• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ROMANTIS LAWAN JENIS PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA SESUDAH MENGALAMI PERSELINGKUHAN AYAH SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ROMANTIS LAWAN JENIS PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA SESUDAH MENGALAMI PERSELINGKUHAN AYAH SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ROMANTIS LAWAN JENIS PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA

SESUDAH MENGALAMI PERSELINGKUHAN AYAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Raden Roro Niken Probowati 159114059

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN MOTTO

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya mengatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali telah disebutkan dalam kutipan dan daftar acuan, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 10 Januari 2021

Penulis,

(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma,

Nama : Raden Roro Niken Probowati NIM : 159114059

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

HUBUNGAN ROMANTIS LAWAN JENIS PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA SESUDAH MENGALAMI PERSELINGKUHAN AYAH

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, serta mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di : Yogyakarta

Pada tanggal : 31 Maret 2021 Yang menyatakan,

(7)

HUBUNGAN ROMANTIS LAWAN JENIS PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA SESUDAH MENGALAMI PERSELINGKUHAN AYAH

Raden Roro Niken Probowati

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan corak hubungan romantis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Hubungan romantis yang dimaksudkan adalah hubungan romantis dengan pasangan lawan jenis yang terdiri dari 3 komponen cinta seperti yang dikemukakan oleh Sternberg (1986) yang meliputi: (1) keintiman, (2) hasrat, dan (3) komitmen. Patisipan merupakan tiga orang perempuan dengan rentang usia 22-24 tahun yang memiliki pengalaman perselingkuhan ayah, dan baru pertama kali menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur. Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK) dengan pendekatan deduktif terarah. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa perselingkuhan ayah menyebabkan hubungan antara anak dengan ayah menjadi renggang, sehingga menyebabkan anak mengalami kebingungan dan kesulitan dalam menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis; memiliki persepsi bahwa hubungan romantis dengan pasangan lawan jenis bisa mengalami kegagalan; serta menyebabkan rasa takut dan khawatir apabila kelak pasangan melalukan perselingkuhan. Maka dalam menjalin hubungan romantisnya, anak cenderung memiliki kepercayaan yang rendah terhadap pasangan; lebih mengutamakan sifat dan perilaku dibandingkan penampilan pasangan; namun tetap memiliki harapan untuk melanjutkan hubungan romantis ke jenjang pernikahan.

Kata kunci: Perempuan dewasa muda; Perselingkuhan ayah; Hubungan romantis lawan jenis

(8)

ROMANTIC RELATIONSHIP IN YOUNG ADULT WOMAN AFTER EXPERIENCING FATHER’S INFIDELITY

Raden Roro Niken Probowati

ABSTRACT

This research is a qualitative study that aims to reveal the responses of young adult women to their father's infidelity and the romantic relationships with the opposite sex between young adult women, which occur after experiencing the father's infidelity. The intended romantic relationships with the opposite sex is a romantic relationships consists of 3 components of love as suggested by Sternberg (1986), which includes: (1) intimacy, (2) passion, and (3) commitment. Participants were three women aged between 22-24 years old, who had experiences of father’s infidelity, and for the first time having a romantic relationship. Data were collected using a semi-structured interview method. Data analysis was performed using qualitative content analysis method with a directed deductive approach. Generally results show that the father's infidelity causes a relation gap between the daughter and the father, the daughter feels confused and finds difficulties to have romantic relationships with the opposite sex; have the perception that romantic relationships can be fail; also to cause fear and worry if one day the partners having an affair. Therefore, young adult women tend to have a low trust to their partners in romantic relationship with the opposite sex; prioritizing traits and behaviors more than physical appearance of their partners; making the experience of father’s infidelity as a reference to having a romantic relationship with the opposite sex, so they still hoping for a marriage.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala kebaikannya untuk terus mengarahkan dan memberikan yang terbaik dalam hidup saya, khususnya dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Selama proses menyelesaikan tugas akhir ini peneliti menyadari bahwa proses hidup setiap orang berbeda-beda. Peneliti bersyukur masih boleh merasakan proses ini, di mana peneliti banyak mendapatkan pengetahuan baru yang turut mendewasakan peneliti. Dalam proses mengerjakan penelitian ini, peneliti menghadapi banyak tantangan dan tekanan. Berkat dukungan dari berbagai pihak, peneliti akhirnya mampu menyelesaikan karya yang berjudul Hubungan romantis lawan jenis pada perempuan dewasa muda, sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Maka dari itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Augustinus Supratiknya, Ph.D., selaku dosen pembimbing yang sangat sabar dalam membimbing dan mengarahkan peneliti selama proses penyusunan skripsi.

2. Terima kasih kepada seluruh jajaran pejabat Fakultas Psikologi dan Universitas Sanata Dharma atas segala fasilitas dan sarana yang diberikan sehingga membantu peneliti dalam proses penyelesaian tugas akhir.

3. Terima kasih kepada seluruh partisipan yang terlibat dalam penelitian ini, yang bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi kisah hidup yang di alami, serta bantuan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

(10)

4. Terima kasih kepada keluarga peneliti, yang tak pernah berhenti mendoakan dan memberikan dukungan secara emosional maupun material selama peneliti menjalani perkuliahan hingga mampu menyelesaikan tugas akhir. 5. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa dan seluruh mahasiswa yang

berada di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Augustinus Supratiknya, Ph.D., yang bersedia menjadi teman diskusi, mengarahkan, mendukung, berbagi informasi, dan memotivasi peneliti selama proses bimbingan bersama. 6. Terima kasih kepada Arif Putra Wicaksana yang selalu membantu,

mendukung secara emosional dan material, dan memotivasi peneliti agar bisa fokus dan segera menyelesaikan tugas akhir.

7. Terima kasih kepada Hannah, Clara, Alvin, dan Hera atas dukungan, bantuan, dan motivasi kepada peneliti dalam segala hal, terutama selama proses penyelesaian tugas akhir ini.

8. Terima kasih kepada teman-teman Geisteswissenschaft yang senantiasa mendukung, memotivasi, memberikan bantuan dan informasi, menghibur, serta menjadi tempat bagi peneliti untuk berkeluh kesah selama menjalani perkuliahan hingga mampu menyelesaikan tugas akhir.

9. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penelitian dalam proses mengerjakan tugas akhir ini.

10. Terima kasih kepada diriku sendiri atas segala usaha dan tenaga untuk mau berjuang dan tidak pernah menyerah walaupun banyak mengalami hambatan dan tekanan. Kamu hebat!

(11)

Terlepas dari seluruh ucapan terima kasih yang telah peneliti berikan kepada seluruh pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini, peneliti hendak menegaskan bahwa peneliti merupakan pihak yang bertanggung jawab penuh atas semua kesalahan yang mungkin terjadi dalam skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, maka dari itu, peneliti sangat bersedia dan terbuka untuk menerima kritik dan saran dari berbagai pihak demi perkembangan yang lebih baik.

Yogyakarta, 22 Februari 2021

Peneliti,

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .. vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 A. Pertanyaan Penelitian ... 10 B. Tujuan Penelitian ... 10 C. Manfaat Penelitian ... 11 BAB II ... 12 TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Tugas Perkembangan Perempuan Dewasa Muda ... 12

B. Hubungan Romantis... 18

C. Peran Ayah Terhadap Perkembangan Hubungan Romantis Anak Perempuan ... 20

D. Kerangka Konseptual ... 26

BAB III ... 29

(13)

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 29

B. Fokus Penelitian ... 30

C. Partisipan... 31

D. Peran Peneliti ... 32

E. Prosedur Pengambilan Data ... 34

F. Analisis dan Interpretasi Wawancara... 36

G. Kredibilitas Data ... 39

BAB 4 ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Pelaksanaan Penelitian ... 41

B. Latar Belakang Partisipan ... 43

C. Hasil Penelitian ... 51

1. Respon Terhadap Perselingkuhan Ayah ... 51

2. Hubungan Romantis Lawan Jenis Partisipan Setelah Perselingkuhan Ayah ... 54

D. Pembahasan... 64

1. Respon anak perempuan terhadap perselingkuhan ayah ... 64

2. Hubungan Romantis Dengan Lawan Jenis Pada Perempuan Dewasa Muda, Setelah Mengalami Perselingkuhan Ayah ... 70

BAB V ... 75

KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Keterbatasan Penelitian ... 77

C. Saran ... 78

1. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 78

2. Bagi Orang Tua Yang Mengalami Perselingkuhan ... 79

3. Bagi Anak Perempuan Yang Mengalami Perselingkuhan Ayah ... 79

DAFTAR ACUAN ... 81

Lampiran 1. Contoh lembar persetujuan informed consent yang digunakan .... 86

(14)

Lampiran 4. Inform Consent P3 ... 90

Lampiran 5. Contoh formulir debriefing yang digunakan ... 91

Lampiran 6. Transkrip wawancara P1 ... 94

Lampiran 7. Transkrip debriefing P1 ... 107

Lampiran 8. Transkrip wawancara pertama P2 ... 108

Lampiran 9. Transkrip wawancara kedua P2 ... 114

Lampiran 10. Transkrip debriefing P2 ... 118

Lampiran 11. Transkrip wawancara P3 ... 121

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Partisipan ... 32 Tabel 2 Koding Respon Anak Perempuan Terhadap Perselingkuhan Ayah.... 37 Tabel 3 Koding Hubungan Romantis dengan Lawan Jenis ... 38 Tabel 4 Waktu dan lokasi pelaksanaan wawancara ... 41

(17)

BAB I PENDAHULUAN

Dewasa muda (19-30 tahun) merupakan masa di mana seseorang perempuan melakukan penyesuaian diri dan penjajakan terhadap pola-pola kehidupan dan harapan sosial yang baru. Individu dewasa muda mulai mengeksplorasi mengenai pekerjaan dan hubungan pacaran untuk menemukan pasangan hidup yang cocok untuknya (Hurlock, 1991). Hal ini karena, pada rentang usia tersebut perempuan tengah mencapai tahap perkembangan psikososial yang ke-6, pada tahap ini seseorang me ngalami krisis pertentangan batin berupa menjalin kedekatan dengan orang lain (intimacy) vs. berusaha menghindar dan bersikap menyendiri (isolation) (Erikson, 1989). Selain itu pada rentang usia tersebut seseorang memiliki tugas perkembangan untuk mengadakan hubungan afektif yang tetap dan mendalam dengan lawan jenis (Boeree, 2007). Maka dari itu, perempuan dewasa muda mencoba untuk menjalin kedekatan dengan teman lawan jenisnya. Umumnya, individu dewasa muda lebih mengupayakan kedekatan dalam bentuk hubungan dengan kekasih. Hubungan dengan kekasih merupakan sebuah hubungan romantis, yaitu ikatan emosional antara dua pihak yang dilengkapi dengan adanya komitmen dan kepercayaan (Olson et al., 2011).

Dalam proses pengembangan hubungan romantis, pengalaman individu saat kanak-kanak dan remaja cukup memengaruhi, khususnya pengalaman bersama keluarga (Feldman et al., 1998). Salah satu pengalaman bersama keluarga adalah interaksi anak dengan ayah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan

(18)

pelajaran mengenai menjalin hubungan dekat dengan orang lain maupun pasangan ketika dewasa (Williamson, 2004). Kemudian hubungan yang aman, suportif, komunikatif ayah dan anak perempuan membuat anak lebih puas dengan penampilan dan berat badan mereka, sehingga lebih percaya diri dan nyaman dengan pacar mereka, lebih tegas dan percaya diri dalam menolak berhubungan seks dan menolak untuk didominasi secara emosional oleh pacar mereka, serta paling mungkin untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang intim dan memuaskan secara emosional dengan pria (Sanftner et al., 2009; Katz, 2010; Nielsen, 2014). Selain itu, sosok ayah menjadi role model (Cabrera et al., 2000) dalam membentuk kemampuan perempuan untuk bisa percaya, menghargai, diterima dan dicintai ketika menjalin hubungan dengan laki-laki lain dari kelompok sebayanya. Maka dari itu, pengalaman interaksi perempuan dengan ayahnya memengaruhi pembentukan konsep mengenai cinta, pernikahan, dan keturunan ketika perempuan mulai terlibat dalam hubungan romantis (Friedman, 2011, seperti dikutip dalam Fitriana, 2013).

Pengalaman perempuan dengan ayah memberikan banyak pengaruh positif bagi anak ketika menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Akan tetapi, tidak semua anak perempuan bisa memiliki hubungan yang aman, suportif, dan komunikatif dengan ayahnya. Hal ini bisa disebabkan karena adanya konflik pada orang tua, salah satunya perselingkuhan. Perselingkuhan atau affair merupakan kedekatan emosional dan kegiatan seksual yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang telah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya secara resmi (Sari, 2012). Perselingkuhan dapat disebabkan karena adanya faktor internal, yaitu

(19)

permasalahan dalam hubungan perkawinan atau faktor eksternal, yaitu permasalahan di lingkungan sekitar hubungan perkawinan. Uniknya, perselingkuhan pada pasutri yang dilakukan oleh suami, yaitu sekitar 90%, sedangkan istri hanya sebanyak 10% (Hawari, 2002, seperti dikutip dalam Sari, 2012).

Secara umum, Nogales (2009) menjelaskan bahwa perselingkuhan orang tua yang diketahui oleh anak mampu menimbulkan respon yang negatif. Anak akan merasa kaget, bingung, marah, sinis, sedih, malu, atau bahkan kombinasi dari beberapa perasaan tersebut. Kemudian, anak juga menunjukkan respon perilaku berupa sulit percaya pada seseorang yang mereka cintai, sehingga anak tidak menaruh kepercayaan pada rasa cinta. Selain itu, anak merasa bingung dengan makna sesungguhnya dari cinta terutama hubungan pernikahan. Sedangkan perselingkuhan yang dilakukan ayah menyebabkan anak perempuannya memiliki kepercayaan yang rendah terhadap pasangannya ketika hendak membina hubungan dengan lawan jenis (Medved, 1998, seperti dikutip dalam Nahareko, 2009). Anak perempuan juga merasa takut dan khawatir apabila kelak pasangannya berperilaku seperti ayahnya ketika menjalin sebuah hubungan (Cunningham, 2015).

Peristiwa perselingkuhan ayah yang dialami oleh anak perempuan cenderung memengaruhi perempuan ketika menjalin hubungan romantis dengan pasangan lawan jenis. Perselingkuhan ayah menyebabkan perempuan tidak menaruh kepercayaan pada rasa cinta, tidak memiliki model dalam menjalin hubungan romantis, memiliki kepercayaan yang rendah kepada pasangan, serta merasa takut dan khawatir apabila pasangan juga melakukan perselingkuhan

(20)

(Nogales, 2009; Medved, 1998, seperti dikutip dalam Nahareko, 2009; Cunningham, 2015). Akan tetapi, pada rentang usia dewasa muda (19-30 tahun), perempuan sedang melakukan penyesuaian dan penjajakan terhadap pola-pola kehidupan yang baru. Proses penyesuaian ini dilakukan dengan cara melakukan eksplorasi terkait pekerjaan dan pasangan hidup. Kemudian pada masa ini perempuan memiliki tugas perkembangan untuk menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Jika seseorang tidak mampu memenuhi tugas perkembangan ini, ia akan mengalami keterasingan dan melewati tahap ini lebih lama (Feist & Feist, 2006). Maka dari itu, peneliti ingin meneliti mengenai hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami peristiwa perselingkuhan ayah. Peneliti akan berfokus pada respon terhadap perselingkuhan ayah serta corak yang terbentuk dalam hubungan romantis pertama pada perempuan dewasa muda, yang mulai terjalin sesudah mengalami peristiwa perselingkuhan ayah. Hubungan romantis dengan lawan jenis akan dipetakan menggunakan teori segitiga cinta Sternberg (1986) yang terdiri dari keintiman, hasrat, dan komitmen.

Sejauh ini, peneliti belum banyak menemukan penelitian yang membahas mengenai hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan usia dewasa muda, yang ayahnya berselingkuh di Indonesia. Terdapat beberapa penelitian dengan topik yang berkaitan dengan topik yang hendak diteliti oleh peneliti, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nahareko (2009) dan Adriani dan Rochani (2010). Keduanya membahas dampak perselingkuhan orang tua pada anak.

(21)

Penelitian Nahareko (2009) berfokus pada dinamika psikologis dan strategi coping pada anak remaja akhir terhadap perilaku selingkuh ayahnya. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan kriteria subjek anak usia remaja akhir (18-24 tahun) dan remaja awal (12-15 tahun) yang mengalami peristiwa perselingkuhan ayah. Penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika psikologis remaja akhir terhadap perilaku selingkuh ayah yaitu, marah, benci, dan kecewa dengan sosok ayah karena tidak bertanggung jawab dengan masa depan anak, serta tidak percaya diri di hadapan teman-temannya. Pada usia remaja awal, anak menggunakan coping stres yang berfokus pada emosi, sedangkan saat usia remaja akhir, anak menggunakan coping stres yang berfokus pada masalah. Kemudian, penelitian yang dilakukan Adriani dan Rochani (2010) berfokus pada hubungan antara persepsi perselingkuhan dalam pernikahan dengan intensi menikah pada wanita dewasa muda. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan kriteria subjek perempuan usia dewasa muda yang orang tuanya berselingkuh. Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi perselingkuhan dalam pernikahan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan intensi menikah pada anak perempuan dewasa muda. Hal ini karena, sangat mungkin persepsi perselingkuhan dalam pernikahan orang tua justru menjadi dasar bagi anak untuk mengantisipasi pernikahannya di masa depan.

Beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan topik yang hendak diangkat peneliti yaitu penelitian yang membahas mengenai dampak perceraian orang tua pada anak. Dalam penelitian tersebut beberapa kasus perceraian pada pasangan suami istri disebabkan oleh konflik perselingkuhan. Seperti yang dilakukan oleh

(22)

Sari (2012), Al Yakin (2014), Ndari (2016), serta Pradipta dan Desiningrum (2017) yang meneliti mengenai dampak dan dinamika psikologis anak terhadap perceraian orang tua dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Berdasarkan keempat penelitian tersebut, diketahui bahwa perceraian pada orang tua khususnya yang disebabkan perselingkuhan menyebabkan anak jadi merasa kecewa dan benci dengan orang tua yang melakukan perselingkuhan, menarik diri dari lingkungan sekitarnya, merasa khawatir, merasa takut dan trauma dengan perselingkuhan yang terjadi pada orang tuanya akan terjadi pada anak, serta merasa cemas dalam mencari pasangan. Penelitian lain dilakukan oleh Ira dan Suryadi (2018) berfokus pada gambaran trust pada individu dewasa muda yang sedang berpacaran dan mengalami perceraian orang tua. Hasil penelitian pada subjek yang mengalami perceraian orang tua karna konflik perselingkuhan ayah menunjukkan tidak adanya self trust pada diri sendiri karena merasa kurang percaya diri dengan peristiwa yang pernah dialami. Namun, subjek memiliki interpersonal trust yang baik, dalam bentuk hubungan yang lebih dekat dengan kekasihnya daripada ibunya, meskipun perilaku selingkuh yang telah dilakukan ayahnya mengakibatkan subjek selalu merasa curiga dengan kekasihnya. Kemudian terdapat pula penelitian yang meneliti mengenai resiliensi pada remaja perempuan yang orang tuanya bercerai Mahardhika (2018). Penelitian ini menjelaskan bahwa setelah orang tua bercerai karena perselingkuhan ayah, anak perempuan justru mampu untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut, memiliki kepedulian terhadap lingkungan, mampu mengembangkan kemampuan, dan memiliki semangat yang lebih untuk membantu dan membahagiakan ibunya.

(23)

Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang berfokus pada hubungan romantis dengan pasangan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Sebagian besar penelitian tersebut dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan penerapan teknik wawancara semi terstuktur. Namun, penetapan kriteria subjek masih terlalu umum. Para peneliti hanya membatasi partisipan pada rentang usia tertentu, tetapi tidak spesifik pada salah satu jenis kelamin.

Selebihnya, peneliti lebih banyak menemukan penelitian yang berfokus pada dampak perselingkuhan ayah terhadap anak yang di lakukan di luar negeri. Penelitian tersebut dilakukan oleh Platt et al. (2008) dan Schmidt et al. (2015). Keduanya meneliti mengenai dampak perselingkuhan orang tua terhadap anak, baik laki-laki maupun perempuan dengan menggunakan metode survei. Penelitian Platt et al. (2008) menunjukkan bahwa perilaku selingkuh orang tua mampu menimbulkan pandangan negatif dari anak kepada diri sendiri dan orang lain. Sedangkan anak laki-laki usia dewasa yang sejak kecil mengalami peristiwa perselingkuhan ayah cenderung terlibat dalam perselingkuhan. Kemudian, pada penelitian yang dilakukan oleh Schmidt et al. (2015) menunjukkan bahwa perselingkuhan ayah menimbulkan penurunan etika relasional horizontal, seperti melakukan perselingkuhan dan hubungan seksual pada satu tahun pertama ketika menjalani hubungan romantis pada anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini karena, hubungan romantis pada anak-anak dewasa dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang kepercayaan, kesetiaan, dan keadilan dari keluarga asal mereka. Sama halnya dengan artikel yang ditulis oleh Lusterman (2005) yang merangkum

(24)

beberapa kasus perselingkuhan dalam sebuah keluarga, khususnya mengenai dampak yang ditimbulkan dan penggunaan terapi sebagai sarana penyembuhan. Dalam pembahasan salah satu kasus, Lusterman (2005) menjelaskan bahwa anak perempuan yang telah mengetahui perselingkuhan ayahnya terlebih dahulu dibandingkan ibunya akan mengalami perubahan perilaku, yaitu mengalami penurunan dalam bidang akademik dan kenakalan, seperti berperilaku dan berpakaian tidak sopan terutama kepada lawan jenis. Bahkan setelah seluruh anggota keluarga mengetahui peristiwa tersebut, anak perempuan justru mengalami kecemasan untuk berhubungan dengan lawan jenis dan justru kerap berganti-ganti pasangan dalam hubungan romantis.

Beberapa penelitian luar negeri di atas juga menunjukkan terdapat penelitian yang berfokus pada dampak perselingkuhan orang tua. Namun, tidak membahas lebih lanjut mengenai hubungan romantis perempuan, khususnya yang pertama kali terjalin setelah mengalami perselingkuhan ayah. Beberapa penelitian tersebut juga menggunakan desain penelitian yang cukup bervariatif, yaitu menggunakan survei dan metode penelitian kualitatif. Akan tetapi, partisipan yang terlibat cenderung memiliki kriteria yang relatif umum, yaitu hanya membatasi partisipan berdasarkan rentang usia dan pengalaman perselingkuhan orang tua.

Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, peneliti menemukan beberapa defisiensi. Dari segi topik, penelitian yang mengangkat topik mengenai corak hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah masih sedikit. Beberapa penelitian sebelumnya, khususnya di Indonesia lebih banyak meneliti mengenai pengalaman

(25)

menjalin hubungan dengan lawan jenis pada anak yang mengalami perceraian orang tua. Ditemukan dua penelitian yang meneliti mengenai kondisi anak yang mengalami peristiwa perselingkuhan ayah. Akan tetapi, penelitian tersebut berfokus pada dinamika psikologis dan strategi coping, serta intensi pernikahan pada perempuan. Selain itu, dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri lebih banyak yang menggunakan metode kuantitatif dan survei. Masih sedikit penelitian yang menggunakan metode kualitatif untuk menggali lebih dalam proses dan makna yang dialami partisipan. Kemudian dari segi lokasi, penelitian yang berfokus pada topik anak yang mengalami peristiwa perselingkuhan orang tua lebih banyak di lakukan di luar negeri seperti Amerika Serikat khususnya negara bagian New York dan Chicago. Sedangkan di Indonesia belum ada penelitian mengenai hubungan romantis dengan lawan jenis pada anak perempuan, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Dari segi partisipan, beberapa penelitian sebelumnya cenderung menerapkan kriteria partisipan yang masih cukup umum seperti segi jenis kelamin dan usia, sehingga hanya berfokus pada partisipan yang memiliki pengalaman orang tuanya berselingkuh, baik ayah maupun ibu.

Berdasarkan defisiensi tersebut, maka penelitian ini secara khusus akan mengeksplorasi hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Penelitian ini hendak berfokus pada corak hubungan romantis dengan lawan jenis yang ditinjau melalui keintiman, hasrat, dan komitmen. Maka dari itu, penelitian ini akan menggunakan desain penelitian analisis isi kualitatif deduktif terarah, yaitu mengobservasi suatu

(26)

fenomena hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus pada subjek dengan karakteristik perempuan dewasa muda usia 19-30 tahun, pernah mengalami peristiwa perselingkuhan ayah, dan baru pertama kali menjalin hubungan romantis dengan pasangan lawan jenis sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Prosedur pengumpulan data akan dilakukan melalui wawancara semi terstruktur dengan memberikan beberapa pertanyaan terbuka berkaitan dengan respon terhadap perselingkuhan ayah serta hubungan romantis dengan lawan jenis pada anak perempuan usia dewasa muda. Kemudian metode yang digunakan dalam menganalisis data yaitu analisis isi terarah.

A. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana respon anak perempuan terhadap perselingkuhan ayah?

2. Bagaimana corak hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang pertama kali terjalin sesudah mengalami peristiwa perselingkuhan ayah?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui corak hubungan romantis pertama dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang pertama kali terjalin sesudah mengalami peristiwa perselingkuhan ayah.

(27)

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberi kontribusi baru pada bidang ilmu psikologi, yaitu corak hubungan romantis pertama dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, melalui hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar pembuatan langkah intervensi untuk orang tua yang mengalami peristiwa perselingkuhan. Sehingga dapat mencegah munculnya dampak negatif yang merugikan anak selama melalui tahap perkembangan psikososial.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai perempuan dewasa muda terkait tugas perkembangannya serta hubungan romantis sebagai bentuk pemenuhan tugas perkembangan dewasa muda. Kemudian, penulis akan menjelaskan peran ayah terhadap anak perempuan ketika menjalin hubungan romantis, serta respon yang ditunjukkan anak perempuan terhadap perselingkuhan ayah yang berkaitan dengan hubungan romantis dengan lawan jenis. Pada bagian akhir penulis akan menjelaskan mengenai kerangka konseptual penelitian.

A. Tugas Perkembangan Perempuan Dewasa Muda

Perempuan usia dewasa muda merupakan individu yang telah memasuki rentang usia 19-30 tahun. Pada rentang usia ini seorang perempuan mulai memiliki peran dan tanggung jawab yang semakin besar. Umumnya, perempuan dewasa muda akan melakukan penyesuaian diri dan penjajakan terhadap pola-pola kehidupan dan harapan sosial yang baru, dengan cara mengeksplorasi mengenai pekerjaan dan hubungan pacaran untuk menemukan pasangan hidup yang cocok untuknya (Hurlock, 1991). Selain itu, masa dewasa muda juga ditandai sebagai masa reproduksi, sehingga perempuan dipersiapkan untuk mengemban peran sebagai seorang ibu dan mengurus kehidupan rumah tangga. Dewasa muda menjadi masa yang dipenuhi dengan banyak keputusan penting dalam hidup yang memiliki potensi bagi kesempurnaan hidup (Berk, 2014), sehingga pengalaman pada masa sebelumnya menjadi sebuah pelajaran berharga untuk membentuk pribadi seseorang (Dariyo, 2004).

(29)

Pada rentang usia ini seorang perempuan juga mengalami perkembangan dalam aspek psikososialnya, di mana perkembangan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman sosialnya. Erikson (1989) memaparkan adanya 8 tahap perkembangan psikososial yang dimulai sejak lahir hingga meninggal. Dalam setiap tahapannya, terdapat konflik yang harus diselesaikan. Apabila seseorang mampu menyelesaikan konflik tersebut makan ia akan memeroleh keterampilan untuk lebih mampu melewati tahap perkembangan yang selanjutnya. Bahkan penyelesaian konflik mampu meningkatkan kekuatan dan kualitas ego seseorang. Delapan tahap perkembangan psikososial tersebut terdiri dari (Feist & Feist, 2006):

1. Percaya diri vs tidak percaya diri

Tahap perkembangan psikososial dimulai ketika bayi baru lahir hingga berusia 2 tahun. Pada tahap ini terdapat konflik percaya vs tidak percaya diri pada bayi terbentuk ketika ia merasa kebutuhannya terpenuhi dengan baik oleh pengasuhnya. Namun, apabila kebutuhan anak tidak terpenuhi (lapar, merasa sakit) maka bayi cenderung tidak memercayai pengasuhnya. Apabila bayi mampu membentuk rasa percaya yang baik, maka akan terbentuk nilai dasar yaitu harapan. 2. Otonomi vs rasa malu dan ragu

Tahap selanjutnya yaitu ketika anak berusia 2-3 tahun. Pada tahap ini anak mengalami konflik otonomi vs rasa malu dan ragu. Apabila anak mampu mengontrol fungsi tubuh selama proses toilet training serta melakukan hal-hal sesuai keinginan, maka anak cenderung mampu mengembangkan rasa otonomi. Sebaliknya, jika anak tidak mampu

(30)

mengembangkan kemandirian, anak cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu. Terbentuknya rasa otonomi pada anak akan menumbuhkan nilai dasar berupa kemauan.

3. Inisiatif vs rasa bersalah

Tahap ini terjadi pada rentang usia 3-5 tahun. Pada tahap ini terjadi konflik batin berupa inisiatif vs rasa bersalah. Di mana anak mulai berusaha untuk memilih dan mengejar tujuan mereka. Namun tujuan yang bersifat tabu cenderung menimbulkan perasaan bersalah. Pada tahap ini, sebisa mungkin anak lebih condong untuk melakukan inisiatif. Apabila anak mampu memenuhi tahapan ini, maka akan terbentuk nilai dasar berupa tujuan hidup.

4. Industri vs rasa rendah diri

Tahap ini terjadi ketika anak mulai bersekolah, sekitar usia 6-11 tahun. Pada tahap ini anak mengalami konflik berupa industri vs rasa rendah diri. Jika anak mampu memenuhi tuntutan akademis dan memeroleh dukungan dari orang tua dan guru, maka akan terbentuk rasa industri. Akan tetapi, apabila anak tidak cukup baik dalam memenuhi tuntan akademisnya dan tidak memeroleh dorongan dari orang tua dan guru, maka anak akan merasa rendah diri. Apabila anak dapat menyelesaikan tahap ini dengan baik, maka anak akan memeroleh nilai dasar berupa kompetensi.

(31)

Tahap ini terjadi ketika anak memasuki usia remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini, terjadi konflik batin berupa identitas vs kebingungan identitas. Identitas digambarkan dengan keputusan yang ingin diyakini oleh remaja. Sedangkan kebingungan identitas mencakup gambaran diri yang terpisah, ketidakmampuan untuk mencapai keintiman, rasa terdesak oleh waktu, kurangnya konsentrasi pada tugas tugas yang harus dilakukan dan penolakan keluarga atau komunitas. Apabila remaja mampu menyelesaikan tahap ini dengan menemukan identitas dirinya, maka nilai dasar yang diperoleh dalam tahapan ini adalah kesetiaan.

6. Intimasi vs isolasi diri

Tahapan ini terjadi pada rentang usia 19-30 tahun. Pada tahap ini seseorang akan menghadapi konflik pertentangan batin berupa intimasi vs isolasi. Intimasi merupakan membentuk hubungan intim dengan orang lain, khususnya lawan jenis. Sebaliknya kegagalan dalam membentuk hubungan intim akan mengarahkan individu pada rasa putus asa dan kesepian. Apabila seseorang mampu memiliki hubungan intim maka akan terbentuk nilai dasar berupa cinta.

7. Generativitas vs stagnansi

Tahapan ini dimulai ketika seseorang berusia 30-65 tahun. Pada tahap ini seseorang mengalami konflik berupa generativitas vs stagnansi. Generativitas merupakan bentuk perilaku membimbing generasi selanjutnya dan menciptakan perubahan yang bermanfaat bagi

(32)

orang lain. Sebaliknya, merasa tidak produktif dan tidak terlibat dalam dunia cenderung mengarahkan pada stagnansi. Apabila mampu melalui tahapan ini, seseorang akan memeroleh nilai dasar yaitu rasa peduli. 8. Integritas ego vs keputusasaan

Tahap ini terjadi ketika seseorang berusia 65 hingga meninggal. Pada tahap ini seseorang mengalami konflik berupa integritas ego vs keputusasaan. Apabila pada tahap ini seseorang merasa apa yang sudah dijalani sepanjang hidupnya adalah hal yang baik, maka akan terbentuk rasa puas dan kesiapan untuk menghadapi akhir hidupnya. Sedangkan seseorang yang menyesali kehidupannya cenderung merasa takut dengan akhir kehidupan. Rasa puas yang dirasakan membentuk integritas ego seseorang.

Perempuan dewasa muda berada pada tahapan yang ke 6, yaitu intimasi vs isolasi. Pada tahap ini juga perempuan dihadapkan pada tugas perkembangan untuk mengadakan hubungan afektif yang tetap dan mendalam dengan lawan jenis (Boeree, 2007). Kemampuan seseorang untuk mampu mengadakan hubungan afektif dengan lawan jenis turut dipengaruhi oleh beberapa tahap perkembangan yang sebelumnya, khususnya ketika remaja. Apabila seseorang telah menemukan identitas dirinya, maka akan lebih mudah bagi seseorang udah membangun intimasi dengan lawan jenis. Setelah mampu memenuhi tugas perkembangan tersebut, seseorang akan memperoleh nilai kehidupan berupa persatuan dan cinta kasih (Erikson, 1989). Bahkan Erikson memercayai bahwa kemampuan seseorang untuk mampu membentuk hubungan yang erat dan berkomitmen akan mengarahkan

(33)

seseorang untuk memiliki hubungan yang langgeng dan aman. Umumnya, perempuan yang mampu mengupayakan intimasi dengan laki-laki memiliki identitas diri yang kuat, toleran, dan mampu menerima perbedaan orang lain, mampu membentuk ikatan emosional yang erat tanpa kehilangan identitasnya sendiri, merasa nyaman dengan orang lain dan dirinya sendiri, serta mampu mengekspresikan perasaan dan empati (Hutchison et al., 2016). Sebaliknya, kecenderungan maladaptif pada tahap ini adalah sikap isolasi, yaitu sikap melawan dan menolak intimasi dengan cara menumbuhkan perasaan cuek, terlalu bebas dan tidak bergantung pada bentuk hubungan dekat apapun (Boeree, 2007). Perempuan yang lebih mengembangkan sikap isolasi umumnya tidak memiliki rasa identitas yang mapan, tidak dapat menerima perbedaan dengan orang lain, adanya keraguan untuk membentuk hubungan dekat dengan orang lain karena merasa takut kehilangan identitas diri, mengembangkan hubungan yang kompetitif, serta kesulitan mengekspresikan empati (Hutchison et al., 2016). Pengembangan sikap isolasi yang mendalam dapat mengarahkan perempuan pada fase hidup yang lebih lama pada masa perkembangan dewasa muda (Feist & Feist, 2014) sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk melajutkan tahap perkembangan selanjutnya.

Tugas perkembangan dan pertentangan batin yang terjadi pada tahap perkembangan dewasa muda, menegaskan bahwa perempuan diharapkan untuk mampu menjalin intimasi berupa hubungan yang dekat, tetap, dan mendalam dengan lawan jenis. Meskipun intimasi dapat terbentuk dalam berbagai hubungan interpersonal seperti hubungan dengan teman, sahabat, ataupun sesama anggota

(34)

masyarakat, namun individu dewasa muda lebih mengupayakan intimasi dalam bentuk hubungan dengan kekasih (Moss & Schwebel, 1993).

B. Hubungan Romantis

Perempuan pada tahap perkembangan dewasa muda berusaha memenuhi tugas perkembangan berupa menjalin intimasi melalui hubungan dengan kekasih lawan jenis. Hubungan ini disebut juga dengan hubungan romantis, yaitu ikatan emosial antara dua pihak, yang dilengkapi dengan adanya komitmen dan kepercayaan (Olson et al., 2011). Hubungan romantis juga memiliki intensitas yang berbeda dibandingkan dengan beberapa hubungan lain, serta ditandai dengan adanya ekspresi kasih sayang dan perilaku seksual (Collins et al., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa dalam hubungan romantis terdapat unsur cinta yang terdiri dari keintiman, hasrat, dan komitmen (Sternberg, 1886). Dalam sebuah hubungan romantis, ikatan emosional antar dua individu menggambarkan sebuah keintiman. Kemudian ekspresi kasih sayang dan perilaku seksual yang saling ditunjukkan keduanya merupakan bentuk hasrat. Sedangkan komitmen dan kepercayaan termasuk dalam komponen komitmen.

Dalam proses pengembangannya, cinta menjadi komponen yang utama dalam sebuah hubungan romantis (Fehr et al., 2014). Cinta menjadi dasar terbentuknya hubungan romantis bagi sepasang individu. Ketiga komponen cinta yaitu keintiman, hasrat, dan komitmen (Sternberg, 1986) menjadi dasar yang saling menguatkan dalam hubungan romantis. Keintiman merupakan perasaan kedekatan, keterhubungan, dan ikatan yang dialami seseorang dalam hubungan cinta. Keintiman mencakup beberapa perasaan, yaitu 1) keinginan untuk meningkatkan

(35)

kesejahteraan orang yang dicintai, 2) mengalami kebahagiaan bersama orang yang dicintai, 3) rasa hormat terhadap orang yang dicintai, 4) mampu mengandalkan orang yang dicintai pada saat dibutuhkan, 5) saling pengertian dengan orang yang dicintai, 6) berbagi diri dengan orang yang dicintai, 7) menerima dukungan sosial dari orang yang dicintai 8) memberikan dukungan emosional kepada orang yang dicintai, 9) komunikasi intim dengan orang yang dicintai, dan 10) menghargai orang yang dicintai (Stenberg & Grajek, 1984)

Komponen berikutnya adalah hasrat. Hasrat dalam cinta mengacu pada dorongan yang mengarah pada romansa, ketertarikan secara fisik, dan fenomena yang berkaitan dalam hubungan romantis. Hasrat menjadi komponen yang berperan sebagai sumber motivasi dan sumber gairah yang mengarahkan diri pada pengalaman gairah. Beberapa perilaku yang menunjukkan komponen hasrat, yaitu 1) menatap, 2) menyentuh, 3) berpelukan, 4) berciuman, dan 5) bercinta (Sternberg, 1986).

Kemudian terdapat komponen komitmen. Komponen ini mencakup dua aspek, yaitu komitmen jangka pendek dan jangka panjang. Komitmen jangka pendek merupakan keputusan untuk mencintai orang lain, sedangkan komitmen jangka panjang merupakan komitmen untuk mempertahankan cinta. Perilaku yang mengekspresikan komponen komitmen antara lain (1) janji, (2) kesetiaan, (3) tinggal dalam suatu hubungan melalui masa-masa sulit, (4) keterlibatan, dan (5) pernikahan (Sternberg, 1986).

Ketiga komponen tersebut diperlukan untuk membentuk hubungan romantis antar individu. Melalui ketiga komponen tersebut, seseorang dapat

(36)

merasakan pengalaman cinta yang dekat, emosional, serta adanya komitmen dan kepercayaan antara satu sama lain. Akan tetapi, ketiga komponen tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Keintiman dapat berkembang dengan adanya keterbukaan, perasaan berbagi, dan rasa saling percaya antar dua individu (Orlofsky, 1993). Kemudian hasrat dipengaruhi oleh adanya ketertarikan terhadap orang lain, khususnya secara fisik. Sedangkan komitmen mulai muncul dan berkembang ketika seseorang telah mengalami keintiman dan hasrat, serta telah mengambil keputusan terkait hubungannya dengan orang lain (Sternberg, 1986). Selain itu, ketiga komponen tersebut juga dipengaruhi oleh representasi kognitif dari ingatan pengalaman saat masa kanak-kanak dan remaja khususnya dalam keluarga (Feldman et al., 1998; Setiawati et al., 2018). Pengalaman dalam keluarga mempengaruhi kepercayaan, sikap, dan harapan seseorang tentang dirinya sendiri dan orang lain, sehingga mempengaruhi cara pandang dan perilaku anak dalam menjalani hubungan romantis.

C. Peran Ayah Terhadap Perkembangan Hubungan Romantis Anak Perempuan

Proses perkembangan anak tidak terlepas dari peran orang tua sebagai pihak yang memberikan pengasuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Orang tua menjadi contoh bagi anak untuk membentuk sikap, keyakinan, dan perilaku (Etikawati, 2014). Terlebih pada tahap dewasa muda, perempuan menghadapi beberapa situasi baru yang menantang. Selain itu, perempuan memiliki tugas perkembangan untuk menjalin intimasi berupa hubungan romantis. Dalam proses

(37)

pengembangan hubungan romantis, ayah menjadi salah satu faktor yang berpengaruh (Nielsen, 2014).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara ayah dengan anak perempuan memberikan pelajaran bagi anak dalam menjalin hubungan romantis dengan pasangan ketika dewasa (Charmaz, 2006, seperti dikutip dalam Barrett, 2006). Hubungan yang aman, suportif, komunikatif di antara keduanya membuat anak perempuan lebih puas dengan penampilan dan berat badan mereka, sehingga lebih percaya diri dan nyaman dengan pacar mereka; lebih tegas dan percaya diri dalam menolak berhubungan seks dan menolak untuk didominasi secara emosional oleh pacar mereka; serta paling mungkin untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang intim dan memuaskan secara emosional dengan pria (Sanftner et al., 2009; Katz, 2010; Nielsen, 2014).

Bagi anak perempuan, ayah turut memainkan peran dalam mengevaluasi aspek, citra tubuh, dan kepuasan tubuh secara keseluruhan (Sanftner et al., 2009). Apabila hubungan antara anak perempuan dengan ayahnya terpisah, anak cenderung menarik diri dan mengevaluasi citra tubuh secara negatif karena merasa telah ditinggalkan. Melalui evalusi citra diri yang negatif, seseorang dapat merasa tidak layak untuk dicintai dan memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain. Selain itu, hubungan antara anak perempuan dengan ayah yang responsif memungkinkan anak perempuan menolak hubungan seksual yang tak diinginkan dan menolak untuk didominasi secara emosional oleh pacar mereka (Katz, 2010). Sikap ayah yang responsif menyebabkan anak merasa didukung, dipahami, dan dihargai oleh ayah sehingga harga dirinya meningkat. Anak juga lebih bisa untuk

(38)

asertif secara seksual dan tidak memenuhi hubungan seksual yang tidak diinginkan dengan pasangannya.

Ayah juga dianggap sebagai role model (Cabrera et.al, 2000) dalam membentuk kemampuan pada anak untuk bisa percaya, menghargai, diterima dan dicintai ketika menjalin hubungan dengan laki-laki lain dari kelompok sebayanya. Ayah memiliki peran untuk membantu perempuan belajar berinteraksi dan diterima oleh laki-laki pada kelompok sebayanya (Williamson, 2004). Maka dari itu, pengasuhan oleh ayah berdampak terhadap kemampuan putri mereka untuk percaya, menghargai, dan berhubungan baik dengan laki-laki dalam kehidupan mereka (Guardia et al., 2014).

Di dalam keluarga, munculnya konflik antar orang tua mampu memengaruhi tiap aspek perkembangan anak, salah satunya perkembangan hubungan romantis anak pada masa dewasa muda. Salah satu konflik antar orang tua yaitu perselingkuhan. Perselingkuhan atau affair merupakan kedekatan emosional dan kegiatan seksual yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang telah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya secara resmi (Sari, 2012). Perselingkuhan dalam keluarga dapat disebabkan karena adanya faktor internal, yaitu permasalahan dalam hubungan perkawinan yang mungkin dipicu oleh perbedaan latar belakang pendidikan, perbedaan sifat, ketidakpuasan kehidupan seksual, masalah finansial, dan persaingan antar pasangan. Selain itu, juga bisa disebabkan karena faktor eksternal, yaitu permasalahan di lingkungan sekitar hubungan perkawinan yang mungkin dipicu oleh kedekatan dengan teman lawan jenis di lingkup pertemanan atau pekerjaan (Anggraini et al., 2016). Umumnya

(39)

perselingkuhan pada pasangan suami istri lebih banyak dilakukan oleh suami, yaitu sekitar 90%, sedangkan istri hanya sebanyak 10% (Hawari, 2002, seperti dikutip dalam Sari, 2012).

Nogales (2009) menjelaskan bahwa perselingkuhan orang tua yang diketahui oleh anak dapat menimbulkan respon berupa merasa kaget, bingung, marah, sinis, sedih, malu, atau bahkan kombinasi dari beberapa perasaan tersebut. Anak juga menunjukkan respon perilaku yang cenderung negatif berupa merasa sulit percaya pada seseorang yang mereka cintai, sehingga anak tidak menaruh kepercayaan pada rasa cinta. Selain itu, sejak remaja anak mengamati bagaimana orang tua saling berinteraksi dalam pernikahan mereka, sehingga anak menggunakan model tersebut untuk membimbing perilaku mereka dalam hubungan romantis anak (Cui & Fincham, 2010; Amato & Booth, 2001). Maka dari itu, anak yang berasal dari keluarga dengan konflik antar orang tua cenderung tidak memiliki model hubungan romantis, mengembangkan sikap maladaptif terhadap hubungan romantis, serta memiliki kemungkinan untuk gagal dalam menjalani kehidupan romantisnya (Davila et al., 2007).

Respon yang ditunjukkan anak juga akan berbeda bergantung pada usia anak ketika mengalami konflik orang tua. Oldberg (1986, dalam Ottaway, 2010) menemukan bahwa semakin muda individu saat mengalami konflik pernikahan orang tua, maka akan semakin banyak masalah yang dimiliki ketika menjalin hubungan intim di masa depan. Hal ini disebabkan karena anak ketidakmampuan anak untuk memahami apa yang terjadi pada orang tuanya, bahkan juga sangat mungkin anak tidak mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan lain di luar

(40)

keluarga yang mampu membantu anak memahami dan melewati proses ini. Kemudian Christen dan Brooks (2001, dalam Ottaway, 2010) menemukan bahwa perceraian yang terjadi ketika anak berusia dewasa menyebabkan anak memiliki minat yang cukup tinggi untuk menjalin hubungan intim. Amato (1996, dalam Ottaway, 2010) menjelaskan bahwa hal ini mungkin terjadi karena anak berusaha memenuhi kebutuhan emosional akan kasih sayang melalui keintiman dan hubungan yang berkomitmen.

Peristiwa perselingkuhan ayah menimbulkan respon tersendiri bagi anak perempuan. Anak akan kehilangan model dalam menjalin hubungan romantis. Hubungan romantis yang terbentuk ketika masa dewasa muda mampu memprediksi pola dalam hubungan pernikahan (Cui et al., 2010). Maka dari itu, tak jarang anak melakukan observasi terhadap perlakuan ayah kepada ibunya (Freud, 1988, seperti dikutip dalam Hall, 2009) sebagai panutan dalam menjalin hubungan romantisnya. Namun, ketika menyadari adanya kegagalan dalam hubungan pernikahan orang tuanya, anak akan mengalami kebingungan dan merasa khawatir ketika harus menjalin hubungan romantis dengan pasangannya. Anak juga menjadi lebih selektif dalam mengamati perlakuan ayah kepada ibunya. Perilaku yang baik ia harapkan ada dalam diri pasangannya. Begitu juga sebaliknya, anak tidak mengharapkan perilaku buruk ayahnya ada dalam diri pasangannya (Hall, 2009).

Perselingkuhan ayah juga mampu menimbulkan respon tersendiri ketika membina hubungan romantis dengan lawan jenis (Medved, 1998, seperti dikutip dalam Nahareko, 2009), yaitu rendahnya kepercayaan perempuan terhadap pasangan. Ayah sebagai laki-laki pertama yang dipercaya oleh perempuan telah

(41)

menghancurkan dan membohonginya, sehingga menghancurkan kemampuan masa depan perempuan untuk percaya pada orang lain. Rendahnya kepercayaan perempuan terhadap orang lain mampu memengaruhi terciptanya keintiman dengan lawan jenis. Hal ini karena keintiman berkembang melalui rasa saling percaya antar kedua individu (Orlofsky, 1993).

Pengalaman perselingkuhan ayah juga menyebabkan anak merasa takut dan khawatir apabila pasangannya berperilaku seperti ayahnya (Cunningham, 2015). Ketika ayahnya berselingkuh, anak memiliki kecenderungan untuk merasakan hal yang sama seperti yang terjadi pada ibunya. Sejak kecil ayah telah menjadi cinta pertama bagi anak perempuan (Secunda, 1992, seperti dikutip dalam Katorski, 2003), sehingga hubungan yang terjalin antara keduanya cenderung digeneralisir oleh anak ketika berhubungan dengan laki-laki dari kelompok sebayanya. Pengalaman perselingkuhan ayah dapat memengaruhi kepercayaan anak terhadap satu sama lain atau bahkan untuk pulih dari rasa sakit dan kehilangan (Hertlein et al., 2005). Bahkan mampu menjadi pengalaman yang traumatis bagi anak perempuan, sehingga memengaruhi harga diri dan kepercayaan diri seseorang, merusak keinginan seseorang untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas, dan dapat menghancurkan pandangan seseorang terhadap orang lain dan dunia (Moore & Newbauer, 2014, seperti dikutip dalam Sauerheber, 2016). Apabila perempuan telah memandang bahwa semua laki-laki seperti ayahnya, maka ia akan kehilangan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, baik secara fisik maupun psikologis.

Perselingkuhan ayah yang dialami anak perempuan cenderung menimbulkan respon yang negatif berkaitan dengan hubungan romantis anak.

(42)

Perselingkuhan ayah menyebabkan anak perempuan tidak menaruh kepercayaan pada rasa cinta, tidak memiliki model dalam menjalin hubungan romantis, memiliki kepercayaan yang rendah kepada pasangan, serta merasa takut dan khawatir apabila pasangan juga melakukan perselingkuhan (Nogales, 2009; Medved, 1998, seperti dikutip dalam Nahareko, 2009; Cunningham, 2015). Berdasarkan beberapa respon tersebut dapat dilihat bahwa perempuan memiliki kecenderungan mengalami kesulitan ketika mulai mencoba menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis.

D. Kerangka Konseptual

Perempuan dewasa muda merupakan perempuan yang berada dalam rentang usia 19-30 tahun. Pada rentang usia ini, umumnya perempuan mulai melakukan eksplorasi terkait pekerjaan dan pasangan hidup. Selain itu, perempuan juga memiliki tugas perkembangan untuk menjalin intimasi berupa relasi afektif yang tetap dan mendalam dengan lawan jenis, bahkan juga mengalami pertentangan batin berupa intimasi vs isolasi (Boeree, 2007; Erikson, 1989). Umumnya individu dewasa muda lebih mengupayakan intimasi dalam bentuk hubungan dengan kekasih (Moss & Schwebel, 1993). Hubungan dengan kekasih atau yang disebut juga hubungan romantis, merupakan ikatan emosial antara dua pihak yang ditandai dengan ekspresi kasih sayang, perilaku seksual, serta dilengkapi dengan adanya komitmen dan kepercayaan (Collins et.al, 2009; Olson et al., 2011).

Hubungan romantis pada masa dewasa muda turut dipengaruhi oleh peran orang tua, salah satunya ayah. Ayah menjadi sosok role model bagi anak ketika berinteraksi dengan laki-laki (Cabrera et al., 2000). Namun, adanya konflik keluarga berupa perselingkuhan ayah menimbulkan respon yang cenderung negatif

(43)

dari anak perempuan di antaranya, merasa kaget, bingung, marah, sinis, sedih, malu, atau bahkan kombinasi dari beberapa perasaan tersebut, tidak memiliki model dalam menjalin hubungan romantis, memiliki kepercayaan yang rendah kepada pasangan, serta merasa takut dan khawatir apabila pasangan juga melakukan perselingkuhan (Nogales, 2009; Medved, 1998, seperti dikutip dalam Nahareko, 2009; Cunningham, 2015).

Sejatinya, dalam sebuah hubungan romantis, cinta menjadi kekuatan utama dalam proses pengembangannya. Cinta yang terdiri dari keintiman, hasrat, dan komitmen (Sternberg, 1986) menjadi faktor utama dalam terciptanya sebuah hubungan romantis. Ketiga komponen tersebut dipengaruhi oleh rasa keterbukaan, berbagi, saling percaya, ketertarikan, pengambilan keputusan, dan pengalaman masa lalu dalam keluarga (Olrofsky, 1993; Sternberg, 1986; Setiawati et al., 2018). Maka dari itu, respon dari anak perempuan terhadap perselingkuhan ayahnya mampu menimbulkan corak tersendiri dalam hubungan romantis dengan pasangan lawan jenisnya ketika dewasa muda.

Dalam penelitian ini, hubungan romantis didefinisikan sebagai tugas perkembangan dewasa muda berupa hubungan interpersonal perempuan dengan lawan jenis yang terdiri dari keintiman, hasrat, dan komitmen. Serta dipengaruhi oleh pengalaman anak di dalam keluarga khususnya interaksi dengan ayah. Maka dari itu, peneliti hendak mengetahui corak hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami peristiwa perselingkuhan ayah. Hubungan romantis ditinjau dari keintiman, hasrat, dan komitmen perempuan dengan pasangan lawan jenisnya. Melalui komponen cinta

(44)

tersebut, dapat diketahui corak hubungan romantis perempuan dewasa muda dengan pasangan lawan jenisnya, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Kerangka dari penelitian ini akan digambarkan melalui gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Konseptual Tugas perkembangan perempuan dewasa muda Respon anak perempuan terhadap perselingkuhan ayah Hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang

terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah Keintiman Hasrat Komitmen

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deduktif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih mengandalkan data berupa ungkapan atau penuturan para partisipan dalam mengeksplorasi fenomen yang menjadi fokus penelitian. Khususnya pada penelitian kualitatif murni dedukif, peneliti menerapkan teori tertentu yang sudah ada sebelumnya sebagai lensa untuk membaca dan menafsirkan data yang diperoleh dari partisipan. Kemudian desain penelitian yang digunakan adalah analisis isi kualitatif (AIK), yaitu metode penelitian yang menafsirkan secara subjektif isi data berupa teks melalui proses klasifikasi sistematik berupa coding atau pengodean dan pengindetifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shannon, 2005, seperti dikutip dalam Supratiknya, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi corak hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Pengambilan data menggunakan metode wawancara semi terstruktur dengan memberikan beberapa pertanyaan terbuka agar dapat lebih mengungkapkan respon terhadap perselingkuhan ayah dan corak hubungan romantis dengan lawan jenis. Analisis data diawali dengan mentranskripkan data lisan maupun rekaman elektronik dalam bentuk teks atau dokumen. Kemudian dengan menggunakan metode analisis isi kualitatif (AIK) teks tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori untuk mendapatkan deskripsi yang padat dan kaya tentang fenomena yang diteliti (Supratiknya, 2015).

(46)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada respon yang ditunjukkan anak perempuan terhadap perselingkuhan ayah serta corak hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Perselingkuhan ayah cenderung menimbulkan perasaan kaget, bingung, marah, sinis, sedih, malu, atau bahkan kombinasi dari beberapa perasaan tersebut; sulit percaya pada seseorang yang mereka cintai; serta merasa bingung dengan makna sesungguhnya dari cinta terutama hubungan pernikahan (Nogales, 2009) pada anak perempuan mereka. Di sisi lain, perempuan usia dewasa muda perlu memenuhi tugas perkembangan untuk mengupayakan intimasi dalam bentuk hubungan dengan kekasih (Moss & Schwebel, 1993) atau yang disebut juga hubungan romantis. Di mana dalam sebuah hubungan romantis terdapat unsur cinta, yang terdiri dari 3 komponen, yaitu keintiman, hasrat, dan komitmen (Sternberg, 1986).

Kemudian peneliti akan melakukan wawancara semi terstruktur kepada partisipan. Dilanjutkan dengan melakukan analisis data dengan cara melakukan transkrip/verbatim terhadap hasil wawancara yang berupa data lisan hasil rekaman digital, menjadi sebuah teks tertulis. Setelah itu, dengan menggunakan metode analisis isi kualitatif pendekatan deduktif, peneliti akan mengindetifikasi dan mengklasifikasikan temuan berupa tema-tema yang dikategorikan terhadap kerangka mengenai respon perempuan terhadap perselingkuhan ayah dan teori segitiga cinta Sternberg (1986).

(47)

C. Partisipan

Penelitian ini hendak mengeksplorasi mengenai hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang terjalin sesudah mengalami perselingkuhan ayah. Umumnya dalam penelitian kualitatif pengambilan sampel selalu dilakukan secara purposeful atau dengan tujuan tertentu, yaitu secara sengaja dipilih partisipan tertentu yang dipandang mampu memberikan data yang paling kaya informasi (Supratiknya, 2018). Maka dari itu, kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah: perempuan dewasa muda dalam rentang usia 19-30 tahun, memiliki pengalaman perselingkuhan ayah, memiliki pengalaman menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis untuk pertama kalinya sesudah mengalami perselingkuhan ayah, dan berdomisili di Yogyakarta selama penelitian berlangsung.

Kemudian, penelitian kualitatif lebih mementingkan kekayaan informasi, kualitas, serta panjang dan kedalaman data wawancara dibandingkan besarnya sampel. Umumnya data dikumpulkan sampai mencapai titik redudansi, yaitu tidak akan diperoleh informasi baru dengan menambah data (Supratiknya, 2018). Maka dari itu, dalam penelitian kualitatif tidak dapat menentukan jumlah partisipan sejak awal. Sehingga, teknik yang dipandang efektif untuk memeroleh sampel sesuai dengan tujuan dan kriteria penelitian adalah teknik chain sampling (Morrow, 2005, seperti dikutip dalam Supratiknya, 2018). Teknik ini mencari partisipan baru guna melengkapi data partisipan sebelumnya. Pencarian partisipan baru dihentikan apabila tidak ditemukan informasi baru dari partisipan terakhir. Dalam prosesnya, peneliti menghubungi rekan peneliti yang memiliki kriteria yang sesuai untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Rekan peneliti yang berkenan untuk

(48)

menjadi partisipan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Berdasarkan hasil wawancara kepada 3 orang partisipan, peneliti tidak menemukan data baru, sehingga peneliti menentukan bahwa partisipan dalam penelitian kali ini berjumlah 3 orang.

Tabel 1

Data Partisipan

No. Inisial Usia Lama menjalin hubungan romantis 1. O (P1) 22 tahun 3,5 tahun

2. C (P2) 23 tahun 1 tahun 3. P (P3) 24 tahun 4,5 tahun

D. Peran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Peneliti turun sendiri ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data dan mewawancarai partisipan (Supratiknya, 2015). Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mendalam mengenai topik yang dibahas sehingga peneliti bisa menginterpretasikan sebuah fenomen yang menjadi topik dalam penelitian (Alshenqeeti, 2014, seperti dikutip dalam Supratiknya, 2018).

Peneliti berperan untuk mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, yaitu perempuan dewasa muda dalam rentang usia 19-30 tahun, memiliki pengalaman perselingkuhan ayah, memiliki pengalaman menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis untuk pertama kalinya sesudah mengalami perselingkuhan ayah, dan berdomisili di Yogyakarta selama penelitian berlangsung.

(49)

Pertama-tama peneliti melakukan pendekatan secara informal, kemudian dilanjutkan dengan meminta persetujuan partisipan secara lisan dan tertulis dengan menandatangani inform consent atau kesepakatan untuk terlibat dalam penelitian ini. Maka dari itu, peneliti juga berperan untuk menjaga kerahasiaan dan kepercayaan partisipan.

Dalam proses pengambilan data terdapat kemungkinan buruk yang dapat terjadi, yaitu timbulnya perasaan sedih dan tidak nyaman dalam diri subjek karena telah menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami subjek dengan ayahnya. Selain itu, terdapat isu yang berkaitan dengan kerahasiaan identitas subjek dalam memberikan informasi tentang pengalaman yang sudah pernah dilaluin subjek. Maka dari itu, peneliti memberikan inform consent yang berisi kesepakatan untuk tidak menyebutkan identitas subjek dalam penelitian ini, serta memberikan debrief guna mengurangi kecemasan yang mungkin timbul setelah partisipan menjalani proses wawancara.

Proses debriefing tidak hanya diberikan setelah melakukan wawancara dengan partisipan, namun juga beberapa hari paska wawancara. Peneliti menempatkan diri seolah menjadi tempat sampah bagi partisipan untuk meluapkan perasaan terpendam yang dimiliki partisipan setelah berbagi kisah hidupnya. Sehingga setelah mampu menyampaikan perasaannya, partisipan diharapkan mampu merasa lega dan tidak memendam perasaan lagi yang berkaitan dengan topik wawancara.

(50)

E. Prosedur Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mendalam mengenai topik yang dibahas sehingga peneliti bisa menginterpretasikan sebuah fenomen yang menjadi topik dalam penelitian (Alshenqeeti, 2014, seperti dikutip dalam Supratiknya, 2019).

Dalam penerapannya, wawancara dilakukan secara perorangan dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan wawancara. Meskipun terdapat pedoman wawancara, namun dalam penerapannya pertanyaan dapat dimodifikasi sesuai dengan respon yang diberikan oleh partisipan. Selain itu, modifikasi pertanyaan dilakukan untuk mengulik lebih lanjut mengenai tema-tema menarik yang muncul dalam wawancara yang mampu memperkaya informasi dari partisipan. Dalam pelaksanaannya, proses wawancara dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Peneliti mencari partisipan sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan.

2. Peneliti meminta persetujuan partisipan secara lisan dan tertulis dengan cara menandatangani informed consent yang berisi garis besar tujuan dilaksanakannya proses wawancara.

3. Melakukan wawancara sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama. Di mana dalam proses wawancara peneliti menggunakan bantuan alat perekam (digital recorder) dan mencatat perilaku yang ditunjukkan

(51)

partisipan selama wawancara berlangsung. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan transkrip dari hasil rekaman ke dalam bentuk dokumen.

4. Melakukan debrief (diskusi antara peneliti dengan partisipan) berkaitan dengan pengalaman partisipan setelah menjalani proses wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kecemasan yang mungkin timbul setelah partisipan menjalani proses wawancara, sehingga partisipan mampu meninggalkan tempat wawancara dengan perasaan lega dan tidak sia-sia (Supratiknya, 2020). Setelah data terkumpul, peneliti melakukan transkrip dari hasil rekaman ke dalam bentuk dokumen.

Pedoman pertanyaan wawancara yang digunakan peneliti dalam penelitian sebagai berikut:

A. Pedoman Wawancara Untuk Mengungkap Respon Terhadap Perselingkuhan Ayah

Pertanyaan inti :

1. Bagaimana respon Anda terhadap perselingkuhan ayah? Probing :

a. Sejauh mana terjadi perubahan dalam hubunganmu dengan ayah sesudah terjadi peristiwa perselingkuhan?

b. Sejauh mana perselingkuhan ayah mewarnai pandanganmu tentang hubungan romantis antara lelaki dan perempuan?

B. Pedoman Wawancara Untuk Mengungkap Hubungan Romantis Dengan Pasangan Lawan Jenis

(52)

1. Bagaimana proses Anda menjalin hubungan romantis dengan pasangan Anda saat ini?

Probing:

a. Kapan Anda mulai menjalin hubungan tersebut? b. Apa yang membuat dia menarik?

c. Apa yang Anda harapkan dari terjalinnya hubungan ini? Pertanyaan inti :

1. Apa yang menyakinkan Anda untuk menjalin hubungan ini? a. Apa yang anda harapkan dari kelanjutan hubungan ini? 2. Bagaimana Anda menjalin kedekatan dengan pasangan?

a. Sejauh mana anda mampu percaya dan terbuka dengan pasangan?

3. Bagaimana anda menjalin romansa dengan pasangan?

a. Bagaimana Anda mengelola hasrat yang terjalin antara Anda dengan pasangan?

F. Analisis dan Interpretasi Wawancara

Penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif dalam menganalisis data yang diperoleh. Analisis isi kualitatif merupakan metode penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data berupa teks melalui proses klasifikasi sistematik berupa coding atau pengodean dan pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shannon, 2005, seperti dikutip dalam Supratiknya 2015). Dalam penelitian ini, data teks berupa rekaman elektronik yang kemudian diubah dengan cara ditranskripkan menjadi teks tulis atau dokumen. Tujuan akhir dari AIK adalah

(53)

mendapatkan pengetahuan dan pemahaman berupa konsep-konsep atau kategori-kategori tentang fenomena yang sedang diteliti (Hseih & Shannon, 2005; Elo & Kyngas, 2008, seperti dikutip dalam Supratiknya, 2015).

Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif yang bertujuan untuk menginterpretasi data yang diperoleh dari partisipan dengan menerapkan teori tertentu yang sudah ada sebelumnya. Pada penelitian ini teori yang digunakan sebagai lensa untuk menganalisis data yaitu Teori Segitiga Cinta dari Sternberg (1986). Data yang diperoleh berupa rekaman elektronik kemudian ditranskripkan menjadi dokumen dianalisis melalui langkah-langkah berikut :

1. Menyusun matriks kategorisasi

2. Melalukan coding atau pengodean untuk mengkategorikan semua bentuk manifestasi dari fenomen yang dibahas dengan cara membaca keseluruhan transkrip wawancara dan menandai setiap bagian dari teks yang merepresentasikan fenomen yang sedang diteliti

3. Mengelompokkan transkrip wawancara menjadi beberapa kategori menggunakan kerangka analsis yang telah dibuat, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2

Koding Respon Anak Perempuan Terhadap Perselingkuhan Ayah Respon

Perselingkuhan ayah yang

Merasa kaget, marah, bingung, sinis, sedih, malu, atau bahkan kombinasi dari beberapa perasaan tersebut

(54)

dialami anak perempuan

Rendahnya kepercayaan anak terhadap pasangan Takut dan khawatir mengalami kejadian yang sama

Tabel 3

Koding Hubungan Romantis dengan Lawan Jenis

Komponen Corak hubungan

Keintiman Mengungkapkan perasaan dan memiliki komunikasi yang intim dengan pasangan

Memberikan pengertian dan perhatian kepada pasangan Berkenan membagikan sebagian harta, waktu, dan diri sendiri kepada pasangan

Memberikan dukungan kepada pasangan, secara emosional maupun material

Memercayai pasangan dalam berbagai hal

Mengalami dan merasakan kebahagaiaan bersama pasangan

Hasrat Melakukan hal-hal romantis guna mengungkapkan perasaan kepada pasangan

Memiliki ketertarikan kepada pasangan

Merasa nyaman melakukan kegiatan maupun kontak fisik (saling menatap, berpegangan tangan, merangkul, berperlukan, berciuman) dengan pasangan

Komitmen Merasa yakin untuk mencintai pasangan

Menjaga dan mengusahakan hubungan untuk bisa tetap bersama dengan pasangan

Memiliki harapan untuk bisa melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan dengan pasangan

Gambar

Gambar 1 Bagan Kerangka Konseptual Penelitian ........................................
Tabel 1 Data Partisipan ..................................................................................
Gambar 1  Kerangka Konseptual  Tugas  perkembangan  perempuan  dewasa muda Respon anak perempuan terhadap  perselingkuhan  ayah Hubungan romantis dengan lawan jenis pada perempuan dewasa muda, yang

Referensi

Dokumen terkait

Pecandu narkotika yang sudah lama menjadi pengguna secara rutin dapat mengalami kerusakan sel syaraf antar otak. Karena sebenarnya narkotika merupakan zat yang

EFORT Digital Multisolution merupakan perusahaan swasta nasional yang memberikan pelayanan jasa konsultasi dalam bidang, meliputi :.. - Perencanaan Kota

(dalam Rustini, 2013) yaitu bahwa anak memiliki daya perhatian yang pendek. Oleh karena itu, guru harus senantiasa mengerti karakteristik anak dengan baik sehingga mampu

Pada bagian ini akan dibahas tentang teori yang mendasari penelitian ini. Penelitian tentang pengaruh Mall Armada Town Square terhadap Pasar Tradisional

aspek ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan dalam pembelajaran ini tergolong baik, dan menunjukkan adanya kesetujuan untuk menerapkan strategi PAILKEM dengan

Kecepatan longitudinal dapat ditentukan dengan cukup teliti karena tebal bahan uji diukur dengan jangka sorong (ketelitian 0,05 rom) dan pada osiloskop dapat diarnati dua buah

Teknologi tersebut per definisi adalah TTG yang dapat bersumber dari GRI, namun teknologi dimaksud harus pula memenuhi beberapa pra-syarat, yakni: [1] relevan atau