• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V: Bab penutup dari berbagai sub bab yang terdapat dalam penyusunan skripsi ini merangkum seluruh kesimpulan dan

Berita 1: Teks Berita Republika Edisi 20 Juli 2015 Seret Pelaku ke Pengadilan

4. RETORIS a. Leksikon

Tabel 3.12

Leksikon Kompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015

Unsur diamati Kompas Republika

Kata/ Frasa Langkah hukum tegas perlu diambil

Seret pelaku ke pengadilan

Puluhan bangunan kios temasuk mushala terbakar

Kompas menggunakanan kalimat “langkah hukum tegas perlu diambil”.Kata “Langkah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat pula diartikan sebagai tindakan, jadi Kompas ingin menggambarkan bahwasaanya para pelaku insiden Tolikara perlu ditindak dengan hukum yang tegas. Sedangkan Republika menggunakan kalimat judul “seret pelaku ke pengadilan”. Kata “seret” memiliki arti menarik dengan paksa, dalam hal ini Republika menyatakan pelaku inisden tolikara harus dibawa ke pengadilan.

Kompas menggunakan kata terbakar sedangkan Republika menggunakan kata pembakaran.Kedua kata tersebut berasal dari kata bakar yang memiliki arti menghanguskan.Namun kedua kata ini diberi imbuhan. Jika imbuhan termaka memiliki arti sudah atau sedang berkobar atau habis dihanguskan api. Sedangkan jika kata “bakar” diberi imbuhan pe-an, maka pembakaran memiliki arti proses, cara, perbuatan membakar. kata pembakaran yang digunakan Republika menggambarkan sebuah proses atau perbuatan pembakaran, secara tidak langsung kata pembakaran ini hendak menunjukan bahwa pembakaran tersebut dilakukan oleh subjek pembakar. Dengan demikian, Republika mencoba menekankan bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa pembakaran masjid yang sengaja dibakar.

Selanjutnya, Kompas menggunakan kata mushala sedangkan Republika menggunakan kata masjid. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yakni sebagai tempat ibadah umat muslim. Namun dalam kamus bahasa Indonesia, kata musala memiliki arti bangunan tempat salat yang

lebih kecil dari pada masjid.98Dengan demikian Kompas mencoba menyampaikan kepada pembaca bahwa yang terbakar ialah tempat ibadah yang memiliki ukuran lebih kecil. Sedangkan, Republika ingin menyampaikan sebalikya, yang terbakar ialah tempat ibadah yang besar.

Terkait perbedaan penggunaan frasa tersebut, pihak Kompas memberikan keterangan sebagai berikut:99

“Terkait kata mushala. setau saya, saya meyakini itu mushala. Kita ada teman di lapangan dan kita mengikuti data resmi juga. Jadi kita mengikuti jika ada pejabat atau otoritas pemerintah setempat menyebutkan mushala maka kita ikuti itu. Kita yakini itu mushala bukan masjid.”

“Kayanya kalau saya tidak salah, Kompas awalnya juga berasumsi dibakar, wartawan kami dilapangan awalnya mendapatkan data musolah itu dibakar. Namun, setelah tahu kronologis sebenarnya maka kami ganti menjadi terbakar.Tapi kronologi sebenarnya bahwa itu terbakar bukan dibakar ya, wartawan kita juga mengecek. Jadi ricuh dulu kemudian terjadi pembakaran pada kios-kios, sedangkan mushala ada dalam lingkungan kios tersebut, sehingga apinya merembet. Faktanya yang kita yakini itu merembet bukan dibakar.”

Begitupun dengan Republika terkait pemilihan diksi tersebut. Pihak Republika menyatakan:100

“Tergantung siapa yang bicara. Kalau orang-orang islam di sana

menyebutnya itu masjid. Di sana ada tulisan dari plang yang selamat dari pembakaran kita lihat itu ada tulisannya masjid. Kita punya foto plangnya, itu bertuliskan masjid Baitul Muttaqin. Sebenarnya tergantung siapa ynag bicara, kalau ada kutipan itu musolah maka kebawahnya kita ngikutin itu musolah. Tapi reporter kami yang disana melihat itu masjid. Jadi kita menggunakan keduanya.”

98

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Moderen English Press, 2002), cet. Ke-III, h. 1012.

99

Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas, Jakarta 28 Desember 2015.

100

Wawancara dengan Fitriyan Zamzami, Redaktur Halaman Utama Republika, Jakarta 12 Januari 2016.

“Tentu berbeda sekali makna kata „terbakar‟ dan „dibakar‟. Ditengah-tengah, kalau ada kata ditengah terbakar dan dibakar itu lah yang sebenarnya atau kata yang paling tepat untuk mewakili kejaian yang sebenarnya. Karena itu kalau dibilang terbakar itu bukan terbakar tanpa sebab, itu terbakar karena memang ada pembakaran yang dilakukan terlebih dahulu. Jadi kan dalam artian dibakar. Tapi kalau menggunakan kata dibakar, masjid itu bukan sasaran utama, sasaran utamanya ialah kios, itulah ekses dari pembakaran kios. Ini kasusunya membingungkan antara dibakar atau terbakar. Tapi dilapangan kedua kata tersebut kurang tepat. Terus terang kami tidak punya kerangka pikiran kenapa kita memakai terbakar dan dibakar. Karena kejadiannya unik. Kita tidak bisa mengklaim. Jadi kita menggunakan kedua-duanya. Kalau misalnya karena listrik itu terbakar. Tapi kalau ini kan ada pelaku pembakarannya.”

b. Grafis

Tabel 3.13

Grafis Kompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015

Unsur diamati Kompas Republika

Foto, pemakaian huruf tebal dan unkuran huruf lebih besar

Kalimat judul dicetak dengan ukuran besar dan diberi ketebalan

Kalimat judul dicetak dengan ukuran besar dan diberi ketebalan.

Di bawah judul terdapat kalimat “Kapolri berjanji mengejar aktor intelektual penyebar surat larangan shalat Id” yang diberikan ketebalan Di samping kiri sejajar dengan teks berita terdapat foto Direktur Jenderal Bimas Kristen Kementrian Agama Oditha R Hutabarat dan Kepala Bagian Humas PGI Jeirry Sumampow yang memberikan keterangan permintaan maaf atas peristiwa yang melukai umat Islam tersebut. Terdapat caption di bawah foto, didahului oleh kata “Minta Maaf” yang dicetak tebal.

Dari segi grafis, Republika mencoba memberikan penekana dengan membubuhkan pernyataan Kapolri—“Kapolri berjanji mengejar aktor intelektual penyebar surat larangan shalat Id” setelah judul dan diberi ketebalan yang berbeda dari isi teks berita. Penggunaan huruf tebal serta peletakan posisi setelah judul ini merupakan bagian yang sengaja dibuat mencolok, karena ini untuk mendukung arti penting suatu pesan bahwasannya tedapat okum yang memang meyebarkan surat larangan shalat Ied kepada umat Muslim, bahkan pernyataan ini sengaja dibuat dengan kalimat pernyataan janji Kapolri untuk mencari oknum tersebut.

Disamping itu, penggunaan foto pada Republika dimana terdapat foto Direktur Jenderal Bimas Kristen Kementrian Agama Oditha R Hutabarat dan Kepala Bagian Humas PGI Jeirry Sumampow dengan caption permintaan maaf atas peristiwa yang melukai umat Islam. Caption di bawah foto, didahului oleh kata “Minta Maaf” yang dicetak tebal. Kata maaf yang dicetak tebal untuk mendukung arti penting suatu pesan, selain itu untuk menarik perhatian pembaca agar berpusat pada kata tersebut. Republika ingin menekankan bahwasannya tokoh-tokoh umat kristiani meminta maaf atas kesalahan umat kristiani di Tolikara yang telah menyebabkan kerusuhan yang berujung pada terbakarnya rumah ibadah umat muslim.

Berita 2: Teks Berita KompasEdisi 21 Juli 2015

Dokumen terkait