IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pra Estimas
4.5 Respon Kebijakan Indonesia dan Beberapa Negara terhadap Fluktuasi Harga Minyak Dunia.
Hingga saat ini kebijakan pemerintah Indonesia dalam meresponi
volatilitas harga minyak adalah dengan memberikan subsidi agar BBM dapat
terjangkau oleh masyarakat. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam beberapa
tahun ini adalah pengalihan dana subsidi ke program-program sosial seperi
Bantuan Langsung Tunai (BLT), dana pendidikan yakni Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), dana kesehatan yakni Asuransi Kesehatan (AsKes) untuk rumah
tangga miskin. Hal- hal tersebut diatas merupakan kebijakan yang bersifat jangka
pendek.
Pitter (2007) menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan jangka
panjang beberapa hal perlu diperhatikan yakni :
a. Kebijakan harus berupa strategi yang komprehensif
b. Kebijakan harus memperhatikan penggunaan teknologi yang ramah
terhadap lingkungan untuk meningkatkan supply energi, dan membangun
penggunaan energi yang lebih bersih dan lebih efisien
c. Kebijakan harus meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Untuk itu
kebijakan energi, kebijakan lingkungan, kebijakan ekonomi harus saling
terintegrasi.
Dalam jangka panjang pemerintah akan mengurangi tingkat
ketergantungan perekonomian terhadapa penggunaan minyak dan beralih ke
sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Hal ini mendorong upaya
mulai beralih kepada penggunaan sumber energi yang lebih bersih dan ramah
lingkungan.
Pemerintah sudah memformulasikan kebijakan dalam konservasi energi
sejak tahun 1979. Sejumlah program implementasi sudah dirancang untuk
mendukung kebijakan konservasi energi di Indonesia yang disebut sebagai
National Energy Conservation Master Plan (NECMP) bahkan PP No 9 Tahun
1982 Tentang Tata Ruang dan Wilayah sudah menginstruksikan kepada agen
pemerintah dalam hal ini kementerian terkait untuk upaya konservasi energi.
Namun dalam kenyaataannya saat ini program tersebut tidak pernah direalisasikan
sepenuhnya seperti yang diharapkan. Program yang dibuat oleh kementerian
terkait selama ini seringkali tidak fokus sehingga efisiensi energi dan konservasi
energi hanya baru sebatas norma dan wacana saja.
Dalam merespon guncangan minyak yang mengakibatkan peningkatan
inflasi dan penurunan GDP di negara-negara industri maju yang tergabung dalam
G-7 menggunakan kebijakan moneternya dalam upaya mengurangi guncangan
dalam perekonomian sebagai akibat dari guncangan harga minyak. Negara
anggota G-7 memakai tidak menggunakan kebijakan fiskal dalam mengurangi
dampak dari guncangan harga minyak. Sebab sistem perekonomiannya yang tidak
dapat diintervensi oleh pemerintah. Negara anggota G-7 menganggap intervensi
pemerintah dalam perekonomian melalui mekanisme kebijakan pasar justru akan
mengganggu keseimbangan di pasar.
Secara teoritis menurut Cologni dan Manera (2005) seharusnya
guncangan. Dalam kenyataannya negara-negara industri maju anggota G-7 justru
meningkatkan tingkat suku bunga dalam kebijakan moneternya.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dalam meresponi guncangan harga
minyak sekitar tahun 2004 hingga 2006, otoritas moneter pun melakukan
peningkatan suku bunga dalam negeri. Ketika kuartal ketiga tahun 2004 suku
bunga sebesar 7,39 persen dan mengalami peningkatan sebesar 5,36 persen pada
lima kuartal berikutnya suku bunga naik menjadi 12,75 persen pada kuartal
keempat di tahun 2005.
Sumber : International Financial Statistic 2011 (diolah)
Gambar 4.9 Tingkat Suku Bunga Indonesia
Mankiw (2007) menyatakan bawa apabila terjadi guncangan dalam
perkonomian yang membuat terjadinya penurunan penawaran harus dapat diatasi
dengan suatu kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter yang menstabilisasi
Sumber : Mankiw (2007) Gambar 4.10 Kebijakan Stabilisasi
Ketika terjadi penurunan penawaran dari SRAS1 ke SRAS2, pemerintah
harus melakukan kebijakan yang meningkatkan kembali Aggregate Demand agar perekonomian kembali ke posisi full-employment. Upaya peningkatan Aggregate Demand dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Dalam jangka pendek kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah adalah
memberikan subsidi BBM untuk meningkatkan kembali Aggregate Demand . Kebijakan moneter Indonesia tidak sesuai dengan teori yakni peningkatan suku
bunga ketika terjadi fluktuasi harga minyak dunia. Seharusnya untuk
meningkatkan kembali Aggregate Demand otoritas moneter sebaiknya menurunkan tingkat suku bunga. Hal ini mengakibatkan terjadinya
Pada bulan Juni di tahun 2008, lima negara konsumen minyak terbesar
dunia yakni Amerika Serikat, Jepang, Cina, India, dan Korea Selatan menyerukan
agar bahan bakar minyak diakhiri secara bertahap untuk menurunkan harga
minyak. Sebab menurut mereka meyakini bahwa pemberian subsidi kepada
minyak sesungguhnya membuat masyarakat tidak mau beralih untuk
menggunakan sumber energi lain yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Lebih
lanjut mereka menambahkan bahwa dengan adanya subsidi terhadap minyak akan
terus meningkatkan konsumsi minyak masyarakat dan melupakan efisiensi dalam
penggunaan minyak. Padahal sesungguhnya minyak adalah sumber energi yang
tidak terbarukan dan jumlahnya sangat terbatas.
Sumber : Mourougane (2010)
Gambar 4.11 Daftar Negara Pemberi Subsidi pada Sumber Energi (Miliar US Dollar)
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa negara yang masih tergolong
negara sedang berkembanglah yang banyak memberi subsidi bagi sumber
energinya seperti untuk minyak. Sementara negara maju tidak memberikan
subsidi bagi minyak untuk mempertahankan perekonomiannya dengan mencapai
Negara-negara yang memberikan subsidi bagi minyak seperti yang tertera
pada gambar diatas didominasi oleh negara-negara eksportir minyak terbesar
dunia yang tergabung dalam OPEC seperti : Arab Saudi, Rusia, Iran, Uni Emirat
Arab, Venezuela, Iraq, Algeria, Mexico, dan Kuwait. Negara-negara ini
memberikan subsidi kepada sumber energinya menggunakan dana yang berasal
dari surplus pedagangan minyak ke pasar internasional. Sementara pada tahun
1980 hingga awal tahun 1990 Indonesia juga memiliki karakteristik yang sama
dengan negara-negara tersebut namun setelah menjadi net importir tetap
memberikan subsidi hal ini yang kemudian sangat memberatkan APBN Indonesia.
Sementara penelitian UNEP (United Nations Environment Programme) pada tahun 2010 menyebutkan dampak yang akan dialami beberapa negara
apabila mengurangi atau bahkan menghapus kebijakan subsidi bagi sumber
energinya termasuk minyak seperti yang terangkum pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Tipe Subsidi yang Diberikan
No Negara/ Kawasan Tipe Subsidi
1 OECD Semua Tipe
2 Republik Ceko dan Slovakia Minyak
3 Russia Pemanas Wilayah
4 India Listrik
5 Indonesia Premium, Solar, Kerosin
6 Korea Batubara, Gas, Listrik
7 Iran Minyak
8 Senegal LPG
9 Chili Minyak dan Batu Bara
Sumber : UNEP (2010)
Hasil penelitian UNEP terhadap negara-negara anggota OECD mengenai
penghapusan subsidi minyak akan meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan
ekonomi. Kawasan OECD yang beranggotakan negara maju ini menganggap
Dampak lingkungan yang akan diterima oleh negara-negara maju ini adalah
berupa pengurangan emisi CO2 dan gas beracun lainnya sebagai sisa pembakaran
dari bahan bakar minyak dan sumber energi yang tidak ramah lingkungan.
Secara sosial, pencabutan subsidi secara signifikan mempengaruhi
kuantitas lapangan pekerjaan dan pengeluaran rumah tangga akan pembiayaan
masyarakat dalam mengakses sumber energinya pada jangka pendek. Pencabutan
subsidi penggunaan sumber energi termasuk minyak akan lebih efisien dan
peningkatan masyarakat untuk beralih pada penggunaan sumber energi yang lebih
ramah lingkungan.
Pemberian subsidi minyak di Republik Ceko dan Slovakia akan meredam
inovasi baru yang mendorong penciptaan sumber energi baru yang lebih ramah
lingkungan. Subsidi yang selama ini dinikmati oleh masyarakat Republik Ceko
dan Slovakia membuat peningkatan intensitas yang tinggi dalam menggunakan
minyak dan rendahnya tingkat efisiensi penggunaan minyak yang membahayakan
lingkungan karena polusi udara melalui emisi CO2 di tingkat lokal maupun
regional di negara tersebut.
Russia terletak di sekitar Kutub Utara memiliki iklim yang dingin
sepanjang tahun, untuk itu pemanas wilayah merupakan pelayanan yang vital di
negara tersebut. Pemberian subsidi bagi pemanas wilayah sepanjang tahun bagi
masyarakat Russia membuat penggunaannya menjadi inefisien. Selain itu gas
buangan yang dihasilkan dari pemanas wilayah tersebut berkontribusi kepada
Menurut penelitian UNEP (2010) apabila subsidi ini dapat dikurangi atau
apabila mungkin dihapuskan maka akan sangat menolong pemerintah untuk
mengentaskan ketimpangan kesejahteraan di Russia. Russia dengan wilayah yang
begitu luas juga mengalami ketimpangan kesejahteraan di masyarakatnya.
Ketimpangan terjadi antara Russia bagian timur dengan Russia bagian timur dan
selatan yang berbatasan dengan China.
Hasil penelitian UNEP di Indonesia menunjukkan bahwa pemberian
subsidi memberikan beban ekonomi yang sangat besar bagi pemerintah terutama
pemberian subsidi bagi premium, kerosin, dan solar. Pengurangan atau
penghapusan subsidi akan menghemat APBN, dan pengalihan realokasi dana pada
proyek pemgembangan energi bersih yang ramah lingkungan dan pemberdayaan
masyarakat miskin serta peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh. Secara sosial penghapusan subsidi bagi sumber energi di Indonesia
akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Temuan UNEP di Iran juga mendapati bahwa subsidi yang dinikmati di
Iran juga menyebabkan inefisiensi penggunaan sumber energi yang menyebabkan
polusi lokal dan regional. Hal ini merupakan isu kesehatan yang penting di negara
tersebut. Sama hal nya yang terjadi di Indonesia walau yang paling banyak
menikmati subsidi adalah rumah tangga kaya, tetapi penghapusan subsidi juga
akan memberatkan rumah tangga miskin.
Senegal sudah lebih maju dalam kesadarannya memakai sumber energi,
yakni dengan memberikan subsidi pada LPG sehingga memberikan dampak
dengan adanya peningkatan masyarakat, keamanan, dan pendapatan rumah
tangga. Pertumbuhan LPG menghemat penggunaan minyak dan batubara
sehingga mengurangi emisi di negara tersebut. Pengalihan ke LPG juga
memulihkan deforestasi di Senegal.
V. KESIMPULAN DAN SARAN