• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII REPRESENTASI SOSIAL PESERTA PROGRAM KELUARGA

7.2 Representasi Sosial terhadap Pendidikan

Representasi sosial terhadap pendidikan, seperti halnya representasi sosial terhadap PKH juga berupa pandangan peserta PKH yang meliputi pengetahuan, pendapat, keyakinan serta sikap mereka, namun terhadap kata pendidikan. Melalui asosiasi kata kepada 50 orang responden terkumpul 175 kata yang mencerminkan representasi sosial terhadap kata pendidikan. Pada objek pendidikan, kelompok kata yang memiliki frekuensi tertinggi ialah pendidikan itu berat yang menjadi representasi sosial dominan bagi lebih dari separuh responden. Kelompok kata selanjutnya ialah pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik (42 persen) dan tipe yang paling sedikit dimiliki oleh responden (6 persen) ialah pendidikan itu bantuan (Tabel 16).

Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial terhadap Pendidikan (n=50)

Tipe Representasi sosial terhadap Pendidikan n (orang) n (%)

Pendidikan itu berat 26 52

Pendidikan untuk kehidupan lebih baik 21 42

7.2.1 Pendidikan Itu Berat

Tipe yang paling banyak dimiliki oleh responden (52 persen) pada objek pendidikan ialah pendidikan itu berat. Secara umum, pada tipe ini terdapat kata–kata yang menyatakan bahwa tidak mudah untuk memperoleh pendidikan, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh masalah internal seperti kendala pada anak, kemampuan ekonomi keluarga, dan atau dari masalah eksternal seperti kurangnya akses terhadap sarana dan prasarana pendidikan. Kata–kata yang muncul seperti anak tidak mau sekolah, malas, sedih, banyak pengeluaran, buku mahal, bingung biaya, butuh biaya besar, ternyata tidak gratis, dulu murah sekarang mahal, tidak mampu bayar uang pangkal, menabung, rela berhutang, ingin lebih mudah, jangan hanya menjadi monopoli orang kaya, dan lain sebagainya.

Peserta PKH menganggap dan merasa untuk memperoleh pendidikan bagi mereka (dahulunya) dan bagi anak mereka (saat ini) adalah hal yang tidak mudah, dan dibutuhkan usaha keras serta mengharapkan adanya bantuan dari pihak lain seperti pemerintah agar dapat memperoleh pendidikan tersebut. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen 1995, yang menyatakan bahwa kemiskinan dalam arti luas di negara–negara berkembang memiliki wujud yang sangat luas, dan salah satunya ialah kurangnya akses kepada pendidikan (Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002 dalam Kamaluddin, 2004).

Responden yang ada pada tipe ini umumnya ialah perempuan yang berada pada usia kerja yaitu umur 43 – 56 tahun dengan pendidikan formal terakhir tamat sekolah dasar. Responden umumnya bekerja sebagai buruh. Penghasilan keluarga berada pada kisaran Rp. 350.000,00 hingga Rp. 500.000,00 dari dua sumber nafkah dalam keluarga. Jumlah tanggungan antara 2 hingga 3 orang anak.

Pendidikan menjadi sulit diperoleh karena masalah keterbatasan ekonomi keluarga, terlihat dari perbandingan jumlah pendapatan dan tanggungan mereka. Responden memiliki pandapatan yang cukup rendah, dan sebagian besar dari mereka memiliki anak yang berada di tingkat SMP, dan bersekolah di sekolah swasta yang masih terdapat kewajiban membayar SPP karena pihak sekolah tidak mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Selain

itu biaya pendidikan mereka anggap berat karena adanya iuran, uang jajan anak, ataupun ongkos untuk biaya perjalanan anak ke sekolah.

7.2.2 Pendidikan untuk Kehidupan yang Lebih Baik

Tipe kedua yang mendominasi representasi sosial responden ialah

pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik, yang berasal dari 42 persen responden. Secara umum, responden berpandangan bahwa pendidikan adalah sebuah hal yang dapat membawa mereka kearah yang lebih baik, baik saat ini ataupun untuk kedepannya. Pendidikan diharapkan dapat membuat anak bisa lebih pintar, rajin, berakhlak baik, pekerjaan yang layak, sehingga dapat membantu meringankan beban orang tua. Beberapa kata-kata yang muncul adalah SMK, SMA, kuliah, ingin anak sekolah tinggi, dibutuhkan sepanjang masa, bisa bantu orang tua, penting, jangan putus sekolah, harus sekolah, pendidikan jangan seperti orang tua, pintar, kerja, sukses, berakhlak, kreatif, mudah dapat kerja, sekolah, bersyukur, dan pintar agama.

Responden menginginkan anak mereka bisa mendapatkan pendidikan tinggi atau yang lebih baik dari mereka. Umumnya responden ingin anak bisa sekolah hingga SMA atau bahkan kuliah. Dari hasil wawancara (salah satunya dengan L, 45 tahun) diketahui bahwa walaupun berat mereka akan berkorban, dan berusaha kuat agar anak dapat memperoleh pendidikan. Pengorbanan tersebut seperti hidup hemat dengan makan seadanya, tidak boros dengan mengurangi jajan anak, menabung untuk keberlanjutan pendidikan, bahkan berhutang. Responden berpandangan, anak harus sekolah karena sekolah tersebut adalah hal yang sangat penting. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Permatasari (2010) yang menunjukkan bahwa orang tua menilai pendidikan dasar merupakan hak setiap warga negara Indonesia, sehingga setiap orang tua wajib menyekolahkan anaknya minimal pendidikan dasar sembilan tahun.

Peserta PKH cenderung memiliki pendidikan formal yang tergolong rendah, namun permasalahan pentingnya pendidikan bagi anak sudah menjadi perhatian bagi mereka. Melalui penjelasan pada asosiasi kata, terlihat adanya pendapat dan keyakinan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk saat ini dan kedepannya, khususnya bagi anak mereka kelak. Mereka menyadari

bahwa untuk saat ini pendidikan sembilan tahun sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik dan berharap anak sebagai harapan keluarga dapat memperoleh pendidikan yang lebih yaitu SMA/SMK atau bahkan kuliah. Dapat disimpulkan bahwa, Peserta PKH pada tipe ini memandang pendidikan tinggi yang bisa diperoleh oleh anak–anak mereka akan berpengaruh positif bagi kehidupan anak, sehingga masa depan anak serta kondisi keluarga akan menjadi lebih baik nantinya. Selaras dengan hasil penelitian Permatasari (2010) yang menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan kunci kemandirian bagi manusia oleh karena itu harus menjadi prioritas utama dalam hidup.

Karakteristik dominan responden yang tergolong pada tipe ini, tidak jauh berbeda dengan responden pada tipe Pendidikan itu berat. Perbedaan hanya terletak pada tingkat penghasilan mereka yang cenderung lebih tinggi, responden pada tipe ini seluruhnya tersebar pada dua kategori jumlah pendapatan yaitu pada Rp. 350.000,00 hingga Rp. 500.000,00 dan pada Rp. 500.000,00 hingga Rp. 650.000,00. Jumlah pendapatan inilah yang diduga membuat adanya perbedaan dalam memandang pendidikan, dimana mereka tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai hal yang berat seperti responden pada tipe pertama, namun lebih cenderung melihat pendidikan sebagai sebuah jalan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik ke depan. Pandangan tersebut terlihat sebagai pandangan yang optimis terhadap permasalahan pendidikan bagi anak mereka.

7.2.3 Pendidikan Itu dimudahkan

Representasi sosial pendidikan itu dimudahkan dimiliki oleh 6 persen responden. Kata–kata yang muncul pada tipe ini ialah sekolah gratis, pendidikan mudah, biaya terjangkau, sekolah terbuka, cicilan biaya pendidikan, dana bantuan, dan terbantu dengan PKH. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden pada tipe ini tidak merasakan pendidikan (untuk saat ini bagi anak mereka) berat diperoleh sehingga tipe ini adalah bagian yang berseberangan dengan representasi sosial mengenai pendidikan yang paling banyak dimiliki oleh responden sebagai RTSM yaitu pendidikan itu berat.

Tipe ini juga bertolak belakang dengan definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesra (2002) dalam

Kamaluddin (2004) yang menyatakan bahwa masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya usaha dari pemerintah dalam menganggulangi rendahnya akses pendidikan pada masyarakat miskin. Salah satu upaya pemerintah ialah dengan diadakannya dana BOS ataupun PKH komponen pendidikan.

Karakteristik responden pada tipe ini juga memiliki banyak persamaan dengan kelompok responden yang berada pada tipe dominan, yaitu pendidikan itu berat. Perbedaan hanyalah pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan mereka. Seluruh responden pada tipe pendidikan itu dimudahkan, tersebar merata pada kategori pendidikan tidak tamat SD, tamat SD, dan tamat SMP. Selanjutnya pada aspek pekerjaan mereka tergolong kepada kategori tidak bekerja, karena lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Terdapat dua sumber nafkah dalam keluarga dan diduga suami dan anaklah yang bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Responden pada kategori ini umumnya ialah peserta PKH yang memiliki anak yang berada pada usia SD, atau anak yang bersekolah di SMP negeri atau SMP terbuka. Pada SD dan SMP negeri/terbuka biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua cenderung tidak terlalu besar, sehingga mereka merepresentasikan pendidikan sebagai suatu hal yang telah dimudahkan untuk diperoleh.

Dokumen terkait