DAFTAR PUSTAKA
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Data yang dipergunakan dalam penelitian merupakan data deret waktu (time series) tahunan, yaitu dari periode 1969-2011.
Data yang dipergunakan merupakan data resmi pemerintah dan tidak mencakup data yang tidak resmi, ilegal, dan tidak tercatat atau penyelundupan.
Harga beras domestik yang digunakan adalah harga beras eceran dengan kualitas medium karena merupakan beras yang banyak dikonsumsi masyarakat.
Harga beras dunia menggunakan harga FOB Thailand karena Thailand merupakan eksportir terbesar beras di dunia.
Analisis yang digunakan adalah analisis kointegrasi dengan metode Vector Error Correctin Model (VECM) yang terlebih dahulu menggunakan metode Total Faktor Produktivitas (TFP)
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi
Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand, D) semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply, S)
semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan atau pertanian, pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi penawaran yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit untuk dikontrol.
Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson, 2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Terjadinya ketidakstabilan harga beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik. Kedua, ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan.
Ketidakstabilan harga tersebut dapat merugikan produsen pada musim panen dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping itu juga akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Artinya intervensi pemerintah untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil.
Menurut Irawan (2004) pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah. Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras mempengaruhi stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar yang derajat liberalisasinya semakin meningkat. Dalam kaitannya antara perubahan harga komoditas dan inflasi, Furlong dan Ingenito (1996) meyakini bahwa harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock
yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan
(aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks seperti banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut.
Pergerakan harga komoditas pangan atau pertanian akan selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat. Hasil estimasi yang dilakukan oleh Furlong dan Ingenito(1996) dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR) dan rolling regression menyimpulkan bahwa harga komoditas mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan inflasi, walaupun koefisiennya mengalami penurunan.
Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Cody dan Mills (1991) sehingga mereka percaya bahwa peningkatan harga komoditas yang menjadi sinyal peningkatan inflasi harus diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter. Namun, hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa respon bank sentral melalui
fed funds rate terhadap perubahan harga komoditas tidak signifikan sehingga inflasi yang terjadi lebih tinggi dari level inflasi optimalnya. Dapat diyakini bahwa laju inflasi dapat ditekan dan diturunkan, jika bank sentral memberi respon yang lebih memadai terhadap kenaikan harga komoditas tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa harga komoditas memiliki kandungan informasi yang baik terhadap inflasi.
2.2 Transmisi Harga
Analisis yang umum dipakai untuk mengetahui hubungan antar harga adalah transmisi harga dan integrasi pasar. Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antar aspek permintaan dan penawaran harga. Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel-variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga.
Isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian adalah bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi, dan kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion, 1986).
Spasial transmisi harga melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah secara spasial di suatu negara adalah berhubungan atau bagaimana harga domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang
berhubungan dengan lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan dunia.
Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan. Dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one price) memberikan pengertian bahwa transmisi harga disebut lengkap pada kondisi harga keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia. Model ini memprediksikan bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan melalui arbitrase spasial.
Fackler dan Goodwin (2002) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara harga tersebut adalah :
P1t = P2t + C (1)
Jika hubungan dua harga terjadi seperti formula tersebut maka kedua pasar dikatakan terintegrasi. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer. C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1
ke pasar 2. λ adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara
harga di dua pasar tersebut diidentifikasikan sebagai berikut:
P2t– P1t= λC (2)
Fackler dan Goodwin (2002) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi arbitrase spasial dan berpendapat bahwa hubungan tersebut mengidentifikasikan sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga, bentuk yang kuat dicirikan oleh persaman (1). Fackler dan Goodwin juga menekankan bahwa hubungan persamaan (2) mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat berbeda dari hubungan persamaan (1), tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.
2.3 Model Kointegrasi
Konsep kointegrasi diperkenalkan oleh Engle dan Granger (1987), dimana analisis formalnya dimulai dengan mendasarkan pada himpunan peubah ekonomi yang berada pada keseimbangan jangka panjang.
β 1x1t+ β 2x2t + ... + β nxnt = 0 atau β‟xt = 0
penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang disebut galat ekuilibrium (et),
sehingga εt = β‟xt dimana εt pada kondisi stasioner. Menurut Engle dan Granger komponen suatu vektor xt „ = ( x1t, x2t, ..., xnt)‟ dikatakan berkointegrasi orde (d,b) dan dinyatakan dengan CI (d,b), jika :
b Ada vektor β‟ = (β1 β2 ... βn) sehingga kobinasi linear β‟xt berintegrasi orde d-b, dimana b > 0 dan β disebut vektor kointegrasi.
Prinsip dari peubah kointegrasi adalah data deret waktunya dipengaruhi oleh penyimpangan keseimbangan jangka panjang. Jika sistem berada pada keseimbangan jangka panjang gerakan suatu peubah harus merespon besarnya ketidakseimbangan tersebut.
Integrasi Pasar
Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia tersebut langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang ditunjukkan harus sama. Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan yang positif antara harganya di wilayah pasar yang berbeda. Selanjutnya jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986). Berbeda dengan Barrett (2005) yang menyatakan bahwa pasar yang tidak terintegrasi spasial maupun intertemporal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi ketidakefisienan pasar seperti terjadi kolusi dan adanya konsentrasi pasar sehingga mengakibatkan adanya permainan harga dan terjadinya distorsi harga di pasar. Rifin (2005) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
1 Segmentansi pasar.
Pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi dimana apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Dengan demikian diharapkan dengan terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan.
2 Integrasi Jangka Pendek.
Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam harga di pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada harga dimasa yang akan datang. Dalam makroekonomi dan ekonomi internasional konsep yang umum dari integrasi pasar terfokus pada kemampuan dalam melakukan perdagangan. Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan permintaan dari suatu pasar ke pasar lainnya ditransmisikan sebagai arus fisik aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemontrasikan integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas (Barret, 2005).
Riset integrasi spasial pasar tradisional mengasumsikan bahwa dua daerah dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika perbedaan harga antara dua daerah sama persis dengan biaya transaksi yang
berhubungan dengan perdagangan (Bernal et.al., 2003). Pada suatu keseimbangan yang kompetitif, arus perdagangan terjadi sampai laba potensi menjadi jenuh. Jika perbedaan harga kurang dari biaya-biaya transaksi, maka pasar mungkin tersegmentasi atau jika perdagangan masih terjadi juga maka perbedaan ini mengindikasikan adanya strategi maksimisasi keuntungan jangka panjang atau kegagalan atas informasi jangka pendek. Pasar autarki menyediakan penjelasan alternatif untuk pasar tersegmentasi dengan kondisi keseimbangan (Bernal et.al., 2003). Kemudian Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terpadu apabila perubahan harga suatu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatannya maka semakin terpadu pasarnya.
Pada dasarnya analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, yaitu:
1 Integrasi Pasar Spasial
Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial. Perilaku harga spasial dalam pasar regional merupakan indikator penting dalam melihat market performance. Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien.
Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Mengingat akan pentingnya masalah ini, maka sejumlah uji empiris terhadap Dalil Harga Tunggal (The Law of One Price atau sering disingkat LOP) dan ukuran kesatuan dan keefisienan pasar telah banyak dilakukan (Fackler dan Goodwin, 2002). Dalil ini menyatakan bahwa pada keadaan pasar bersaing, semua harga-harga dalam suatu pasar akan seragam setelah adanya biaya tambahan terhadap kegunaan tempat, waktu dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan. Apabila pasar terintegrasi maka peningkatan harga di suatu daerah atau negara akan ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Namun ada beberapa prinsip-prinsip yang menentukan perbedaan harga pasar spasial antar negara berlaku sama pada harga internasional, dimana tidak tersedia rintangan dari pergerakan produk antara negara-negara tersebut. Untuk berbagai komoditi pertanian, tentu saja kondisi rintangan tersebut sangat dibutuhkan dalam perdagangan bebas.
Analisis integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori yakni: pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan dan pasar yang berpotensi surplus atau berlebih. Seperti halnya Indonesia memiliki potensi defisit dalam hal pemenuhan beras untuk dikonsumsi yang menyebabkan terjadinya impor beras. Sedangkan di negara lain, misalnya Thailand berpotensi surplus yang menjadikan Thailand sebagai salahsatu negara pengekspor beras terbesar di dunia.
Gambar 3 menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah PI yakni di pasar Indonesia (I) dan PT di pasar Thailand (T) dimana PT < PI. Pada harga diatas PT, pasar Thailand akan mengalami excess supply, sehingga beberapa produk akan tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Indonesia apabila harga dibawah PT. Selanjutnya informasi dari kurva ini dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial akibat
perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan kurva excess supply dan
excess demand seperti yang ditunjukkan oleh kurva pada Gambar 4 bagian c. Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply
adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar T (PT).
Kurva excess supply di dasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply
dan demand di pasar I (Indonesia) pada harga diatas titik keseimbangan (titik b dikurang titik a, yang ditunjukkan oleh grafik bagian a pada (gambar 4). Grafik juga digunakan untuk menggambarkan kurva excess supply yang ditunjukkan grafik bagian c. Seperti kurva supply biasa, kurva excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga.
Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar I (PI). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva
supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar I (titik d dikurang titik c, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 4). Grafik ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan kurva excess demand yang ditunjukkan grafik bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan (slope) negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat penurunan harga.
Kurva excess supply dan excess demand berpotongan pada harga PE jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi sebannyak QE2 (sebesar ab=cd) dapat dijual dari pasar T ke pasar I harga diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar PE. Sedangkan bila biaya transfer dari pasar T ke Pasar I melebihi atau lebih besar dari Pt maka perdagangan tidak akan terjadi. Dalam kasus ini
demand dan supply sama di setiap pasar dan perbedaan harga akan lebih kecil dari biaya transfer. Perubahan biaya transfer dapat diilustrasikan dengan garis volume perdagangan yang digambarkan oleh garis xy. Garis vertikal antara 0 sampai Pt menunjukkan besaran biaya transfer, semakin tinggi biaya transfer semakin kecil volume perdagangan dan perdagangan tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi Pt. Sedangkan garis horizontal antara 0 sampai QE2 menunjukkan besaran perdagangan. Perdagangan akan maksimum pada QE2 ketika biaya transfer sama dengan nol. Sebagai contoh apabila biaya transfer sebesar t, maka total output yang akan ditransfer sebesar QE1 unit. Apabila diasumsikan harga di setiap pasar dapat ditentukan dan slope kurva demand dan supply diperkirakan sama maka efek dari biaya transfer sebesar t akan menurunkan harga dari PI menjadi PI1 pada pasar I (Indonesia) dan menaikkan harga dari PT menjadi PT1
pada pasar T (Thailand). Restriksi perdagangan akan meningkatkan biaya transfer yang menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung samapai biaya transfer sama dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan. Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua pasar tidak terjadi dan harga akan bergerak secara mandiri
EST DT ST a QT PT‟ PT QI DI PI SI d c PE EDI PT PI E Komoditi (Q) 0 QE 1 x QE2 y t PEI1 Pt EST PET1 EDI Transfer Cost (t) Harga (P)
a. Pasar T (Surplus) b. Pasar I (Defisit) c. Keseimbangan excess supply dan excess demand
Sumber : Tomek dan Robinson, 1972
Gambar 3 Model keseimbangan integrasi spasial dua pasar
11
2 Integrasi Pasar Vertikal
Integrasi pasar vertikal terjadi ketika rantai pemasaran atau produksi dan pemasaran secara berturut-turut saling berhubungan. Kajian mengenai integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat keeratan hubungan antara konsumen, lembaga pemasaran dan produsen. Jika konsumen, lembaga pemasaran dan produsen saling berhubungan dan berinteraksi dalam penentuan harga yang terjadi di masing-masing pasar maka dapat dikatakan bahwa pasar tersebut berlangsung secara efisien.
Terjadinya perubahan permintaan akan menyebabkan perubahan harga disimpul tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada produsen melalui perubahan permintaan dari pedagang dan seterusnya perubahan tersebut akan dilanjutkan lagi ke pasar produsen, demikian selanjutnya. Salah satu alasan bagi pelaku pasar ritel mengintegrasikan proses penanaman sampai penjualan produk ke tingkat produsen adalah untuk memastikan laju dari produk dengan spesifikasi tertentu dengan batas jangka pengiriman yang konstan. Selanjutnya, integrasi dapat mengurangi biaya pemasaran khususnya penjualan dari suatu tingkat ke tingkat lainnya.
Salah satu aspek yang menarik dari integrasi pasar vertikal berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah perubahan alami dari sistem harga. Integrasi pasar vertikal telah mengubah kedudukan formasi harga dan telah mengurangi jumlah titik atau simpul dari rantai pemasaran dimana harga tersebut dibentuk. Koordinasi harga secara parsial telah digantikan dengan koordinasi administrasi (Tomek dan Robinson, 1972).
2.4 Teori Residual Solow
Solow mengasumsikan model yang sangat mendasar dari produksi output tahunan selama selang waktu t. Solow menyatakan bahwa jumlah output akan ditentukan oleh jumlah modal (infrastruktur), jumlah tenaga kerja (jumlah sumber daya manusia dalam angkatan kerja), dan produktivitas tenaga kerja. Solow menduga produktivitas tenaga kerja adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan GDP dalam jangka panjang. Dalam bentuk model ekonomi :
Y = F(K, A(t). L) (3)
Dimana A(t) adalah faktor peubah yang dipengaruhi waktu , dimana A > 0 dan dA/dt > 0. Solow residual adalah angka yang menjelaskan pertumbuhan produktivitas empiris dalam ekonomi dari tahun ke tahun dan dekade ke dekade. Solow mendefinisikan peningkatan produktivitas sebagai peningkatan output dengan input modal dan tenaga kerja yang tetap.
Teori produktivitas ini disebut sebagai residual karena menjelaskan produktivitas yang bukan disebabkan oleh akumulasi faktor (input). Tujuan dari metode ini adalah untuk menentukan berapa besar ketergantungan pertumbuhan ekonomi terhadap akumulasi faktor dan berapa besar pengaruh dari pengembangan teknologi. Berdasarkan Gambar 4 yang mengilustrasikan kombinasi input dalam fungsi produksi (kurva kemungkinan produksi dengan dua variabel input), besarnya pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pergerakan sepanjang kurva produksi, yang dapat ditentukan oleh kemajuan teknologi dan
kompetensi organisasi, yang digambarkan oleh pergeseran kurva produksi ke kanan atas dari A ke B dan B ke C.
Sumber : Nicholson, 2000
Gambar 4 Kurva kemungkinan produksi
2.5 Total Faktor Produktivitas
Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang