• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SITUASI POLITIK PASCA KEMERDEKAAN DI KOTA MEDAN

3.3 Pergolakan Pasca Kemerdekaan

3.3.5 Revolusi Sosial

Pada saat itu juga Inggris melakukan timbang terima atas pos-pos pertahanannya. Pengambil alihan tersebut dibarengi dengan serah terima persenjataan. Tiga hari kemudian, Inggris meninggakan Indonesia, sejak saat itu rakyat Indonesia langsung berhadapan dengan Belanda.

Akhir tahun 1946, dalam tubuh RLRMA sudah mulai retak. Dalam menghadapi Belanda saat melancarkan serangan terhadap Republik, perpecahan dalam RLRMA semakin kelihatan sehingga tanggal 7-9 Januari 1947 ada kesepakatan untuk membubarkan RLRMA dan sebagai gantinya dibentuk Komando Medan Area (KMA).

Saat Belanda menjajah Indonesia, bangsa ini memperkenalkan konsesi tanah. Maka sultan berperan untuk mengutip pajak dari masyarakat dan mereka akan mendapat imbalan besar dari Belanda. Semakin banyak pajak yang diperoleh dari rakyat semakin besar pula imbalannya. Raja yang menikmati ketenangan hidup semakin memperdalam jurang pemisah dengan rakyat jelata yang menderita dibawah penjajahan Belanda. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda tahun 1942 di Sumatera Timur, banyak

21

Nas Sebayang, Medan Kota Pejuang, Medan: Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Kodya Medan, 1995, hlm. 58.

terdapat daerah yang telah berdiri sendiri, berkuasa penuh atas tanah dan isinya secara mutlak dan turun temurun22

Sewaktu meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur, pergolakan terjadi dan keluarga sultan ada yang ditawan bahkan ada yang dibunuh sementara hartanya dijarah. Revolusi di Kesultanan Deli berlangsung aman

. Daerah yang dimaksud dikuasai oleh sultan. Masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, mereka mengharapkan datangnya kembali Belanda sehingga kaum feodal kurang berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan.

Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang meletus bulan Maret 1946 karena kaum feodal yang tidak mau bergabung dengan kaum revolusioner, bahkan mereka menciptakan lingkungannya sendiri dengan mengikuti gaya hidup orang-orang Eropa yang eksklusif dan tidak mau berintegrasi dengan pergerakan nasional yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya dilakukan di Medan. Disamping itu mereka mendapat perlakuan istimewa dari sekutu, harapan sekutu dengan adanya perlakuan istimewa ini akan tercipta kecemburuan antar suku yang ada di Medan dan akan menimbulkan perpecahan.

23

22

Laiku Silangit dkk, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945”, Medan : Belum diterbitkan, hlm. 219.

23

Marcinus Hutasoit, Percikan Revolusi di Sumatera, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1986, hlm. 57.

. Revolusi yang terjadi disini tidak terlalu kejam dibanding ditempat lain karena

anggota PADI dan benteng pertahanan pasuka Inggris di Medan cukup kuat untuk melindungi keluarga sultan dari amukan massa. Sultan Deli meminta perlindungan dari sekutu karena pada masa kolonial, hubungan antara Belanda dan Melayu cukup dekat, sehingga pada masa perang kemerdekaan mereka berharap Belanda bisa berkuasa kembali di Indonesia. Keinginan ini sangat lumrah karena dengan berkuasanya kembali Belanda, maka perlakuan istimewa yang mereka rasakan sebelumnya dapat dirasakan kembali. Usaha penyelesaian revolusi sosial tersebut tidak luput dari peranan para pemuda yang bergabung dalam organisasi-organisasi pemuda yang kuat di setiap daerah konlik seperti: Napindo, Pesindo, dll.

1. Langkat

Istana Sultan Langkat

Revolusi sosial melanda Langkat dimulai pada tanggal 4 maret 1946 dengan korban sebanyak 37 orang bangsawan. Amir Hamzah, seorang pelopor sumpah pemuda 28 oktober 1928 juga menjadi salah satu korban dalam revolusi sosial di Langkat. Tanggal 7 maret 1946, Amir Hamzah ditangkap dan diangkut dengan sebuah mobil pick-up dari istana Binjai kemudian dibawa ke perkebunan Kuala Begumit. Selanjutnya, tanggal 20 maret 1946, Amir Hamzah dipancung oleh Iyang Wijaya dengan alasan Amir Hamzah adalah seorang pengkhianat bangsa. Tanggal 6 maret, kaum republiken menangkap bangsawan- bangsawan Langkat diantaranya :

b. Tengku Ibrahim gelar Tengku Maharaja c. Datuk Jamil, sekretaris Sultan

d. Tengku Bagi dari Bahorok dan lain-lain.

Pada tanggal 8 maret 1946, pemuda Volksfront mengepung istana Langkat. Selanjutnya, tanggal 9 maret 1946, diputuskan aliran listrik istana. Hal ini membuat istana menjadi gelap sehingga pemuda Volksfront bebas membuat gaduh.

2. Simalungun

Revolusi sosial di Simalungun dipimpin oleh Saragih Ras. Tidak berbeda dengan daerah lain, revolusi sosial di Simalungun juga terjadi pembunuhan dan perampokan keluarga kesultanan. Raja Pane, Raja Raya, Tengku Halmet, Tengku Husin, Sutan Namora, Tengku Aziz, Tengku Nur, Wan Bachtin, Orang Kaya Syahbandar. O. K. Nur, O. K. Ahmad, O. K. Musa, Sohor, dam Tengku Anif.

3. Binjai

Di Binjai juga terjadi pemerkosaan terhadap seorang wanita Bangsawan tawanan istana yang dilakukan oleh Usman Lubis dan juga divonis hukuman mati, namun ia sempat melarikan diri ke Perkebunan Kuala Namu ( Deli Serdang ) dan disana ia dilindungi oleh pasukan Napindo. Di tahun 1949 ia mati juga karena sakit paru-paru.

Banyak korban peristiwa revolusi sosial 1946 di Binjai yang sebenarnya berjuang untuk mempertahankan Republik, tetapi mereka mengundurkan diri sewaktu pada Agresi Militer Pertama. Adapun yang menjadi korban dalam revolusi sosial di Binjai, yaitu :

1. Tengku Don, Komandan Pesindo Kanan Binjai. 2. Tengku Kamil, Wakil Komandan.

3.Tengku Taufik.

4. Tengku Dahrul, Jaksa periksa tangkapan tunjukan Volksfront.

5. Sekitar 40 orang lagi anggota pasukan dan rakyat yang ikut mengungsi ke Simalungun.

4. Kesultanan Asahan

Gerakan revolusi sosial di Asahan dipimpin oleh Harris Fadilah, Usman Manurung, Rakutta Sembiring dan lain-lain, telah melaksanakan pembunuhan masal (baik laki-laki maupun perempuan) dari kalangan bangsawan dan tokoh-tokoh Melayu sehingga mendekati korban sebanyak 400 orang. Ketua KNI Asahan, Abdullah Eteng sempat ditahan, bahkan wakil NRI di Asahan, T. Moesa ikut dibunuh.

Daerah Asahan terutma di Kota Tanjung Balai merupakan daerah yang terkena revolusi sosial 1946 paling dahsyat. Keadaan Kota Tanjung Balai pada saat itu sangat mencekam. Sasaran kaum pemuda adalah T. Moesa. T. Moesa

beserta isinya disergap pada tanggal 3 maret 1946. Dikediaman T. Moesa, setelah beliau diamankan, Volksfront dijadikan markas dan sebagai tempat pengumuman nama-nama kaum bangsawan yang akan dibunuh.

Istana Sultan Asahan

Raja Maimunah (seorang guru Sekolah Rakyat) menjahit bendera Belanda dilokasi lain dan setelah terjadinya pembunuhan para bangsawan, meletakkan bendera tersebut di rumah T. Moesa dan berteriak-teriak kepada masyarakat ramai bahwa dia menemukan bendera Belanda di rumah T. Moesa. Hal tersebut semakin membuat rakyat marah kepada kaum bangsawan dan menimbulkan opini bahwa kaum bangsawan pro Belanda.

Esok harinya tanggal 04 maret 1946 semua Aristrokat Melayu yang pria di kota Tanjung Balai ditangkap dan dibunuh. Beberapa hari kemudian

sudah ditemukan 140 mayat di kota tersebut beberapa penghulu dan pegawai didikan Belanda serta seluruh kelas “Tengku“. Anak laki-laki usia 16 tahun keatas dibunuh.

Setelah didata baru ditemukan sekitar 71 orang dari 140 orang (versi Anthony Reid, Australia) yang terbunuh dipihak keluarga Sultan, belum termasuk dari rakyat biasa. Belakangan ini baru diketahui bahwa para korban dibunuh ke Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai oleh para sanak saudara pada tanggal 11 dan 12 mei 2002. Dalam revolusi sosial di Asahan, 3 orang putera tengku Mohammad Adil meninggal, diantaranya : Tengku Moesa, Tengku Bahari, Tengku Nazar.

Sebelum peristiwa revolusi sosial ini terjadi, Kesultanan Deli telah memberitahu keluarga Asahan agar segera mengasingkan diri ke Kota Medan karena berita bahwa akan ada semacam gerakan revolusi. Tetapi pihak Asahan tidak menanggapi peringatan tersebut karena situasi di Kota Tanjung Balai biasa-biasa saja.

dr. Mansoer dan T. M. Noer selamat dari revolusi sosial dikarenakan mereka tidak berada di Kota Tanjung Balai pada waktu revousi sosial tersebut. Seandainya mereka ada disana, mereka akan dijadikan target pembunuhan. Setelah mendengar ada gerakan revolusi sosial secara serentak di Sunatera Timur, dr. Mansoer melalui seorang kurir (orang India)

memerintahkan kepada sanak saudara yang selamat agar segera mengungsi ke Kota Medan dan meninggalkan Kota Tanjung Balai pada tahun 1947.

5. Labuhan Batu

Revolusi sosial di Labuhan Batu dipimpin oleh oknum-oknum dari Pesindo dan PKI. Wakil pemerintah NRI untuk Labuhan Batu, Tengku Hasnan dibunuh bersama Sekretaris Komite Nasional Indonesia (KNI). Seluruh raja- raja Kuala, Panai, Bilah, dan Kota Pinang dibunuh didekat titi Gunting Saga di Ranto Parapat dibunuh juga Raden Sukarman dan seorang pembantunya. Di Kuala, raja dan putranya Tengku Bedarul Kamal, Tengku Harun, Tengku Sulung Yahya dibunuh. Di Bilah, pembantaian dilaksanakan atas perintah Wiryono dari PKI (kepala Kantor Pos) dan Bahrum Nahar. Sultan Bilah dan putera-puteranya Tengku Harun dan menantunya Tengku Sri Muda juga dibunuh.

Di Kota Pinang pun terjadi hal yang sama. Raja beserta putera- puteranya Tengku Abdul Hamid, Tengku Besar, Tengku Maun, dan Tengku Monel juga dibunuh. Pada tanggal 10 maret ditangkap lagi putera Sultan Bilah dan Tengku Murad. Semua korban dibunuh secara tragis. Kita komandan Divisi Tentara Republik Indonesia daerah Sumatera Timur mempermaklumkan : 1. Mulai pada hari Selasa tanggal 5 maret 1946, terhitung dari mulai pukul 12 tengah hari (Sumatera), pemerintahan Raja dari Negara Republik Indonesia

dalam daerah Sumatera Timur, diluar (terkecuali), Kota Medan, dipegang oleh Tentara Republik Indonesia Divisi Sumatera Timur.

2. Diminta kepada segenap lapisan rakyat dan penduduk, berlaku aman dan tentram dan bekerja seperti biasa.

Hingga tanggal 6 maret 1946, revolusi sosial di Sumatera Timur masih berlangsung. Wakil-wakil pemerintah Mr. Luat Siregar dan M. Junus Nasution telah memulai perjalanan berkeliling untuk mengamankan dan menyusun badan-badan pemerintahan. Pada saat itu diadakan pertemuan dengan anggota Volksfront yang ada di Medan dengan pegawai-pegawai tinggi NRI, anggota- anggota Markas Divisi TRI dan pimpinan pasukan-pasukan yang lain untuk melakukan koordinasi. Pihak sekutu dan Jepang sudah diminta supaya mereka jangan mencampurai revolusi sosial di Sumatera Timur.

Sebelumnya, tanggal 5 maret diadakan sebuah rapat antara Volksfront dengan KNI dan wakil kerajaan Lnagkat yang dihadiri oleh M. Junus Nasution. Dalam rapat tersebut diambil keputusan untuk menghapuskan daerah-daerah istimewa Langkat. Selanjutnya tanggal 7 maret, beribu-ribu rakyat berkumpul didekat Mesjid Raya Medan dan mendesak Komite Nasional wilayah Deli untuk menghapuskan wilayah istimewa Deli. Akhirnya, rapat yang dihadiri M. Junus Nasution tersebut berhasil menghapuskan wilayah istimewa Deli.

Tidak berbeda dengan yang terjadi di Langkat dan di Deli. Tepat tanggal 8 maret juga dilakukan penghapusan daerah istimewa Tanah Karo atas

kehendak rakyat. Daerah istimewa Bilah dan Panai juga ikut dihapuskan dalam revolusi sosial di Sumatera Timur.

Dokumen terkait