• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Masyarakat Muslim Indonesia Terhadap Kebijakan Jepang

BAB III KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP PENDIDIKAN KAUM

A. Respon Masyarakat Muslim Indonesia Terhadap Kebijakan Jepang

Respon masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat Jepang dalam bidang pendidikan beraneka ragam. Pada awal pendudukan Jepang, banyak orang tua yang mulai menyekolahkan anak-anak mereka, hal ini karena Jepang telah menghapuskan kebijakan pendidikan yang diskriminasi pada masa Belanda. Tidak hanya anak laki-laki dan gadis usia sekolah, tetapi orang dewasa juga bersekolah sewaktu pendudukan Jepang. Namun menjelang akhir pendudukan, kegembiraan dan minat terhadap pendidikan harus dihentikan akibat tekanan ekonomi. Para pelajar banyak yang dikeluarkan dari sekolah karena harus membantu orang tua mereka untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja akibat penekanan romusha

serta berbagai program latihan.1 Hal ini terjadi karena Jepang membutuhkan banyak tenaga untuk membantunya dalam melawan sekutu.

Meskipun para ulama banyak yang mengikuti Pelatihan Ulama, tetapi tidak semua para ulama menerima begitu saja kebijakan yang diberikan oleh pemerintah Jepang, karena kebijakan Jepang telah menyengsarakan rakyat. Seperti yang terjadi pada bulan Februari 1944, perlawanan serius pertama kaum tani di Jawa terhadap kewajiban menyerahkan beras meletus di sebuah desa di Priangan. Perlawanan ini dipimpin oleh seorang kiai NU (Nahdlatul Ulama) setempat bersama murid-muridnya, namun berhasil ditumpas dengan kejam. Pemberontakan-pemberokan selanjutnya dipimpin oleh para haji setempat, yang

1

Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945,

meletus di Jawa Barat pada bulan Mei dan Agustus, sejak saat itu dan seterusnya protes-protes kaum tani yang terisolasi menjadi semakin umum.2

Kondisi rakyat di desa-desa selama masa-masa pendudukan sangat buruk, sehingga rakyak hanya makan singkong yang dijadikan bubur sebagai pengganti beras. Selain itu banyak orang terpaksa makan umbi badur yang mula-mula harus dipotong tipis-tipis dan direndam garam buat menghilangkan getahnya yang beracun. Bonggol pisang juga dimasak untuk dimakan, dan juga daun kelapa yang disebut “bulung”.3

Rakyat Indonesia yang menjadi romusha sama sekali tidak dibayar atau dibayar jauh lebih kecil dari pada kontrak. Dan banyak para romusha yang meninggal karena kekejaman Jepang. Kesehatan yang tidak dijamin, makanan yang tidak cukup, dan pekerjaan yang terlalu berat, menyebabkan banyak

romusha meninggal dalam jumlah yang besar dalam tempat kerja.4 Hal ini yang menyebabkan mereka kekuranag gizi.

Namun para alim ulama tidak dapat berbuat banyak terutama alim ulama yang menjadi pegawai Sumuka karena mereka tidak pernah diberikan kekuasaan pemerintah yang sesungguhnya, tetapi hanya sekedar kegiatan propaganda, status mereka lebih kurang seperti pegawai teknis dikantor pemerintahan lainnya. Mereka tidak memiliki kekuatan pengambilan keputusan tetapi semata-mata hanya menjalankan program, yang sebelumnya telah diatur. Meskipun ulama diberikan status sebagai pegawai resmi pemerintah di Shumuka, mereka duduk

2

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001) h. 420.

3

Anton E Lucas, Peristiwa Tiga Daerah Revolusi dalam Revolusi, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1989) h. 51.

4

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI :Zaman Jepang dan Republik Indonsia (1942-1998) edisi pemutakhiran, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2011) h. 65.

diposisi agak pinggiran didalam struktur birokrasi. Dengan melihat kecendrungan umum birokrasi Jepang untuk mengabaikan pegawai non karir mudah dipahami bahwa pegawai ulama tidak bisa benar-benar dipercaya. Alim ulama tidak pernah bebas dari kontrol pangreh praja di dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Saat berpidato ulama selalu didampingi seorang pegawai priyai, selain itu tema-tema pidato ulama ditentukan oleh pemerintah.5

Harapan baik bangsa Indonesia kepada Jepang seketika berubah menjadi kekecewaan yang besar. Apa yang dikatakan Jepang terhadap “kemakmuran bersama Asia Timur raya” terbukti hanya kata-kata kosong belaka.6

Alim ulama juga tidak begitu saja menerima kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, seperti kebijakan melakukan Seikerei, mereka menentang kebijakan tersebut karena bertentangan dengan Islam. beberapa tokoh yang menetang kebijakan tersebut ialah Dr. Abdul Karim Amrullah, Kiai Mas Mansur, dan Abdul Kahar Muzakkir. Akhirnya pemerintah Jepang membebaskan alim ulama untuk melakukan seikerei

selama pertemuan-pertemuan agama.7

Para pemuda yang berpendidikan di Jakarta maupun di Bandung, mulai menggalang jaringan-jaringan bawah tanah mereka sendiri. Dibawah pimpinan Syahrir, mereka mulai menyusun rencana-rencana untuk merebut kemerdekaan Indonesia karena mereka tahu posisi Jepang dalam perang memburuk.8 Oleh karena itu mereka memanfaatkan situasi tersebut untuk mempersatukan rakyat Indonesia dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

5

Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa h. 364. 6

Sutrisno Kutoyo, dkk (edt), Sejarah Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: PT. CV. Eka Darma, 1997) h. 300.

7

Harry J. Benda, Bulan Sabit Dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang(terjemah), (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya, 1980) h. 157.

8

Mobilisasi pemuda dalam latihan-latihan semi militer dan kemiliteran, telah membawa perubahan-perubahan besar dalam mentalitas pemuda. Semangat juang, latihan keras, kondisi dan keadaan masyarakat yang buruk, serta pengalaman-pengalaman kolektif, mengarahkan kaum muda kepada pembelaan terhadap rakyat. Satu contoh ialah perlawanan Peta di Blitar yang dipimpin oleh Supriyadi, telah menunnjukkan ketidak puasan mereka terhadap realitas sosial yang terjadi.9

Sebagian ulama juga ada yang melakukan pemberontakan terhadap Jepang karena sikap semena-mena yang dilakukan Jepang terhadap rakyat Indonesia, seperti pemberontakan yang terjadi di Cot Plieng Bayu, dekat Lhok Seumawe yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, selama setengah hari, Jepang berhadapan dengan murid-murid Abdul Jalil yang hanya bersenjatakan tradisional. Keberhasilan Jepang menguasai Cot Plieng diikuti oleh tindakan mereka yang membakar masjid dan rumah-rumah penduduk serta menewaskan 86 orang murid Abdul Djalil. Dan Abdul Jalilpun tewas bersama 19 pengikutnya di Blang Gampung Tengah tempat Abdul Jalil dan pengikutnya menyinkir. Perlawanan juga terjadi di Singaparna desa Sukamanah, dekat Tasikmalaya yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Mustafa pada bulan Februari 1944. Ia menganggap Jepang musuh bangsanya karena itu mereka tidak mau bekerja sama dengan penguasa itu.10

9

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995) h. 197.

10

Dokumen terkait