• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan usia dewasa muda merupakan individu yang telah memasuki rentang usia 19-30 tahun. Pada rentang usia ini seorang perempuan mulai memiliki peran dan tanggung jawab yang semakin besar. Umumnya, perempuan dewasa muda akan melakukan penyesuaian diri dan penjajakan terhadap pola-pola kehidupan dan harapan sosial yang baru, dengan cara mengeksplorasi mengenai pekerjaan dan hubungan pacaran untuk menemukan pasangan hidup yang cocok untuknya (Hurlock, 1991). Selain itu, masa dewasa muda juga ditandai sebagai masa reproduksi, sehingga perempuan dipersiapkan untuk mengemban peran sebagai seorang ibu dan mengurus kehidupan rumah tangga. Dewasa muda menjadi masa yang dipenuhi dengan banyak keputusan penting dalam hidup yang memiliki potensi bagi kesempurnaan hidup (Berk, 2014), sehingga pengalaman pada masa sebelumnya menjadi sebuah pelajaran berharga untuk membentuk pribadi seseorang (Dariyo, 2004).

Pada rentang usia ini seorang perempuan juga mengalami perkembangan dalam aspek psikososialnya, di mana perkembangan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman sosialnya. Erikson (1989) memaparkan adanya 8 tahap perkembangan psikososial yang dimulai sejak lahir hingga meninggal. Dalam setiap tahapannya, terdapat konflik yang harus diselesaikan. Apabila seseorang mampu menyelesaikan konflik tersebut makan ia akan memeroleh keterampilan untuk lebih mampu melewati tahap perkembangan yang selanjutnya. Bahkan penyelesaian konflik mampu meningkatkan kekuatan dan kualitas ego seseorang. Delapan tahap perkembangan psikososial tersebut terdiri dari (Feist & Feist, 2006):

1. Percaya diri vs tidak percaya diri

Tahap perkembangan psikososial dimulai ketika bayi baru lahir hingga berusia 2 tahun. Pada tahap ini terdapat konflik percaya vs tidak percaya diri pada bayi terbentuk ketika ia merasa kebutuhannya terpenuhi dengan baik oleh pengasuhnya. Namun, apabila kebutuhan anak tidak terpenuhi (lapar, merasa sakit) maka bayi cenderung tidak memercayai pengasuhnya. Apabila bayi mampu membentuk rasa percaya yang baik, maka akan terbentuk nilai dasar yaitu harapan. 2. Otonomi vs rasa malu dan ragu

Tahap selanjutnya yaitu ketika anak berusia 2-3 tahun. Pada tahap ini anak mengalami konflik otonomi vs rasa malu dan ragu. Apabila anak mampu mengontrol fungsi tubuh selama proses toilet training serta melakukan hal-hal sesuai keinginan, maka anak cenderung mampu mengembangkan rasa otonomi. Sebaliknya, jika anak tidak mampu

mengembangkan kemandirian, anak cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu. Terbentuknya rasa otonomi pada anak akan menumbuhkan nilai dasar berupa kemauan.

3. Inisiatif vs rasa bersalah

Tahap ini terjadi pada rentang usia 3-5 tahun. Pada tahap ini terjadi konflik batin berupa inisiatif vs rasa bersalah. Di mana anak mulai berusaha untuk memilih dan mengejar tujuan mereka. Namun tujuan yang bersifat tabu cenderung menimbulkan perasaan bersalah. Pada tahap ini, sebisa mungkin anak lebih condong untuk melakukan inisiatif. Apabila anak mampu memenuhi tahapan ini, maka akan terbentuk nilai dasar berupa tujuan hidup.

4. Industri vs rasa rendah diri

Tahap ini terjadi ketika anak mulai bersekolah, sekitar usia 6-11 tahun. Pada tahap ini anak mengalami konflik berupa industri vs rasa rendah diri. Jika anak mampu memenuhi tuntutan akademis dan memeroleh dukungan dari orang tua dan guru, maka akan terbentuk rasa industri. Akan tetapi, apabila anak tidak cukup baik dalam memenuhi tuntan akademisnya dan tidak memeroleh dorongan dari orang tua dan guru, maka anak akan merasa rendah diri. Apabila anak dapat menyelesaikan tahap ini dengan baik, maka anak akan memeroleh nilai dasar berupa kompetensi.

Tahap ini terjadi ketika anak memasuki usia remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini, terjadi konflik batin berupa identitas vs kebingungan identitas. Identitas digambarkan dengan keputusan yang ingin diyakini oleh remaja. Sedangkan kebingungan identitas mencakup gambaran diri yang terpisah, ketidakmampuan untuk mencapai keintiman, rasa terdesak oleh waktu, kurangnya konsentrasi pada tugas tugas yang harus dilakukan dan penolakan keluarga atau komunitas. Apabila remaja mampu menyelesaikan tahap ini dengan menemukan identitas dirinya, maka nilai dasar yang diperoleh dalam tahapan ini adalah kesetiaan.

6. Intimasi vs isolasi diri

Tahapan ini terjadi pada rentang usia 19-30 tahun. Pada tahap ini seseorang akan menghadapi konflik pertentangan batin berupa intimasi vs isolasi. Intimasi merupakan membentuk hubungan intim dengan orang lain, khususnya lawan jenis. Sebaliknya kegagalan dalam membentuk hubungan intim akan mengarahkan individu pada rasa putus asa dan kesepian. Apabila seseorang mampu memiliki hubungan intim maka akan terbentuk nilai dasar berupa cinta.

7. Generativitas vs stagnansi

Tahapan ini dimulai ketika seseorang berusia 30-65 tahun. Pada tahap ini seseorang mengalami konflik berupa generativitas vs stagnansi. Generativitas merupakan bentuk perilaku membimbing generasi selanjutnya dan menciptakan perubahan yang bermanfaat bagi

orang lain. Sebaliknya, merasa tidak produktif dan tidak terlibat dalam dunia cenderung mengarahkan pada stagnansi. Apabila mampu melalui tahapan ini, seseorang akan memeroleh nilai dasar yaitu rasa peduli. 8. Integritas ego vs keputusasaan

Tahap ini terjadi ketika seseorang berusia 65 hingga meninggal. Pada tahap ini seseorang mengalami konflik berupa integritas ego vs keputusasaan. Apabila pada tahap ini seseorang merasa apa yang sudah dijalani sepanjang hidupnya adalah hal yang baik, maka akan terbentuk rasa puas dan kesiapan untuk menghadapi akhir hidupnya. Sedangkan seseorang yang menyesali kehidupannya cenderung merasa takut dengan akhir kehidupan. Rasa puas yang dirasakan membentuk integritas ego seseorang.

Perempuan dewasa muda berada pada tahapan yang ke 6, yaitu intimasi vs isolasi. Pada tahap ini juga perempuan dihadapkan pada tugas perkembangan untuk mengadakan hubungan afektif yang tetap dan mendalam dengan lawan jenis (Boeree, 2007). Kemampuan seseorang untuk mampu mengadakan hubungan afektif dengan lawan jenis turut dipengaruhi oleh beberapa tahap perkembangan yang sebelumnya, khususnya ketika remaja. Apabila seseorang telah menemukan identitas dirinya, maka akan lebih mudah bagi seseorang udah membangun intimasi dengan lawan jenis. Setelah mampu memenuhi tugas perkembangan tersebut, seseorang akan memperoleh nilai kehidupan berupa persatuan dan cinta kasih (Erikson, 1989). Bahkan Erikson memercayai bahwa kemampuan seseorang untuk mampu membentuk hubungan yang erat dan berkomitmen akan mengarahkan

seseorang untuk memiliki hubungan yang langgeng dan aman. Umumnya, perempuan yang mampu mengupayakan intimasi dengan laki-laki memiliki identitas diri yang kuat, toleran, dan mampu menerima perbedaan orang lain, mampu membentuk ikatan emosional yang erat tanpa kehilangan identitasnya sendiri, merasa nyaman dengan orang lain dan dirinya sendiri, serta mampu mengekspresikan perasaan dan empati (Hutchison et al., 2016). Sebaliknya, kecenderungan maladaptif pada tahap ini adalah sikap isolasi, yaitu sikap melawan dan menolak intimasi dengan cara menumbuhkan perasaan cuek, terlalu bebas dan tidak bergantung pada bentuk hubungan dekat apapun (Boeree, 2007). Perempuan yang lebih mengembangkan sikap isolasi umumnya tidak memiliki rasa identitas yang mapan, tidak dapat menerima perbedaan dengan orang lain, adanya keraguan untuk membentuk hubungan dekat dengan orang lain karena merasa takut kehilangan identitas diri, mengembangkan hubungan yang kompetitif, serta kesulitan mengekspresikan empati (Hutchison et al., 2016). Pengembangan sikap isolasi yang mendalam dapat mengarahkan perempuan pada fase hidup yang lebih lama pada masa perkembangan dewasa muda (Feist & Feist, 2014) sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk melajutkan tahap perkembangan selanjutnya.

Tugas perkembangan dan pertentangan batin yang terjadi pada tahap perkembangan dewasa muda, menegaskan bahwa perempuan diharapkan untuk mampu menjalin intimasi berupa hubungan yang dekat, tetap, dan mendalam dengan lawan jenis. Meskipun intimasi dapat terbentuk dalam berbagai hubungan interpersonal seperti hubungan dengan teman, sahabat, ataupun sesama anggota

masyarakat, namun individu dewasa muda lebih mengupayakan intimasi dalam bentuk hubungan dengan kekasih (Moss & Schwebel, 1993).