• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada tanggal 4 April 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Tubagus M. Arief, SE dan Tuti Khairani, SE. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun ajaran 2005 dan menamatkannya pada tahun 2010. Penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Sebuah artikel dengan judul Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti akan diterbitkan pada jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam pada tahun 2014.

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) merupakan jenis beruang berukuran tubuh paling kecil dari delapan jenis beruang yang ada di dunia. Beruang yang hanya mendiami hutan hujan tropis dataran rendah di Asia Tenggara ini dapat ditemukan di Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Brunei Darussalam (Servheen 1998). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa distribusi beruang madu di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Beruang madu menempati tipe habitat hutan rawa, hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sampai dengan ketinggian 2000 mdpl (Fredriksson et al. 2008, Sastrapradja et al. 1982). Selain itu, Alikodra (2002) menyatakan bahwa tipe hutan yang juga termasuk habitat beruang madu adalah hutan gambut.

Semenanjung Kampar merupakan salah satu ekosistem rawa gambut yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Areal konservasi IUPHHK-HTI (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri) PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) Estate Meranti yang termasuk dalam ekosistem gambut di Semenanjung Kampar merupakan salah satu wilayah penyebaran beruang madu (TIIP 2010b). PT. RAPP Estate Meranti memiliki areal pengelolaan dengan luas 45261.19 hektar dimana di dalamnya terdapat areal konservasi.

Sesuai dengan kesepakatan FSC (Forest Steward Council), pengelolaan hutan tanaman diwajibkan untuk memelihara dan/atau meningkatkan areal yang memiliki nilai konservasi tinggi melalui penerapan pendekatan kehati-hatian. Salah satu caranya adalah dengan kegiatan pemantauan berkala untuk pemeliharaan atau penilaian terhadap status nilai konservasi tinggi di setiap areal yang terdapat dalam unit pengelolaannya.

PT. RAPP sebagai salah satu perusahaan di bawah payung APRIL (Asia Pacific Resources International Holdings Ltd.) telah mendapatkan berbagai sertifikat voluntary. Sertifikat yang telah diperoleh antara lain chain of custody, controlled wood dan sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari. Perusahaan ini memiliki komitmen tinggi untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan. Bentuk pengelolaan hutan secara lestari yang akan diterapkan oleh PT. RAPP di setiap unit pengelolaannya harus tetap memperhatikan aspek keanekaragaman hayati. Akan tetapi, informasi ilmiah yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati di Estate Meranti sampai saat ini masih sangat sedikit. Selain itu, studi ilmiah terkait dengan keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu yang terdapat di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sampai saat ini juga belum pernah dilakukan.

Informasi keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu diperlukan oleh PT. RAPP sebagai salah satu pertimbangan dalam merumuskan strategi pengelolaan habitat dalam upaya konservasi beruang madu di areal yang memiliki nilai konservasi tinggi. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan pengelolaan

2

habitat beruang madu, sehingga kurangnya ketersediaan pakan beruang madu di areal konservasi dapat dihindari.

Menurut Harris (1984), spesies dengan sumber pakan yang tersebar dan langka bisa lebih terancam keberadaannya jika ketersediaan pakannya terganggu. Kurangnya ketersediaan pakan beruang madu di habitat alaminya dapat menyebabkan kondisi fisik beruang madu yang buruk dan dapat mengalami kematian akibat kelaparan (Wong et al. 2004). Selain itu, hal tersebut juga dapat menyebabkan beruang madu mendatangi perkebunan masyarakat untuk mencari pakan, sehingga dapat memicu terjadinya konflik beruang madu dengan manusia (Fredriksson 2005).

Informasi mengenai keanekaragaman jenis, pola sebaran dan faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti dapat menjadi pertimbangan dalam merencanakan pengelolaan areal tersebut. Jenis pohon pakan beruang madu dapat dijadikan pertimbangan pihak pengelola sebagai jenis tumbuhan yang akan digunakan dalam pengayaan habitat. Selain itu, pola sebaran dan faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu dapat menjadi pertimbangan pihak pengelola untuk merencanakan bentuk pembinaan habitat.

Perumusan Masalah

TIIP (2010b) menyatakan bahwa Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti termasuk salah satu wilayah penyebaran beruang madu di Semenanjung Kampar. Keberadaan beruang madu di areal tersebut menyebabkan diperlukannya suatu upaya konservasi yang tepat agar kelestarian beruang madu dapat terjaga dan terhindar dari ancaman kepunahan. Ancaman tersebut bisa terjadi apabila tidak adanya pengelolaan habitat beruang madu yang optimal.

Belum adanya informasi ilmiah mengenai keanekaragaman jenis pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti menyebabkan kurang spesifiknya pengelolaan habitat beruang madu yang dilakukan di areal tersebut. Salah satu aspek yang perlu diketahui untuk menunjang pengelolaan habitat beruang madu adalah keanekaragaman jenis pohon penghasil buah yang potensial sebagai pakan beruang madu. Alikodra (2002) menyatakan bahwa salah satu fungsi habitat adalah penyedia pakan, sehingga perlu diperhatikan untuk menentukan strategi pengelolaan habitat yang tepat. Oleh karena itu, perlu diperhatikan beberapa permasalahan utama dalam pengelolaan penyedia pakan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti, yaitu: (1) Jenis pohon apa saja yang potensial sebagai pakan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti? (2) Bagaimana pola sebaran pohon pakan di areal tersebut? (3) Faktor lingkungan apa saja yang menentukan keberadaan pohon pakan di areal tersebut?

3

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Areal konservasi

Habitat beruang madu

Analisis faktor penentu keberadaan pohon pakan Ketersediaan pakan Faktor lingkungan: - pH tanah - intensitas cahaya - ketebalan gambut

Kelestarian populasi dan habitat beruang madu

Pengayaan & pembinaan habitat Pohon pakan Keanekaragaman jenis Pola sebaran

4

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi:

1. Keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti.

2. Pola sebaran pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti.

3. Faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi dan pola sebaran pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, serta faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di areal tersebut. Beberapa informasi ini nantinya diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan pihak manajemen dalam menyusun strategi pengelolaan habitat beruang madu yang dapat menunjang kelestarian populasinya di areal tersebut.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Beruang Madu

Klasifikasi dan Morfologi

Beruang madu termasuk dalam Ordo Karnivora, Suku Ursidae, dan Genus Helarctos. Beruang madu memiliki nama ilmiah Helarctos malayanus. Spesies ini memiliki nama Inggris sun bear (Lekagul & McNeely 1977, Yasuma & Alikodra 1990, Payne et al. 2000, Maryanto et al. 2008). Selain itu, beruang madu memiliki nama lokal seperti bruang, baruwang, gampul, kibul, bahuang, wayuang, lego, yugam, bawang, berwan, biwang, buang, hugaang, makub, ngue, dan wahgoeng (Maryanto et al. 2007, Maryanto et al. 2008).

Beruang madu memiliki rambut pendek berwarna hitam, kecuali di bagian moncong berwarna abu-abu dan di bagian dada berwarna jingga yang membentuk huruf V (Gambar 2). Kaki beruang madu memiliki lima jari yang kuat. Bobot badan beruang madu sekitar 6.5 x 104 g. Panjang badannya mulai 1.125 m sampai 1.260 m, sedangkan panjang ekornya antara 3 x 10-2 sampai 9 x 10-2 m (Maryanto et al. 2008). Payne et al. (2000) menyatakan bahwa bobot badan beruang madu

5 mulai dari 4.8 x 104 g sampai 6.3 x 104 g. Menurut Lekagul & McNeely (1977), spesies ini memiliki telinga yang berukuran kecil dan bulat.

Gambar 2 Beruang madu di Taman Margasatwa Ragunan (dokumen pribadi)

Penyebaran

Penyebaran beruang madu di dunia meliputi Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan (Yasuma & Alikodra 1990, Payne et al. 2000). Menurut Yasuma & Alikodra (1990), keberadaan beruang madu di Kalimantan tercatat sampai di ketinggian 1500 mdpl di perbatasan Sabah- Sarawak dan 2300 mdpl di Gunung Kinabalu. Lekagul & McNeely (1977) menyatakan bahwa beruang madu dapat ditemukan di bagian selatan Cina. Selain itu, Servheen (1998) menyatakan bahwa beruang madu dapat ditemukan di Brunei Darussalam.

Pakan

Menurut Lekagul & McNeely (1977), pakan beruang madu adalah serangga, terutama lebah, rayap, dan cacing tanah. Beruang madu juga memakan hewan pengerat, burung kecil dan reptil (Medway 1978). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa beruang madu memakan sarang lebah, sarang rayap dan buah (Yasuma & Alikodra 1990, Maryanto et al. 2008). Fredriksson (2005) menyatakan bahwa beruang madu termasuk omnivora oportunistik, yaitu satwa yang juga memakan buah selain inverterbtara. Hasil penelitian Fredriksson et al. (2006a) menyatakan bahwa sumber pakan beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain diantaranya berasal dari 72 jenis pohon pakan selama periode

6

berbuah (Lampiran 1). Buah merupakan pakan yang penting bagi beruang madu karena diperlukan untuk membangun cadangan energi atau memulihkan cadangan energi yang hilang. Menurut Astuti (2006), di kebun binatang seekor beruang madu jantan dewasa dapat memakan buah sebanyak 5142±49.70 g hari-1, sedangkan seekor beruang madu betina dewasa dapat memakan buah sebanyak 4678±14.50 g hari-1.

Perilaku

Medway (1978) menyatakan bahwa beruang madu lebih aktif selama periode crepuscular. Spesies ini merupakan pemanjat pohon yang sangat baik (Lekagul & McNeely 1977). Beberapa peneliti menyatakan bahwa spesies ini dapat melakukan aktivitas di atas tanah dan di pohon yang tinggi (Yasuma & Alikodra 1990, Payne et al. 2000, dan Maryanto et al. 2008). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa beruang madu mampu hidup hingga berumur 20,5 tahun. Selain itu, Kitchener & Asa (2010) menyatakan bahwa catatan terpanjang masa hidup (life span) beruang madu di penangkaran adalah 35 tahun.

Salah satu perilaku beruang madu adalah menggali dan membongkar tanah yang bermanfaat untuk mempercepat proses penguraian dan daur ulang yang sangat penting untuk hutan hujan tropis. Selain itu, beruang madu juga memiliki peran penting dalam regenerasi hutan sebagai penyebar biji buah-buahan, yaitu apabila beruang madu memakan buah dengan biji yang ditelan utuh, maka setelah kotorannya dikeluarkan, biji yang ada di dalam kotoran tersebut akan segera tumbuh secara alami di dalam hutan (Fredriksson 2012).

Lekagul & McNeely (1977) menyatakan bahwa beruang madu sama seperti beruang lainnya, yaitu sering berdiri dengan kaki belakangnya untuk mendapatkan tampilan yang lebih besar ketika bertemu dengan pesaingnya atau sesuatu yang mengancam baginya. Beruang madu dapat dikatakan sebagai salah satu satwa paling berbahaya bagi manusia bila bertemu di hutan. Selain menggigit dengan taring yang tajam dan rahang yang kuat, beruang madu juga menggunakan cakar yang tajam dan kuat untuk merobek kulit kepala dan membuat luka yang parah pada wajah dan tubuh korban.

Biologi Reproduksi

Schwarzenberger et al. 2004 menyatakan bahwa masa bunting beruang madu selama tiga bulan. Frekuensi melahirkan induk betina beruang madu satu kali setiap tahun dengan interval masa etrus mulai dari 140 hari hingga 216 hari. Menurut Sastrapradja et al. (1982), jumlah anak per kelahiran (litter size) beruang madu yaitu satu sampai dua ekor.

Habitat

Menurut Payne et al. (2000), beruang madu dapat ditemukan di kawasan hutan yang luas dan kadang memasuki kebun di daerah-daerah terpencil.

7 Fredriksson et al. (2008) menyatakan bahwa beruang madu hidup di hutan primer, hutan sekunder dan sering juga di lahan pertanian. Tipe hutan yang termasuk habitat beruang madu diantaranya adalah hutan tropis dataran rendah, hutan dipterocarpaceae dan hutan pegunungan rendah (Servheen 1998). Selain itu, tipe hutan yang juga termasuk habitat beruang madu adalah hutan gambut (Alikodra 2002).

Status Hukum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa beruang madu termasuk satwa yang dilindungi di Indonesia. Spesies ini juga termasuk dalam kategori Appendix I CITES, yaitu kategori spesies yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional dan merupakan spesies yang terancam punah. Selain itu, spesies ini juga terdaftar dalam kategori rentan (vulnerable) The IUCN Red List of Threatened Species versi 3.1 tahun 2008.

Pola Sebaran Tumbuhan

Suatu jenis tumbuhan yang hidup dalam suatu ekosistem akan membentuk pola sebaran tertentu. Setiap individu jenis tersebut memiliki toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan. Setiap individu tersebut juga memiliki kondisi lingkungan tertentu dimana ia dapat tumbuh optimal (Poole 1974).

Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa dalam komunitas dikenal tiga macam pola sebaran, yaitu acak (random), berkelompok (clumped) dan seragam (uniform) (Gambar 3). Pola sebaran suatu jenis tumbuhan yang acak dalam suatu komunitas diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang homogen dan/atau pola tingkah laku jenis tumbuhan yang tidak selektif. Pola sebaran suatu jenis tumbuhan yang tidak acak (kelompok dan seragam) menggambarkan bahwa ada beberapa faktor pembatas dari lingkungan tempat tumbuhnya yang mempengaruhi kehadiran populasi suatu jenis tumbuhan. Pola sebaran tumbuhan yang mengelompok dapat disebabkan oleh lingkungan yang heterogen, tingkah laku dan model reproduksi suatu jenis tumbuhan. Pola sebaran tumbuhan yang seragam dapat terbentuk akibat dari interaksi antara individu-individu, seperti persaingan untuk mendapatkan nutrisi dan ruang.

8

Gambar 3 Pola sebaran tumbuhan: (a) acak, (b) berkelompok dan (c) seragam (Ludwig & Reynolds 1988)

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tumbuhan

Unsur Hara

Unsur hara merupakan unsur yang diperlukan oleh tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya (Dwijoseputro 1980; Rosmarkam & Yuwono 2002). Rinsema (1993) menambahkan bahwa unsur hara memiliki peran penting dalam merangsang perkembangan seluruh bagian tumbuhan.

Berdasarkan jumlah yang diperlukan tumbuhan, unsur hara dibagi menjadi dua golongan, yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah relatif banyak. Sementara unsur hara mikro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah relatif sedikit (Rosmarkam & Yuwono 2002; Winangun 2005; Parnata 2010).

Dwijoseputro (1980) menyatakan bahwa tumbuhan yang kekurangan salah satu unsur hara biasanya memperlihatkan tanda-tanda yang dapat dilihat dengan mudah. Tumbuhan yang mengalami defisiensi unsur hara akan tumbuh dan berkembang dengan tidak sempurna. Fungsi unsur hara dan gejala yang ditimbulkan akibat defisiensi unsur hara disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Fungsi unsur hara dan gejala yang ditimbulkan akibat defisiensi unsur hara

Jenis unsur hara Fungsi Gejala akibat defisiensi Unsur hara makro

Karbon (C) Bahan dasar untuk fotosintesis Metabolisme terhambat dan tumbuhan akan mati

Hidrogen (H) Bahan dasar untuk fotosintesis Metabolisme terhambat dan tumbuhan akan mati

Oksigen (O) Bahan dasar untuk fotosintesis Metabolisme terhambat dan tumbuhan akan mati

9 Tabel 1 Lanjutan

Jenis unsur hara Fungsi Gejala akibat defisiensi Unsur hara makro

Nitrogen (N) Komponen protein, lemak dan pembentukan klorofil

Daun tua menguning, kering dan mudah rontok, sedangkan daun yang muda berwarna hijau pucat

Kalium (K) Mengaktifkan enzim, mem- pengaruhi osmosis, membantu proses pembentukan karbo- hidrat, memperkuat jaringan dan membentuk antibodi tumbuhan

Daun akan tampak keriting atau menggulung serta menguning, terdapat bercak berukuran kecil, biasanya pada ujung, tepi dan jaringan antara tulang daun

Kalsium (Ca) Mengatur fungsi sel, menguat- kan dinding sel, penawar racun dalam tumbuhan, mengaktifkan pembentukan bulu-bulu akar dan menguatkan batang

Daun muda pada titik tumbuh melengkung, tunas ujung mati, pertumbuhan akar dan pucuk ranting terhambat, serta batang tumbuhan tidak kokoh

Magnesium (Mg) Membantu proses pembentukan klorofil dan mengaktifkan en- zim

Daun tua memerah, ujung dan tepi daunnya menggulung Fosfor (P) Membentuk akar, bahan dasar

protein, mempercepat pema- tangan buah dan memperkuat batang tumbuhan

Daun tua berwarna merah keunguan, pertumbuhan akar tidak normal, proses pema- tangan buah lambat

Sulfur (S) Membantu proses pembentukan bintil akar, tunas dan klorofil

Daun berwarna hijau pucat, batang dan ranting tampak kurus dan berbatang pendek Unsur hara mikro

Klor (Cl) Mengatur pertumbuhan akar dan batang, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi tumbuhan

Produktivitas rendah, tumbu- han menjadi layu dan proses pematangan buah lambat Besi (Fe) Mengatur sintesis protein dan

pembawa elektron

Daun muda mengalami klorosis, yaitu daun berwarna kuning dan mudah rontok Mangan (Mn) Mengaktifkan enzim dan

termasuk komponen struktural dalam membran kloroplas

Daun muda mengalami klorosis dengan bercak tersebar merata, tumbuhan tampak kerdil, dan pem- bentukan biji tidak sempurna Boron (B) Mengatur perkecambahan, pem-

bungaan dan pembelahan sel

Tunas pucuk dan cabang- cabang lateral mati, daun keriting dan mudah rontok Seng (Zn) Mengatur pembentukan auksin

dan mencegah kerusakan molekul klorofil

Daun berwarna merah tua dan pertumbuhan akar tidak nor- mal

Tembaga (Cu) Membantu pembentukan kloro- fil dan termasuk komponen dalam pembentukan enzim

Daun muda menjadi layu tetapi tidak sampai mengalami klorosis

10

Tabel 1 Lanjutan

Jenis unsur hara Fungsi Penyakit akibat defisiensi Unsur hara mikro

Molibdenum (Mo) Membantu kerja enzim dalam mereduksi nitrat

Daun hijau pucat dan meng- gulung

Sumber: Dwijoseputro (1980), Lakitan (2008) dan Parnata (2010).

Endah & Abidin (2002) menyatakan bahwa tumbuhan menyerap unsur hara dari tanah dalam bentuk ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Karena ion- ion tersebut bermuatan listrik, akan terjadi tarik-menarik antara ion dengan koloid tanah. Hanya ion yang tidak terikat dengan koloid tanah yang akan mudah diserap oleh akar tumbuhan.

Tabel 2 Bentuk unsur hara yang diserap oleh tumbuhan

Jenis unsur hara Bentuk yang diserap oleh tumbuhan Kation Anion Unsur hara makro

Nitrogen NH4 + NO3 - Kalium K+ - Kalsium Ca2+ - Magnesium Mg2+ - Fosfor - H2PO4 - , HPO4 2- Sulfur - SO4 2-

Unsur hara mikro

Klor - Cl- Besi Fe2+, Fe3+ - Mangan Mn2+ - Boron - BO32- Seng Zn2+ - Tembaga Cu2+, Cu3+ - Molibdenum - MoO4 2-

Sumber: Endah dan Abidin (2002).

Tingkat Keasaman Tanah

Tingkat keasaman tanah (pH tanah) menggambarkan jumlah relatif ion H+ terhadap ion OH- di dalam larutan tanah. Tingkat keasaman tanah mempunyai skala 0-14. Larutan tanah bereaksi asam jika nilai pH berada pada kisaran 0-6, yang berarti larutan tanah mengandung ion H+ lebih besar dibandingkan ion OH-. Sebaliknya, jika ion H+ lebih kecil dibandingkan ion OH-, maka larutan tanah tersebut bereaksi basa atau memiliki nilai pH antara 8-14.

Ketersediaan unsur hara di dalam tanah dipengaruhi oleh keasaman tanah. Pada kondisi tanah asam, ketersediaan unsur hara makro cenderung berkurang. Ketersediaan unsur hara makro berada dalam jumlah ideal pada kisaran pH 6-7.5

11 (Endah & Abidin 2002). Selain itu, pH tanah mempunyai pengaruh yang kuat pada ketersediaan unsur hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro (kecuali Mo dan Cl) menurun apabila pH tanah meningkat. Range pH terbaik untuk ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn berturut-turut adalah 5.0-7.0; 5.0-7.0; 4.0-6.5 dan 5.0-6.0 (Winarso 2005).

Fitter & Hay (1991) menyatakan bahwa pH tanah sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim yang ada pada tumbuhan. Tingkat keasaman tanah yang optimal untuk kerja enzim tersebut umumnya sekitar 6-8 (Rosmarkam & Yuwono 2002; Abdurahman 2006; Meryandini et al. 2009).

Hadrjowigeno (1995) menyatakan bahwa ada tiga alasan utama tingkat keasaman tanah sangat penting untuk diketahui, yaitu:

1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tumbuhan. Umumnya, unsur hara mudah diserap oleh akar tumbuhan pada pH tanah netral, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara mudah terlarut di dalam air.

2. Dapat menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tumbuhan. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur Al yang bersifat racun dan mengikat unsur P, sedangkan pada tanah basa banyak ditemukan unsur Natrium (Na) yang dapat bersifat racun bagi tumbuhan.

3. Berpengaruh terhadap perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Pada pH 5.5-7.0, bakteri pengurai bahan organik dapat berkembang dengan baik.

Ketebalan Gambut

Ketebalan gambut dapat mempengaruhi struktur tegakan hutan rawa gambut, seperti kerapatan pohon, volume, dan luas bidang dasar. Variasi jenis pohon di hutan rawa gambut erat kaitannya dengan ketebalan gambut (Mirmanto et al. 2003). Menurut Istomo (2002), kandungan hara tanah gambut semakin menurun dengan meningkatnya ketebalan gambut. Selain itu, ketebalan gambut dapat mengindikasikan kadar abu. Kadar abu tersebut dapat dijadikan gambaran kesuburan tanah gambut. Semakin tinggi ketebalan gambut mengakibatkan kadar abu semakin rendah. Gambut dangkal lebih subur dibandingkan dengan gambut tebal (kubah gambut) (Noor 2001).

Intensitas Cahaya Matahari

Cahaya mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan yang dikendalikan oleh cahaya antara lain perkecambahan, memanjangnya batang, membukanya hypocotyl, meluasnya daun, sintesis klorofil, gerakan batang, gerakan daun, dan pembukaan bunga (Fitter & Hay 1991). Selain itu, Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa cahaya merupakan faktor utama bagi pertumbuhan tumbuhan karena merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis yang akan menghasilkan karbohidrat.

Setiap jenis tumbuhan mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya matahari. Sebagian besar Angiospermae efisien dalam melakukan fotosintesis pada intensitas cahaya rendah daripada intensitas cahaya tinggi, sedangkan

12

Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis. Oleh karena itu, agar tumbuhan dapat melakukan fotosintesis dengan baik, tumbuhan membutuhkan intensitas cahaya yang optimal.

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Juni hingga bulan Juli 2012. Penelitian berlokasi di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian dilakukan di areal konservasi

Dokumen terkait