• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN

C. Jual Beli

1. pengertian Jual Beli

Berdasarkan pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Wujud dari hukum jual beli adalah rangkain hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari para pihak, yang saling berjanji, yaitu penjual dan pembeli.Biasanya sebelum mencapai kesepakatan, didahului dengan tawar menawar, yang berfungsi sebagai penentu sejak kapan terjadi persetujuan tetap.Sejak terjadinya persetujuan tetap, maka perjanjian jual beli tersebut baru dinyatakan sah dan

33

mengikat sehingga wajib dilaksanakan oleh penjual dan pembeli.Jual beli merupakan perjanjian yang paling banyak diadakan dalam kehidupan masyarakat. Tujuan utama dari jual beli ialah memindahkan hak milik atas suatu barang dari seseorang tertentu kepada orang lain. (Handarningtyas, 2017:17)

Menjual menurut bahasa artinya : memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan yang tertentu).sedangkan menurut istilah artinya: pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab-qabul) dengan cara yang diizinkan. (Rifa,1978:183)

Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1447-1540 BW. Akan tetapi ketentuan tersebut tidaklah cukup untuk mengatur segala bentuk perjanjuan jual beli yang ada dalam masyarakat, akan tetapi cukup untuk mengatur tentang dasar-dasar perjanjian jul beli. Dalam pasal 1457 BW diatur tentang pengertian jual beli sebagai berikut. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. (Miru, 2012: 134)

34

2. Dasar Hukum Jual Beli

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur‟an, Hadist Nabi, dan Ijma‟

Yakni : a. Al Qur’an

Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat 1) QS. An-Nisa‟ [4] ayat 29

                                 Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman jangan lah memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar) kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.Dan janganlah kamu membunuh dirimu sungguh Allah maha penyayang kepadamu”.

Jual beli merupakan usaha yang baik ntuk mencari rizqi. Allah telah mengajarkan dengan firman-Nya:

2) QS. Al-Baqarah [2] ayat 275

اَبِّرلا َمَّرَحَو َعْيَ بْلا ُهَّللا َّلَحَأَو

Artinya:

Allah telah menghalalkan jual beli da mengharamkan riba. b. Sunnah

Nabi, yang mengatakan:

” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik.Beliau menjawab, ‟Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang

35

menyahihkannya dari Rifa‟ah Ibn Rafi‟). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang

terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

c. Ijma’

Ulama telah sepakat bah wa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur‟an dan

hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh. (Muslich, 2010:179)

3. Rukun Jual Beli

Rukun jual beli menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan sikap saling tukar-menukar, atau saling memberi, atau dengan redaksi yang lain, ijab qabul adalah perbuatan yang menunjukkan kesediaan dua pihak untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain, dengan menggunakan perkataan atau perbuatan. (Muslich, 2010:179)

Menurut jumhur ulama rukun jual beli itu ada empat, yaitu: a. Aqid (penjual dan pembeli)

36

Aqid atau orang yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli. Secara umum, penjual dan pembeli harus orang yang memiliki ahliyah (kesepakatan) dan wilayah (kekuasaan). Persyaratan penjual dan pembeli secara rinci akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya, yaitu syarat-syarat jual beli.

b. Shighat (Ijab dan Qabul ) 1) Pengertian Ijab dan Qabul

Secara umu ijab dan qabul adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli, jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan).

2) Shihat Ijab dan Qabul

Shighatakad adalah bentuk ungkapan dari ijab dan qabul apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh dua pihak, atau ijab saja apabila akadnya akad iltizam yang dilakkan dua pihak.

3) Sifa Ijab dan Qabul

Akad terjadi karena adanya ijab dan qabul. Apabila ijab sudah diucapkan, tetapi qabul belum keluar maka ijab belum mengikat.

37

4) Ma‟qud „Alaih (Objek Akad Jual Beli)

Ma‟qud „alaih atau objek akad jual beli adalah barang yang dijual (mabi‟) dan harga atau uang (tsaman). (Muslich, 2010:180)

4. Syarat-Syarat Jual Beli

Ada empat macam syarat jual beli yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu (Muslich, 2010:186-200) :

a. Syarat In‟iqad (terjadinya akad).

Syarat in‟iqad syarat harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara‟. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka akad jual beli menjadi batal.

Hanafiah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli :

1) Syarat berkaitan dengan „aqid (orang yang melakukan akad)

Syarat untuk „aqid (orang yang melakukan

akad), yaitu penjual dan pembeli ada dua:

a) „Aqid harus berakal yakni mumayyiz. Maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila, dan anak yang belum berakal (belum mumayyiz).

b) „Aqid (orang yang melakukan akad) harus terbilang (tidak sendirian).

38

2) Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri.

Syarat akad yang sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang di ijabkan (ditanyakan) oleh penjual.

3) Syarat berkaitan dengan tempat.

Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul harus terjadi dalam satu majelis. Apabila ijab dan qabul berbeda majelis, maka jual beli tidak sah.

4) Syarat berkaitan dengan objek akad (Ma‟qud „alaih)

Syarat yang harus dipenuhi oleh objek akad

(ma‟qud „alaih) adalah sebagai berikut.

a) Barang yang dijual harus maufud (ada). b) Barang yang dijual harus mal mutaqawwin. c) Barang yang sudah dijual harus barang yang

sudah dimiliki.

d) Barang yang sudah dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli.

b. Syarat sahnya jual beli.

Syarat sah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat

39

yang harus ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli

tersebut dianggap sah menurut syara‟. Secara global akad

jual beli harus terhindar dari enam macam „aib: 1) Ketidakjelasan (Al-Jahalah)

Yang dimaksud dengan ini adalah ketidakjelasan yang serius yang mendatangkan perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidakjelasan ini ada empat macam yaitu:

a) Ketidakjelasan barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya, atau kadarnyamenurut pandangan pembeli.

b) Ketidakjelasan harga.

c) Ketidakjelasan masa (tempo).

d) Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan. 2) Pemaksaan (Al-Ikrah)

Pengertian pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipksa) untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disukainya. Paksaan ini ada dua macam:

a) Paksaan absolut, yaitu paksaan dengan ancaman yang sangat berat, seperti akan dibunuh, atau akan dipotong anggoota badannya.

b) Paksaan relatif, yaitu paksaan dengan ancaman yang lebih ringan, seperti dipukul.

40

3) Pembatasan dengan waktu (at-tauqid). Yaitu jual beli yang dibatasi waktnya. 4) Penipuan (gharar).

Yang dimaksud disini gharar (penipuan) dalam sifat barang.

5) Kemudaratan (dharar).

Kemudaratan ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual tidak mungkin dilakukan kecuali dengan kemudaran kepada penjual, dalam barang selain objek akad.

6) Syarat-syarat yang merusak.

Yaitu syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara‟ dan adat kebiasaan, atau dikenhendaki oleh akad, atau tidak selaras dengan tujuan akad.

Adapun syarat khusus yang berlaku untuk beberapa jenis jual beli adalah sebagai berikut:

a) Barang harus diterima

b) Mengetahui barang pertama apabila jual belinya berbentuk murabahah, tauliyah,. Wadhi‟ah, atau isyrak.

c) Saling menerima (taqabudh) penukaran, sebelum berpisah, apabila jual beli sharf (uang).

41

d) Dipenuhinya syarat-syarat salam, apabila apabila jual belinya jual beli salam (pesanan).

e) Harus sama dalam penukaran, apabila barangnya ribawi.

f) Harus diterima dalam utang piutang yang ada dalam perjanjian, seperti muslam fih dan modal salam, dan menjual sesuatu dengan utang kepada selain penjual.

c. Syarat kelangsungan jual beli (syarat nafadz).

Untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai berikut:

1) Kepemilikan atau Kekuasaan

Pengertian kepemilikan atau hak milik adalah menguasai sesuatu dan mampu men-tasarruf-kannya sendiri, karena tidak ada

penghalang yang ditetapkan oleh syara‟.

2) Pada benda yang dijual (mabi‟) tidak terdapat hak orang lain. Apabila di dalam barang yang dijadikan objek jual itu terdapat hak orang lain maka akadnya mauquf dan tidak bisa dilangsungkan.

d. Syarat mengikat (syarat luzum).

Untuk mengiktnya (luzum-nya) jual beli disyaratkan akad jual beli terbebas dari salahstu jenis khiyar yang

42

memperbolehkan kepada salah satu pihak untuk membatalkan akad jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar ru‟yah dan khiyar „aib. Apabila didalam jual beli terdapat salah satu dari jenis khiyar ini maka akad tersebut tidak mengikat kepada orang yang memiliki hak khiyar, sehingga ia berhak membatalkan jual beli atau meneruskan atau menerimanya.

5. Macam-Macam Jual Beli.

Berdasarkan pertukarannya secara umum, maka jual beli dibagi menjadi empat macam:

a. Jual beli Ba‟i Salam(pesanan), yaitu jual beli melalui pesanan dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka,

kemudian barangnya diantar belakangan.

b. Jual beli muqayadhah (barter), yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

c. Jual beli muthlaq (jual beli dalam bentuk kontan), yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.

d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar, yaitu jual beli barang yang biasa. dipakai sebagai alat penukar dengan alat

43

penukar lainnya, seperti uang perak dan uang kertas. (Cahyani, 2013:65)

Disamping keempat macam jual beli yang disebutkan diatas terdapat satu bentuk jual beli lagi dimana dalam jual beli ini disertai syarat, jika seseorang penjual mengembalikan uang kepada pembeli maka pembeli harus mengembalikan barang yang telah

dibelinya. Jual beli ini disebut (Bai‟wafa).

6. Bentuk-Bentuk Jual Beli

Ulama Hanafi membagi menjadi tiga bentuk jual beli: a. Jual Beli Yang Sahih

Yaitu jual beli yang sesuai dengan syariah serta memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain tidak tergantung pada hak khiyar lagi.

b. Jual Beli Yang Batal

Yaitu apabila salah satu atau keseluruhan rukun tak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan, seperti: jual beli yang dilakukan orang gila atau barang yang dijadikan itu barang-barang yang diharamkan syara, yaitu babi, bangkai, dll.

c. Jual Beli Yang Fasid

Dalam hal ini ulama Hanafi membedakan jual beli fasid dengan jual beli yang batal. Jual beli dikatakan batal jika unsur-unsur pembatalan berkenaan dengan barang yang dijual (barang

44

yang dijual tersebut tidak sesui dengan syariah), sepert: jual beli khomer, babi, dll.(Nasrum, 2007:119)

Jika unsur-unsur kerusakan yang menyangkut barang dan boleh diperbaiki maka jual beli itu disebut fasid, seperti ucapan

penjual kepada pembeli “saya jual kereta saya ini pada enkau

bulan depan setelah gajian”. Jual beli seperti ini dianggap sah

pada saat syaratnya terpenuhi atau tenggang waktu yang disebutkan dalam akad jatuh tempo.

Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1447 – Pasal 1540 BW. Ketentuan tersebut untuk masa sekarang ini tentu saja tidak cukup untuk mengatur segala bentuk /jenis perjanjian jual beli yang ada dalam masyarakat, akan tetapi cukup untuk mengatur tentang dasar-dasar perjanjian jual beli.

Dalam Pasal 1457 BW diatur tentang pengertian jual beli sebagai berikut.Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk membayar harga yang yang telah dijanjikan.

Kewajiban Penjual dalam perjanjian jual beli, terdapat dua kewajiban utama dari penjual terhadap pembeli apabila harga barang tersebut telah dibayar oleh pembeli, yaitu:

a. Menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada pembeli b. Menanggung/menjamin barang tersebut

45

Kewajiban menyerahkan barang yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli, sudah merupakan pengetahuan umum, karena maksud utama seseorang yang membeli barang adalah agar dia memiliki barang yang dibelinya, namun kewajiban menjamin barang yang dijual masih perlu dijelaskan lebih lanjut.

Berdasarkan Pasal 1491 BW, ada dua hal yang wajib ditanggung/dijamin oleh penjual terhadap barang yang dijualnya, yaitu:

a. Menjamin penguasaan barang yang yang dijual secara aman dan tenteram

b. Menjamin cacat tersembunyi atas barang tersebut, yang sedemikian rupa dapat menjadi alasan pembatalan perjanjian.

Penjual dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk menanggung cacat tersembunyi apabila dalam perjanjian jual beli tersebut secara tegas diperjanjian jual beli dibatalkan ataukah harga barang tersebut dikurangi. (Miru,2012 :134-147)

Dokumen terkait