• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiprocity : Pada masyarakat dan pada kelompok yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki

PENDEKATAN TEORITIS Teori dan Konsep

2. Resiprocity : Pada masyarakat dan pada kelompok yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki

tingkat modal sosial yang tinggi. Ini akan terefleksikan dengan tingkat kepedulian sosial yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. 3. Trust : Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam

hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya.

4. Norma Sosial : Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan masyarakat. Jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, kelompok atau group, norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat akan memperkuat masyarakat itu sendiri (Hasbullah, 2006). Norma yang terbentuk dari berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri dalam suatu masyarakat. Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma asosiasi atau norma

kelompok akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut.

Seperti yang diutarakan oleh Hasbullah (2006), bahwa untuk mengukur sejauh mana kekuatan modal sosial di dalam masyarakat, yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia mengacu pada beberapa variabel relevan. Variabel tersebut meliputi sejauhmana : Partisipasi masyarakat di dalam komunitas, tingkat resiprositas dan proaktif di dalam kegiatan sosial, perasaan saling mempercayai dan rasa aman, jaringan dan koneksi dalam komunitas, jaringan dan koneksi antar teman dan keluarga, toleransi dan kebhinekaan, nilai hidup dan kehidupan, koneksi jaringan kerja di luar komunitas, partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas.

Dalam pengembangan modal sosial menurut Rahman (1989) dalam Osira (2004) terdapat beberapa pendekatan diantaranya meliputi :

1. Pendekatan kepemimpinan komunitas (cummunity leader), Tokoh masyarakat atau pemimpin dalam setiap komunitas masyarakat merupakan modal besar bagi pelaksanaan suatu program pembangunan. Tokoh masyarakat dengan kemampuan yang melekat pada dirinya merupakan orang yang dapat dengan mudah menggerakkan masyarakat atau memobilisasi partisipasi masyarakat di bawahnya dibandingkan penggerak partisipasi dari luar komunitas. Sinergi antara kepemimpinan lokal komunitas dengan kepemimpinan formal (aparat pemerintah) merupakan suatu kekuatan bagi pelaksanaan program pengembangan masyarakat;

2. Dana komunitas (community fund). Dana komunitas merupakan segala bentuk dana yang dapat dihimpun oleh dan dari masyarakat. Konsep dana pada masyarakat itu tidak saja mencakup uang, tetapi juga hubungan yang terjalin, kekerabatan dan kebersamaan. Bentuk dana komunitas mempunyai sifat khas sosiobudaya. Dana komunitas seringkali dikelola untuk memecahkan masalah-masalah sosial atau mengembangkan kegiatan sektor sosial.

Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Ekonomi Masyarakat

Menurut Nasdian & Dharmawan (2006) kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social-institution, yang menunjuk pada adanya

unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Proses perkembangan kelembagaan sosial dinamakan pelembagaan sosial atau “institutionalization”. Proses ini meliputi lahirnya peraturan dan norma-norma baru yang mengatur antar hubungan dan antar aksi, yakni suatu proses strukturalisasi antar hubungan melalui enkulturasi konsep-konsep kebudayaan baru. Proses-proses seperti ini akan terjadi dimana-mana dan terus menerus dalam suatu komunitas, sepanjang mengenai kebutuhan pokok manusia dan melahirkan sistem yang stabil dan unversal.

Djatiman (1997) menggolongkan institusi/kelembagaan menjadi tiga yaitu : 1. Burreaucratic institution; adalah institusi yang datangnya dari pemerintah

(atas/birokrasi) dan tetap akan menjadi milik birokrasi, contohnya pemerintahan desa;

2. Community Based Institution; adalah institusi yang dibentuk pemerintah berdasarkan atas sumberdaya masyarakat yang diharapkan menjadi milik masyarakat, seperti koperasi;

3. Grassroot institution; adalah institusi yang murni tumbuh dari masyarakat dan merupakan milik masyarakat, contohnya arisan.

Kelembagaan sosial didefinisikan sebagai aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi masyarakat. Aturan tersebut merupakan tata cara kerjasama anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya serta membantu menentukan hak dan kewajiban masing-masing. (Iskandar,2001). Soekanto (1985) dalam Nasdian & Dharmawan (2006) mendefinisikan kelembagaan sosial sebagai himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Suatu norma tertentu dapat dikatakan telah melembaga (institutionalized) apabila norma tersebut : diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati dan dihargai oleh masyarakat dimana norma-norma tersebut dilembagakan.

Kelembagaan sosial dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan pokok. Kelembagaan sosial bisa didefinisikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. (Koentjaraningrat, 1964). Kelembagaan untuk memenuhi pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusikan harta benda, contohnya pertanian,

peternakan, industri, koperasi, perdagangan, sambatan dan lain sebagainya di sebut dengan kelembagaan ekonomi.

Kelembagaan ekonomi yang merujuk pada lokalitas disebut dengan kelembagaan ekonomi lokal, dimensi lokal menunjuk tidak hanya pada kesatuan wilayah geografis, namun juga kesatuan entitas basis sosial untuk tindakan kolektif. Entitas basis sosial menurut Uphoff, (1986) meliputi lokalitas, komunitas dan kelompok. Kelembagaan ekonomi lokal yang erat kaitannya terhadap tingkat partisipasi serta keuntungan bisnis yang diterima oleh partisipan adalah dalam lembaga keswadayaan masyarakat (Haeruman & Eriyanto , 2001).

Suatu kelembagaan sosial mampu mencapai tujuan pengembangan masyarakat apabila kelembagaan tersebut berbasis komunitas, yaitu manakala kelembagaan :

1. Mampu mengembangkan modal sosial dan membangun jejaring sosial berbasis komunitas;

2. Mampu mengembangkan forum inisiasi publik dan mampu mengimplementasikan prinsip partisipasi dalam kegiatannya dan

3. Mampu membangun jejaring usaha produktif serta memelihara jejaring kolaboratif dalam menangani masyarakat miskin. (Hasbullah, 2006)

Peningkatan kapasitas dalam suatu kelembagaan masyarakat adalah suatu proses upaya yang sistematis menjadikan lembaga suatu masyarakat menjadi lebih baik, dinamis, berdaya, dan kuat dalam menghadapi berbagai pemenuhan kebutuhan dan tantangan atau hambatan yang dapat mempengaruhi eksistensinya. Peningkatan kapasitas merupakan suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efisien. Merujuk pendapat Sumpeno (2002), peningkatan kapasitas berarti terjadi perubahan perilaku untuk :

1. Meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap;

2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manjemen, keuangan dan budaya;

3. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadayaan dan mengantisipasi perubahan.

Hasil yang diharapkan dengan adanya peningkatan kapasitas menurut Sumpeno (2002) adalah :

1. Penguatan individu, organisasi dan masyarakat;

2. Terbentuknya model pengembangan kapasitas dan program; 3. Terbangunnya sinergisitas pelaku dan kelembagaan.

Lebih lanjut Rubin & Rubin (1992) mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas masyarakat miskin dapat dilakukan dengan melalui pengembangan kelembagaan masyarakat di mana kelembagaan tersebut menciptakan dan membangun perasaan anggota untuk membangkitkan kapasitas lembaga dalam pemecahan masalah.

Untuk penelaahan lebih lanjut ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu aspek kelembagaan dalam bentuk perilaku dan aspek keorganisasian dalam bentuk struktur. Keduanya merupakan komponen pokok pada setiap kelompok sosial. Perilaku dan struktur sebagai bagian utama aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian saling membutuhkan satu sama lain, ibarat dua sisi mata uang (Syahyuti,2003).

Organisasi pada dasarnya adalah unit sosial (pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan/atau mungkin dibentuk kembali dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pencapaian suatu tujuan tertentu. Berelson dan Steiner (1964) dalam Parek (1984) memandang organisasi adalah gejala sosial resmi (formalitas struktur sosial) yang berkaitan dengan seperangkat peraturan tertulis. Organisasi adalah struktur tentang peran yang diterima dan dikenali. Struktur yang diakibatkan oleh interaksi peran dapat sederhana atau kompleks. Semakin kompleks suatu organisasi, semakin bervariasi kemampuannya. Organisasi dapat berbentuk formal ataupun informal. Dua hipotesis yang mendasari kerangka berfikir konseptual tentang organisasi berkelanjutan Goldsmith and Brinkerhofff, (1992) dalam Kolopaking dkk (2003) yaitu Pertama, asumsi bahwa organisasi yang bertahan dalam kurun waktu yang lama dipengaruhi oleh kapabilitas internal dan lingkungan eksternal, sehingga penting untuk melihat ke dalam (in- ward) dan ke luar (out-ward); Kedua, harus dibangun strategi yang fit/ sesuai dengan kapabilitas internal dan lingkungan eksternal.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kapabilitas internal organisasi adalah kinerja sumberdaya manusia pelaksana dari organisasi tersebut, kinerja sumberdaya manusia berkaitan dengan produktivitas. Menurut formulasi National Productivity Board (NPB) Singapore dalam Sedarmayanti (1995), dikatakan bahwa produktivitas adalah sikap mental (attitude of mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Selanjutnya menurut Sedarmayanti (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dalam aspek sikap mental diantaranya adalah motivasi kerja, disiplin kerja dan etika kerja. Sementara pengaruh lingkungan eksternal diantaranya adalah karakteristik lingkungan sosial yang termasuk di dalamnya adalah karakteristik masyarakat. Ada empat ciri organisasi yaitu:

1. Formalitas, mempunyai perumusan tertulis berkenaan dengan tujuan, prosedur, penerimaan anggota dan pengurus dan peraturan-peraturan;

2. Hirarki, pola wewenang berbentuk piramida;

3. Ukuran, jumlah anggota organisasi umumnya besar sehingga relasi sosial diantaranya cenderung tidak langsung tetap ; dan

4. Durasi/kelangsungan, umur organisasi selalu lebih lama dari usia keterlibatan anggotanya.

Bierstedt (1982) dalam Kolopaking dkk (2003) menyebutkan ada tujuh kriteria formalisasi pengelompokkan manusia yang dapat dikategorikan ke dalam organisasi yang di dasarkan atas teori kontinuum dari grup ke organisasi ini meliputi:

1. Mempunyai fungsi dan tujuan yang khas;

2. Mempunyai kebijakan umum (associational norms) dalam mencapai tujuannya;

3. Mempunyai dan mengembangkan susunan hirarki status (associational statuses);

4. Mempunyai wewenang;

5. Mengenakan test (persyaratan) untuk keanggotaan;

6. Mempunyai property, mencakup aspek material dan non material; 7. Mempunyai nama atau lambang-lambang.

Organisasi merupakan suatu wadah atau sarana kegiatan pencapaian tujuan. Proses dari kegiatan dalam organisasi disebut dengan manajemen, seperti menurut Mc. Farland dalam Handayaningrat (1981) manajemen adalah suatu proses dan badan yang secara langsung memberikan petunjuk, bimbingan kegiatan dari suatu organisasi dalam merealisasikan (melaksanakan) tujuan yang telah di tetapkan. Tujuan dari manajemen adalah untuk mencapai hasil secara efektif dan efisien dalam kata lain ialah pencapaian tujuan yang berhasil guna (efective) dan berdaya guna (efficiency). Selanjutnya menurut Degenaars (1979) dalam Handayaningrat (1981) manajemen didefinisikan sebagai suatu proses yang berhubungan dengan bimbingan kegiatan kelompok dan berdasarkan atas tujuan yang jelas yang harus dicapai dengan menggunakan sumber-sumber tenaga manusia dan bukan tenaga manusia.

Peningkatan Kinerja Kelembagaan

Efektifitas dan efisiensi pencapaian target suatu lembaga dipengaruhi oleh sumberdaya anggota organisasi tersebut, untuk itu perlu adanya pengukuran terhadap kinerja dari sumberdaya manusia yang mengelola organisasi tersebut. Hal yang dapat diukur untuk menilai kinerja sumberdaya manusia pengelola organisasi meliputi kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Efektif atau tidak efektif kinerja sumberdaya manusia pengelola organisasi dipengaruhi oleh faktor individu, organisasi dan lingkungan eksternal. Pengaruh individu berkaitan dengan kelemahan intelektual, kelemahan psikologis, kelemahan fisik, demotivasi, faktor personalitas, keuangan, preparasi jabatan dan orientasi nilai. (Sedarmayanti, 1995)

Kinerja mengacu pada tingkat kemampuan pelaksanaan tugas dengan standar perbandingan ideal antara pelaksanaan tugas dan yang diharapkan (perencanaan) dengan pelaksanaan tugas yang telah dilaksanakan (evaluasi). Pengertian kinerja merujuk kamus bahasa Indonesia yang menjelaskan kinerja sebagai keterampilan dan kemampuan yang dimiliki seseorang dimunculkan melalui perbuatan. (Puwadarminta, 1992)

Kinerja diartikan sebagai perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu sebagai respon terhadap pekerjaan yang diberikan kepadanya, sehingga

kinerja dapat dilihat dari hasil kerja, derajat kecepatan kerja dan kualitas kerja. Kinerja sebagai unsur kegiatan penanggulangan kemiskinan bertumpu pada pemantauan indikator kinerja sesuai tujuan yang ingin dicapai baik yang bersifat objektif maupun subjektif. Dalam Rencana Strategis Penanggulangan Kemiskinan (Departemen Sosial RI 2005) dijabarkan indikator kinerja sebagai berikut:

1. Meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga miskin

2. Mewujudkan kemandirian usaha sosial- ekonomi keluarga miskin

3. Meningkatkan aksesibilitas keluarga miskin terhadap pelayanan sosial dasar dan sistem jaminan kesejahteraan sosial

4. Peningkatan jumlah aset individu miskin anggota kelembagaan sosial

5. Meningkatkan kepedulian dan tanggungjawab sosial masyarakat dan dunia usaha dalam program pemberdayaan keluarga miskin

6. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat keluarga miskin

7. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial terhadap keluarga miskin.

Pengertian kinerja dari uraian di atas bisa disebut sebagai kualitas penatalaksanaan organisasi meliputi sistem pengorganisasian terdiri atas input, proses dan out put pelaksanaan manajemen lembaga. Bila pengertian tersebut diterapkan pada kelembagaan ekonomi masyarakat, maka pengertian input meliputi sarana, bahan, pengurus dan organisasi; proses meliputi sosialisasi program usaha simpan pinjam, pemberian kredit serta kegiatan pelaporan dan tindak lanjutnya; dan pengertian out put yang dimaksud adalah kegiatan pelaporan perguliran dana serta laporan kegiatan pengorganisasian lembaga simpan pinjam.

Kinerja sebagai alat ukur digunakan untuk melihat maju dan mundurnya lembaga dilihat dari pencapaian target, efisiensi dan efektivitas, menurut Mulyono (1993) pengukuran kinerja lembaga dapat dilihat dari :

1. Derajat pencapaian tujuan pokok;

2. Seberapa efisien sumberdaya (dapat berupa masukan, antara lain tenaga kerja, material, jasa pelayanan yang dibeli dan modal) digunakan untuk menghasilkan keluaran yang bermanfaat, dalam arti hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan sebelumnya;

3. Perbandingan mengenai performa organisasi dari waktu terdahulu dengan waktu sekarang, menunjukkan penurunan, statis atau berkembang.

Pengembangan Jejaring Sosial dalam Peningkatan Kapasitas Kelembagaan

Kebijakan dan program yang melibatkan berbagai pihak yang berbeda-beda kepentingannya dan mungkin juga berbeda-beda dalam tingkatan pengambilan keputusannya memerlukan mekanisme yang tepat. Salah satu mekanisme yang memiliki fleksibilitas dan sekaligus menjamin efisiensi adalah melalui pembentukan jejaring (networking). Menurut Tonny (2002) jejaring ini perlu dibangun berlandaskan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, kejujuran, integrasi dan dedikasi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu memajukan usaha-usaha kecil yang merupakan segmen masyarakat yang terbesar dan juga tertinggal. Jejaring yang terbentuk dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Jejaring dapat dibentuk dalam bentuk kerjasama antara lembaga pada tingkatan yang sama ataupun yang berbeda yang berada di tingkat pusat dengan yang ada di tingkat propinsi, kabupaten maupun lokal.

Proses interaksi sosial merupakan basis untuk menciptakan hubungan sosial yang terpola yang disebut jaring-jaring hubungan sosial (webs of social relationship) atau pengorganisasian sosial dan struktur sosial. Menurut Calhoun et.al (1994) dalam Kolopaking dkk. (2003) jaringan sosial adalah jejaring hubungan diantara sekumpulan orang yang saling terkait bersama, langsung atau tidak langsung melalui beragam komunikasi dan transaksi diantara mereka. Selanjutnya menurut Suparlan (1982), jaringan sosial merupakan “pengelompokan orang yang terdiri atas sejumlah orang (minimal 3 orang) yang masing-masing memiliki identitas tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada, dan melalui hubungan sosial tersebut dapat dikelompokkan sebagai satu kesatuan sosial yang berbeda dengan yang lain”.

Jaringan sosial bukanlah sesuatu yang alamiah melainkan harus dikonstruksikan melalui penentuan strategi yang berorientasi pada hubungan-hubungan kelembagaan dalam kelompok. Hubungan kelembagaan ini dapat digunakan sebagai sumber daya yang dapat dipercaya menghasilkan sumberdaya lain. Melalui kesertaan dalam suatu jaringan, orang dapat menjamin perolehan

manfaat dari interaksinya. (Portes, 1998). Salah satu faktor penting dalam upaya mengembangkan jejaring sosial berbasis komunitas adalah proses penyadaran masyarakat dan proses partisipasi masyarakat dalam program pengembangan masyarakat.

Pentingnya partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan sebagai usaha dan kegiatan partisipasi masyarakat yang tumbuh dari bawah dalam bentuk inisiatif dan kreasi yang lahir secara spontan dari rasa kesadaran dan tanggungjawabnya harus dapat terpelihara dan terbina (R.Bintoro,1986). Selanjutnya menurut Mubyarto (1984) partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Tujuan dari aktivitas peningkatan kapasitas kelembagaan lokal melalui pengembangan jejaring adalah untuk : membangun kelembagaan berdasarkan trust di tingkat komunitas dan antar komunitas; meningkatkan kemampuan warga komunitas mengimplementasikan aksi-aksi kolektif dalam kegiatan konservasi dan pemberdayaan ekonomi lokal; membangun kerjasama kemitraan antar berbagai stakeholders baik di dalam komunitas maupun antar komunitas (Tonny, 2004). Hal ini difahami bahwa dalam peningkatan kapasitas kelembagaan lokal peran stakeholders akan berpengaruh terhadap terwujudnya kelembagaan lokal yang berkelanjutan selain komunitasnya itu sendiri.

BMT sebagai Contoh Kelembagaan Ekonomi Masyarakat

BMT adalah lembaga keuangan mikro atau lembaga keuangan syariah masyarakat atau bisa juga dikatakan sebagai lembaga ekonomi masyarakat berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Syariah menurut Imam Fakhrurrazy dalam Ilmi (2002) didefinisikan sebagai ketetapan-ketetapan yang telah diwajibkan Allah atas orang-orang mukallaf (yaitu orang yang menurut syara’ sudah dikenai beban serta tanggungjawab untuk mematuhi segala ketentuan hukum (syariah) yang datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya).

Bunga uang dikategorikan sebagai riba dalam hukum Islam, oleh karena itu sebagai lembaga syariah Islam BMT di dalam transaksi ekonominya menerapkan sistem bagi hasil (profit sharing) berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak

pada saat perjanjian ditanda tangani.(Antonio dkk, 2006). Lembaga keuangan syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana, dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha.

Prinsip bagi hasil dalam sistem ekonomi syariah tercantum dalam UU Perbankan No.10 tahun 1992, pasal 1 ayat 12 menyatakan

”Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

Selain itu Bank yang dioperasikan berdasarkan prinsip bagi hasil dalam UU No. 7 Tahun 1992 yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 pada Pasal 1 Ayat (1)

“Yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip Muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan usaha bank”.

BMT di dalam unsur-unsur kegiatannya selain menerima tabungan/simpanan nasabah, memberikan kredit pengembangan modal usaha bagi nasabah pelaku usaha kecil sektor informal, menampung aspirasi, partisipasi dan kepedulian sosial nasabah serta meningkatkan kemampuan dan keterampilan nasabah pelaku usaha kecil sektor informal dalam mengembangkan usahanya

BMT merupakan perpaduan antara 2 unit usaha bidang pengelolaan ZIS dan perbankan syariah, 2 unit tersebut meliputi Baitul Maal (unit pengelolaan ZIS) dan Baituttamwil (unit perbankan syariah). Baitul Maal adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Karena berorientasi sosial keagamaan, Baitul Maal tidak dapat dimanipulasi untuk kepentingan bisnis atau mencari laba (profit), namun dalam kerangka manajemen BMT, secara fungsional lembaga ini berperan dalam beberapa hal antara lain :

1. Membantu Baituttamwil dalam menyediakan kas untuk alokasi pembiayaan non komersial Qardh al-Hasan (yaitu pembiayaan yang diberikan BMT kepada nasabah tanpa pungutan bagi hasil atau keuntungan dalam bentuk apapun atas nasabah)

2. Menyediakan cadangan penyisihan penghapusan pembiayaan macet akibat kebangkrutan usaha nasabah Baituttamwil yang berstatus al-gharim (yaitu orang yang kesempitan karena beban hutang yang terlalu berat dengan pemilikan aset yang tidak memadai, sehinga menyebabkan yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara layak, dalam ukuran paling sederhana sekalipun;

3. Dengan kiprahnya yang nyata dalam usaha-usaha peningkatan bidang kesejahteraan sosial seperti pemberian bea siswa, santunan kesehatan, sumbangan pembangunan sarana umum dan peribadatan dan lain sebagainya. Hal ini dapat membantu Baituttamwil dalam mensukseskan kegiatan promosi produk-produk penghimpunan dana (funding) dan penyalurannya kepada masyarakat (lending).

Baitul Maal mempunyai sistem kerja sendiri yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat kepada beberapa sektor yang telah dibatasi sesuai dengan tingkat kebutuhan. Salah satu bentuk pengelolaan dan penyaluran dana zakat tersebut adalah memberikan bantuan usaha produktif bagi masyarakat miskin yang disebut dengan AL Qardul Hasan (pinjaman kebajikan), dalam memberikan pinjaman kebajikan ini bank syari’ah sama sekali tidak mengambil pendapatan dari pinjaman tersebut (Noor, 2006). Al Qardul Hasan adalah sebuah produk yang memiliki biaya sangat kecil jika dilihat dari sudut pandang nasabah, nasabah hanya mengeluarkan biaya administrasi tanpa ada kewajiban untuk menyetorkan hasil (profit) kepada bank syari’ah. Pengusaha kecil dalam hal ini hanya memiliki kewajiban untuk mengembalikan jumlah pinjaman (Djamal,2002).

Baituttamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan. Baitul Maal dan Baituttamwil keduanya merupakan suatu

sistem dalam wadah BMT yang bekerja sinergi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, jika salah satu tidak ada maka bukanlah lagi di sebut BMT tetapi di sebut dengan Baitul Maal saja atau Baituttamwil saja. (Ilmi, 2002).

Dalam kegiatan Baitutttamwil (komersil) produk-produk pelayanan BMT terhadap nasabah meliputi:

1. Produk penghimpunan dana Wadi’ah (titipan) barang atau harta (uang)

2. Produk penghimpunan dan penyaluran dana Mudharabah yaitu kerjasama kemitraan berdasarkan prinsip bagi untung dan bagi rugi, dilakukan sekurang- kurangnya oleh dua belah pihak di mana yang pertama memiliki dan menyediakan modal sedangkan yang ke dua memiliki keahlian (skill) dan bertanggungjawab atas pengelolaan dana/ manajemen usaha (proyek) halal tertentu

3. Produk penyaluran Murabahah, di mana BMT bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah

4. Produk penyaluran dana Musharakah yaitu suatu produk yang hampir sama