• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Pembahasan

1. Respon anak perempuan terhadap perselingkuhan ayah

Secara umum, para partisipan menunjukkan perasaan kaget, marah, bingung, sedih, tidak peduli, dan kecewa, setelah mengetahui ayahnya melakukan perselingkuhan. Partisipan merasa kaget, marah, dan kecewa dengan perilaku ayah. Di sisi lain, partisipan juga merasa bingung, sedih, dan tidak peduli dengan kondisi keluarganya setelah terjadi perselingkuhan ayah. Hal ini sesuai dengan penelitian

Nogales (2009) dan Nahareko (2009), yang menunjukkan bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh orang tua dan diketahui oleh anak akan menimbulkan perasaan seperti marah, benci dan kecewa dengan sosok ayah.

Umumnya partisipan juga menunjukkan sikap yang cenderung menjauhi ayah setelah mengetahui perselingkuhan ayah. Sehingga hubungan antara partisipan dengan ayahnya menjadi terpisah dibandingkan sebelum mengetahui bahwa ayah berselingkuh. Peneliti menduga rasa marah dan kecewa terhadap perlakuan ayahnya mendasari anak untuk menjaga jarak dari ayahnya. Selain itu hal ini dapat terjadi karena pada akhirnya orang tua memutuskan untuk bercerai. Maka dari itu, mengetahui perselingkuhan ayah dapat menjadi salah satu alasan anak perempuan memiliki hubungan yang terpisah dengan ayahnya.

Peneliti juga menemukan bahwa perselingkuhan ayah menyebabkan anak merasa bingung dan kesulitan untuk berinteraksi dengan lawan jenis, memiliki paham bahwa tidak semua hubungan romantis akan berakhir indah, serta merasa takut dan khawatir apabila kelak pasangannya melakukan perselingkuhan. Secara umum partisipan menunjukkan bahwa cukup sulit bagi mereka ketika berinteraksi dengan lawan jenis, terutama ketika berusaha menjalin hubungan romantis. Peneliti menduga, kesulitan yang dialami partisipan dalam menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis disebabkan oleh hubungan yang renggang antara partisipan dengan ayahnya. Penelitian Cabrera et al. (2000) menjelaskan bahwa ayah dianggap sebagai role model dalam membentuk kemampuan pada anak untuk bisa percaya, menghargai, diterima dan dicintai ketika menjalin hubungan dengan laki-laki lain dari kelompok sebayanya. Pada penelitian kali ini, diketahui bahwa hubungan

antara anak perempuan dengan ayahnya merenggang bahkan ditinggalkan. Keadaan ini kemudian menyebabkan anak cenderung menarik diri dan mengevaluasi citra tubuh secara negatif karena telah ditinggalkan (Sanftner et al., 2009). Evalusi citra diri yang negatif, mampu menyebabkan seseorang merasa tidak layak untuk dicintai dan memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga partisipan menunjukkan indikator perilaku yang berbeda-beda terkait kesulitan yang dialami ketika berinteraksi dan menjalin kedekatan dengan lawan jenis. P1 merasa tidak mudah menyukai laki-laki dan tidak suka dengan laki-laki yang agresif, P2 merasa takut dan tidak nyaman karena merasa takut mengecewakan orang lain, sedangkan P3 merasa malu dan kikuk ketika berinteraksi dan mencoba dekat dengan lawan jenis. Sama halnya dengan penelitan Platt, et al. (2008) di mana perselingkuhan orang tua mampu menimbulkan pandangan negatif dari anak terhadap diri sendiri dan orang lain. Maka dari itu, perasaan malu dan takut mengecewakan orang lain menunjukkan bahwa partisipan memiliki kepercayaan diri yang cenderung rendah. Kemudian tidak mudah menyukai laki-laki terutama yang cenderung agresif menunjukkan bahwa partisipan sudah memiliki pandangan yang negatif terhadap lawan jenis.

Kesulitan yang dialami seseorang ketika berinteraksi dengan lawan jenis juga mengindikasikan adanya kesulitan bagi partisipan untuk menjalin kedekatan dengan lawan jenis. Kedekatan dengan lawan jenis menggambarkan adanya keintiman dalam hubungan romantis dengan pasangan. Di mana keintiman terdiri dari perasaan kedekatan, keterhubungan, dan ikatan yang di alami seseorang dalam

hubungan cinta (Sternberg, 1986). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesulitan untuk berinteraksi mampu memengaruhi seseorang untuk menjalin kedekatan bahkan hubungan romantis dengan pasangan lawan jenisnya.

Setelah ditinjau lebih dalam lagi, latar belakang partisipan menunjukkan perbedaan waktu terjadinya perselingkuhan ayah, P1 mengetahui perselingkuhan ayah ketika berusia 17 tahun, P2 mengetahui perselingkuhan ayah ketika berusia 5 tahun, P3 mengetahui perselingkuhan ketika berusia sekitar 15 tahun, namun sejak lahir P3 tidak tinggal bersama dengan ayahnya. Perselingkuhan ayah menyebabkan ketiga partisipan mengalami keterpisahan dengan ayahnya, baik karena merasa marah maupun perceraian orang tua. Berdasarkan perbedaan waktu ketika mengalami keterpisahan dengan ayah serta kesulitan berinteraksi dengan lawan jenis yang dialami partisipan, peneliti menduga semakin cepat anak memiliki hubungan yang renggang dengan ayah, maka semakin sulit bagi anak untuk mampu berinteraksi dan menjalin kedekatan dengan lawan jenis. Hal ini karena anak jadi kehilangan peran ayah yang membantu anak perempuan belajar berinteraksi dan diterima oleh laki-laki pada kelompok sebayanya (Williamson, 2004). Semakin dini anak kehilangan peran ayah karena hubungan yang merenggang antara ayah dan anak, maka anak semakin tidak punya kesempatan untuk belajar berinteraksi dengan lawan jenis.

Setelah mengalami perselingkuhan ayah, partisipan juga memiliki interpretasi tersendiri mengenai hubungan romantis lawan jenis. Hasil wawancara menunjukkan bahwa partisipan merasa bahwa hubungan romantis bisa saja mengalami kegagalan sebagaimana hubungan pernikahan kedua orang tuanya.

Pemahaman tersebut juga diikuti dengan rasa enggan dan takut untuk menjalin hubungan romantis karena tidak percaya pada laki-laki dan takut merasakan sakit hati. Dalam uraianya, Cui et.al. (2010) menyebutkan bahwa hubungan romantis dan hubungan pernikahan memiliki pola yang mirip. Anak dapat menggunakan hubungan pernikahan orang tuanya menjadi pedoman dalam menjalin hubungan romantisnya sendiri. Maka dari itu, peneliti menduga bahwa konflik perselingkuhan dalam hubunga pernikahan orang tua memberikan gambaran bagi partisipan mengenai hubungan romantis. Di mana dalam hubungan romantis dapat terjadi konflik yang mengarah pada perpisahan pasangan seperti kedua orang tuanya.

Selain itu, hasil wawancara partisipan juga menunjukkan adanya perasan takut dan khawatir apabila kelak pasangannya juga melakukan perselingkuhan seperti yang dilakukan ayahnya. Sebelumnya, partisipan menunjukkan respon perasaan setelah mengetahui perselingkuhan ayah berupa merasa sedih, marah, dan kecewa dengan perilaku ayahnya. Padahal ayah merupakan cinta pertama bagi anak perempuan (Secunda, 1992, seperti dikutip dalam Katorski, 2003). Sehingga, respon yang ditunjukkan terhadap perselingkuhan tidak hanya sebatas dari anak terhadap orang tua, namun selayaknya dua individu yang saling mencintai. Bahkan seringkali hubungan antara anak perempuan dengan ayahnya digeneralisasikan pada hubungan dengan laki-laki. Pada penelitian sebelumnya, Platt (2008) juga menemukan bahwa persepsi anak terhadap perselingkuhan orang tua menimbulkan perasaan waspada untuk menjalin hubungan karena takut pasangannya juga melakukan perselingkuhan, karena perselingkuhan orang tua berdampak pada pandangan anak terhadap orang lain hubungan romantisnya kelak.

Terbentuknya interpretasi tersendiri dalam memandang hubungan romantis tentunya juga akan memengaruhi hubungan romantis perempuan di masa dewasa. Dalam uraiannya, Olrosfky (1993) menjelaskan bahwa komponen keintiman dalam cinta dapat berkembang melalui keterbukaan, perasaan berbagi, dan rasa saling percaya antar individu. Akan tetapi, perselingkuhan ayah justru menyebabkan rendahnya kepercayaan terhadap laki-laki, sehingga akan sulit bagi perempuan untuk bisa membangun keintiman dengan lawan jenis. Hal ini karena sejak awal perempuan cenderung memiliki kepercayaan yang rendah terhadap laki-laki, serta timbul perasaan enggan dan takut menjalin hubungan romantis. Selain itu, hal ini juga didukung oleh anggapan bahwa hubungan romantis juga bisa mengalami kegagalan seperti kegagalan pernikahan orang tuanya. Kesulitan untuk membangun keintiman juga mampu menyebabkan kesulitan untuk membangun komitmen dalam sebuah hubungan. Hal ini dapat terjadi karena komitmen dalam sebuah hubungan muncul dan berkembang ketika seseorang telah mampu membentuk keintiman dan hasrat, sehingga dapat mengambil keputusan terkait hubungannya dengan orang lain (Sternberg, 1986). Kondisi ini juga mendukung hasil temuan sebelumnya di mana perselingkuhan ayah menyebabkan anak kesulitan dalam menjalin hubungan. Bukan hanya karena kehilangan peran ayah, namun kesulitan ini juga dapat disebabkan karena rendahnya kepercayaan perempuan terhadap laki-laki setelah mengalami perselingkuhan ayah.

2. Hubungan Romantis Dengan Lawan Jenis Pada Perempuan Dewasa