LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM PRAKTIK MANAJEMEN DI RUANG BAITUNNISA II RSI SULTAN AGUNG SEMARANG
A. RENCANA TINDAK LANJUT
Rencana Tindak Lanjut Program Kegiatan Manajemen Keperawatan di Ruang Baitunnisa II RSI Sultan Agung Semarang
Masalah yang diangkat
Kegiatan Penanggung Jawab Pelaksanaan metode
tim di ruang Baitunnisa 2 kurang optimal
Pelaksanaan metode tim dalam tiga shift sesuai dengan pembagian peran masing-masing
pre conference, post conference, patient safety dilakukan setiap hari diikuti oleh semua staff yang sedang berdinas Kepala ruang Baitunnisa II RSI Sultan Agung Se-marang Potensial peningkatan mutu pelayanan keperawatan 1.
Pengontrolan pemberian dan pendokumentasian Asuhan Keperawatan.
2.
Pengawasan dan pengendalian program patient safety. 3.
Monitoring mutu pelayanan keperawatan secara berkala dengan memberikan kuisioner kepada pasien/keluarga. Kepala ruang Baitunnisa II RSI Sultan Agung Se-marang
PEMBAHASAN
MPKP (Model Praktik Keperawatan Profesional) adalah suatu sistem (struktur, proses dan nilei – nilai profesional) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian ASKEP (asuhan Keperawatan) termasuk lingkungan untuk mendukung ASKEP. (1). Tujuan dari adanya penggunaan MPKP tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan(2). Menurut Grant dan Massey (1997) serta marquis dan huston (1998), terdapat lima model asuhan keperawatan profesional yang sudah ada yaitu model keperawatan fungsional, model keperawatan tim, model keperawatan primer, model keperawatan manajemen kasus dan model keperawatan modifikasi; tim- primer. RSISA (Rumah Sakit Islam Sultan Agung) adalah salah satu RS yang telah mencoba menerapkan metode MPKP di beberapa ruang tertentu, salah satunya adalah ruang Baitunnisa yang merupakan juara ke 3 lomba MPKP di RSISA tahun 2010.
Pada konsepnya ruang Baitunnisa menggunakan model keperawatan tim (Tim A dan Tim B). Model keperawatan tim terdiri dari ketua Tim dan pelaksana. Berdasarkan hasil pengkajian oleh mahasiswa yang sedang melakukan praktik profesi stase managemen di ruang Baitunnisa RSISA didapatkan bahwa pembagian pasien untuk setiap tim adalah berdasarkan dokter. Pembagian tugas berdasarkan dokter ini dirasa kurang sesuai dengan keperawatan profesional mengingat dalam praktik keperawatan profesional pembagian pasien didasarkan pada IKP (Indeks Ketergantungan Pasien).
Pembagian ketenagakerjaan di Baitunnisa memiliki kekurangan yaitu mengakibatkan tidak berimbangnya beban kerja dari masing – masing tim. Menurut sitorus 2005, untuk dapat melakukan praktik keperawatan profesional, faktor ketenagaan keperawatan harus dipertimbangkan, yang meliputi jenis tenaga berdasarkan kemampuan dan jumlah tenaga perawat. Ketidak berimbangan beban kerja ini diakibatkan karena tidak semua dokter selalu memiliki pasien setiap harinya dan tidak semua pasien dalam kondisi ketergantungan keperawatan yang sama disetiap dokter. Dampak yang dapat dirasakan akibat ketidak berimbangan pembagian kerja yaitu, tidak dapat dilaksanakannya penugasan model tim yang telah terbentuk. Pada kenyataanya para perawat bekerja secara fungsional. Semua pasien dikelola bersama dan pembagian tugas berdasarkan fungsinya yaitu tim injeksi, tim perawatan bayi, dan tim perawatan ibu.
Kelemahan dari penggunaan model keperawatan tim yang fungsional ini adalah pelayanan keperawatan akan kurang memuaskan dan akan mematikan kreativitas perawat. Hal
tersebut dapat terjadi karena perawat akan terfokus pada tindakan yang terkait dengan ketrampilan dan rutinitas ruangan saja tanpa adanya critical thinking yang digunakan secara continue dalam perawatan pasien. Pemberian asuhan keperawatan yang terkotak – kotakan dan terfokus pada tindakan menyebabkan asuhan keperawatan yang holistik sulit dicapai dan mengakibatkan penurunan tingkat kepuasan pasien yang akan diikuti juga turunnya BOR (Bed Occupation Rate). Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85%. Pada ruang Baitunnisa pencapain BOR masih di bawah angka 60 – 85% kecuali pada bulan November 2011.
Implementasi yang telah kami lakukan pada ruang baitunnisa antara lain adalah sosialisai tentang pengguanaan IKP dalam pembagian pasien kelolaan, pengkajian pre – post tingkat pengetahuan perawat ruangan tentang penugasan tim, role play mengenai pelaksanaan metode keperawatan tim. Namun tidak semua intervensi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Pada kenyataannya penggunaan metode IKP sebagai acuan pembagian beban kerja perawat tidak dapat segera dilakukan. KARU (kepala ruang) nampak cenderung menunggu – nunggu dan mengulur waktu untuk implementasi pengguanaan IKP, selain itu tidak ada inisiatif dari para perawat yang ada di ruangan mengenai pengguanaan IKP meskipun sudah dilakukan sosialisasi pada tanggal 27 februari 2012.
Penggunaan Role Play sebagai Role Model yang diharapkan dapat menjadi wacana bagi perawat ruangan dan KARU nampaknya kurang dapat berjalan baik. Hal ini terjadi karena kurang tersosialisasikannya Role Model dari mahasiswa stase manajemen kepada perawat
ruangan akibat dari tidak terkoordinasinya sistem manajemen keperawatan ruangan dengan mahasiswa yang sedang praktik. Mahasiswa stase manajemen yang sedang praktik masih dianggap ‘bala bantuan’ untuk membantu kegiatan ruangan sehingga banyak mahasiswa yang sulit mengimplementasikan sistem tim di ruang kelolaan. Selain karena adanya koordinasi yang kurang baik ini faktor lain yang menentukan keberhasilan keperawatan profesional adalah jenis tenaga keperawatan.
Ruang Baitunnisa memiliki KARU yang sedang menempuh pendidikan profesi ners, empat orang perawat pelaksana yang memiliki tingkat pendidikan ners sisanya adalah diploma tiga kebidanan dan keperawatan serta diploma empat kebidanan. Menurut Henderson (1980) “ agar perawat yang praktik dipandang sebagai seorang ahli di bidangnya dan menggunakan pendekatan ilmiah untuk mengembangkan praktik keperawatan, perawat harus mengikuti pendidikan pada tingkat universitas”. Menurut ICN (International Council of Nurses) mengungkapkan tentang program pendidikan keperawatan seharusnya sesuai dengan tingkat pendidikan profesi lain. Berdasarkan landasan tersebut maka diharapkan pendidikan keperawatan dapat dikembangkan pada level pendidikan tinggi sehingga menghasilkan perawat yang memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan profesional agar dapat melaksanakan peran sebagai perawat profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan.
Penetapan prioritas masalah didasarkan pada metode PSC (Problem Solving Cycle), yaitu menilai Magnetude atau besarnya dan seringnya masalah tersebut muncul, Severity atau tingkat keparahan dan kerugian yang akan ditimbulkan apabila masalah tersebut tidak terselesaikan, Manageability atau fokus pada keperawatan sehingga dapat diatur perubahannya, Nursing Consent atau seberapa besarkah masalah tersebut melibatkan perawat, dan Affordability atau ketersediaan dan kemampuan sumberdaya yang ada untuk menyelesaikan masalah. Tim PBL, 2010). Skor Magnetude permasalahan pertama dinilai 5 karena masalah merupakan masalah yang cukup besar dan sering terjadi yang mana akan berpengaruh juga pada penurunan mutu pelayanan sehingga masalah potensial peningkatan mutu kami beri skor 3, hal itu pula yang mendasari pemberian skor 3 pada severity masalah ke 2. Mangeability atau fokus pada keperawatan sehingga dapat diatur pada kasus pertama dan ke dua kami beri skor sama yaitu 4 karena keduanya sama – sama terfokus pada perawat dan mampu di-manage secara optimal, Kedua permasalahan tersebut pun memiliki kemudahan yang sama dalam penanganan. Terdapat metode dan standar tetap dari rumah sakit untuk penanganan masalah-masalah tersebut, sehingga skor Manageability kedua masalah-masalah ditetapkan. Nursing Consent
pada masalah pertama kami beri skor 5 karena metode tim ini merupakan metode keperawatan sedangkan peningkatan mutu pelayanan keperawatan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal baik dari kualitas perawat maupun pelayanan kolaborasi pada pasien sehingga lebih meluas. Affordability atau karena ketersediaan sumber daya (dana, sarana, dan peralatan) yang ada di ruang Baitun Nisa 2 cukup memadai. Kesiapan perawat dalam penanganan masalah dapat terlihat dari motivasi perawat yang cukup tinggi untuk melaksanakan pelayanan keperawatan dengan metode penugasan tim dengan benar. Tenaga perawat di Ruang Baitunnisa 2 pun sudah ada yang pernah mengikuti pelatihan MPKP sebanyak dua orang dan pelatihan manajemen kepala bangsal satu orang. Hal tersebut dapat meningkatkan kesiapan tenaga perawat itu sendiri,. Berbeda dengan masalah potensial peningkatan mutu pelayanan keperawatan, motivasi perawat dalam pemecahan masalah masih kurang meskipun perawat sudah pernah mengikuti pelatihan MPKP dan terapi cairan dan elektrolit untuk perbaikan prosedur tindakan keperawatan. Berdasarkan skoring masalah, pelaksanaan metode tim di ruang Baitunnisa 2 kurang optimal mempunyai skor tertinggi yaitu 24 sehingga masalah ini menjadi prioritas utama dalam penyelesaian masalah. Prioritas kedua yaitu potensial peningkatan mutu pelayanan keperawatan.
Implementasi yang telah dilakukan adalah melaksanakan sosialisasi MPKP dan Metode Tim, melaksanakan roleplay mengenai pelaksanaan metode tim pelaksanaan pelayanan keperawatan primer di ruang Baitunnisa II. Melaksanakan roleplay pelaksanaan pre – post conference. Evaluasi dari Implementasi kami adalah adanya peningkatan pelaksanaan metode tim meskipun pelaksanaan metode tim pada pasien tetap menjadi metode fungsional, namun ada peningkatan pengetahuan pada perawat hal ini di dukung dengan grafik kuesionaire pre – post.