• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

C. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Semua manusia tentunya akan mengalami kesulitan, tekanan ataupun

permasalahan dalam kehidupannya, namun individu juga memiliki

ketahanan untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya saat mengalami

kesulitan (Wagnild, 2010 dalam Rosyani, 2012). Kemampuan untuk bangkit

dan terus melanjutkan hidup lebih baik ini disebut dengan resiliensi. Kata

resiliensi berasal dari bahasa latin resile yang artinya adalah kembali. Dalam

bahasa inggris resilience mempunyai pengertian kemampuan untuk secara

cepat dapat kembali pada kondisi semula (Shaumi, 2012). Resiliensi

merupakan kemampuan individu dalam mengatasi, melalui dan kembali

pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan. Kemampuan seseorang

yang dapat berhasil dalam mengatasi permasalahan atau hal yang

menyakitkan dan dapat secara cepat bangkit kembali dalam hidupnya

dinamakan dengan kemampuan resiliensi (Sisca & Moningka, 2008).

mengatasi, kesulitan, rasa frustasi, atau permasalahan yang dialami (dalam

Dewi Dkk, 2004). Benson (2002) menyebutkan bahwa seseorang yang

resilien akan mempunyai salah satu bentuk kesadaran seseorang untuk

mengubah pola pikir saat menghadapi masalah sehingga tidak mudah putus

asa (Djoenaina dkk, 2004).

Resiliensi juga dipahami sebagai bentuk kemampuan seseorang dalam

beradaptasi dengan lingkungan, sehingga dapat menempatkan diri dengan

baik saat berada pada situasi yang kurang menyenangkan. Hal ini didukung

dengan pernyataan Kendal (1999) yang menyatakan bahwa resiliensi

sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dan menempatkan diri

dengan baik saat berada pada situasi yang tidak menyenangkan atau

permasalahan yang berat (Dewi dkk, 2004). Individu yang mempunyai

resiliensi yang baik akan berusaha mengatasi permasalahan yang sedang

dialami, sehingga permasalahan tersebut dapat terselesaikan dan dapat

terbebas dari masalah serta mampu beradaptasi dengan permasalahan yang

sedang dihadapi. Resiliensi dapat dikatakan sebagai kemampuan individu

untuk beradaptasi dalam kesulitan yang sedang dihadapi, sehingga ia dapat

bersikap tenang, dapat segera bangkit dan menemukan kembali semangat

dan tujuannnya. Hal serupa dinyatakan pula oleh Luthar, Masten & Reed

(dalam Dipayanti & Chairani, 2012) bahwa resiliensi merupakan

kemampuan beradaptasi secara positif terhadap situasi atau kondisi yang

Siebert (2005) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang lebih tinggi.

Seorang yang resilien tetap dapat menjaga kesehatan saat dalam keadaan

yang tertekan, selain itu dapat pula dengan cepat bangkit dari permasalahan,

serta merubah cara hidup ketika dirasa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan

keadaan yang ada, dapat mengatasi dan menghadapi permasalahan tanpa

kekerasan. Dapat dikatakan individu yang resiliensi mempunyai kecerdasan

emosi yang baik sehingga dapat mengontrol dirinya sendiri. Sesuai dengan

definisi yang dinyatakan Grotberg (1999) yang menyebutkan resiliensi

adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi

kuat dengan kesulitan yang dialaminya (Sisca & Moningka, 2008).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi

adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada

keadaan sulit atau tekanan dalam hidupnya, serta terus berusaha, belajar dan

beradaptasi dengan keadaan tersebut sehingga ia dapat bangkit dari

keadaannya yang sulit tersebut dan menjadi lebih baik.

2. Komponen yang Ada Dalam Resiliensi

Komponen yang ada dalam resiliensi menurut Wagnild dan Young

(1993; 2010) (dalam Rosyani, 2012) antara lain adalah :

a. Meaningfulness atau purpose

Yaitu tentang kesadaran tentang tujuan hidup, dalam mencapai tujuan

tentu diperlukan suatu usaha. Menurut Wagnild (2010) komponen ini

akan menjadi sia-sia dan tidak ada maknanya. Tujuan hidup dapat

membantu individu saat mengalami kesulitan dalam hidupnya

sehingga memiliki dorongan yang kuat untuk menjadi lebih baik.

b. Equanimity

Tentang pemikiran keseimbangan dalam hidup. Individu yang resilien

menyadari bahwa kehidupan itu bukan hanya hal baik dan buruk.

Individu yang mempunyai resiliensi yang baik kehidupannya akan

lebih fokus dengan hal-hal yang positif, dan dalam bertindak tidak

terburu-buru atau lebih tenang dalam menghadapi sesuatu. Individu

seperti ini akan cenderung selalu optimis dalam mengahadapi segala

sesuatu. Individu yang resilien dapat mengambil pelajaran dari

pengalaman hidunya sendiri ataupun pengalaman orang lain.

c. Perseverance

Suatu tindakan atau perilaku untuk bertahan dalam menghadapi

tekanan atau kesulitan. Dalam membentuk komponen ini individu akan

melakukan hal-hal yang cenderung positif dan membuat tujuan hidup

yang jelas.

d. Existential Aloneness

Kesadaran tentang kehidupan setiap manusia itu berbeda dan mampu

menghargai dirinya sendiri. Individu yang resilien akan merasa

3. Ciri-ciri Mahasiswa Bekerja Part Time yang Resilien

Menurut Serafino (1994) ciri-ciri individu yang resilien antara lain

yaitu :

a. Individu tersebut memiliki tempramen yang lebih tenang, sehingga

dapat beradaptasi dan menciptakan hubungan yang baik dengan

lingkungan.

b. Mempunyai kemampuan dapat bangkit dari tekanan dan berusaha

mengatasi permasalahan ataupun tekanan yang dihadapi (dalam Dewi

dkk, 2004).

Sedangkan menurut Grotberg (1995) (dalam Djoenaina dkk, 2004).

ciri individu yang resilien antara lain :

a. Dapat mengendalikan perasaan dan kenginan hatinya.

b. Memiliki kemampuan untuk bangkit dan mengatasi permasalahan atau

tekanan yang dihadapi.

c. Mandiri dan dapat mengambil keputusan sesuai pemikirannya sendiri.

d. Mempunyai empati dan peduli pada orang lain.

Individu yang resilien akan cenderung berpikir positif, optimis dan

realistis. Mereka lebih dapat mengungkapkan dan mengekspresikan apa

yang mereka rasakan dengan nyaman. Individu yang mempunyai resiliensi

yang baik akan lebih mudah beradaptasi dengan situasi yang sulit atau

penuh tekanan, dan Ia akan berusaha untuk mengatasinya.

Dari beberapa ciri yang telah diungkapkan diatas, peneliti mengambil

adalah mereka akan memiliki tempramen yang lebih tenang, sehingga dapat

beradaptasi dan menciptakan hubungan yang baik dengan lingkungan, baik

lingkungan kuliah, pekerjaan ataupun kehidupan sosialnya. Kemudian

mereka akan lebih mandiri, dapat mengambil keputusan sesuai

pemikirannya sendiri, berpikir positif dan realistik.

Hal ini dikarenakan mahasiswa yang bekerja part time tetap dituntut

profesional dan mempunyai pemikiran yang kreatif. Kesibukan mereka di

pekerjaan ataupun kuliah tentunya membuat mereka mempunyai

pengalaman dalam banyak hal. Hal ini membuat mahasiswa yang bekerja

part time lebih dapat menguasai dan mengontrol diri sehingga mereka tahu bagaimana mengungkapkan dan mengekspresikan apa yang mereka rasakan

dengan nyaman, namun tetap mempunyai empati dan peduli pada orang lain

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Neill dan Dias (2001) faktor yang mempengaruhi resiliensi

terbagi menjadi dua (dalam Rosyani, 2012), yaitu :

a. Faktor Resiko

Faktor resiko adalah faktor yang yang secara langsung dapat

potensi terjadinya resiko pada individu semakin besar, hal ini dapat

menimbulkan perilaku maladaptive pada individu tersebut (Neill &

Dias, 2001 dalam Rosyani, 2012). Faktor resiko terdiri dari yang

pertama seperti bencana alam, kematian anggota keluarga dan

perceraian. Yang kedua berupa latar belakang kondisi sosial ekonomi

lingkungan dimana individu hidup, seperti lingkungan yang rawan

kejahatan dan kekerasan (Rosyani, 2012).

Menurut Estanol (2009) faktor resiko adalah berupa stressor yang

dihadapi individu pada situasi tertentu yang sedang dihadapi (Shaumi,

2012). Faktor resiko menjadi faktor yang penting dalam pembentukan

resiliensi dan tidak selalu menimbulkan hasil yang merugikan, saat

individu mampu melalui faktor resiko ini maka ia dapat dikatakan

resilien.

b. Faktor Protektif

Faktor protektif adalah kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki

oleh individu yang sehat, sehigga mendorong terbentuknya resiliensi

pada individu. Menurut Luthar dan Rutter (dalam Shaomi, 2012) faktor

protektif memberikan bantuan dalam menghadapi stressor yang tinggi,

dan tidak menonjolkan stress atau psikopatologi/masalah yang yang

sedang dihadapi. Faktor protektif terdiri dari karakteristik individu

(jenis kelamin, tingkat intelegensi, dan kepribadian), karakteristik

keluarga (kehangatan, kelekatan keluarga, dan struktur keluarga),

adanya dukungan sosial diluar diri individu, keluarga dan teman atau

sahabat (Shaumi, 2012).

Menurut Herman (2011) (dalam Shaumi, 2012) ada 3 faktor yang

mendukung resiliensi, yang pertama adalah faktor personal yang terdiri

dari ciri kepribadian individu, pengusaan diri, penghargaan diri, dan

dihadapi). Faktor demografi seperti jenis kelamin dan kebudayaan

mempengaruhi resiliensi. Yang kedua adalah faktor bilogis, yang

berhubungan dengan system kerja otak. Pola pengasuhan awal yang

buruk dapat membuat dampak buruk juga untuk perkembangan

individu. Dan yang ketiga adalah faktor lingkungan, dari beberapa

penelitian terbukti adanya hubungan yang significant antara resiliensi

dan dukungan sosial dari lingkungan individu.

5. Sumber Resiliensi

Sumber resiliensi menurut Grotberg (1999) ada 3, antara lain berupa I

have, I am dan I can (dalam Sisca & Moningka, 2008). Peneliti memilih menggunakan sumber resiliensi menurut teori Grotberg untuk menggali

serta menggambarkan bagaimana gambaran sumber resiliensi pada

mahasiswa yang bekerja part time.

a. I Have (Sumber dukungan eksternal)

Ini merupakan bentuk dukungan dari lingkungan sekitar individu,

bentuk dukungan ini berupa hubungan baik dengan keluarga, sekolah,

ataupun dengan masyarakat. Dengan I have individu dapat menjalani

hubungan dengan kepercayaan baik dengan siapapun. Perasaan I have

biasanya diperoleh dari orang tua, keluarga dan orang-orang terdekat.

Saat individu merasa diterima dilingkungannya, maka perasaan I have

ini akan dimiliki oleh individu.

Individu yang resilien biasanya mempunyai struktur atau aturan

anaknya dapat bertanggung jawab dengan perilakunya. Hal ini dapat

membuat individu mempunyai pedoman dalam berperilaku dan ada

yang memberi tahu tentang kesalahannya, dan ia tahu konsekuensi dari

kesalahan yang dilakukan. Individu yang resilien mendapat dukungan

untuk mengambil keputusan sesuai kehendaknya sendiri tanpa

bergantung pada orang lain. Dukungan dari orang tua, keluarga dan

lingkungan sekitar individu, akan membuat individu mempunyai rasa

percaya diri dan dapat menerima diri serta resilien terhadap apa yang

dihadapinya.

b. I Am (kemampuan individu)

Kekuatan yang ada dalam diri individu berupa perasaan, perilaku

dan kepercayaan diri. Individu yang resilien akan selalu berusaha

terlihat menarik agar selalu disukai dan dicintai orang lain. Individu

yang resilien biasanya juga sensitive pada perasaan orang lain dan

paham apa yang orang lain harapkan pada dirinya. Individu yang

resilien cenderung memiliki sikap peduli yang tinggi dan empati pada

orang lain. Mereka peduli dan dapat merasakan penderitaan ataupun

kesulitan orang lain dan selalu berusaha membantu kesulitan orang

lain.

Seorang yang resilien akan memiliki rasa bangga terhadap dirinya

sendiri, dan merasa puas terhadap apa yang ia miliki dan capai. Mereka

yakin akan kemampuan mereka sendiri, rasa percaya diri dan harga diri

kesulitan yang sedang dihadapi. Karena mereka cenderung percaya

terhadap kemampuan yang mereka miliki, individu yang resilien

mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi pada pekerjaannya dan

dapat menerima konsekuensi yang akan dihadapi. Individu yang

resilien akan cenderung selalu berpikir positif tentang masa depannya.

c. I Can (kemampuan sosial)

I can adalah kemampuan individu untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain. kemampuan ini didapat dari interaksi dengan

lingkungan sosialnya. Individu yang memiliki kemampuan ini

cenderung akan lebih mampu berkomunikasi dan dapat memecahkan

masalah dengan baik. Individu tersebut dapat mengekspresikan pikiran

dan perasaan mereka dengan cara yang baik dan benar. Individu yang

resilien akan dapat mengendalikan perasaan dan pikiran yang mereka

rasakan sehingga mereka dapat mengungkapakan atau

mengekspresikannya dengan baik dan benar tanpa merugikan orang

lain. individu yang resilien memahami karakter dirinya sendiri ataupun

orang lain, jadi mereka akan lebih mudah berkomunikasi dengan orang

lain dan dapat membangun hubungan sosial yang baik dengan orang

lain.

6. Dinamika Resiliensi Pada Mahasiswa Yang Bekerja Part Time

Menurut UU No 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi, mahasiswa

adalah peserta didik pada jenjang pendidikan/perguruan tinggi. Dalam

didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa

adalah individu yang mengikuti pelajaran dan terdaftar di sebuah perguruan

tinggi. Tugas utama seorang mahasiswa adalah belajar dan menekuni

disiplin ilmu yang ditempuhnya. Namun, pada kenyataannya banyak

mahasiswa yang disibukkan dengan kegiatan diluar akademiknya atau

keorganisasian mahasiswa dan ada pula yang sambil bekerja, salah satunya

adalah bekerja part time. Mahasiswa yang bekerja part time adalah

mahasiswa yang masih menempuh atau menjalani kuliah namun sambil

melakukan pekerjaan untuk berbagai macam alasan dan tujuan.

Mahasiswa yang memutuskan untuk bekerja part time mempunyai

beberapa alasan antara lain mahalnya pendidikan, tuntutan persyaratan skill

atau pengalaman kerja dari perusahaan, mencari uang jajan tambahan,

mempraktekkan ilmu yang didapat, mencari teman baru, membantu

ekonomi keluarga, menyalurkan dan mengisi waktu luang (Yenni, 2007).

Mahasiswa yang memutuskan kuliah sambil bekerja part time tentunya

bukan hanya memikul tugas belajar saja namun juga tanggung jawab dan

tugas pekerjaan. Mereka yang memutuskan kuliah sambil bekerja part time

tentu mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Mereka mempunyai

tekanan dan tingkat stress yang lebih besar dibanding dengan mahasiswa

yang tidak bekerja, karena permasalahan yang mereka hadapi bukan hanya

diperkuliahan saja namun juga ditempat dimana mereka bekerja. Dampak

buruk yang akan dialami tentu akan mempengaruhi perkuliahan, pekerjaan

sambil bekerja part time sebaiknya mempunyai sumber-sumber resiliensi,

sehingga dapat mengembangkan kemampuan resiliensinya.

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak

menyerah pada keadaan sulit atau tekanan dalam hidupnya, serta terus

berusaha, belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut sehingga ia dapat

bangkit dari keadaannya yang sulit tersebut dan menjadi lebih baik. Menurut

Janas (2002) resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk mengatasi,

kesulitan, rasa frustasi, atau permasalahan yang dialami (dalam Dewi Dkk,

2004). Resiliensi juga dipahami sebagai bentuk kemampuan seseorang

dalam beradaptasi dengan lingkungan, sehingga dapat menempatkan diri

dengan baik saat berada pada situasi yang kurang menyenangkan (Dewi

dkk, 2004).

Sumber-sumber resiliensi mengembangkan sikap atau kemampuan

resilien, kemampuan resiliensi dibutuhkan oleh seorang mahasiswa yang

memutuskan untuk bekerja part time dalam menghadapi tekanan dan

permasalahan yang dihadapi di perkuliahan, pekerjaan ataupun di kehidupan

sosialnya. Dengan mempunyai kemampuan resiliensi individu akan lebih

mampu mengatur kehidupannya dan dapat mengatasi tekanan ataupun

mengatasi permasalahan yang dialami. Ketika mahasiswa yang bekerja part

time mempunyai kemampuan resiliensi, maka ia juga akan mempunyai kecerdasan emosi yang baik. sumber-sumber resiliensi memberi kontribusi

yang baik pada kemampuan resiliensi yang membuat efektivitas kerja dalam

mereka mempunyai kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial dan

manajemen hubungan yang baik dalam pekerjaan kuliah ataupun kehidupan

sosialnya.

D.Kerangka Berpikir

Mahasiswa yang

bekerja part time

Alasan :

-Kebutuhan financial - Mencari teman baru -Kebutuhan sosial - Menyalurkan hobi -Kebutuhan aktualisasi diri - Mengisi waktu luang -Mempraktekkan ilmu yang pernah didapat

Resiliensi

Dampak Positif Dampak Negatif

Sumber-sumber Resiliensi : I HAVE I AM

28

Dokumen terkait