• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng

PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KIN

A. Ngrombeng Dulu

A.3. Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng

Fenomena ngrombèng sebagaimana berkembang luas di tengah masyarkat Yogyakarta tidak bisa dipisahkan dari ruang hidup atau tempat di mana pakaian bekas atau rombengan itu diperjualbelikan. Aktivitas ngrombèng dalam masyarakat Yogyakarta mengingatkan pada fenomena ekonomi perdagangan pakaian bekas sarthir – akronim dari pasar sênthir,14 yang terkenal di era 1960-1980-an. Istilah sarthir mengacu pada model perdagangan casual (kali lima) yang dilakukan para pedagang bermodal kecil dengan cara menggelar barang dagangan mereka di bawah pohon, trotoar jalan, atau emperan toko dengan plastik, tikar, atau terpal sebagai alas, dan lampu minyak bersumbu (sênthir) sebagai sumber penerangan. Sarthir umumnya beroperasi lebih kurang mulai dari jam 19 hingga jam 24 tengah malam atau bahkan dini hari. Selain pakaian bekas, di (tempat) sarthir juga diperjualbelikan

14 Ada sebagian masyarakat yang menyebut sarthir dengan Klithikan. Konon nama ini merupakan anomatope dari bunyi “klithik-klithik” yang muncul dari bunyi barang saat didagangkan. Lihat, “Pasar Klithikan Kuncen”, JogjaTrip.com diakses pada 10 April 2010.

50

pelbagai barang lain seperti: audio/video player, radio, recorder, amplifier dan TV bekas; seterika listrik, lampu belajar, kipas angin; hingga perkakas sepeda dan sepeda motor bekas. Secara sosiologis sarthir juga distigmakan memiliki kaitan dengan aktivitas kriminal seperti pencurian, kekerasan dan pelacuran.

Mulai kapan aktivitas ekonomi sarthir muncul di tengah masyarakat tidak seorang pun bisa memastikannya. Sebagian masyarakat ada yang meyakini bahwa ia muncul di awal tahun 1970-an seiring dengan penataan ekonomi rejim Orde Baru dari pertanian ke non-pertanian pasca G30S. Sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil ini muncul ke tengah-tengah masyarakat Yogyakarta sekitar akhir 1960-an. Satu kurun waktu yang berkaitan erat dengan memburuknya kondisi ekonomi Indonesia pada periode terakhir pemerintahan politik rezim Soekarno.15 Apa yang cukup jelas kemudian

adalah setelah pamor sarthir meredup, pada awal hingga akhir tahun 1990-an muncul bentuk perdagangan serupa yang tidak memerlukan waktu lama menjadi booming di Yogyakarta: “awul-awul”. Sebagaimana halnya sarthir bentuk perdagangan ini dilakukan dengan cara sangat sederhana. Para pedagang meletakkan dagangannya begitu saja di atas tikar plastik atau terpal secara memanjang mengikuti arah trotoar jalan; Sebagian penjual menjajakan daganganya di los-los pasar tradisional.

Di lokasi itu tidak seorang pedagang pun yang merasa perlu memilah dan menata pakaian terlebih dulu. Di sepanjang trotoar jalan-jalan utama kota atau los- los pasar tradisional ratusan pedagang bekas itu menggelar dagangan mereka yang

15 Sekurang-kurangnya ada empat lokasi sarthir di Yogyakarta yang cukup terkenal di era 1980-an: (1) sarthir Senopati di kawasan Shopping Center, (2) sarthir Pakualaman di kawasan alun-alun Puro Pakualaman, (3) sarthir Haji Dahlan di halaman Gedoeng Pertemoean Muhammadijah, di kawasan Ngabean, dan (4) sarthir Terban yang berlokasi di Terminal “Colt Kampus” Terban.

51

volumenya bergunung-gunung. Para pedagang itu rata-rata memulai aktivitasnya mulai dari jam 8 pagi sampai sekitar jam 9 malam. Menjelang Maghrib tiba sebagian penjual kemudian menggunakan lampu-lampu minyak (petormax) sebagai alat penerang kegiatannya. Sementara sebagian lainnya memasang lampu pijar dengan listrik yang ditarik dari kios atau rumah penduduk terdekat dengan jalan di mana mereka mangkal. Mengandalkan pada ingatan, aktivitas ngrombeng (dalam hal ini “ngawul”) tersebar di 20 lokasi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. 16

16 Ingatan itu saya konfirmasikan ulang dengan Fadel, pemilik gerai “Sandang Murah”, dan Teddy, pemilik gerai (NN, tanpa nama) di Jln. KH. Ahmad Dahlan, sebagai “wong gaek” (orang lama) dalam perdagangan rombengan atau pakaian “awul-awul” di Yogyakarta. Selama periode itu mereka berdua masing-masing mangkal di trotoar Jln. Ngasem dan Jln. KH. Ahmad Dahlan. Di area itu pula keduanya kemudian mengembangkan rombengan atau pakaian “awul-awul” dalam bentuknya yang sekarang. Wawancara terpisah dilakukan pada 17 Oktober 2010.

Titik Lokasi

1 Jl. Nyi Condrolukito (PDAM Gemawang) hingga Jl. A.M. Sangaji

(Jetis) ke barat sampai Maerakaca.

2 Pasar Kranggan (Jl. Poncowinatan)

3 Jl. P. Mangkubumi: Tugu ke selatan sampai Stasiun KA Tugu. 4 Kantor Samsat, Pingit hingga Gampingan (Jl. HOS Cokroaminoto) 5 Jl. Wirobrajan hingga Bayeman.

6 Jl. Kaliurang (Kentungan) hingga Pasar Terban (Jl. C. Simanjuntak).

7 Jl. Gejayan hingga depan RRI dan Pasar Demangan.

8 Bunderan UGM hingga Jln. Colombo (UNY).

9 Pasar Demangan hingga perpustakaan IAIN (Jl. Adisutjipto).

10 IAIN Sunan Kalijaga hingga Walikota (Jl. Kapas).

11 TVRI (Karangwaru) hingga perempatan Pingit (Jl. Magelang). 12 Jl. Sultan Agung (Semaki) hingga shopping center (Jl. P. Senapati). 13 Pasar Beringharjo

14 Seputaran Stadion Mandala Krida hingga Jl. Gayam. 15 Jl. Gajah Mada hingga Alun-alun Puro Pakualaman.

16 Gereja Kotabaru hingga Jl. Ahmad Jazuli (Masjid Syuhada). 17 Seputaran Stadion Kridosono (Jln. Yos Sudarso).

18 Seputaran Alun-alun Lor. 19 Seputaran Alun-alun Kidul. 20 Sepanjang Jl. Ngasem.

Tabel 1.

52

Ngrombèng (dalam hal ini berarti “awul-awul”) menemukan momentumnya di awal bulan. Bagi sebagian besar mahasiswa indeskost-an, awal bulan menjadi penanda bagi mereka untuk mencari “pakaian baru” (dalam arti belum pernah dimiliki) setelah krisis finansial mereka usai dengan datangnya uang dari orang tua. Jika untuk kebutuhan makan kami mengembangkan siasat “STEREO” (alias Sêga Sêtengah Témpéné Loro, nasi setengah piring plus 2 tempe) atau “SANJUNG LABEL” (Sêgané Munjung Lawuhé Sambêl, nasi bak gunung, lauknya sambal), untuk kebutuhan pakaian kami mengisinya dengancara ngrombèng. Jika kebutuhan lain masih menganga atau belum terpenuhi, tidak jarang kami pun kemudian akan menjual (istilahnya dulu “melego”) atau “nyekolahke” (istilah populer untuk ‘menggadaikan’) barang-barang yang kami miliki, seperti: mesin ketik, gitar, audio player (seperti radio atau tape), ransel atau koper, sepeda kayuh, hingga sepeda motor ke pegadaian untuk sejumlah uang. Aktivitas terakhir ini bukan tanpa resiko, sebab jika kita gagal menebus barang yang telah disepakati dengan pihak pegadaian sesuai “jatuh tempo”, maka semua barang akan di-beslaag (sita).

Akan tetapi ngrombèng pada awalnya sejatinya merupakan aktivitas yang penuh dengan kelemahan dan spekulasi. Lokasi perdagangan yang kotor, gelap, dan tidak nyaman, tidak cukup memberi keleluasaan kepada kami sebagai pembeli untuk memilih dan meneliti pakaian yang akan dibeli secara memadai. Demikian halnya hospitalitas penjual yang rendah, seperti tampak pada sikap mereka yang tidak memberi kesempatan kepada pembeli untuk bisa memilih secara cepat (melainkan terlebih dulu harus ngawul-awul), tidak mengizinkan pembeli mencoba pakaian terlebih dulu, atau tidak menerima penukaran pakaian yang sudah dibeli, praktis meniadakan aspek kenyamanan kepada para pembeli pada saat berbelanja di situ.

53

Akibatnya pembeli sama sekali tidak mendapatkan kemerdekaan dan jaminan atas apa yang dibeli. Pembeli bahkan sejatinya telah kehilangan hak atas apa yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam situasi dan kondisi yang demikian itu faktor luck kadang kala justru menjadi faktor dominan yang akan muncul beriringan dengan aktivitas ngrombèng.

Pada waktu tertentu apabila sedang beruntung saya memang bisa mendapatkan rombengan dalam kondisi yang baik. Akan tetapi yang paling sering menimpa saya adalah saya akan membawa pulang rombengan dalam kondisi yang tidak baik. Di beberapa bagian mengandung banyak kecacatan. Untuk kemeja misalnya, cacat yang kerap muncul adalah meliputi: kondisi lusuh (mêmrêt: Jawa) di bagian krah, jahitan terlepas (dhèdhèl: Jawa) di bagian ketiak atau pangkal lengan, satu dua buah kancing baju pecah atau hilang, lubang-lubang kecil bekas gigitan rengat atau tikus, lubang bekas sundutan rokok atau obat nyamuk spiral (bakar), dan

Gambar 2a Pakaian Bekas Dulu

54

bercak noda tinta atau getah. Sedangkan untuk jenis celana dan jaket, kecacatan yang paling kerap saya temui meliputi: ritsluiting yang hilang pengaitnya (hook), macet, atau rusak; jahitan yang terbuka di bagian pangkal paha; atau adanya lubang bekas sundutan rokok di bagian dada dan lengan.

Kondisi lain yang sering bikin uring-uringan dan tidak hanya satu dua kali menimpa saya adalah ukuran pakaian bekas atau rombengan yang sama sekali tidak sesuai badan. Ketiadaan kesempatan untuk mencoba pakaian terlebih dulu (fitting) memaksa pembeli hanya bisa mengira-ngira ukuran pakaian yang akan dibeli dengan presisi tebakan 1:100. Dari kondisi semacam itu tidak mengherankan kiranya jika kemudian pakaian bekas atau rombengan yang saya peroleh kadang bisa terlalu besar atau terlalu kecil. Kerusakan atau kecacatan dan ketidaksesuaian ukuran itu kemudian saya akali dengan membawanya ke tukang jahit engkol17

(dikenal umum sebagai tukang vermak) yang dulu banyak sekali mangkal di Pasar Kranggan atau seputaran Gereja Jetis. Di tangan-tangan terampil seperti mereka nasib dan keberuntungan pakaian bekas atau rombengan yang mengenaskan itu saya serahkan. Estimasi waktu reparasi mereka hitung dari besar kecilnya kecacatan. Untuk kecacatan sebagaimana yang dapatkan kurang dari satu jam usai.

Jahitan yang terbuka (dhèdhèl) di bagian ketiak untuk baju atau di pangkal paha untuk celana akan mereka jahit ulang. Untuk kancing baju, pengait celana, atau ritsluitingyang rusak akan mereka ganti dengan yang baru. Sementara kondisi kain yang lusuh di bagian kerah atau lubang bekas api rokok pada kemeja dan jaket,

17 Mesin jahit engkol dibedakan dari mesin jahit jenis pedal-string yang biasa dipakai oleh penjahit- penjahit besar (tailor) atau konveksi yang untuk menjalankannya bertumpu pada kaki. Untuk menjalankan mesin jahit engkol, pengguna harus memutar (mengengkol) pedal pemutar gir yang ditempel di badan mesin (rata-rata) bagian kanan. Dengan model ini penjahit harus punya keterampilan lebih, karena pada saat tangan kanan mengengkol, tangan kiri harus menyetir pakaian yang dijahit agar tetap lurus.

55

masing-masing akan mereka siasati dengan cara membalik kain, menggantinya dengan kain sewarna, atau mengubah model kerah. Untuk jenis kecacatan karena bercak noda yang menempel pada pakaian, akan mereka oper ke koleganya tukang blauw (harafiah: biru) dan naptol yang ada di lokasi yang sama guna dilakukan pewarnaan ulang. Sementara untuk pakaian yang terlalu besar atau terlalu kecil, saya atasi dengan satu cara: memberikannya pada orang yang mau, termasuk kepada pejahit itu sendiri. Biaya vermak yang melebihi harga rombengan adalah alasan yang paling masuk akal mendasari tindakan saya itu. Si Tukang vermak dengan senang menerima “bingkisan” saya.

Begitu sampai di pondokan pakaian bekas atau rombengan itu tidak langsung saya kenakan, tetapi akan saya rendam terlebih dulu dengan air biasa selama satu malam. Selain dimaksudkan untuk melepaskan kotoran, merendam dengan air biasa berguna untuk menghidupkan kembali serat pakaian yang kering selama rombengan itu berada di lapak di bawah terik matahari dan angin malam. Khusus untuk pakaian yang dinaptol, agar tidak merusak warna pakaian lain, saya pisahkan dari pakaian lainnya. Keesokan harinya rombenganitu saya bilas dengan air biasa, lalu direndam lagi dengan menambahkan deterjen dan membiarkannya selama tiga hingga empat jam. Setelah proses merendam dipandang cukup, pakaian dikucek, disikat, dibilas berkali-kali hingga bersih, lalu dijemur. Jika ada panas seharian rombengan akan saya seterika pada sore harinya. Jika tidak ada panas sama sekali, terpaksa harus menunggu hingga betul-betul kering. Jika dilanggar akan menyiksa diri sendiri. Pakaian bekas punya karakteristik yang cukup mencolok dibanding pakaian yang biasa kita pakai. Kadang meski sudah dicuci kotoran yang dihasilkannya sangat banyak sehingga memerlukan berulang kali pembilasan.

56

Dari paparan di atas tampak bahwa meski telah sedemikian rupa terikat dalam sistem dan mekanisme pertukaran (pasar), ngrombeng masih dijalankan secara konvensional. Demikian halnya bahwa ruang hidup rombenganatau pakaian “awul-awul” itu hanya terentang di antara trotoar jalan, pèrko (èmpèran toko), atau loos-loos pasar tradisional yang kotor, bau, berdebu, panas, dan gelap, serta dalam kondisi yang tidak nyaman, tidak ramah, dan tanpa jaminan sebagaimana halnya sarthir. Sebuah kondisi yang pada gilirannya memertegas identitas rombengan sebagai sesuatu yang kotor dan tidak higienis. Kondisi yang secara cepat memantik persepsi dan kesimpulan orang pada umumnya untuk mengasosiasikan rombengan dengan sesuatu yang “ora murwat” (tidak pantas) dikenakan. Sebagai sesuatu yang “ora murwat”, sudah barang pasti ngrombeng pun kemudian akan terjatuh sebagai aktivitas yang berkonotasi negatif, “ora lumrah” (tidak layak) dilakukan.

Gambar 2b Pakaian Bekas Dulu

57

Sebagaimana diketahui, sebagai sebuah rombengan, kategori pakaian “awul- awul” sejatinya bukan lagi semata-mata barang (goods), tetapi telah bergeser menjadi komoditas (commodity) barang dagangan. Dengan kata lain sebagai barang dagangan status atau kategori rombengan atau pakaian “awul-awul” bukan lagi barang bebas, tetapi telah sedemikian rupa bergeser menjadi barang ekonomi – barang yang dikelola dan digerakkan dalam sistem dan mekanisme pertukaran ekonomi untuk mendapatkan nilai ekonomi atau keuntungan tertentu. Demikian halnya untuk mendapatkan pakaian bekas orang sudah pasti harus menukarkannya dengan sejumlah uang. Dengan demikian pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” sebagaimana beredar luas dan dikonsumsi oleh masyarakat Yogyakarta pada umumnya tidak lain adalah merepresentasikan realitas perdagangan.

Perubahan status pakaian bekas dari barang (goods) menjadi rombengan, dagangan, atau komoditas, pada saat yang sama mengacu pada keberadaan nilai tukar (exchange value) suatu barang. Dalam hal ini pakaian bekas atau rombengan memiliki fungsi karena ia bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Melalui sistem dan mekanisme pertukaran sebagaimana terjadi di pasar, nilai guna inilah yang kemudian dihargai dengan nilai tukar ekonomis (yang dalam wujud konkretnya dikenal dengan uang). Keberadaan nilai guna sebagaimana melekat dalam komoditas umumnya sangat disadari oleh para penjual pakaian bekas dan enjadi orientasi utama mereka dalam menjajakan atau memerjualbelikan dagangannya. Karenanya keberadaan nilai ini pulalah yang menjadi dasar keberadaan pakaian dalam masyarakat Yogyakarta.

Di sisi lain sebagai komoditas, rombengan juga memiliki nilai fungsi (sign function). Dalam pengertian ini rombengan tidak saja memiliki nilai guna (dan nilai

58

tukar) tetapi juga nilai tanda (sign). Selain bisa dipakai memenuhi kebutuhan fungsional ia juga bisa dipakai sebagai alat atau instrumen untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat simbolik, kebutuhan akan prestige. Keberadaan akan nilai tanda ini paling dirasakan konsumen, sekaligus menjadi dasar bagi mereka untuk mengkonsumsi suatu barang.18 Dengan demikian pakaian bekas dikonsumsi bukan

saja karena fungsi instrumentalnya tapi juga nilai simboliknya. Sampai di sini jika sebelumnya bahwa alasan atau motif penggunaan rombengan pertama-tama didasarkan pada harganya yang murah atau terjangkau secara finansial, aktivitas itu pun didorong oleh adanya nilai tanda yang melekat di dalamnya. Nilai inilah yang akan dipertahankan konsumen dari rombengan.