• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

15 rintis X 32 menit = 128 menit

c. Rata-rata waktu 15 orang penabur

(5 KKP)

- 32 menit/15 pasar

rintis d. Rata-rata waktu penabur dalam 1

blok (60 rintis) 60 9rintis X 20 menit = 133 menit 60 15

rintis X 32 menit

= 128 menit

Sumber: Hasil Pengamatan Penulis (Maret, 2010)

Angsana Estate mempunyai 15 orang tenaga pemupuk. Jika menggunakan pelangsir maka tenaga pemupuk dibagi menjadi 3 KKP (1 KKP = 2 pelangsir + 3 penabur), sedangkan jika tidak menggunakan pelangsir maka tenaga pupuk dibagi menjadi 5 KKP (1 KKP = 5 penabur). Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui bahwa waktu yang dibutuhkan penabur pupuk tanpa pelangsir untuk memupuk 1 blok, lebih cepat dibandingkan dengan penabur pupuk dengan pelangsir.

Kecepatan penabur dalam menabur pupuk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: keterampilan penabur, topografi, kesiapan pasar rintis, titi rintis dan jembatan. Kondisi pupuk yang masih berada dalam kemasan karung (tanpa until) menyulitkan pelangsiran pupuk ke dalam blok, dimana topografi lahan relatif bergelombang. Berdasarkan data topografi yang penulis dapatkan dari Minamas Research Center (MRC), 71% Angsana Estate mempunyai kemiringan 8-20%, sedangkan sisanya mempunyai kemiringan 3-8%. Dengan kondisi topografi

tersebut maka akan menyulitkan pelangsir dalam melangsir pupuk ke dalam blok. Selain itu, karena tenaga pemupuk umumnya masih KHL sehingga tidak semua tenaga pemupuk terampil dalam melangsir pupuk. Keberadaan sungai, parit, jurang, di dalam blok yang tidak disertai dengan adanya jembatan atau titi rintis yang memadai juga menyulitkan pelangsir pupuk.

Faktor-faktor tersebut yang menjadi kendala dalam melangsir pupuk. Hal tersebut diperkuat oleh hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap tim pupuk. Dari 15 orang tim pupuk yang menjadi responden, 15 orang lebih memilih menjadi penabur pupuk dengan bin (tanpa pelangsir) dengan alasan bahwa aplikasi pupuk dengan bin (semua tim pupuk menjadi penabur, tanpa pelangsir) lebih fleksibel dan kondisional untuk dilakukan pada topografi kebun seperti di Angsana Estate.

Efisiensi Biaya

Berdasarkan anggaran biaya Angsana Estate tahun 2009-2010 pada

Lampiran 9, pemupukan membutuhkan biaya paling besar yaitu Rp 12 008 345 427 dari total biaya produksi kebun sebesar Rp 21 664 315 429

atau sekitar 55.4% dari total biaya produksi kebun. Biaya pemupukan digunakan untuk biaya tenaga kerja, material, kendaraan dan biaya sensus daun.

Dari segi material pupuk terjadi perubahan penggunaan jenis pupuk dari tahun 2008-2009 ke tahun 2009-2010. Pada tahun 2008-2009, jenis pupuk yang digunakan adalah urea, MOP, Rhock phosphate, dolomite, HGFB dan kieserite. Kemudian terjadi perubahan penggunaan jenis pupuk pada tahun 2009-2010, perubahan ini sesuai dengan rekomendasi dari MRC. Jenis pupuk yang digunakan adalah NK Blend (pengganti pupuk urea dan MOP), kieserite, Rhock phosphate, HGFB, CCM 25dan CCM 44. Kandungan hara pupuk yang digunakan oleh Angsana Estate tahun 2009-2010 dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kandungan Hara Pupuk Angsana Estate Tahun 2009-2010

Unsur Hara Jenis Pupuk Kandungan

Unsur %

Nitrogen (N) CCM 25 N-P2O5-K2O-MgO 14-13-9-2.5 CCM 44 N-P2O5-K2O-MgO 12-6-22-3

NK Blend N-K2O 13-36

Kalium (K) NK Blend N-K2O 13-36

Fosfor (P) Rock Phosphate P2O5 28

Magnesium Kieserit MgO 27

Boron HgFB B2O5 48

Sumber: Hasil Pengamatan Penulis (Maret, 2010)

Dengan adanya perubahan penggunaan jenis pupuk urea dan KCl dengan pupuk NK Blend serta penghapusan penggunaan pupuk dolomite maka terdapat selisih biaya yang cukup besar dalam pemupukan. Analisa biaya pemupukan periode Juli 2008 – Juni 2009 dan periode Juli 2009 - Maret 2010 dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan analisa biaya pemupukan yang terdapat pada Lampiran 10, diketahui bahwa total biaya pemupukan periode Juli 2008 – Juni 2009 adalah sebesar Rp 19 027 032 150, sedangkan biaya pemupukan periode Juli 2009 – Maret 2010 adalah Rp 9 229 688 333. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya perubahan penggunaan jenis pupuk tersebut maka biaya pemupukan dapat diturunkan hingga 48.5 %, sehingga dapat dikatakan bahwa biaya pemupukan pada Angsana Estate telah efisien.

Efisien Tenaga Kerja. Penentuan jumlah tenaga kerja juga berpengaruh penting terhadap kegiatan pemupukan. Bila tenaga kerja yang digunakan melebihi target yang telah ditetapkan maka dapat terjadi inefisiensi tenaga kerja atau pemborosan penggunaan tenaga kerja. Tenaga kerja yang digunakan di Angsana Estate untuk pemupukan adalah tenaga kerja borongan yaitu: 15-20 orang penabur dan empat orang pengecer. Pengawasan kegiatan pemupukan dilakukan oleh seorang mandor pupuk yang dibantu oleh seorang centeng pupuk untuk mengawasi pupuk yang telah diecer dari pencurian pupuk.

Salah satu kelemahan penggunaan tenaga kerja borongan adalah penentuan blok aplikasi dan jumlah tonase pupuk yang diaplikasikan ke dalam blok ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang hadir pada hari tersebut. Bila

semua tenaga kerja hadir maka jumlah pupuk yang diaplikasikan menjadi lebih banyak dan blok aplikasi juga bertambah sehingga aplikasi pemupukan pada periode tersebut dapat segera terselesaikan. Penentuan blok aplikasi dan jumlah pupuk yang diaplikasikan selain ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang hadir juga ditentukan oleh jenis pupuk, dosis pupukdan prestasi kerja. Jenis dan dosis pupuk juga berpengaruh terhadap jumlah pupuk yang akan diaplikasikan. Jika pupuk berbentuk pasir seperti pupuk rock phosphate dan kieserite, pupuk cenderung memiliki massa lebih berat dari pada jenis pupuk yang lain. Selain jenis pupuk, jika dosis aplikasi lebih banyak maka dalam aplikasinya butuh tenaga lebih banyak. Prestasi kerja penabur selama penulis magang di bagian pemupukan, penulis sajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12. Prestasi Kerja Penabur Pupuk Angsana Estate

Tanggal Jenis pupuk Blok Jumlah pokok Dosis/ phn (kg) Jumlah pupuk (kg) HK Prestasi kg/HK 18-02-2010 RP B32 4080 1.5 6120 10 612 Kieserit 0.75 3060 306 19-02-2010 RP B30 2430 1.5 3645 15 243 Kieserit 0.75 1822.5 121.5 RP B31 4269 1.5 6403.5 426.9 Kieserit 0.75 3201.75 213.45 24-02-2010 NK Blend C14 3675 2 7350 14 785.7 C15 1825 3650 25-02-2010 NK Blend C15 1854 2 3708 14 732.86 C16 3277 6552 01-03-2010 NK Blend C17 4273 2 8546 11 776.9 03-03-2010 NK Blend C19 2068 1.75 3619 18 902.6 C22 3183 1.75 5570 C23 4033 1.75 7058 04-03-2010 NK Blend D26 3827 1.75 6697 18 836.83 D27 4183 2 8366 05-03-2010 NK Blend D28 4095 2 8190 18 665.2 D30 2162 1.75 3784 06-03-2010 NK Blend D30 2162 1.75 3784 17 625.59 D32 3426 2 6851 08-03-2010 NK Blend B21 4029 1.75 7051 19 749.47 B22 4108 7189

Standar pemupukan untuk berbagai jenis pupuk di Angsana Estate yaitu: NK Blend (600 kg/HK), Rock Phosphate (400 kg/HK), Kieserit (400 kg/HK),

HgFB (7 ha/HK), CCM 44 (600 kg/HK ) dan CCM 25 (600 kg/HK). Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa prestasi kerja per HK penabur telah melebihi standar kebun. Tonase pupuk yang melebihi standar (prestasi kerja) bervariasi tergantung dari jumlah tenaga kerja yang hadir, jumlah tonase pupuk yang diaplikasi, jenis dan dosis pupuk. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan tenaga kerja pemupuk di Angsana Estate telah efisien sesuai dengan target yang diharapkan.

Defisiensi Hara

Bila ada hara yang kurang dalam tubuh tanaman maka akan terjadi hambatan pertumbuhan yang bila berlanjut akan menimbulkan gejala – gejala khas yang umumnya dapat dilihat pada daun (defisiensi hara). Gejala defisiensi hara yang nampak jelas pada tanaman kelapa sawit di lapangan adalah defisiensi N, K, Mg, B dan Cu (defisiensi hara P walaupun sering kali terjadi di lapangan, namun sulit untuk dikenali).

Defisiensi hara dapat disebabkan oleh dosis pemupukan yang dilakukan sebelumnya tidak sesuai dengan kebutuhan hara tanaman, selain itu juga mungkin disebabkan oleh kurang efektifnya pemupukan sebelumnya karena pupuk menguap, tercuci air dan piringan pada saat pemupukan yang belum bersih dari gulma sehingga pemupukan kurang tepat sasaran. Penulis telah melakukan pengamatan visual terhadap gejala defisiensi hara yang tampak pada tanaman kelapa sawit di Angsana Estate. Penulis mengambil tiga blok kebun untuk menjadi areal pengamatan, yaitu blok A24, A28 dan A29. Kemudian penulis membagi blok pengamatan menjadi 3 bagian berdasarkan penomoran jalur yang ada pada masing-masing jalur tanaman yaitu: (a) jalur no 1-40, (b) jalur no 41-80, (c) jalur no 81-120. Dari masing-masing bagian tersebut, penulis mengambil dua jalur tanaman sebagai contoh pengamatan visual defisiensi hara. Hasil

pengamatan visual defisiensi hara dengan realisasi pemupukan tahun 2008-2009 dapat dilihat pada Tabel 13 .

Tabel 13. Realisasi Pemupukan Tahun 2009 dan Pengamatan Visual Defisiensi Hara

Blok

% Realisasi Pemupukan dari

Rencana Tahun 2009 Jumlah Sampel Tanaman

Jumlah Tanaman Defisiensi Unsur Hara

N P K Mg B N P K Mg B

A24 100 100 100 100 100 170 - - 75 5 15 A28 100 100 100 100 100 179 - - 98 13 7 A29 100 100 100 100 100 170 - 1 85 23 5

Sumber: Hasil Pengamatan Penulis (Maret, 2010)

Berdasarkan pengamatan visual defisiensi hara yang dilakukan oleh penulis pada blok A24, A28 dan A29 seperti pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah tanaman contoh yang tumbuh normal adalah 36.2% dari total tanaman contoh, sedangkan defisiensi hara terbanyak adalah hara K (47.8%), diikuti defisiensi hara Mg (7.9%), defisiensi hara B (5.2%)dan defisiensi hara P (0.2%). Penulis tidak menemukan tanaman yang mengalami defisiensi hara N pada tanaman contoh, namun umumnya tanaman yang mengalami defisiensi hara N dapat dijumpai pada areal yang tergenang, seperti daerah rawa atau areal-areal blok yang rawan banjir.

Berdasarkan hasil analisis daun yang dilakukan MRC untuk rekomendasi pemupukan Angsana Estate tahun 2008-2009 diketahui kandungan beberapa unsur hara daun yaitu N, P, K, M dan B. Secara umum status hara N di daun menunjukkan kondisi optimum-tinggi. Namun, kondisi tanaman di lapangan menunjukkan beberapa tanaman mengalami defisiensi nitrogen, khususnya pada areal tanah berpasir seperti pada blok A17-18, B17-19, C15 dan C17-18. Gejala defisiensi dapat ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang kurang vigor dan warna daun pucat. Secara umum status hara P di daun menunjukkan kondisi optimum-tinggi. Namun, kondisi tanaman di lapangan secara umum menunjukkan peningkatan jumlah tanaman yang mengalami defisiensi phosphore yang ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang cenderung kurus. Penggunaan

pupuk Rhock Phosphate yang slow release bertujuan agar status hara P tidak mengalami penurunan di masa yang akan datang.

Secara umum status hara K di daun menunjukkan kondisi optimum-tinggi. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, secara umum masih ditemukan gejala defisiensi K (orange spot pada helai daun) secara sporadik dengan intensitas ringan. Gejala ini hampir merata pada semua blok dan juga pada semua seri tanah yang ada di Angsana Estate, khususnya ordo tanah oxisol. Hal ini disebabkan seri tanah dengan ordo oxisol, bila musim hujan dengan intensitas tinggi kondisinya peka terhadap kehilangan pupuk akibat terjadinya pencucian hara yang tinggi karena adanya lapisan petroferric yang dangkal.

Status hara Mg di daun secara umun menunjukkan kondisi rendah-defisiensi (kekurangan). Hasil observasi di lapangan, gejala rendah-defisiensi Mg secara umum banyak dijumpai dalam kategori gejala ringan hingga berat. Gejala ini hampir merata terjadi pada semua blok dan juga pada semua seri tanah yang ada di Angsana Estate. Secara umum status hara B di daun menunjukkan kondisi kekurangan (rendah-defisiensi) yaitu mencapai ± 76 % dari luas areal yang menjadi contoh, sedangkan sisanya dalam kondisi optimum. Gejala defisiensi hara yang ada di Angsana Estate dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Defisiensi Hara di Angsana Estate (a) Defisiensi Mg, (b) Defisiensi B, (c) Defisiensi K

Produktivitas

Pemupukan merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan produksi yaitu dengan penyediaan unsur hara yang cukup bagi tanaman. Pemupukan yang baik mampu meningkatkan produksi hingga mencapai produktivitas standar sesuai dengan kelas kesesuaian lahannya (Sutarta et al., 2003). Pemupukan yang baik dapat dicapai jika telah memenuhi konsep efektivitas dan efisiensi pemupukan. Realisasi pemupukan Angsana Estate tahun 2002-2009 dapat dilihat pada Lampiran 11, sedangkan produktivitas Angsana Estate dari lima tahun terakhir yang dibandingkan dengan standar produksi kelapa sawit D x P di Indonesia berdasarkan kesesuaian lahan kelas S2 dan S3, dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Rata-rata Produktivitas Tanaman Angsana Estate tahun 2005- Maret 2010 Berdasarkan Umur Tanaman

Umur Tanaman

Produktivitas (ton/ha/tahun) Rata-rata Produk-tifitas (ton/ha/ tahun)* Standar Produktivitas (ton/ha/tahun) ** Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 S2 S3 6 12.83 10.91 16.04 13.50 10.96 13.0 18.5 17.0 7 13.48 10.83 16.14 12.76 11.83 13.0 23.0 22.0 8 20.26 15.98 18.87 15.38 15.73 17.0 25.5 24.5 10 25.22 17.67 20.46 16.74 18.19 19.656 28 26 Rata-rata 16.0 23.75 22.37

Keterangan: *) Kantor Besar ASE, **) Lubis (2008)

Berdasarkan data realisasi pemupukan tahun 2002-2009 yang terdapat pada Lampiran 11, dapat diketahui bahwa rata-rata pemupukan tiap tahun telah terealisasi sebesar 99%, sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan pemupukan Angsana Estate telah berjalan baik. Selanjutnya pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa produktivitas tanaman di Angsana Estate pada lima tahun terakhir mengalami peningkatan pada setiap umur tanamannya, tetapi masih berada di bawah standar produktivitas TBS D x P pada kesesuaian lahan kelas S2 dan S3 dengan selisih produktivitas sebesar 7.75 ton/ha/tahun untuk kelas lahan S2 dan 6.375 ton/ha/tahun untuk kelas lahan S3.

Menurut PPKS (2005), produksi tanaman kelapa sawit merupakan hasil interaksi berbagai faktor yaitu: bahan tanaman, kondisi tanah, iklim (curah hujan, suhu, cahaya), kegiatan kultur teknis dan pengelolaan panen. Sulistyo (2010)telah melakukan perhitungan Uji-t pada peubah-peubah yang diduga berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa sawit di Angsana Estate. Faktor-faktor yang diuji adalah peubah iklim (suhu, kecepatan angin, kelembaban udara, lama penyinaran matahari, curah hujan, hari hujan, defisit air) dan peubah kultur teknis (jumlah populasi tanaman/ha, pemupukan, dan umur tanaman). Berdasarkan hasil Uji-t tersebut diproleh hasil bahwa tidak seluruh peubah berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa sawit seperti peubah jumlah populasi tanaman/ha, suhu udara, dan kecepatan angin, sedangkan pemupukan merupakan salah satu faktor utama dalam kegiatan kultur teknis yang berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman. Hasil uji-t parsial dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil Uji-t Parsial

No. Peubah P-Value

0 BSP 6 BSP 12 BSP 18 BSP 24 BSP 1 Umur tanaman 0.022* - - - - 2 Populasi 0.121 - - - - 3 Pupuk 0.043* 0.493 0.055 0.007** 0.586 4 Suhu udara 0.893 0.616 0.587 0.217 0.853 5 Kelembaban udara 0.348 0.045* 0.626 0.589 0.604 6 Kecepatan angin 0.971 0.604 0.317 0.130 0.791 7 Penyinaran matahari 0.132 0.957 0.067 0.007** 0.130 8 Hari hujan 0.897 0.441 0.862 0.049* 0.216 9 Curah hujan 0.385 0.047* 0.053 0.974 0.092 10 Defisit air 0.021* 0.793 0.752 0.281 0.007** r2 0.34 0.29 0.42 0.41 0.37 Sumber: Sulistyo (2010) 1

Keterangan : *) berbeda nyata pada α = 5%, **) berbeda sangat nyata pada α = 1% BSP : Bulan Sebelum Panen

1

Sulistyo, H. 2010. Identifikasi Parameter Agronomi Untuk Pengembangan Taksasi Produksi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Di Angsana Estate, PT Ladangrumpun Suburabadi Minamas Plantation, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. (Tidak Dipublikasikan)

Selain karena dipengaruhi oleh peubah-peubah tersebut, selisih produktivitas mungkin juga disebabkan oleh pemupukan yang belum efektif. Efektivitas pemupukan mencakup prinsip 4T yaitu: tepat waktu, tepat dosis, tepat jenis dan tepat cara. Prinsip tepat jenis dan tepat cara pada pemupukan di Angsana Estate telah tercapai. Prinsip tepat waktu pemupukan pada Angsana Estate belum tercapai karena berhubungan dengan kondisi curah hujan cenderung tinggi yang tidak menentu, sehingga pupuk yang diaplikasikan kemungkinan banyak yang hilang akibat pencucian, aliran air dan erosi. Selain tepat waktu, prinsip tepat dosis juga belum terpenuhi karena adanya kehilangan pupuk pada saat pengadaan pupuk dan saat pengeceran pupuk di lahan. Kehilangan pupuk ini yang menyebabkan tanaman tidak tercukupi kebutuhan haranya sehingga dapat berpengaruh pada penurunan produksi kelapa sawit.

Dokumen terkait