• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

Penggunaan sumber-sumber visual dalam bentuk fotografi (foto) pada zaman modern saat ini sangat besar manfaatnya.Dalam dunia pendidikan, fotografi sebagai dokumentasi berkembang terus baik dari teknologi maupun penerapannya.Fotografi mendapat tempat khusus sebagai pengumpulan bukti-bukti dan keterangan- keterangan mengenai suatu peristiwa melalui media foto.

Bagaimanakah fotografi bisa sahih sebagai rekaman sejarah. Setidaknya di Indonesia, dalam konteks sejarah, fotografi hanya terbermaknakan sebagai ilustrasi kata-kata yang tertulis. Pengertian catatan sejarah atau penulisan sejarah, menjadi sangat harfiah, yakni hanya yang tertulis dengan huruf-huruf saja.Foto-foto menjadi hanya ilustrasi, hanya pelengkap data-data sejarah dan lebih sering tidak diperlakukan sebagai sumber sejarah itu sendiri.

Ke depan penulisberharap di Ilmu Sejarah, tugas akhir mahasiswa sudah bukan lagi skripsi, tapi bisa berupa film sejarah, dalam artian merupakan representasi sejarah visual. Penulis kira apabila sejarah tampil seperti itu, sejarah menjadi ilmu yang menarik untuk diteliti orang.Perlahan tapi pasti, sejarah visual akan menjadi metode rekonstruksi sejarah baru di Indonesia.

Kepada Pemerintah Indonesia penulis berharap agar arsip-arsip sejarah berupa foto-foto dapat perhatian khusus dalam hal pemeliharaan dan pengelolahannya lebih ditingkatkan.

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN 2. 1 Letak Geografis

Kota Medan terletak antara 2o.27’-2o.47’ Lintang Utara dan 98o.35’-98o.44’ Bujur Timur. Kota Medan 2,5-3,75 meter di atas permukaan laut. Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum berkisar antara 23,0 oC-24,1 oC dan suhu maksimum berkisar antara 30,6 oC-33,1 oC serta pada malam hari berkisar 26 o

C-30,8 oC. Selanjutnya mengenai kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata- rata 78%-82%. Sebagian wilayah di Medan sangat dekat dengan wilayah laut yaitu pantai Barat Belawan dan daerah pedalaman yang tergolong dataran tinggi, seperti Kabupaten Karo. Akibatnya suhu di Kota Medan menjadi tergolong panas. Kecepatan angin rata-rata sebesar 0,42 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 100,6 mm.

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30'-3° 43' Lintang Utara dan 98° 35'-98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 meter di atas permukaan laut. Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun

1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan.

Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di

Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan, yakni :

1. Medan Tuntungan dengan 9 Kelurahan 2. Medan Johor dengan 6 Kelurahan 3. Medan Amplas dengan 8 Kelurahan 4. Medan Denai dengan 5 Kelurahan 5. Medan Area dengan 12 Kelurahan 6. Medan Kota dengan 12 Kelurahan 7. Medan Maimun dengan 6 Kelurahan 8. Medan Polonia dengan 5 Kelurahan 9. Medan Baru dengan 6 Kelurahan 10. Medan Selayang dengan 6 Kelurahan 11. Medan Sunggal dengan 6 Kelurahan 12. Medan Helvetia dengan 7 Kelurahan 13. Medan Petisah dengan 7 Kelurahan 14. Medan Barat dengan 6 Kelurahan 15. Medan Timur dengan 11 Kelurahan 16. Medan Perjuangan dengan 9 Kelurahan

17. Medan Tembung dengan 7 Kelurahan 18. Medan Deli dengan 6 Kelurahan 19. Medan Labuhan dengan 7 Kelurahan 20. Medan Marelan dengan 4 Kelurahan 21. Medan Belawan dengan 6 Kelurahan Batas Wilayah Kota Medan

Utara Selat Malaka

Selatan Pancur Batu, Deli Tua (Kabupaten Deli Serdang)

Barat Tanjung Morawa

(Kabupaten Deli Serdang) Timur Kota Binjai, Hamparan

Perak (Kabupaten Deli Serdang)

2. 2 Keadaan Alam dan Penduduk Kota Medan

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Koordinat geografis Kota Medan 3º 30º-3º 43’ LU dan 98º 35’-98º 44’ BT. Permukaan tanahnya cenderung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi).

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang

menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan.

Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahanmenjadi 144 Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Secara administratif,wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA),

Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

2.3 Latar Belakang Historis Kota Medan Sebelum Tahun 1945-1950

Pada zaman dahulu kota Medan dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha.Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka.Sungai-sungai itu adalah Sei Deli,Sei Babura,Sei Sikambing,Sei Denai,Sei Putih, Sei Bedera, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus.Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita,pemimpin Karo yang tinggal dikampung Pekan.Ia menolak menggantikan ayahnya dan lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistik,sehingga akhirnya dikenal sebagai Guru Patimpus.Antara tahun 1614-1630 M, ia belajar agama islam dan diislamkan oleh Datuk Kota Bangun,setelah kalah dalam adu kesaktian.

Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan,pimpinan daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli.Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karena itu,nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di kota Medan. Sejak zaman penjajahan,masyarakat selalu merangkaikan Medan dengan Deli,tetapi setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan – Delisecara berangsur-angsur lenyap. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata Medan itu sendiri, diantaranya: dari catatan penulis-penulis Portugis yang berasal dari awal abad ke-16 disebutkan bahwa Medan berasal dari nama “Medin”.

Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang suku batak Karo,hanya setelah penguasa aceh,Sultan Iskandar Muda mengirim panglimanya yang bernama Gocah Pahlawan bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil kerajaan Aceh di Tanah Deli,barulah kerajaan Deli mulai berkembang.Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan di Medan. Dimasa pemerintahan sultan deli kedua,Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari tahun 1669-1698) terjadi sebuah perang kavaleri di Medan.Sejak saat itu,Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli.Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an,ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau.

Jacob

Maret 1864,Nienhuys yang merupakan pedagang tembakau asal Belanda,mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam,Belanda untuk diuji kualitasnya.Ternyata,daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan pembalut cerutu.Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Pada tahun 1869,Nienhuys memindahkan kantor pusatDeli Mij di Labuhan.Dengan perpindahan kantor tersebut,Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan,sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat.

Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land atau tanah uang.Perkembangan Medan menjadi pusat perdagangan,telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Pada tahun 1879,ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari

Lambang Kota Medan Tempo Doeloe

Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatra Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada dikampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891 dan dengan demikian ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan. Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918,yaitu pada saat Medan menjadi Gemeente (kota administratif),tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap dibawah kewenangan penguasa Hindia Belanda. Kota administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama “komisi pengelola dana kotamadya” , yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan “Desentralisatie Wet Stbl 1903 No 329”,lembaga lain dibentuk yaitu “Afdeelingsraad Van Deli” yang berjalan bersama Negorijiraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909,ketika Cultuuraad dibentuk untuk daerah diluar

Kantor Gubernur Hindia Belanda di Kota Medan

kota.Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir kota Medan sampai dengan tahun 1975.Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 adalah Mr.EP Th Maier yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang. Namun sejak 26 Maret 1975,lewat keputusan DPRD NO.4/DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan,ditetapkan bahwa hari lahir kota Medan adalah 1 Juli 1590.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Ada istilah “sebuah foto dapat bercerita lebih banyak daripada tulisan” dan telah menjadi klise ujaran bahwa suatu gambar bernilai seribu kata-kata, serta bisa dikatakan tidak terbatas sama sekali oleh konteks.1Foto adalah catatan yang direkayasa secara canggih, hasil dari hubungan sekilas antara orang yang difoto dengan juru foto. Sebagai bahan sejarah, foto dapat dimanipulasi melalui seleksi, seperti halnya dengan sumber-sumber yang lain.2

1

Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan tentang

Ada, Yogyakarta : Galangpress, 2004, hlm. 7.

2

Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, Persperktif Baru Penulisan

Sejarah Indonesia, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013, hlm. 314.

Sejarah menyuguhkan fakta secara diakronis, ideografis, unik dan empiris.Bersifat diakronis karena berhubungan dengan waktu.Sejarah bersifat ideografis karena sejarah menggambarkan dan menceritakan sesuatu.Bersifat unik karena berisi bahan dan hasil dari penelitiannya berbeda dengan hal yang umum.Dikatakan bersifat empiris sebab sejarah bersandar pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh dan nyata.Sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang peristiwa, kejadian masa lampau yang disebabkan aktifitas manusia dan berakibat terjadinya perubahan pada peradaban umat manusia.

Penulisan sejarah konvensional biasanya melakukan rekonstruksi sejarah berdasarkan sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari dokumen-dokumen, sebab hal ini berkaitan erat dengan bukti dan fakta sejarah.Bukti sejarah adalah jejak-jejak peninggalan yang dapat membenarkan terjadinya suatu peristiwa sejarah.Sebelum dijadikan suatu bukti, tentunya jejak-jejak yang ditinggalkan itu merupakan sumber- sumber sejarah. Setelah dilakukan proses verifikasi akan menghasilkan sumber yang autentik (asli) dan kredibel (dapat dipercaya). Sedangkan fakta sejarah adalah kejadian yang benar-benar terjadi sebagaimana ditemukan dalam sumber sejarah dan dianggap dapat dipercaya setelah pengujian yang seksama sesuai dengan hukum– hukum metode sejarah. Fakta sejarah berupa pernyataan atau keterangan yang memuat kebenaran tentang sebuah kejadian atau peristiwa dalam penelitian sejarah.Fakta sangat penting, karena tanpa fakta tidak ada tulisan sejarah. Rangkaian fakta yang disusun sebagai satu kesatuan yang koheren (berhubungan) inilah yang akan menghasilkan sebuah tulisan sejarah.

Ada kesamaan anggapan oleh para penulis sejarah yang menganggap apabila tidak ada sumber tertulis, maka tidak ada sejarah. Dalam perkembangannya muncul aksioma3

3

Aksioma: Pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ).

“no document no history”. Padahal perkembangannya saat ini, dalam merekonstruksi suatu sejarah kita tidak hanya mengandalkan dokumen atau teks sebagai sumber utama (sumber primer) pada penulisan sejarah.Hal ini didasarkan

dengan semakin canggihnya teknologi informasi dalam metode visual yang bisa merekonstruksi sejarah dengan berdasarkan pada sumber–sumber visual, seperti foto atau film (dokumenter dan fiksi).Seperti contoh sumber–sumber visual berupa foto, sebuah foto dapat mengisahkan kejadian atau peristiwa yang terjadi didalamnya.Foto yang dibuat oleh juru foto (fotografer) pada suatu kejadian atau peristiwa tertentu tidak hanya menjadi fakta sejarah, tapi juga menjadi bukti sejarah hidup manusia dan peristiwa–peristiwa yang melingkupinya.Sumber–sumber visual berupa foto didalam suatu penulisan sejarah sering dianggap hanya sebatas ilustrasi dan pelengkap data– data sejarah. Secara nyata, ketika kita disuguhkan atau dihadapkan oleh sebuah foto ada pemikiran tentang apa, siapa, mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana foto itu sendiri dibuat.

Bercerita tentang apa foto itu dibuat, kejadian dan peristiwa bisa kita analisis didalam foto tersebut. Siapa yang melakukan pemotretan dan siapa yang dipotret oleh juru foto.Mengapa foto itu dibuat, hal ini pasti berkaitan dengan dokumentasi (pribadi maupun umum).Kapan foto itu dibuat pasti menjadi bahan kajian untuk dibahas sebab penulisan suatu sejarah, waktu mendapat posisi paling penting didalam penelitian.Dimana letak peristiwa atau kejadian foto itu sendiri dibuat oleh juru foto. Bagaimana proses suatu pembuatan foto tersebut ada, hal ini ditinjau dari juru foto, baik alat yang digunakan untuk memotret (kamera) sampai hasil foto berupa gambar (cetakan).

Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi, dan titik resepsi.Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto.Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda4

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, manusia selalu menginginkan kepraktisan dan mulai berpindah dari lukisan atau sketsa ke fotografi.Gambar yang diciptakan melalui media fotografi lebih bersifat nyata dan lebih cepat, serta dapat lebih luas menjelaskan suatu fenomena dari pada sebuah lukisan.Peralihan dari bentuk satu dimensi ke bentuk dua dimensi memungkinkan penulis – penulis sejarah dapat melihat perbandingan dan perbedaan melalui sumber– sumber visual yang digunakan. Sumber berupa foto dapat membuka pendekatan

.

Awal perkembangan fotografi itu sendiri tidak terlepas dari adanya alat untuk menciptakan suatu gambar yang dua dimensi yang sering disebut dengan kamera.Jauh sebelum kamera diciptakan, manusia telah mengenal bentuk pahatan, ukiran, lukisan, serta sketsa yang berwujud satu dimensi untuk menggambarkan situasi dan kondisi pada saat itu.Dahulu manusia mulai menciptakan sejarahnya melalui tulisan–tulisan yang dibukukan. Kemudian tulisan tersebut dilengkapi dengan gambar atau sketsa untuk mempermudah pembaca memahami apa maksud penulis, gambar atau sketsa yang digunakan pun masih secara tradisional yakni digambar atau dilukis.

4

secara emosional dalam cara penulisan sejarah yang baru, sehingga foto tidak hanya digunakan sebagai lampiran atau bahkan “pemanis” dalam sebuah penulisan sejarah namun foto sebagai “primary sources” (sumber utama).

Dari pokok permasalahan yang telah dirangkum, penulis mengangkat penelitian sumber–sumber foto sebagai sumber sejarah dan cara penulisan sejarah yang menarik serta mudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Fotografi merupakan sebuah media yang cepat menangkap peristiwa atau kejadian untuk dijadikan sejarah dari setiap segi sisi kehidupan manusia. Memotret dan menjadikannya sebagai foto untuk hasilnya menurut penulis adalah suatu wujud intepretasi tiga dimensi; masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.

Pembahasan tentang sejarah Kota Medan pada masa proklamasi sampai masa revolusi banyak ditulis di dalam buku-buku seperti contoh karya Anthony Reid yang berjudul Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera5, Medan Area Mengisi Proklamasi yang ditulis Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area6, serta buku karya H. R. Sjanan SH yang berjudul Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan7

5

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

6

Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, Medan Area Mengisi

Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area.Biro Sejarah Prima,

1976.

.Buku-buku tersebut

7

Mayjen TNI (Purn) H.R. Sjanan SH, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota

menggambarkan dan menuliskan perjalanan sejarah Kota Medan dalam menghadapi revolusi pada masa tahun 1945-1950 tapi masih secara naratif-deduktif konvensional. Berdasarkan pemaparan dan uraian diatas, maka penelitian karya ilmiah ini diberi judul KOTA MEDAN 1945-1950: (SEBUAH REKONSTRUKSI SEJARAH VISUAL FOTOGRAFI). Peneliti akan menulis tentang sejarah masa revolusi di Kota Medan dengan cara yang baru dengan mengumpulkan dan memanfaatkan sumber-sumber visual berupa foto-foto dalam merekonstruksinya.

Penulisan karya ilmiah ini akan memaparkan secara kronologis dan sistematik sumber–sumber visual berupa foto tentang peristiwa dan kejadian yang terjadi di Kota Medan antara tahun 1945-1950 dengan membuat sebuah konteks secara tekstual untuk menjelaskan dan menafsirkannya. Dimulai dengan situasi politik di Kota Medan, setelah dibacakannya proklamasi di Jakarta, Kota Medan masih kosong dan

tanpa pemimpin yang sah, hal ini diakibatkan belum tibanya Mr. T. M. Hasan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas sebagai utusan dari Sumatera yang

menyaksikan langsung pelaksanaan upacara proklamasi di Jakarta. Ketiganya diberi tanggung jawab oleh pemerintah pusat untuk menjelaskan peristiwa proklamasi serta membentuk pemerintahan yang sah di daerahnya masing-masing.

Tanggal 29 Agustus 1945 Mr.T. M. Hasan dan Dr. Amir tiba di Medan, dan barulah pada tanggal 31 September 1945 peristiwa Proklamasi Kemerdekaan secara resmi dijelaskan oleh Mr.T. M. Hasan dihadapan 700 rakyat pada rapat Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Sekolah Taman Siswa Medan. Sebagai reaksi masyarakat

Dokumen terkait