I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar.
Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan
juga digunakan untuk konsumsi di tingkat rumah tangga. Sebagian besar negara di
dunia sangat bergantung terhadap bahan bakar minyak untuk menggerakkan
ekonominya. Bagi negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang
yang unggul dalam industri dan manufaktur sangat memerlukan minyak sebagai
input produksi.
Sejak tahun 1970 Indonesia mulai diperhitungkan sebagai salah satu
negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia. Minyak bumi menjadi komoditi
penting dalam kegiatan perdagangan internasional. Di masa itu perekonomian
Indonesia sangat bertumpu pada komoditas minyak. Sejak tahun 1980 hingga
awal 1990 pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat hingga mencapai level
sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle
economy karena pertumbuhan ekonomi yang begitu fantastis.
Indonesia awalnya sebagai salah satu pengekspor minyak bumi terbesar
dunia dan tergabung menjadi anggota OPEC. Namun sejak tahun 2004 hingga
kini beralih menjadi net importir minyak untuk menutupi kebutuhan minyak di
dalam negeri. Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang tinggi akan bahan bakar
minyak. Pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-17 dunia dengan
konsumsi minyak sebesar 1.115.000 barrel per hari. (Kementerian Energi dan
Gambar 1.1 Indonesia Energy Statistic
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa penawaran minyak Indonesia memiliki
trend yang menurun dalam periode 1999-2009. Pada awal tahun 1999 supply
minyak Indonesia sebesar 1.600.000 barrel per hari, dan terus mengalami
penurunan hingga pada tahun 2009 supply minyak menjadi hanya sebesar
1.000.000 barrel per hari.
Pada Gambar 1.1 juga terlihat pola konsumsi minyak nasional dalam
periode 1999-2009. Berbeda dengan penawaran minyak, konsumsi minyak justru
selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 konsumsi minyak nasional
sebesar 1.000.000.000 barrel per hari. Konsumsi minyak nasional memiliki trend
yang meningkat sehingga pada tahun 2009 konsumsi minyak nasional menjadi
1.200.000 barrel per hari.
Pola konsumsi minyak yang terus mengalami peningkatan tidak mampu
ditutupi oleh produksi minyak dari dalam negeri. Sejak tahun 2004 Indonesia
sudah beralih menjadi net importir minyak, dan pada tahun 2009 Indonesia sudah
secara resmi keluar dari keanggotaan OPEC.
Dalam beberapa dekade harga minyak memiliki trend yang terus
dunia hingga 61,2 US$ per barrel yang sebelumnya hanya berkisar antara 25
sampai dengan 30 US$ per barrel. Sejak kuartal kedua tahun 2005 harga minyak
dunia terus mengalami peningkatan. Harga minyak dunia mencapai nilai yang
tertinngi di level 145,13 US$ per barrel di bulan Juli tahun 2008 (Energy
International Administration, 2011).
Krisis finansial global yang terjadi pada kuartal keempat tahun 2008 juga
memberi dampak terhadap tingkat harga minyak dunia. Lesunya perekonomian
dunia mengakibatkan penurunan terhadap permintaan minyak. Harga minyak
dunia mengalami penurunan secara drastis hingga menyentuh level 38 US$ per
barrel. Pasca krisis finansial global perekonomian dunia mengalami pemulihan
secara perlahan. Pemulihan perekonomian ditandai dengan kembali berjalannya
aktivitas perekonomian di setiap negara baik negara industri maupun negara
berkembang (Energy International Administration, 2011).
Sumber : U. S Energy Information Administration (2011)
Gambar 1.2 Harga Minyak Dunia
Roubini dan Setser (2004) menyatakan bahwa fluktuasi maupun
peningkatan harga minyak dunia akan memberikan dampak bagi perekonomian
beberapa hal seperti besarnya guncangan harga minyak, durasi atau lamanya
guncangan tersebut berlangsung, dependensi dari negara tersebut dalam
penggunaan minyak dalam kegiatan ekonomi, serta respon kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah di negara tersebut.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka
kecil pasti terpengaruh dengan kondisi ekonomi dunia. Salah satunya adalah
terlihat bagaimana harga minyak dunia mempengaruhi perekonomian dalam
negeri. Harga minyak dunia yang berfluktuasi juga akan mempengaruhi harga dari
produk turunan minyak yang biasa di konsumsi oleh masyarakat yakni bahan
bakar minyak seperti premium, solar, kerosen, dan pertamax.
Mengingat pentingnya keberadaan bahan bakar minyak dalam
perekonomian sehingga bahan bakar minyak memerlukan intervensi pemerintah
untuk mengendalikan tingkat harga bahan bakar minyak supaya dapat dijangkau
oleh masyarakat luas. Bentuk intervensi yang diberikan oleh pemerintah bagi
penyediaan bahan bakar minyak saat ini berupa pemberian subsidi.
Subsidi bagi bahan bakar minyak sudah dilakukan sejak pemerintahan
orde baru. Hingga saat ini subsidi masih diberlakukan dan menjadi salah satu
pengeluaran rutin dalam APBN. Untuk menjamin harga bahan bakar minyak
disaat harga minyak dunia sedang melambung tinggi, pemerintah melakukan
kebijakan pemberian subsidi. Dimulai sejak tahun 2005 APBN sangat terbebani
dengan pemberian subsidi tersebut karena adanya fluktuasi harga minyak dunia
berupa peningkatan yan sangat tinggi hingga menyentuh level 145 US$ per barrel
Gambar 1.4 menunjukkan rasio antara subsidi yang diberikan oleh
pemerintah dan GDP. Nilai rasio subsidi dan GDP menjadi besar ketika sedang
terjadi krisis perekonomian. Pada tahun 2000 rasio subsidi terhadap GDP yang
tertinggi sebesar 0,11 persen. Hal ini disebabkan oleh perekonomian Indonesia
yang melemah sebagai akibat dari krisis moneter.
Sumber : International Financial Statistic dan Kementerian Keuangan RI (2011)
Gambar 1.3 Rasio Subsidi Minyak terhadap GDP Tahun 1980-2010 (diolah)
Harga dan kuantitas dari bahan bakar minyak yang beredar di masyarakat
tidak ditentukan oleh kekuatan mekanisme pasar melainkan memerlukan
intervensi dari pemerintah dalam penyediaanya. Harga minyak dunia terus
mengalami trend peningkatan sejak tahun 2004 dan mencapai 136,32 US$/barrell
di tahun 2005. Untuk merespon harga minyak yang semakin tinggi ini pemerintah
mengambil kebijakan untuk meningkatkan harga jual bahan bakar minyak. Pada
tahun 2002 pemerintah pernah mengizinkan bahan bakar minyak untuk mengikuti
harga keseimbangan yang berasal dari harga minyak internasional. Kebijakan ini
diikuti dengan meningkatkan harga bahan bakar minyak domestik agar bisa
mengikuti harga minyak internasional dan tidak memberatkan APBN karena
dikomunikasikan kepada publik sehingga banyak mengundang protes dari
masyarakat dan terjadi ketidakstabilan keamanan dalam negeri.
Untuk menjamin daya beli masyarakat pada saat harga minyak dunia
sedang melambung tinggi, pemerintah tetap melakukan kebijakan pemberian
subsidi. Beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah semakin besar ketika
harga minyak terus meningkat. Peningkatan harga minyak di tahun 2004
pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikan harga jual bahan bakar minyak
kepada masyarakat ke level Rp. 2400,00 per liter untuk premium.
Pada tanggal 30 September 2005 pemerintah mengeluarkan regulasi
berupa Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran
Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Regulasi ini menjelaskan bahwa jenis bahan
bakar yang akan diberikan subsidi adalah jenis bensin premium, kerosin, dan
minyak solar. Regulasi ini menetapkan harga jual eceran minyak tanah bagi
rumah tangga dan usaha kecil sebesar Rp.2000,00 per liter. Harga eceran bensin
premium menjadi Rp. 4.500,00 per liter dan minyak solar menjadi Rp.4.300,00
per liter. Ketiga jenis bahan bakar minyak yang diberikan subsidi ini hanya
diperuntukkan bagi usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum. Harga yang
ditetapkan dalam regulasi ini tidak berlaku bagi industri (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, 2010).
Kebijakan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah pada awalnya ditujukan
untuk menjaga kestabilan perekonomian. Namun dalam realitanya pengeluaran
pemerintah untuk memberikan subsidi bagi energi dalam hal ini bahan bakar dan
listrik jauh lebih besar dibandingkan belanja investasi modal dan pembiayaan
Sumber : Bulman et. al (2008)
Gambar 1.4 Realokasi APBN Bagi Kegiatan Sosial (Milliar US Dollar)
Pada saat terjadi krisis keuangan global di tahun 2008 dan terjadi fluktuasi
harga minyak dunia seperti yang nampak pada Gambar 1.4 menjelaskan
perbandingan anggaran belanja negara didominasi oleh pengeluran untuk subsidi
BBM sebesar 14 milliar US dollar, sedangkan untuk belanja investasi modal
hanya sebesar 9,5 milliar US dollar. Alokasi pengeluaran pemerintah untuk
kegiatan sosial lebih kecil lagi yakni sebesar 7,5 miliar US dollar.
Karakteristik perekonomian Indonesia yang kesejahteraan masyarakatnya
memiliki ketimpangan yang sangat jauh. Masyarakat di kota-kota besar relatif
memiliki kesejahteraan yang lebih baik, ditandai dengan kemudahan akses pada
fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sementara di bagian Indonesia yang lain tidak
mendapatkan akses yang sama. Seharusnya anggaran APBN lebih difokuskan
kepada peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Pada awal tahun 2011 tedapat wacana untuk membatasi kuantitas BBM
bersubsidi karena semakin besarnya pengeluaran pemerintah terhadap subsidi.
menyebabkan respon anarkis dan ketidakstabilan keamanan dalam negeri.
Pembatasan kuantitas BBM ini juga ditujukkan agar penyaluran BBM bersubsidi
tepat bagi masyarakat yang tergolong kurang mampu. Sebab selama ini
penggunaan BBM bersubsidi justru didominasi oleh masyarakat dengan
pendapatan menengah keatas.
Sumber : Bulman et al (2008)
Gambar 1.5 Persentase Rumah Tangga Pengguna BBM Bersubsidi
Banyak penelitian yang menjelaskan dampak dari fluktuasi harga minyak
terhadap variabel makroekonomi bagi negara importir minyak yang tergolong
dalam kategori negara industri maju. Namun masih jarang penelitian yang
mengangkat dampak dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi
untuk kasus negara berkembang terkhusus bagi Indonesia yang baru sejak tahun
2004 menjadi importir minyak.
Penelitian terdahulu banyak yang lebih berfokus kepada variabel moneter
seperti nilai tukar, suku bunga, dan tingkat inflasi yang dipengaruhi oleh
volatilitas harga minyak namun belum ada yang memasukan variabel subsidi
1.2 Perumusan Masalah
Pada saat masih tergabung dalam OPEC, Indonesia sudah memberikan
subsidi bagi produk minyak bumi dalam negeri. Kebijakan pemberian subsidi
minyak ini merupakan insentif untuk menumbuhkan dan mendorong kegiatan
industrialisasi domestik. Pada masa itu perekonomian Indonesia sedang
berorientasi pada industri subtitusi impor yakni mengupayakan kemandirian
dalam penyediaan barang dan jasa untuk dihasilkan di dalam negeri dan
mengurangi kegiatan impor dari luar negeri. Proses industrialisasi ini banyak
membutuhkan bahan bakar minyak sebagai sumber energi dan faktor produksi
penting dalam industri.
Fluktuasi harga minyak ini sangat mempengaruhi perekonomian. Dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir harga minyak memiliki trend yang meningkat.
Peningkatan harga minyak disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan keamanan
di negara kawasan Timur-Tengah yang merupakan kawasan penghasil minyak
terbesar di dunia. Trend peningkatan harga minyak dunia ini juga diakibatkan oleh
tingginya permintaan akan minyak itu sendiri. Permintaan yang tinggi terhadap
minyak dalam suatu negara mengindikasikan ketergantungannya terhadap
ketersediaan minyak domestik dalam kegiatan perekonomiannya.
Harga minyak yang terus meningkat ini memberikan dampak terhadap
perekonomian secara mikro maupun makro di suatu negara. Secara mikro dengan
meningkatkan ongkos produksi dalam kegiatan ekonomi berimbas pada naiknya
harga jual produk. Peningkatan harga jual ini menurunkan tingkat permintaan
diproduksi tidak mampu diserap sepenuhnya oleh pasar. Kerugian yang dialami
oleh perusahaan disikapi dengan mengurangi kuantitas produksi. Hal ini
mengakibatkan perusahaan harus mengambil tindakan efisiensi biaya produksi
berupa pengurangan jumlah pekerja agar tetap memperoleh laba dari proses
produksi. Pada saat itu akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada
pekerja dan meningkatkan jumlah pengangguran.
Secara makro perekonomian mengalami guncangan akibat peningkatan
harga minyak secara terus-menerus. Hal yang terjadi di tingkat perusahaan
diakumulasikan secara agregat dalam perekonomian berarti memicu terjadinya
inflasi dalam perekonomian yang ditandai dengan menurunnya tingkat daya beli
masyarakat. Daya beli masyarakat yang terus menurun ini berdampak terhadap
produk domestik dan pertumbuhan ekononomi yang berjalan sangat lambat.
Sebab konsumsi masyarakat merupakan salah satu penyusun produk domestik.
Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbuka kecil, segala
guncangan yang terjadi dalam perekonomian dunia akan memberikan dampak
kepada perekonomian Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Seperti guncangan dari harga minyak dunia dalam periode lima tahun terakhir ini
memberi dampak kepada perekonomian nasional Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari tingkat kestabilan variabel ekonomi dalam negeri seperti tingkat inflasi dan
pertumbuhan output nasional.
Berdasarkan uraian diatas maka masalah yang akan diangkat dalam
a. Bagaimanakah dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi
harga minyak terhadap variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi, dan
pertumbuhan output nasional di Indonesia?
b. Bagaimanakah dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi
harga minyak terhadap kebijakan subsidi di Indonesia?
c. Bagaimanakah respon kebijakan Indonesia serta perbandingan kebijakan
dengan negara lain dalam merespon kenaikan harga minyak?
1.3 Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Menganalisis dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi
harga minyak terhadap variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi, dan
pertumbuhan output nasional di Indonesia
b. Menganalisis dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi
harga minyak terhadap kebijakan subsidi di Indonesia
c. Membandingkan respon kebijakan Indonesia dan kebijakan dengan negara
lain dalam merespon kenaikan harga minyak.
1.4 Manfaat Penulisan
a. Penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah menjadi bahan pertimbangan
dalam menentukan kebijakan fiskal maupun moneter dalam merespon
harga minyak yang berfluktuasi.
b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Inflasi
2.1.1 Definisi Inflasi
Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara
umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak
disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau
mengakibatkan kenaikan) sebagian besar harga barang-barang lain. Menurut teori
uang klasik, perubahan dalam tingkat harga keseluruhan adalah seperti perubahan
dalam unit-unit ukuran. Karena sesungguhnya kesejahteraan ekonomi masyarakat
bergantung pada harga relatif, bukan pada seluruh tingkat harga (Mankiw, 2007).
Definisi lain dari inflasi adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga
semua barang dan jasa dimana kenaikan harga-harga tersebut berlangsung dalam
waktu yang berkepanjangan dan secara terus-menerus. Menurut Milton Friedman,
inflasi merupakan sebuah fenomena moneter yang selalu terjadi dimanapun dan
tidak dapat dihindari. Inflasi dikatakan sebagai fenomena moneter hanya jika
terjadi peningkatan harga yang berlangsung secara cepat dan terus-menerus.
pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004).
Kenaikan harga secara terus-menerus yang menyebabkan inflasi dapat
disebabkan oleh naiknya nilai tukar mata uang luar negeri secara signifikan
terhadap mata uang dalam negeri. Inflasi menurut teori Keynes terjadi karena
masyarakat hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Teori ini menyoroti
bagaimana perebutan sumber ekonomi antar golongan masyarakat bisa
tersedia. Dalam teori strukturalis inflasi berasal dari kekakuan struktur ekonomi
khususnya supply bahan bakar minyak, dan bahan makanan yang mengakibatkan
kenaikan harga pada barang lain.
Menurut Samuelson (1989) tingkat inflasi dapat yang ditentukan dengan
menghitung selisih tingkat harga tahun tertentu dengan tingkat harga tahun
sebelumnya dan dibandingkan tengan tingkat harga tahun ini dan dikalikan
dengan seratus persen.
Perhitungan inflasi dilakukan melalui dua pendekatan yakni Indeks Harga
Konsumen dan Indeks Harga Produsen (IHP). Indeks Harga Konsumen yang
dikenal sebagai IHK atau CPI yang mengukur biaya dari pasar konsumsi barang
dan jasa. Biasanya inflasi didasarkan kepada harga bahan pangan, pakaian,
perumahan, bahan bakar minyak, transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan
komoditi lainnya yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Sedangkan Indeks Harga Produsen atau yang biasa dikenal sebagai
PPI merupakan pendekatan yang digunakan dalam mengukur tingkat inflasi
berdasarkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh produsen. Indeks ini berguna
karena memberikan penjelasan yang lebih baik bagi dunia usaha (Samuelson,
1989)
Lebih lanjut Samuelson (1989), menambahkan ada pendekatan lain yang
dapat menjadi pendekatan lain dalam mengukur tingkat inflasi selain Indeks
merupakan rasio GNP nominal dan GNP rill. GNP yang merupakan pendapatan
nasional ini tersusun dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net
ekspor suatu negara.
Seringkali timbul kesalahpahaman mengenai konsep inflasi di tengah
masyarakat. Kesalapahaman yang ada dimasyarakat seperti anggapan tingkat
inflasi membuat harga barang semakin mahal, dan inflasi yang tinggi sebagai
pertanda bahwa masyarakat menjadi semakin miskin. Samuelson (1989)
menjelaskan bahwa sesungguhnya inflasi berarti rata-rata tingkat harga
mengalami peningkatan. Inflasi juga tidak selalu membuat masyarakat menjadi
miskin apabila diikuti oleh peningkatan pendapatan masyarakat selama masa
terjadinya inflasi. Sehingga pendapatan rill untuk kebutuhan hidup sehari-hari
mungkin saja meningkat atau menurun selama masa inflasi.
2.1.2 Jenis Inflasi
Inflasi terbagi kedalam tiga jenis inflasi yakni :
(1) Inflasi menurut tingkat keparahannya, yakni : Inflasi ringan (dibawah 10
persen setahun), inflasi sedang (antara 10-30 persen setahun), inflasi berat
(antara 30-100 persen setahun), hiperinflasi (diatas 100 persen setahun).
Sedangkan Samuelson (1989) mengklasifikasikan inflasi menurut tingkat
keparahannya menjadi tiga jenis inflasi, yaitu:
a. Moderate Inflation
Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga secara perlahan. Relatif
kecil dengan kenaikan satu digit persen tingkat inflasi per tahun. Ketika
menyimpannya karena tidak akan berkurang nilainya secara cepat. Inflasi
jenis ini mendorong masyarakat untuk melakukan investasi portofolio
jangka panjang, karena percaya adanya peningkatan harga aset investasi di
masa depan.
b. Galloping Inflation
Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga dua sampai tiga digit
persen tingkat inflasi per tahun. Ketika inflasi meningkat mengakibatkan
distorsi dalam ekonomi. Secara umum investasi akan beralih ke mata uang
asing, karena mata uang dalam negeri mengalami penurunan yang sangat
cepat dan ditandai dengan tingkat suku bunga yang menyentuh level
minus. Namun dengan manajemen yang baik, inflasi jenis ini masih dapat
dipulihkan seperti yang terjadi di Amerika Latin di tahun 1980an.
c. Hyperinflation
Merupakan tipe inflasi yang terparah seperti yang terjadi di Jerman pada
tahun 1920-1923 dan yang terjadi di Cina dan Hungaria pasca perang dunia
kedua. Tipe inflasi ini juga pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1963,
sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk mendanai “proyek mercusuar”
dengan mencetak uang secara terus-menerus. Hal ini yang menyebabkan nilai
uang menjadi sangat rendah. Tingkat inflasi pada masa itu mencapai 600
persen sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan
pemotongan nilai Rupiah dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah.
(2) Inflasi menurut penyebab terjadinya, yakni:
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand),
sedangkan produksi telah dalam keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir
penuh. Jika kondisi kesempatan kerja penuh atau full employmentsudah terjadi,
kenaikan permintaan total hanya akan meningkatkan harga di pasar. Inflasi jenis
ini disebut sebagai inflasi murni.
b. Cost-Push Inflation
Inflasi yang terjadi disertai turunnya tingkat produksi. Jadi inflasi jenis ini
diikuti resesi dalam perekonomian. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya
penurunan penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat dari kenaikan biaya
produksi.
(3) Inflasi menurut asalnya, yakni:
a. Domestic Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri. Penyebab
dari inflasi jenis ini misalnya dari defisit anggaran belanja yang dibiayai
dengan mengeluarkan kebijakan moneter menambah jumlah uang yang
beredar berupa pencetakan uang baru, gagal panen dari bahan makannan
pokok, dan sebagainya.
b. Imported Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari luar negeri. Mengingat
Indonesia merupakan negara dengan ekomomi terbuka kecil, sehingga
sangat dipengaruhi oleh perekonomian global termasuk tingkat inflasi.
Imported inflation juga dapat disebabkan karena peningkatan dari harga di
luar negeri yang dialami oleh mitra dagang Indonesia.
Kenaikan harga barang-barang impor yang masuk ke Indonesia akan
kebutuhan sehari-hari masyarakat berasal barang-barang impor tersebut, (2) secara
tidak langsung menaikkan indeks harga produsen karena beberapa input produksi
berasal dari barang-barang import, (3) secara tidak langsung menimbulkan
kenaikan harga di dalam negeri karena kenaikan harga barang-barang impor
mengakibatkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor yang
dibebankan pada produk impor yang permintaannya mengalami penurunan.
2.1.3 Dampak Inflasi
Selama periode inflasi terjadi, tingkat harga dan upah tidak bergerak
dalam tingkatan yang sama, maka inflasi akan memberikan dampak redistribusi
pendapatan dan kekayaan diantara golonag ekonomi dalam masyarakat. Serta
menimbulkan terjadinya distorsi dalam harga relatif, output, dan kesempatan
kerja, dan ekonomi secara keseluruhan (Samuelson,1989).
Dampak inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat terbagi menjadi
dua yakni dampak psitif dan dampak negatif. Dampak positif dari inflasi
menyebabkan peredaran dan perputaran barang lebih cepat di masyarakat
sehingga produksi barang-barang bertambah, dan keuntungan pengusaha
bertambah. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi yang
tercipta berarti membuka banyak lapangan kerja baru sehingga masalah
pengangguran dapat berkurang. Ketika inflasinya terkendali dan diikuti dengan
pendapatan nominal yang bertambah, maka pendapatan rill masyarakat
meningkat.
Inflasi pun memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian
akan berkurang. Menimbulkan tindakan spekulasi terhadap investasi portofolio
terutama portofolio asing yang paling diminati sehingga berdampak terhadap
melemahnya nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet
atau terlantar karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya
mengalami peningkatan. Dengan terjadinya inflasi menjadikan minat menabung
masyarakat berkurang sebagai akibat dari turunnya nilai mata uang jika hal ini
terjadi secara terus-menerus maka akan mematikan industri perbankan nasional.
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.3.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Prof. Simon Kuznets memenangkan Hadiah Nobel di tahun 1971 atas
analisisnya mengenai batasan mengenai pertumbuhan ekonomi di suatu negara
sebagai tumbuhnya kemampuan untuk meningkatkan penawaran berbagai
benda-benda ekonomi dalam jangka waktu yang lama bagi penduduknya. Kenaikan itu
sendiri beberapa faktor dalam negara itu sendiri seperti : (1) akumulasi kapital
yang mencakup semua investasi baru berupa tanah dan sumberdaya manusia; (2)
pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja; dan (3) kemajuan
teknologi (Todaro, 1985).
Prof. Kuznets dalam Todaro (1985) menambahkan definisi pertumbuhan
ekonomi memiliki 3 komponen pokok, yakni : meningkatnya output nasional
secara terus-menerus, adanya perkembangan teknologi, dan padanya penyesuaian
lembaga-lembaga dan inovasi di bidang sosial. Dalam analisanya Prof. Kuznets
juga menjelaskan 6 karaktreistik mengenai gambaran atau proses pertumbuhan
a. Laju pertumbuhan output perkapita yang tinggi dan pertambahan
penduduk.
b. Produktivitas tenaga kerja yang meningkat dengan pesat.
c. Transformasi struktural ekonomi yang tinggi.
d. Transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.
e. Kecenderungan negara maju untuk melakukan ekspansi ke belahan dunia
yang lain untuk pemasaran output dan eksplorasi sumber bahan mentah.
f. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya meliputi
sepertiga penduduk dunia saja.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses
kenaikan output perkapita jangka panjang yang terjadi apabila ada kecenderungan
output naik yang bersumber dari kekuatan yang berada dalam perekonomian itu
sendiri, bukan berasal dari luar atau bersifat sementara. Sasaran pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu tujuan utama suatu negara dan merupakan suatu
determinan penting dalam menilai kesejahteraan masyarakat di suatu negara.
Perhitungan pertumbuhan ekonomi diperoleh dengan persamaan di bawah ini :
)
Dimana GDP merupakan akumulasi dari konsumsi masyarakat (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor netto yakni selisih dari ekspor dan impor (X-M).
2.3.2 Ringkasan Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori ekonomi klasik yang dipelopori oleh Adam Smith menyebutkan
dan spesialisasi kerja. Teori David Ricardo pada umumnya sama dengan teori
Adam Smith secara garis besar tapi lebih menekankan faktor keterbatasan lahan
dan pertumbuhan penduduk.
Teori pertumbuhan ekonomi menurut Solow menunjukkan bagaimana
persediaan modal (K), pertumbuhan angkatan kerja (L), dan kemajuan teknologi
(E) berinteraksi dalam perekonomian. Tingkat kemajuan teknologi yang terlihat
dari peningkatan keterampilan atau kemajuan teknik sehingga produktivitas
perkapita meningkat. Fungsi produksi ditambahkan satu variabel E yakni
teknologi sebagai faktor eksternal dalam teori Solow. Dengan adanya kemajuan
teknologi, model Solow menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar
hidup masyarakat dengan fungsi produksi sebagai berikut :
)
Teori pertumbuhan ekonomi menurut Harrod-Domar menyatakan setiap
penambahan stok modal melalui investasi masyarakat akan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Sedangkan Rostow membagi
tahapan pertumbuhan ekonomi kedalam lima tahapan yakni :
a. Masyarakat tradisional, yakni masyarakat yang pola kehidupannya
masih menggunakan cara-cara sangat sederhana dan tingkat
produktivitasnya sangat terbatas.
b. Masyarakat prasyarat untuk lepas landas, yakni masyarakat yang mulai
sadar akan pembangunan ekonomi, terdapat peranan ilmu pengetahuan
c. Masyarakat lepas landas, yakni perkembangan IPTEK digunakan
dalam menunjang kegiatan perekonomian. Sudah mulai
mengembangkan industri dan jasa yang diikuti dengan penggunaan
sumberdaya secara optimal.
d. Masyarakat tingkat kematangan, yakni sudah dapat mengatasi
ketergantungan kepada negara lain. Kehidupan perekonomiann
ditopang dengan penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya alam
yang matang.
e. Masyarakat konsumsi tinggi, yakni masyarakat yang pendapatan
perkapitanya sangat tinggi.
2.3 Teori Suku Bunga
Suku bunga merupakan harga yang dibayar atas kepemilikan sejumlah
dana atau modal. Suku bunga menurut Irving Fisher membedakan suku bunga
dalam dua jenis yakni suku bunga nominal (nominal interest rate) dan suku bunga
rill (real interest rate). Suku bunga nominal adalah suku bunga yang masih
mengandung faktor inflasi sedangkan suku bunga rill merupakan tingkat suku
bunga yang didapat dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar
keuangan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
r
i
r = suku bunga rill,
π = tingkat inflasi.
Untuk kasus di Indonesia yang memiliki sistem ekonomi terbuka kecil,
yakni terbuka akan mobilisasi sumber kapital global walau peranannya kecil
dalam perekonomian global, cenderung dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di
negara ekonomi terbuka besar. Dalam sistem ekonomi terbuka kecil tingkat
besaran suku bunga yang berlaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni :
a. Domestic money market
Besaran suku bunga ditentukan dari keseimbangan antara permintaan dan
penawaran di pasar keuangan domestik. Pasar keuangan yang stabil akan
mendorong terciptanya keseimbangan tingkat suku bunga. Dengan pasar uang
yang stabil juga mendorong terjadinya efisiensi dalam pasar uang.
b. Expected rate of devaluation
Harapan akan menguatnya nilai uang di masa yang akan datang juga akan
menentukan besaran suku bunga sebab ekspektasi terhadap nilai mata uang yang
akan lebih besar di masa yang akan datang akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat untuk memegang uang. Hal ini akan meningkatkan besaran suku
bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar tetap, cateris paribus.
c. Expected inflation
Harapan akan meningkatnya tingkat harga ditandai dengan terjadinya infalasi
akan meningkatkan besaran suku bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar
tidak berubah, cateris paribus.
d. Imported interest rate
Mengingat Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbuka kecil pasti
akan ikut terpengaruhi oleh peerkonomian internasional. Termasuk variabel suku
bunga yang akan ditetapkan sebagai suku bunga nasional.
2.4 Teori Kebijakan Subsidi
Mahzab neoklasik ekonomi modern mendasarkan perekonomian seperti
pasar persaingan sempurna, yakni terjadi efisiensi paling optimal dalam
perekonomian dengan efisiensi penggunaan sumberdaya dan terciptanaya harga
dan kuantitas produksi dalam keseimbanagan sehingga intervensi pemerintah
tidak diperlukan. Namun kenyataannya hal tersebut tidaklah terjadi, di belahan
dunia manapun perekonomian tidak selalu dalam kondisi keseimbangan yang
mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Maka diperlukan intervensi dari
pemerintah dalam menanggulangi kegagalan pasar tersebut (Amegashie, 2006)
Lebih lanjut Amegashie (2006) menambahkan kegagalan pasar yang kerap
terjadi di negara berkembang seperi distorsi pasar dimana pembeli tidak
mendapatkan informasi yang sempurna, jumlah perusahan yang kecil, barang
publik, lemahnya perlindungan terhadap hak cipta suatu barang dalam
perekonimian. Untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah mengeluarkan
kebijakan subsidi untuk mereduksi inefisiensi di pasar. Dengan adanya subsidi
akan meningkatkan permintaan terhadap barang tersebut dan kemudian direspon
Bentuk subsidi yang diberikan oleh pemerintah biasanya kepada
barang-barang publik dimana pihak swasta tidak mau menyediakannya sementara daya
beli masyarakat sangat rendah sehingga tidak mampu membeli barang-barang
dengan harga pasar. Untuk itu pemerintah memberikan subsidi untuk menekan
harga barang publik, sehingga harga barang menjadi lebih terjangkau oleh
masyarakat. Contoh pemberian subsidi di Indonesia adalah subsidi pupuk bagi
petani, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta subsidi bahan bakar minyak bagi
nelayan dan masyarakat.
2.5 Pengantar Fluktuasi Ekonomi
Fluktuasi ekonomi menunjukkan masalah yang sedang terjadi bagi para
ekonom dan pembuat kebijakan. Secara rata-rata GDP Indonesia mengalami
pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Tapi rata-rata dalam jangka panjang
menyembunyikan fakta bahwa terkadang output nasional tidak tumbuh dengan
stabil. Terkadang tumbuh pesat dibeberapa tahun, terkadang pula tumbuh lambat
di beberapa tahun yang lain. Ekonom menyebut fluktuasi jangka pendek pada
output nasional dan pengangguran sebagai siklus bisnis (bussiness cycle).
Fluktuasi dalam perekonomian mempengaruhi Aggregate Demand dan
Agregate Supply baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Fluktuasi dalam perekonomian dapat menurukan dan menaikkan Aggregate
(a) (b) Sumber : Mankiw (2007)
Gambar 2.1 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Aggregate Demand
Gambar 2.1 (a) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand
dalam jangka panjang yang disebabkan oleh peningkatan jumlah uang yang
beredar sehingga akan menghasilkan peningkatan harga. Kondisi tersebut terjadi
karena dalam jangka panjang perekonomian sudah dalam kondisi full-employment
sehingga upaya untuk meningkatkan aggregat demand hanya akan menghasilkan
inflasi dan tidak menambah output.
Gambar 2.1 (b) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand dalam
jangka pendek sehingga menghasilkan peningkatan output sebesar .
Kondisi tersebut terjadi karena dalam jangka pendek harga bersifat kaku dan
perekonomian belum dalam kondisi full-employment sehingga peningkatan
Sumber : Mankiw (2007)
Gambar 2.2 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Aggregate Supply
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa fluktuasi ekonomi yang mengakibatkan
penurunan Aggregate Supply dalam jangka pendek akan menurunkan
keseimbangan dalam perekonomian yang semula di titik B menjadi turun ke titik
A. Fluktuasi jenis ini contohnya terjadi karena ada peningkatan harga minyak
yang merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam perekonomian.
Peningkatan harga minyak dunia akan menurunkan penawaran secara agregat
sehingga memberi dampak yang buruk bagi perekonomian yakni penurunan
output nasional dan peningkatan harga.
2. 6 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2005) tentang Analisis Pengaruh
Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia periode waktu
penelitian antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2004. Penelitian ini
menggunakan metode regresi linear berganda yang diestmasi dengan metode
ordinary least square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi dipengaruhi secara signifikan
periode sebelumnya pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa jiika ada peningkatan harga bahan bakar minyak sebesar satu
persen akan menyebabkan inflasi meningkat sebesar 0,11 persen. Hal ini berarti
selama periode tahun 1990 sampai 2004 harga bahan bakar minyak berkorelasi
positif terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Yu Hsing pada tahun 2007 ini menjelaskan
tentang peningkatan harga minyak dunia terhadap kondisi makroekonomi dan
pertumbuhan output di Jerman sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia
yang tingkat ketergantungannya terhadap minyak sangat tinggi. Periode
pengamatan Yu Hsing sejak triwulan ketiga tahun 1991 hingga triwulan keempat
tahun 2006. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square dalam
selang kepercayaan 95 persen.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan harga minyak dunia tidak
menyebabkan penurunan pertumbuhan output nasional di Jerman walaupun
Jerman merupakan negara importir minyak yang besar. Penelitian ini pun
mengungkapkan bahwa sesungguhnya perekonomian Jerman dapaat tumbuh
dengan pesat bukan dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak dunia tetapi berasal
dari tingginya harga saham, rendahnya tingkat suku bunga, dan rendahnya tingkat
inflasi.
Penelitian Farzanegan (2007) menjelaskan bahwa dengan adanya fluktuasi
harga minyak akan meningkatkan tingkat inflasi dan juga peningkatan GDP.
Namun dampak dari peningkatan GDP tidak dapat diidentifikasikan secara
pemberian subsidi. Dalam pelaksanaannya kebijakan pemberian subsidi ini
meningkatkan perilaku “rent-seeking” dari birokrat. Peningkatan pengeluaran
pemerintah ini juga banyak yang dialokasikan pada aktivitas yang tidak produktif
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terjadi penemuan yang menarik dari penelitian Farzanegan di Iran ini
karena statusnya sebagai net importir minyak juga diikuti dengan meningkatnya
volume impor masyarakat terhadap komoditi lain. Hal ini disebabkan oleh
melemahnya nilai mata uang luar negeri terhadap nilai mata uang domestik.
Dengan kata lain dengan adanya fluktuasi harga minyak mengakibatkan
menguatnya niali mata uang domestik Iran.
Penelitian yang dilakukan oleh Katsuya Ito (2008) mengenai keterkaitan
fluktuasi harga minyak dunia terhadap perekonomian Russia sebagai negara
eksportir minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Periode penelitian ini dimulai
sejak triwulan pertama tahun 1997 samap triwulan keempat tahun 2007.
Penelitian ini menggunakan data deret waktu dengan metode Vector Error
Correction Model (VECM) sehingga dapat meramalkan kondisi pada jangka
panjang.
Penelitian Ito (2008) menunjukkan dampak dari harga minyak dan
guncangan moneter terhadap perekonomian Russia. Apabila terjadi perubahan
harga minyak dunia sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan GDP
Russia sebesar 0,25 persen dan peningkatan tingkat inflasi sebesar 0,36 persen
moneter melalui saluran suku bunga akan mempengaruhi tingkat inflasi dan GDP
rill.
Penelitian Ito (2008) terhadap Russia sebagai salah satu net eksportir
minyak, berbeda dengan hasil temuan Jalil di tahun yang sama menyatakan bahwa
Malaysia sebagai negara net eksportir untuk komoditi minyak memberikan
subsidi untuk konsumsi minyak dalam negerinya. Pembiayaan subsidi diperoleh
dari surplus perdagangan Malaysia atas komoditi minyak itu sendiri. Hal ini pun
pernah berlaku di Indonesia sewaktu Indonesia menjadi salah satu anggota OPEC.
Pemerintah Malaysia merasa perlu untuk mengintervensi minyak di dalam negeri
mengingat minyak adalah sumber energi utama yang digunakan dalam kegiatan
perekonomian di negara tersebut. Ketika terjadi kenaikan harga minyak akan
diikuti dengan meningkatnya harga-harga barang.
Lebih lanjut Jalil (2008) menjelaskan bahwa fluktuasi harga minyak di
Malaysia lebih mempengaruhi perekonomian Malaysia. Hasil penelitian Jalil
menemukan bahwa fluktuasi harga minyak lebih mempengaruhi pendapatan
nasional (GNP) dan tingkat pengangguran dibandingkan kebijakan fiskal maupun
kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintahnya.
Penelitian Aliyu (2008) bermaksud untuk mengetahui dampak bagi
pertumbuhan ekonomi Nigeria yang disebabkan oleh guncangan harga minyak
dan volatilitas nilai tukar mata uang di Nigeria sebagai salah satu negara net
eksportir untuk komoditi minyak. Penelitian ini menggunakan data deret waktu
dampaknya dalam jangka panjang. Periode pengamatan dimulai dari triwulan
pertama tahun 1986 hingga triwulan keempat tahun 2007.
Hasil penelitian Aliyu (2008) menemukan bahwa untuk kasus Nigeria
pertumbuhan GDP lebih dipengaruhi oleh peningkatan harga minyak
dibandingkan apresiasi nilai tukar mata uang di negara ini. Hasil estimasi dalam
jangka panjang menunjukkan apabila harga minyak dunia meningkat sebesar 10
persen maka akan diikuti dengan peningkatan GDP rill Nigeria meningkat sebesar
7,73 persen. Sedangkan apabila nilai tukar mata uang meningkat sebesar 10
persen hanya akan meningkatkan GDP sebesar 0,35 persen.
Christensson (2009) meneliti seberapa besar pengaruh guncangan harga
minyak sebagai penyebab inflasi di Amerika Serikat. Penelitian ini berbeda dari
penelitian sebelumnya yang cakupan permasalahannya pada tingkat perekonomian
nasional. Namun penelitian ini justru menganalisis pengaruh guncangan harga
minyak bagi inflasi di tingkat regional di Amerika Serikat.
Penelitian ini menemukan bahwa bagian barat Amerika memiliki pengaruh
yang lebih rendah dari guncangan harga minyak terhadap inflasi dibandingkan
dengan daerah lainnya di Amerika Serikat secara signifikan. Hal ini disebabkan
oleh penggunaan minyak yang efisien, rendahnya tingkat inflasi, dan nilai tukar
yang lebih rendah di bagian Barat Amerika dibandingkan dengan daerah lainnya.
Fayoumi (2009) meneliti hubungan antara volatilitas harga minyak dunia
dengan tingkat pengembalian di pasar saham (stock market returns) yang terjadi
di tiga negara kawasan Timur-Tengah yakni Turki, Tunisia, dan Yordania.
negara ini merupakan importir minyak. Penelitian ini menggunakan data bulanan
dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Periode pengamatan
dimulai dari Desember tahun 1997 hingga Maret 2008.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak tidak
secara langsung mempengaruhi pasar saham ketiga negara tersebut. Tingkat
pengembalian di pasar saham lebih dipengaruhi oleh indikator makroekonomi
domestik masing-masing negara dibandingkan oleh harga minyak. Indikator
makroekonomi yang berpengaruh tersebut adalah tingkat suku bunga dan
produktivitas industri.
2.7 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menganalisis pengaruh fluktuasi harga minyak dunia
terhadap perekonomian Indonesia yang tercermin dalam variabel
makroekonominya seperti tingkat inflasi, GDP, nilai tukar, dan suku bunga.
Fluktuasi harga minyak dunia juga mempengaruhi kebijakan fiskal berupa
kebijakan subsidi pemerintah terhadap Bahan Bakar Minyak selama periode tahun
1980-2010.
Fluktuasi harga minyak dunia mempengaruhi tingkat inflasi. Peningkatan
maupun penurunan harga minyak dunia akan mempengaruhi tingkat harga barang
dan jasa. Ketika harga minyak befluktuasi maka akan mempengaruhi fungsi
produksi karena minyak merupakan sumber energi yang digunakan selama proses
produksi. Pada saaat harga minyak meningkat, produsen akan meresponnya
dengan mengurangi kuantitas produksinya. Jumlah supply output yang berkurang
Indonesia sebagai net importir memiliki ketergantungan yang besar
terhadap penggunaan minyak dan produk turunannya. Penggunaan minyak yang
besar tersebut dikarenakan tingginnya konsumsi masyarakat akan minyak.
Penggunaan minyak besar sebagain sumber energi dan konsumsi langsung oleh
masyarakat.Dampak yang di berikan oleh fluktuasi harga minyak dunia baik
dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap variabel-variabel
makroekonomi dan subsidi Bahan Bakar Minyak sanagt membutuhkan kebijakan
pemerintah yang tepat untuk menghindari ketidakstabilan ekonomi dan sosial di
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data kuartalan. Periode waktu penelitian ini dimulai dari kuartal pertama
tahun 1980 hingga kuartal keempat tahun 2010.
Tabel 3.1 Variabel, Notasi, dan Sumber Data
Variabel Notasi Satuan Sumber Data
Consumer Price Index
INFLASI Indeks International Financial Statistics IMF
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Vector Autoregression (VAR) yang dilanjutkan dengan metode Vector Error
Correction Model (VECM). Penggunaan persamaan VAR memudahkan
pemecahan masalah dalam perekonomian karena kemampuannya dalam deskripsi
data, peramalaan, infrensi struktural, dan analisis kebijakan. Spesifikasi dalam
penggunaan metode VAR ini variabel yang akan diestimasi harus bersifat
untuk menghindari masalah regresi palsu atau sporious regression ketika variabel
yang bersifat tidak stasioner diregresikan.
Penelitian ini menggunakan metode VAR untuk mengetahui pengaruh dari
fluktuasi harga minyak terhadap variabel-variabel makroekonomi seperti tingkat
inflasi, pertumbuhan ekonomi, tukar mata uang serta mengetahui dampak
fluktuasi harga minyak terhadap kebijakan fiskal berupa subsidi terhadap bahan
bakar minyak di Indonesia. Disamping itu, metode VAR-VECM ini juga
digunakan untuk menganalisi respon variabel-variabel tersebut terhadap harga
minyak dalam jangka panjang.
3.2.1 Metode Vector Autoregression (VAR)
Model VAR ini pertama kali dikembangkan oleh Sims (1980) yang
kemudian menjadi dasar bagi munculnya metode kointegrasi Johansen (1989).
Menurut Pasaribu (2005) metode VAR sangat berguna dalam menentukan tingkat
eksogenitas suatu variabel ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi di mana terjadi
saling ketergantungan antar variabel dalam ekonomi. Metode ini sangat baik
dalam menjelaskan perilaku variabel dalam perekonomian.
Model VAR secara matematis dapat diwakili oleh:
(3.1)
dimana Zt adalah vektor dari variabel-variabel yang dijelaskan sebanyak n, Xt
dalamnya konstanta (intercept). A1, ... , An, dan B adalah matriks-matriks
koefisien yang akan diestimasi, dan t adalah vektor dari residual. Zt-1 merupakan
vektor dari variabel yang eksogen pada periode sebelumnya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa variabel endogen dipengaruhi oleh variabel itu sendiri dari
periode waktu sebelumnya atau yang dikenal sebagai kondisi random walk.
Selain spesifikasi metode VAR harus meliputi pemilihan variabel yang
stasioner, model ini juga harus memiliki pemilihan selang yang optimal. Sesuai
dengan metodologi Sims (1980) variabel yang digunakan dalam persamaan VAR
dipilih berdasarkan model ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal
kemudian akan memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Information
Criteria (AIC), Schwarz Criteria (SC) yang paling minimum, serta informasi dari
Hannan-Quinn Information (HQ) (Arsana, 2006)
Menurut Amisano dan Gianini dalam Apriani (2007), menyebutkan bahwa
metode VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model
persamaan simultan yaitu :
a. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan pada
agregasi dari model keseimbangan parsial.
b. Struktur dinamis pada model sering kali dispesifikasikan dengan tujuan
untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan
identifikasi dari bentuk struktural.
Gujarati (2003) menyatakan semua variabel dalam persamaan simultan
harus diperlakukan sama sehingga tidak ada pembatasan antara variabel endogen
justifikasi terhadap variabel yang akan menjadi variabel endogen atau variabel
eksogen berdasarkan pertimbangn dari peneliti, namun dengan pendekatan VAR
berusaha membiarkan data tersebut berbicara (“let the data speak for themselves”)
dengan membuat semua variabel berpotensi menjadi variabel endogen.
Model VAR memiliki beberapa keunggulan yakni: (1) memiliki metode
yang sederhana, karena tidak perlu menjustifikasi variabel yang menjadi variabel
endogen atau variabel eksogennya. (2) estimasi yang sederhana karena metode
OLS dapat diaplikasikan dalam persamaan. (3) Peramalan dengan menggunakan
model VAR dibeberapa kasus lebih baik dibandingkan dengan persamaan
simultan yang lebih kompleks (Gujarati, 2003)
Selain memiliki beberapa keunggulan, Model VAR juga memiliki
beberapa kelemahan (Gujarati, 2003) yakni:
a. Tidak seperti persamaan simultan, metode VAR bersifat sangat teoritik
karena sedikit informasi yang tersedia.
b. Karena berfokus pada peramalan, sehingga metode VAR kurang cocok
untuk menganalisis suatu kebijakan.
c. Tantangan terbesar dalam metode VAR adalah menentukan panjang lag
yang optimal. Proses estimasi untuk ukuran sampel yang besar akan
mengurangi derajat bebasnya.
d. Dalam kenyataannya data dalam level sering tidak stasioner, sehingga
memiliki kesulitan dalam mentransformasi data.
e. Koefisien yang diestimasi dalam VAR terkadang sulit untuk
3.2.1.1 Model Penelitian
Hsio dalam Apriani (2007) memberikan contoh gambaran definisi
hubungan kausalitas antara tida contoh variabel (X,Y,Z). Berikut adalah susunan
hubungan antar variabel yang dimasukkan dalam bentuk matriks untuk
mempermudah analisis dan intrepretasi hubungan antar variabel yang akan
diestimasi.
= + (3.2)
Dalam penelitian Hsio ini terdapat asumsi yang harus dipenui agar hubungan
antar variabel dapat terdefinisi secara jelas, yakni :
1. Bila variabel X tidak mempengaruhi Z, syaratnya adalah = 0.
2. Bila variabel X mempengaruhi Z, syaratnya = 0.
3. Hubungan timbal balik antar variabel X dan Z, jika dan 0.
4. Hubungan tidak langsung dari variabel X dan Z melalui Y, syaratnya
= 0 ; 0 ; 0.
5. Hubungan semu jenis I dari variabel X terhadap variabel Z jika dan hanya jika
terdapat kondisi = 0 ; 0, untuk semua jenis lag.
6. Hubungan semu jenis II dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika terdapat
kondisi :
= 0 ; = 0, untuk semua panjang lag k dan 0 ; 0 untuk semua
Dalam penelitian ini bertujuan mengetahui dampak dari fluktuasi harga
minyak dunia terhadap variabel makroekonomi seperti tingkat inflasi, tingkat
pertumbuhan output nasional, tingkat suku bunga, nilai tukar rill mata uang rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat, dan kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak di
Indonesia selama periode 1980 hingga tahn 2010. Pembahasan dalam penelitian
ini hanya melihat dampak dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel
makroekonomi dan bukan sebaliknya. Model yang dipakai dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
= +
3.2.2 Metode Vector Error Correction Model (VECM)
VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi maksudnya adalah
suatu persamaan yang bentuk datanya tidak stasioner, padahal dalam model ini
data baru bisa diestimasi jika bersifat stasioner masih dapat diestimasi karena
memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka
panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hibungan
kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan data jangka pendeknya yang
dinamis.
3.2.3 Tahapan Pembentukan Sistem Persamaan
Menurut Gujarati (2003), data yang stasioner akan mempunyai
kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi disekitar nilai
rata-ratanya. Data time series pada umumnya mengandung akar unit (unit root)
dan nilai rata-rata serta variansnya berubah sepanjang waktu. Nilai yang
mengandung unit root atau tidak stasioner, apabila dimasukan dalam perhitungan
statistik pada model regresi sederhana, maka kemungkinan besar estimasi akan
gagal mencapai nilai yang sebenarnya atau disebut sebagai spourious estimation.
Untuk menguji ada atau tidaknya akar unit pada data yang di gunakan,
dalam penelitian ini digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Menurut
Gujarati (2003), uji stasioneritas data dengan menggunakan uji Dickey-Fuller,
dimulai dari sebuah proses autoregresi orde pertama. Jika hasil pengujian
menyatakan bahwa data bersifat stasioner, maka dapat langsung menggunakan
metode VAR. Tetapi jika data ternyata tidak stasioner pada orde pertama maka
data tersebut harus diubah dahulu kedalam berntuk diferensialnya atau
menngunakan metode VECM karena adanya indikasi memiliki sifat kointegrasi
dalam data yang tidak stasioner.
2. Penentuan Lag Optimal
Dalam menentukan lag optimal dapat dilakukan dengan 3 tahapan
pengujian yakni:
a. Melihat lag maksimum dari sistem VAR yang membuat stabil saaat
diestimasi. Stabilitasnya dapat dilihat dari nilai invers roots karakteristik
seluruh rootsnya memiliki modulus yang lebih kecil dari satu dan
semuanya terletak di dalam unit circle.
b. Melihat panjang lag optimal dengan melihat kriteria informasi yang
tersedia menurut Likelihood Ratio (LR), Final prediction Error (FPE),
Akaikke Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion
(SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ)
c. Melihat panjang lag optimal dengan memperbandingkan nilai adjusted R
square dari variabel-variabel penting dalam persamaan VAR tersebut.
Lag optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan lag tertentu yang
menghasilkan nilai adjusted R square terbesar pada variabel-variabel
penting dalam persamaan.
3. Uji stabilitas model VAR
Penilaian stabilitas model VAR dilihat dari nilai akar-akar dari
karakteristik AR polinomialnya atau yang dikenal dengan roots of characteristic
polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit
circle atau jika nilai absolutnya kurang dari 1 maka model VAR tersebut dianggap
stabil sehingga analisis IRF (Impulse Response Function) dan FEVD (Forecast
Error Variance Decomposition) dapat dilakukan selanjutnya.
4. Pengujian Hubungan Kointegrasi
Konsep kointegrasi pertama kali di kemukakan oleh Johansen pada tahun
1988. Konsep kointegrasi ini menjelaskan bahwa dari kombinasi linear dari
beberapa variabel yang memiliki akar unit atau bersifat tidak stasioner akan
untuk mengetahui variabel yang tidak stasioner terkointegrasi dalam jangka
panjang. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan
dapat diinterpetasi sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara
variabel. Persamaan matematis dari uji kointegrasi Johansen ini adalah:
(3.2)
5. Uji Granger Kausalitas
Uji Granger kausalitas berguna untuk mengetahui hubungan sebab akibat
diantara variabel yang digunakan dalam model yang akan diestimasi. Hubungan
sebab akibat ini dapat dilihat dengan membandingkan probabilitas dengan nilai
kritis yang digunakan. Pada penelitian ini probabilitas yang digunakan adalah
lima persen untuk setiap variabel, sehingga hasil pengujian kausalitas Granger
dengan nilai probabilitas kurang dari 0,05 dikatakan memiliki hubungan sebab
akibat.
3.2.4 Impulse Response Function (IRF)
Impulse Response Function menunjukkan bagaimana suatu variabel
endogen bereaksi terhadap guncangan dalam variabel itu sendiri dan variabel
endogen lainnya. IRF mengukur pengaruh dari guncangan pada waktu tersebut
dan pengaruhnya di masa yang akan datang.
3.2.5 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Enders (2004) menyatakan bahwa forecast error variance decomposition
oleh guncangan dari variabel itu sendiri dan membandingkan dengan pergerakan
yang dialami oleh variabel yang lain dalam suatu persamaan
Berbeda dengan dengan Impulse Raspons Function, Forecast Error
Variance Decomposition menunjukkan bagaiman perubahan dalam suatu variabel
yang ditunjukkan oleh perubahan error variance. Metode ini menunjukkan
struktur yang dinamis dalam model VAR. Dimana dalam metode ini dapat
diketahui kelemahan dan kekuatan masing-masing variabel dalam mempengaruhi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Pra Estimasi
4.1.1 Uji Kestasioneritasan Data
Sebelum mengestimasi variabel dengan data time series dan menggunakan
metode Vector Auto Regressive (VAR) perlu melakukan uji stasioneritas. Uji
stasioneritas diperlukan untuk mengalisis ada atau tidaknya unit root yang
terkandung dalam variabel yang akan diestimasi. Apabila variabel yang akan
diestimasi memiliki unit root akan menghasilkan regresi palsu atau spurious
regression. Spurious regression mengindikasikan persamaan seolah-olah variabel
memiliki hubungan, tetapi sesungguhnya hubungan antar variabel bersifat tidak
valid.
Uji stasioneritas dilakukan kepada setiap variabel yang akan diestimasi
hubungannya. Untuk melihat ada atau tidaknya unit root dapt menggunakan
metode Augmented Dicky Fuller dan atau Philip Perron test. Ketasioneritasan
suatu variabel dapat dilihat dengan membandingkan nilai stasistik Augmented
Dicky Fuller dengan nilai kritis Mc Kinnon. Apabila nilai statistik Augmented
Dicky Fuller lebih kecil daripada nilai kritis Mc Kinnon maka variabel tersebut
dinyatakan stasioner. Dalam metode Augmented Dicky Fuller memiliki hipotesis:
H0: µ=0 (data mengandung unit root sehingga tidak stasioner)
Hasil pengujian akar unit seperti terlihat dalam Tabel 4.1 memperlihatkan
bahwa seluruh variabel yang akan diestimasi pada tingkat level yakni : nilai tukar,
tingkat pertumbuhan output nasional atau GDP, suku bunga, harga minyak,
subsidi minyak dan inflasi tidak stasioner. Seluruh variabel dinyatakan tidak
stasioner pada level karena memiliki nilai statistik Augmented Dicky-Fuller yang
lebih besar daripada nilai kritis Mc Kinnon. Sedangkan pengujian akar unit dalam
tingkat first difference semua variabel yang akan diestimasi tidak mengandung
akar unit sehingga bersifat stasioner. Seluruh variabel dinyatakan karena memiliki
nilai statistik Augmented Dicky-Fuller yang lebih kecil daripada nilai kritis Mc
Kinnon.
Tabel 4.1 Hasil Uji Stasioneritas
Variable Level First Difference
Nilai ADF Keterangan Nilai ADF Keterangan
ER
Setelah melakukan uji kestasioneritasan data tahapan selanjutnya adalah
menentukkan lag optimal yang akan digunakan dalam variabel yang akan
oleh Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaikke Information
Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ).
Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada informasi dari
Criterion (SC) dengan lag yang paling minimum sehingga lag optimal VAR untuk
model dalam penelitian ini yaitu pada lag satu.
Pemilihan lag satu sebagai lag optimum dalam penelitian ini bedasarkan
perbandingan nilai adjusted R-square dari variabel-variabel yang diestimasi
dalam persamaan yakni tingkat pertumbuhan output nasional, tingkat inflasi,
tingkat suku bunga, nilai tukar, harga minyak dunia, dan subsidi Bahan Bakar
Minyak. Lag satu dipilih dari sistem VAR yang menghasilkan nilai adjusted R
square terbesar pada variabel-variabel penting dalam persamaan yakni sebesar 99
persen. Artinya bahwa model mampu menjelaskan hubungan antar variabel dalam
persamaan dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen, sementara sisanya
dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan.
Tabel 4.2 Hasil Uji Lag Optimal
Lag AIC SC HQ
Model VAR dinyatakan stabil apabalila dalam penentuan lag optimum
yang lebih kecil dari satu. Setelah uji kestabilan VAR maka dapat dilakukan
estimasi terhadap VECM. Dalam penelitian ini model VAR bersifat stabil seperti
yang ditunjukan oleh Tabel 4.3
Tabel 4.3 Hasil Uji Stabilitas VAR
Root Modulus
Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui hubungan jangka panjang
antar variabel yang akan dianalisis. Syarat semua variabel agar diketahui
hubungan jangka panjangnya adalah harus stasioner pada derajat yang sama.
Dalam penelitian ini seluruh variabel sudah stasioner pada derajat first difference
sehingga dapat diketahui hubungan jangka panjangnya. Pengujian ini dilakukan
dengan menggunakan test Johansen’s Trace Statistic dengan panjang lag
optimum satu.
Tabel 4.4 Hasil Uji Kointegrasi Johansen
Hypothesized No. Of CE
(s)
Eigenvalue Trace Statistic 0,05 Critical Value
Probability
None* 0,559827 200,2129 95,75366 0,0000
At most 1* 0,343122 100,1014 69,81889 0,0000
At most 2* 0,144932 48,82996 47,85613 0,0404
Sumber : Lampiran 4
Uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen Cointegration Test ini
untuk mengetahui jumlah persamaan kointegrasi yang terdapat dalam sistem.
Hipotesis dalam metode Johansen Cointegration Test adalah:
H0 : sistem tidak memiliki persamaan kointegrasi
H1: sistem memiliki persamaan kointegrasi
Apabila Hasil Johansen Cointegration Test menunjukkan bahwa nilai
Trace Statistic memiliki nilai yang lebih besar daripada Critical Valuenya maka
H0 dapat ditolak yang berarti sistem memiliki persamaan kointegrasi. Menurut
hasil estimasi pada Tabel 4.4 terdapat tiga persamaaan yang memiliki persamaan
kointegrasi, sehingga terdapat tiga persamaan dalam sistem yang memiliki
hubungan jangka panjang, dan berdasarkan ketiga persamaan inilah maka model
Vector Error Cointegration Model (VECM) yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
4.1.5 Uji Kausalitas Granger
Uji kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui hubungan kausalitas
antara variabel dalam model yang akan diestimasi. Uji kausalitas Granger
memiliki hipotesis yakni :
H0 adalah tidak adanya hubungan kausalitas
H1 adalah adanya hubungan kausalitas.
Apabila nilai probalitiasnya lebih kecil dari critical value maka H0 ditolak yang
probabilitasnya lebih besar dari critical value berarti tidak terdapat hubungan
kausalitas antara variabel tersebut.
Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger
Variabel Subsidi GDP Harga
Catatan : * (memiliki hubungan kausalitas), **(tidak memiliki hubungan kausalitas)
Pada Tabel 4.5 terlihat beberapa variabel yang menyebabkan variabel yang
lain. Variabel tersebut memiliki nilai probabilitas yang lebih kecil dari Critical
Value lima persen sehingga dinyatakan memiliki hubungan kausalitas. Dalam hasil
pengujian diatas terdapat tujuh belas hubungan satu arah antara variabel dan juga
terdapat tiga hubungan kausalitas dua arah antara variabel di dalam sistem yakin
inflasi menyebabkan subsidi dan sebaliknya subsidi menyebabkan inflasi.
Dilanjutkan dengan inflasi yang menyebabkan GDP dan begitu pula sebaliknya
GDP menyebabkan inflasi. Kemudian inflasi yang menyebabkan suku bunga dan
suku bunga juga menyebabkan inflasi.
4.2 Hasil Estimasi Vector Error Correction
Setelah melakukan serangkaian uji terhadap variabel yang dimulai dengan
uji kestasioneritasan data, uji penentuan lag optimal, uji kointegrasi Johansen, dan
Error Correction pada model mengingat hasil dari uji kointegrasi Johansen
menyatakan bahwa terdapat persamaan kointegrasi yang mengindikasikan adanya
keseimbangan jangka panjang. VECM merupakan model yang mampu melihat
keseimbangan jangka panjang dari sistem. Untuk model yang tidak terkointegrasi
tidak dapat dilihat keseimbangan jangka panjang melainkan hanya mampu dilihat
hubungan keseimbangan jangka pendek dengan menggunakan VAR pada tingkat
first difference.
4.2.1 Estimasi Vector Error Correction untuk GDP
Pada estimasi VECM yang pertama variabel GDP menjadi variabel yang
diamati sedangkan variabel yang lain sebagai variabel penjelasnya. Pada jangka
pendek variabel subsidi mempengaruhi GDP secara signifikan. Terdapat
hubungan positif antara variabel subsidi dan GDP dalam jangka pendek. Dalam
jangka pendek juga ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara GDP
dengan inflasi dan subsidi secara signifikan.