• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 28 April 1971 sebagai putri pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Sunawar dan Ibu Endang Pudjiharti. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Teknologi Informasi untuk Perpustakaan, pada program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2013.

Penulis bekerja di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti sebagai kepala perpustakaan sejak tahun 1996.

ABSTRACT

DIAN IQRA PRANITA. Improvement of Agronomic Characters of Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv) Through Gamma Irradiation. Under supervision of TRIKOESOEMANINGTYAS as chairman, BAMBANG S. PURWOKO and DESTA WIRNAS as members of the advisory committee.

Buru Hotong (Setaria Italica (L.) Beauv) is potential source of food that has not been developed in Indonesia. The plants is in the family Gramineae and a self-pollinated crops. Buru hotong is a type of grasses, have a small seed, and green seed color at early stage and light brown when mature. Althought the nutrient content of buru hotong is very good, but the productivity is low. The plant also has a very high height. Lowering the plant staments a held and can be improve by mutation. The objectives of the research were to study the radiosensitivity of buru hotong to gamma ray irradiation, to obtain information on genetic variation of M2 and M3 populations. Seeds were exposed to gamma ray irradiation at the Center for Biological Resources and Biotechnology, Bogor Agricultural University and the field experiments were conducted at the field station of Bogor Agricultural University. To determine the radiosensitivity, the seeds of buru hotong was treated with gamma ray irradiation at 50 gray, 100 gray, 150 gray, 200 gray, 400 gray, 600 gray, and 800 gray. The M1 population were grown and observe for mortality to determine the radiosensitivity. The results of the observation on M1 showed that gamma ray irradiation gave different responses in germination percentage at each dosage of irradiation. The LD50 for buru hotong was found to be at 342,39 Gy. M2 populations were grown and observed for variability. The results showed that low dose of gamma rays irradiation produced genetic variability of agronomic characters in the M2 generation.

Key words: buru hotong, foxtail millet, mutation, lethal dose 50, genetic variability

RINGKASAN

DIAN IQRA PRANITA. Perbaikan Karakter Agronomi Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv) Melalui Irradiasi Sinar Gamma. Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS, BAMBANG S. PURWOKO dan DESTA WIRNAS.

Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv) merupakan salah satu sumber bahan pangan potensial yang belum banyak di kembangkan di Indonesia. Tanaman ini termasuk family Gramineae dan merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Buru hotong merupakan salah satu jenis tanaman yang sedang dikembangkan menjadi pangan unggulan di Kabupaten Buru. Dalam rangka mengembangkan kearifan lokal Indonesia, maka pengembangan buru hotong sangat penting dilakukan.

Penelitian dibagi menjadi tiga percobaan yang dilakukan di kebun percobaan Cikabayan pada University Farm IPB, Bogor dan di kebun percobaan Dinas Pertanian Kabupaten Buru, Propinsi Maluku. Materi genetik yang digunakan pada percobaan ini adalah benih buru hotong hasil irradiasi sinar gamma. Dosis irradiasi yang digunakan pad apercobaan 1 adalah 0, 50, 100, 150, 200, 400, 600, dan 800 Gray. Dosis irradiasi yang digunakan pada percobaan 2 dan 3 adalah 0, 50, 100, 150, 200, 400, dan 600 Gy.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LD50 yang diperoleh adalah sebesar 342,39 Gray. Hal ini membuktikan bahwa buru hotong hanya mampu tumbuh dengan normal pada dosis irradiasi tersebut. Pada umumnya, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa tersebut, begitu juga sebaliknya semakin besar nilai LD50 berarti semakin rendah toksisitasnya.

Tanaman hasil irradiasi menunjukkan respon yang berbeda pada setiap dosis yang diberikan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan nilai tengah generasi M1 untuk karakter tinggi tanaman. Populasi 50 Gy, 100 Gy, dan 150 Gy memiliki nilai tengah yang berbeda nyata dengan populasi kontrol. Sedangkan populasi 200 Gy, 400 Gy, dan 600 Gy memiliki nilai tengah yang berbeda sangat nyata dengan populasi kontrol. Nilai heritabilitas arti luas tertinggi terdapat pada karakter diameter malai, bobot malai, dan bobot biji per malai, Dosis 50 Gy, 100 Gy, dan 150 Gy yang menunjukkan nilai duga heritabilitas arti luas yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis irradiasi diatas 150 Gy.

Nilai tengah karakter agronomi tinggi tanaman pada generasi hasil iiradiasi M3 cenderung menurun dibandingkan dengan nilai tengah tinggi tanaman pada generasi hasil irradiasi M1. Sedangkan nilai tengah karakter agronomis panjang malai mengalami peningkatan dibandingkan dengan nilai tengah panjang malai pada generasi M2. Nilai tengah karakter agronomis diameter malai menunjukkan peningkatan pada dosis irradiasi 50 Gy, 150 Gy, 200 Gy, dan 600 Gy, sedangkan nilai tengah pada dosis irradiasi 100 Gy menunjukkan penurunan. Bobot malai pada generasi hasil irradiasi M3 dengan dosis 150 Gy memberikan hasil nilai tengah yang meningkat dibandingkan dengan nilai tengah karakter bobot malai pada generasi hasil irradiasi M2.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv) merupakan salah satu sumber bahan pangan potensial yang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini termasuk famili Gramineae dan merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Buru hotong termasuk rumput-rumputan, berbiji kecil, warna biji saat tanaman muda berwarna hijau dan biji yang telah siap panen berwarna coklat muda. Biji tersusun rapat dalam berbagai bentuk yaitu berbentuk gada, silindris, atau runcing pada salah satu atau kedua ujungnya. Tinggi tanaman berkisar 101 cm – 176 cm, umur mulai berbunga yaitu 28 – 66 hari, dan berumur panen antara 62 – 102 hari. Menurut Nurmala (1997) jenis Setaria italica banyak dikembangkan di Afrika, India, Cina, Rusia, dan Italia.

Buru hotong salah satu jenis tanaman yang sedang dikembangkan menjadi pangan unggulan di Kabupaten Buru. Dalam rangka mengembangkan kearifan lokal Indonesia, maka pengembangan buru hotong sangat penting dilakukan. Selain bulir hotong yang memiliki nilai ekonomi tinggi, daun dan batang dari tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Buru hotong termasuk tanaman penghasil karbohidrat yang potensial untuk mensubsidikan kelangkaan beras yang terjadi di Indonesia. Tanaman ini juga berpotensi dikembangkan menjadi pangan pokok alternatif, serta makanan tambahan bayi. Keunggulan buru hotong ada pada kandungan karbohidrat dan protein yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat yang hampir sama dengan padi yaitu sebesar 73.36 %, dan kandungan protein yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan padi yaitu sebesar 11.18 % (Andarwulan 2003). Oleh karena itu perlu dibudidayakan secara luas serta dijaga kelestariannya sebagai komoditi lokal.

Walaupun kandungan gizi buru hotong sangat baik, tetapi produktivitasnya yang rendah menyebabkan tanaman ini kurang diminati untuk dikembangkan oleh petani di Kabupaten Buru. Selain produktivitas yang rendah, tanaman ini juga

rebah. Tingkat kerebahan tanaman buru hotong yang sangat tinggi dan serangan hama burung juga menjadi salah satu alasan mengapa minat petani di daerah asal untuk mengembangkan tanaman ini masih sangat rendah. Serangan hama burung ditunjang oleh tinggi tanaman buru hotong yang tinggi yang memudahkan burung untuk menyerang malai tanaman buru hotong. Tingkat produktivitas yang rendah dan tinggi tanaman dapat diperbaiki melalui mutasi.

Tanaman buru hotong merupakan salah satu tanaman yang sulit untuk disilangkan berdasar pada morfologi bunga dan pola antesis (Baltensperger, 1996). Pembungaan terjadi pada bulir yang terletak pada spikelet, setiap spikelet terdiri dari sepasang glume yang berbunga setiap 2 menit (panjang bunga sekitar 1mm), bunga di bagian bawah steril sedangkan pada bagian atas berkelamin ganda, dengan jumlah stamen sebanyak 3 buah (Hector, 1936). Oleh karena adanya perbedaan waktu berbunga, proses antesis yang sulit dan ketergantungan pembungaan terhadap lingkungan tumbuh, maka pemuliaan mutasi dipilih sebagai metode untuk perbaikan tanaman buru hotong karena tidak memungkinkan jika dilakukan pemuliaan secara umum atau konvensional (Li et al 1935).

Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi dapat dihasilkan melalui hibridisasi, mutagenesis, atau melalui mutasi yang terjadi secara alami (Fehr, 1987; OECD, 1993). Keragaman merupakan modal dasar untuk merakit kultivar baru tersebut. Salah satu upaya peningkatan keragam adalah dengan induksi mutasi. Jusuf (2001) mengemukakan bahwa mutasi dapat dihasilkan oleh beberapa agen mutagenik seperti radiasi, non radiasi, maupun kimia. Sumber radiasi yang sering digunakan adalah sinar X, sinar gamma, ultra violet, sinar beta dari radioisotop dan sinar neutron dari reaktor atom. Menurut Poespodarsono (1986) radiasi gamma merupakan radiasi pengion yang mempunyai kekuatan daya tembus tinggi. Herawati dan Setiamihardja (2000) juga mengemukakan bahwa radiasi sinar gamma memiliki kemampuan penetrasi yang cukup kuat ke dalam jaringan tanaman sehingga dapat menyebabkan perubahan baik pada tingkat gen maupun kromosom.

Proses seleksi akan efektif jika ada perbedaan-perbedaan secara genetik (Bari et al. 1981). Helyanto et al. (2000) menyatakan bahwa apabila suatu karakter memiliki keragaman cukup luas, seleksi untuk mendapatkan karakter

yang diinginkan akan lebih mudah. Karakter yang menjadi target seleksi diharapkan merupakan karakter yang memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Heritabilitas adalah perbandingan ragam genetik terhadap total ragam fenotipik. Seleksi individual keturunan tanaman penyerbuk sendiri ini sering disebut dengan seleksi galur murni. Pada cara ini sudah dilakukan penilaian atau pengujian terhadap keturunan tanaman terpilih. Dengan demikian, metode ini merupakan seleksi tanaman yang sudah mendasarkan pada genotipe tanamannya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini betujuan untuk :

1. Menduga tingkat radiosensitivitas (LD50) dari buru hotong.

2. Mendapatkan informasi tentang keragaman buru hotong akibat mutasi dengan irradiasi sinar gamma.

3. Menduga nilai parameter genetik karakter agronomi buru hotong.

4. Melakukan seleksi galur-galur mutan buru hotong hasil irradiasi sinar gamma.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan keragaman karakter agronomi pada berbagai taraf irradiasi yang diberikan.

2. Terdapat nilai LD50 pada kisaran dosis yang diujikan.

3. Terdapat satu atau lebih parameter genetik yang yang dapat dijadikan kriteria seleksi dalam perbaikan karakter agronomi buru hotong.

4. Terdapat paling tidak satu mutan yang memiliki karakter agronomi yang lebih baik dibandingan tetuanya.

Alur kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pendaftaran varietas lokal buru hotong

No pendaftaran : 37/PVL/2011

Irradiasi sinar gamma dosis 0, 50, 100, 150, 200, 400, 600, 800

Penetapan LD 50

Keragaan dan keragaman tanaman

Bulk Keragaman populasi M1

Seleksi Pedigree Keragaman karakter agronomi dan

pendugaan parameter genetik populasi M2

Seleksi Pedigree Seleksi mutan populasi

Dokumen terkait