya RUSUN (Rumah Susun) untuk ekonomi menengah kebawah dan Apartement bagi yang ekonomi menengah ke atas. Tabel berikut menunjukkan rencana pola ruang Kota Surabaya hingga tahun 2029.
Tabel 2. 9 Rencana Pola Ruang Kota Surabaya 2029
No Jenis Peruntukan Luasan
Ha % 1 Permukiman 13.553,36 41,011 2 Fasilitas Umum 2.550,58 7,718 3 Perdagangan & Jasa 2.551,76 7,721 4 Industri & Pergudangan 3.264,92 9,879 5 RTH 7.481,35 22,638 6 Militer 771,13 2,333 7 Jalan 2.512,39 7,602 8 Sungai 362,51 1,097 Jumlah 33,048.00 100
Laporan Akhir 2-57 Gambar 2. 7 Peta Rencana Pola Ruang Kota Surabaya
Laporan Akhir 2-58 Untuk pengembangan kawasan permukiman di Kota Surabaya arahan kebijaksanaan yang ditetapkan mengacu pada :
• Penetapan kawasan permukiman lama sebagai kawasan permukiman yang
sekaligus sebagai kawasan cagar budaya dan pengembangan kawasan pariwisata antara lain Kawasan Kota lama (Rajawali – Kembang Jepun – Ampel), kawasan di kampung Peneleh dan kampung tegalsari.
• Pengembangan permukiman (perumahan) baru tidak diperbolehkan pada
kawasan rawan bencana, lindung setempat dan konservasi.
• Pengawasan dan pengendalian pada kawasan‐kawasan terbangun. Khususnya
pada wilayah dengan pola penggunaan lahan campuran (Mix Use)
• Mengembangkan pola cluster‐cluster permukiman untuk menghindari
pengelmpokkan (aglomerasi) kawasan permukiman, dan diantara cluster permukiman disediakan ruang terbuka hijau.
• Pengembangan permukiman dilakukan dengan tetap memperhatikan arahan
fungsi dan hirarki kawasan perkotaan, dengan optimalisasi kemampuan pelayanan kota yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah sekitarnya. Berdasarkan acuan‐acuan tersebut di atas pengembangan kawasan permukiman perkotaan di Kota Surabaya lebih diarahkan pada penggunaan lahan non produktif dengan kebijaksanaan penataan ruang secara rinci meliputi :
• Pengembangan permukiman di Surabaya barat diharapkan terpacu dengan
adanya permukiman Citraland dan permukiman lain yang ada di sekitarnya. Namun perkembangan permukiman yang diharapkan tidak hanya permukiman eksklusif seperti kecenderungan yang terjadi, tetapi juga permukiman menengah ke bawah, menyatu dengan perumahan lama.
Laporan Akhir 2-59
• Perkembangan permukiman di wilayah Surabaya timur perlu dibatasi, mengingat
adanya arahan sebagai kawasan konservasi.
• Pembangunan perumahan vertikal merupakan alternatif dalam mengantisipasi
meningkatnya kebutuhan rumah tinggal. Perwujudannya dapat berupa apartemen dan kondominium untuk hunian kelas menengah ke atas, serta rumah susun sederhana untuk hunian menengah ke bawah.
• Pembangunan perumahan secara terintegrasi dengan Perdagangan skala besar
(plasa, mal) dan industri perlu diwujudkan, sebagai upaya mencegah kantong‐ kantong hunian kumuh yang cenderung menyertai munculnya kegiatan Perdagangan besar dan industri.
• Penanganan perumahan kumuh dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial
ekonomi penghuni dan kawasan setempat yang masih layak untuk digunakan. Penanganan rumah kumuh dilakukan secara persuasif dan bertahap dengan berorientasi pada upaya resettlement bagi masyarakat setempat untuk perumahan kumuh pada kawasan bantaran sungai atau saluran, tepi rel kereta api dan tempat‐tempat yang belum termanfaatkan lainnya.
Adapun arahan pemantapan pengembangan kawasan permukiman di Kota Surabaya adalah:
Di wilayah Surabaya Barat pada saat ini cenderung berkembang kawasan permukiman eksklusif, yang saling terpisah satu dengan yang lain. Dalam kerangka penataan ruang, hal ini tentu saja merupakan fenomena yang kurang menguntungkan, terutama dalam hal penyediaan sarana dan prasarana, inefisiensi pemanfaatan lahan, dan memicu masalah‐masalah sosial. Untuk itu perlu upaya untuk ‘menyatukan’ kawasan‐kawasan tersebut, maupun antara kawasan eksklusif dengan permukiman lama. Hal ini dapat diwujudkan dengan penyatuan akses jalan penghubung.
Laporan Akhir 2-60 Penyediaan permukiman baru diperlukan di sekitar perkampungan Sumber Rejo, Romo Kalisari, dan Benowo di Surabaya Barat, untuk mengakomodasi kebutuhan pekerja industri. Untuk meningkatkan pendapatan warga setempat, rumah‐rumah di perkampungan lama dapat dikembangkan untuk menampung pekerja industri, dalam bentuk rumah sewa dan rumah kost. Selain itu, pada wilayah yang belum terbangun, upaya ini bisa dilakukan dengan membangun rumah sewa dan rumah susun yang dijual secara kredit (oleh pengusaha industri) kepada para pekerjanya. Pengembangan permukiman formal di Surabaya Timur yang diperuntukan sebagai kawasan konservasi, perlu dikenakan sangsi antara lain dengan cara menaikan PBB menjadi dua kali lipat, serta menaikan tarif kebutuhan sistem jaringan (air, telepon maupun listrik). Kebijaksanaan ini diambil dengan harapan penghuni perumahan tersebut sedikit demi sedikit akan meninggalkannya karena biaya yang sangat tinggi, dan satu‐satunya yang berhak membeli adalah pemerintah, selanjutnya kawasan ini dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai kawasan konservasi. Kebijaksanaan ini diambil sebagai salah satu tindakan preventif untuk mengatasi terjadinya banjir dan mengurangi dampak negatif perubahan ekosistem. Kebijaksanaan ini dapat diterapkan pula pada daerah lain yang kasusnya sama dengan perumahan tersebut. Pengembangan permukiman informal oleh masyarakat yang lebih dikenal dengan istilah pengkaplingan liar, perlu penanganan intensif, mengingat pengembangan permukiman ini tanpa memperhatikan standar pembangunan permukiman yang berlaku.
Sebagai upaya membangun permukiman yang terintegrasi dengan kawasan Perdagangan dapat dikembangkan pola “inter‐locking” di mana antara kegiatan Perdagangan dan hunian diciptakan kondisi yang saling menunjang.
Pada kawasan industri baik yang berupa “Industrial Estate” maupun “Kompleks Industri” diharuskan menyediakan fasilitas perumahan dengan sarana dan prasarana pendukungnya. Fasilitas perumahan pendukung kawasan industri dapat berupa
Laporan Akhir 2-61 rumah susun. Hal tersebut dimaksudkan guna meningkatkan efektivitas kerja para karyawannya, pengadaan perumahan berikut sarana dan prasarananya di dalam kawasan tersebut diupayakan oleh perusahaan industri yang ada.
Untuk penanganan hunian kumuh, maka pada lahan/tempat yang berpotensi munculnya perumahan kumuh harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya secara optimal. Perumahan kumuh pada daerah slum yang pada umumnya berada pada kawasan perkampungan penanganan dilakukan dengan memberikan stimulan pada masyarakat dalam upaya perbaikan lingkungan (dengan program KIP) atau dengan melakukan program “land readjustment” jika kawasan itu berpotensi untuk kawasan komersial.
Kecenderungan terjadinya alih fungsi permukiman menjadi kegiatan komersial seperti outlet, rumah makan, perkantoran / jasa dan kegiatan lain yang sejenis, diperlukan suatu aturan khusus (pada umumnya bentuk bangunannya adalah bangunan tempat tinggal, namun digunakan untuk usaha). Di samping itu diperlukan juga penataan kawasan, sebagaimana telah disusun untuk kawasan Darmo.
Laporan Akhir 2-62
Tabel 2. 10 Rencana Pemantapan Fungsi Kawasan Permukiman