BAB I PENDAHULUAN
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidrolika Teknik Sipil Fakultas Teknik USU.
Adapun bahan utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah cair industri tahu di Kecamatan Medan Polonia. Metode yang digunakan adalah metode batch mengunakan reaktor anaerob satu tahap dan dua tahap.
Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:
a. Reaktor anaerob satu tahap (Angraini, 2014)
1. Volume kerja reaktor = 10 liter
2. Volume efektif reaktor (Kahar,dkk., 2016) = 7 liter 3. Rasio kotoran sapi : limbah cair tahu (Purnomo, 2010) = 1 : 4
4. Suhu reaktor mesofilik = 30oC
5. pH reaktor = 7
6. Waktu operasi = 40 hari
b. Reaktor anaerob dua tahap (Agustina, 2011)
1. Volume kerja reaktor = 10 liter
2. Volume efektif reaktor (Kahar,dkk., 2016) = 7 liter 3. Rasio kotoran sapi : limbah cair tahu (Purnomo, 2010) = 1 : 4
4. Suhu reaktor mesofilik = 30oC
5. Waktu operasi pada tahap I = 2 hari
6. Waktu operasi pada tahap II = 38 hari
7. pH pada tahap I = 5,5
8. pH pada tahap II = 7
Parameter yang dianalisa adalah:
a. Analisa pada limbah cair
1. Analisa Chemical Oxygen Demand (COD) 2. Analisa Volatile Suspended Solid (VSS) b. Analisa pada produksi cairan
1. Analisa Volatile Fatty Acid (VFA) 2. Analisa laju volumetrik biogas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Limbah Cair
Limbah cair industri adalah buangan hasil proses/sisa dari suatu kegiatan/usaha industri yang berwujud cair dimana kehadirannya pada suatu saat dan tempat tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomis sehingga cenderung untuk dibuang (Asmadi dan Suharno, 2012). Sedangkan menurut Woodard (2001), limbah cair industri adalah buangan hasil dari penggunaan air dalam proses industri manufaktur atau kegiatan pembersihan yang terjadi bersamaan dengan proses tersebut.
2.2 Sumber Limbah Cair Tahu
Kegiatan pengolahan kacang kedelai menjadi produk pangan berupa tahu menghasilkan produk samping yaitu limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair, yang berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik (Husin, 2008).
Sebagian besar limbah cair industri tahu bersumber dari cairan kental yang disebut dadih (whey) yang terpisah dari gumpalan tahu. Sedangkan sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan, pencucian peralatan proses dan lantai (Pohan, 2008).
2.3 Dampak Limbah Cair Tahu
Dampak yang ditimbulkan dari pencemaran bahan organik limbah industri tahu adalah gangguan terhadap kehidupan biotik yang disebabkan oleh meningkatnya kandungan bahan organik (Herlambang, 2002). Menurut Ratnani (2011), saat limbah cair tahu dibuang langsung ke sungai maka terjadi penguraian senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh mikroorganisme aerob. Proses penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam jumlah besar untuk memperoleh energi. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air. Penurunan yang melewati ambang batas akan mengakibatkan kematian biota air lain akibat kekurangan oksigen.
Limbah cair industri tahu yang merembes ke dalam air tanah, sehingga menyebabkan pencemaran air tanah. Bila air tanah tercemar, maka kualitasnya akan menurun sehingga
tidak dapat lagi digunakan sesuai peruntukannya (Mulia, 2005). Menurut Raudhah (2012), kandungan zat organik dalam limbah cair tahu mengalami pembusukan sehingga akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Kandungan padatan tersuspensi menyebabkan air mengalami perubahan warna menjadi keruh atau warna lain sesuai cemaran. Hal ini menimbulkan gangguan pemandangan.
2.4 Karakteristik Limbah Cair Tahu
Limbah cair industri tahu mengandung bahan organik yang tinggi sehingga bila terurai akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Limbah cair dari proses produksi tahu kuning berwarna kuning keruh dan berbau rebusan kedelai jika masih segar, sedangkan limbah cair dari proses produksi tahu putih berwarna putih keruh dengan bau kedelai jika masih segar (Departemen Pertanian, 2009).
Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain:
a. Padatan Tersuspensi
Yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut, maka air semakin keruh (Effendi, 2003).
b. Derajat Keasaman (pH)
Air limbah indutri tahu sifatnya cenderung asam, pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah untuk menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk. pH sangat berpengaruh dalam proses pengolahan air limbah. Baku mutu yang ditetapkan sebesar 6-9. Pengaruh yang terjadi apabila pH terlalu rendah adalah penurunan oksigen terlarut. Oleh karena itu, sebelum limbah diolah diperlukan pemeriksaan pH serta menambahkan larutan penyangga agar dicapai pH yang optimal (BPPT, 1997).
Nilai pH merupakan faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis mikroalga dalam memanfaatkan unsur hara. Nilai pH yang terlalu tinggi misalnya,
akan mengurangi aktifitas fotosintesis mikroalga. Proses fotosintesis merupakan proses mengambil CO2 yang terlarut di dalam air, dan berakibat pada penurunan CO2 terlarut dalam air. Penurunan CO2 akan meningkatkan pH. Dalam keadaan basa ion bikarbonat akan membentuk ion karbonat dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan menjadi netral. Sebaliknya dalam keadaan terlalu asam, ion karbonat akan mengalami hidrolisa menjadi ion bikarbonat dan melepaskan ion hidrogen oksida yang bersifat basa, sehinggga keadaan netral kembali (Lavens dan Sorgeloos, 1996).
c. Nitrogen-Total
Yaitu campuran senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino, dan protein (polimer asam amino). Ammonia (NH3) merupakan senyawa alkali yang berupa gas tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Pada kadar dibawah 1 ppm dapat terdeteksi bau yang sangat menyengat. Kadar NH3 yang tinggi dalam air selalu menunjukkan adanya pencemaran. Ammonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi, 2003). Pada lingkungan asam atau netral, NH3 ada dalam bentuk ion NH4+. Pada lingkungan basa, NH3 akan dilepas ke atmosfer (Sataresmi, 2002).
Senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair tahu akan terurai oleh mikroorganisme menjadi karbondioksida (CO2), air serta ammonium, selanjutnya ammonium akan dirubah menjadi nitrat. Proses perubahan ammonia menjadi nitrit dan ahirnya menjadi nitrat disebut proses nitrifikasi. Untuk menghilangkan ammonia dalam limbah cair sangat penting, karena ammonia bersifat racun bagi biota akuatik (Herlambang, 2005).
d. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Merupakan parameter untuk menilai jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan zat organik secara biologis di dalam limbah cair. Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi (Wardana, 2004).
Menurut Effendi (2003), BOD adalah jumlah oksigen yang diperlukan oleh organisme untuk memecah bahan buangan organik di dalam suatu perairan.
Konsentrasi BOD yang semakin tinggi menunjukkan semakin banyak oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik.
Nilai BOD yang tinggi menunjukkan terdapat banyak senyawa organik dalam limbah, sehingga banyak oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik. Nilai BOD yang rendah menunjukkan terjadinya penguraian limbah organik oleh mikroorganisme (Zulkifli dan Ami, 2001).
Penguraian bahan organik secara biologis oleh mikroorganisme menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).
e. Chemical Oxygen Demand (COD)
Disebut juga kebutuhan oksigen kimiawi, merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (misal kalium dikhormat) untuk mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam air. Kandungan senyawa organik maupun anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol, sehingga tumbuhan air, ikan-ikan, hewan air lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup (Wardana, 2004).
Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui BOD dan COD.
Biological Oxygen Demand (BOD) adalah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia. Nilai BOD bermanfaat untuk mengetahui apakah air limbah tersebut mengalami biodegradasi atau tidak, yakni dengan membuat perbandingan antara nilai BOD dan COD.
Oksidasi berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu tak terbatas. Dalam waktu 5 hari (BOD5), oksidasi organik karbon akan mencapai 60%-70% dan dalam waktu 20 hari akan mencapai 95%. COD adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai COD akan selalu lebih besar daripada BOD karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi. Pengukuran COD membutuhkan waktu yang jauh lebih cepat, yakni dapat dilakukan selama 3 jam, sedangkan pengukuran BOD paling tidak memerlukan waktu 5 hari. Jika nilai antara BOD dan COD sudah diketahui, kondisi air limbah dapat diketahui (Kaswinarni, 2007).
Adapun karakteristik limbah cair industri tahu putih dan tahu kuning dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini:
Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair ITahu Putih dan Tahu Kuning
Parameter Satuan Tahu Putih Tahu Kuning
<100 Kg/hari >100 Kg/hari <100 Kg/hari >100 Kg/hari Jumlah
limbah cair Liter 150-430 >1000 460-780 >2000
DO mg/l 1,5-2,2 1,93 1,3-1,5 1,2
kekeruhan 535-585 FTU; warna 2.225-2.250 Pt.Co; amonia 23,3-23,5 mg/L; dan COD 7.500-14.000 mg/L.
2.5 Baku Mutu Limbah Cair Tahu
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 tahun 2014 pasal 1 ayat 31, baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam media air dari suatu usaha dan/atau kegiatan.
Industri tahu harus mengolah limbah cair sampai sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah, dimana tercantum dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Baku Mutu Limbah Cair Tahu
Sumber: Permen LH No.5 tahun 2014, Lampiran XVIII
Parameter Kadar
BOD5 150 mg/l
COD 300 mg/l
TSS 200 mg/l
pH 6-9
Kuantitas air limbah paling tinggi 20 m3/ton
2.6 Pengolahan Limbah Cair
Upaya untuk mengolah limbah cair tahu telah diketahui dicoba dan dikembangkan.
Metode pengolahan yang dikembangkan secara umum dapat digolongkan atas 3 jenis metode pengolahan, yaitu secara fisik, kimia, maupun biologi.
1. Pengolahan limbah secara fisik
yaitu pemisahan sebagian dari beban pencemaran, khususnya padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair dengan memanfaatkan gaya fisika (Husin, 2008).
2. Pengolahan limbah secara kimia
Merupakan pengolahan limbah yang memanfaatkan reaksi-reaksi kimia untuk mentransformsi limbah berbahaya menjadi tidak berbahaya. Bebagai bentuk pengolahan seperti netralisasi, koagulasi-flokulasi, oksidasi dan reduksi, penukaran ion, dan klorinasi (siregar, 2005).
3. Pengolahan limbah secara biologi
Merupakan proses pengolahan limbah dengan memanfaaatkan aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri, untuk mendegradasi polutan-polutan yang terdapat dalam air limbah.
2.6.1 Pengolahan secara Biologi
Pada penelitian ini menggunakan pengolahan secara biologi, sehingga penjelasan lebih ditekankan pada pengolahan limbah cair secara biologi. Tujuan dari pengolahan biologi yaitu untuk mengonversikan komponen organik menjadi suatu biomassa mikroba yang dipisahkan dengan proses pemisahan padatan-cairan seperti pengendapan dan atau pengapungan (Rajput, 2012).. Mekanisme pengolahan biologi adalah mencampurkan air buangan dengan populasi pekat mikroorganisme, dan membiarkan berkontak selama waktu tertentu yang cukup bagi mikroorganisme tersebut untuk menguraikan dan menyisihkan bahan-bahan pencemar, sampai mencapai tingkat pengolahan yang diinginkan.
Pada umumnya air limbah mengandung bahan organik dengan konsentrasi relatif rendah, sehingga lebih efisien dan ekonomis jika diolah dengan menggunakan aerobik,
dimana bahan organik dikonversi menjadi CO2 dan biomassa dengan bantuan mikroba yang disuplai oksigen. Pada air limbah dengan konsentrasi bahan organik yang tinggi dan mengandung suspensi bahan organik, dapat pula secara efektif distabilkan secara anaerobik. Proses pengolahan air limbah secara anaerobik dengan mengonversikan bahan organik menjadi gas metan dan CO2 serta biomassa mikroba anaerob dengan kondisi tanpa oksigen (Rajput, 2012).
2.7 Pengolahan Anaerobik
Menurut Indriyanti (2005), proses anaerobik adalah proses proses biologi yang memanfaatkan mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik dengan kondisi tidak dapat atau sangat sedikit oksigen terlarut. Pada dasarnya proses anaerobik didominasi oleh dua kelompok bakteri yaitu bakteri asidogenik dan bakteri metanogenetik (Moertinah, 2010).
Proses pendegradasian bahan organik secara anaerobik terlihat pada Gambar 2.1. Gas metan merupakan hasil dari fermentasi bahan-bahan organik yang dimanfaatkan sebagai biogas (Hambali, dkk., 2008).
Gambar 2.1 Proses pendegradasian Bahan Organik Secara Anaerobik (Effendi, 2003)
Tingkat efektifitas pengolahan secara anaerobik sangat dipengaruhi oleh karakteristik biomassa lumpur anaerobik dan senyawa kompleks yang terkandung dalam air limbah yang akan diolah. Sebelum pengolahan air limbah secara anaerobik dilaksanakan, maka terlebih dahulu harus dipersiapkan biomassa lumpur yang telah teraklimatisasi dan diketahui kemampuan biodegradasi anaerobik maksimumnya.
Tahapan-tahapan yang terjadi dalam proses degradasi anaerobik adalah sebagai berikut (Sunarto dkk, 2013):
1. Proses Hidrolisis
Proses hidrolisis adalah proses dimana aktivitas kelompok bakteri hidrolitik menguraikan bahan organik kompleks. Aktivitas terjadi karena bahan organik tidak larut seperti polisakarida, lemak, protein, dan karbohidrat akan dikonsumsi bakteri saprofilik, dimana enzim ekstraseluler akan mengubahnya menjadi bahan organik larut (Indriyati, 2005). Bakteri hidrolitik yang terlibat dalam proses ini seperti
Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus (Jenie, 1993).
2. Proses Asidogenesis
Asidogenesis adalah terjadinya tahapan konversi produk-produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh bakteri asidogenik menjadi substrat metanogenik (Clinton dan Herlina, 2015). Pada proses ini, bahan organik terlarut akan diubah menjadi asam organik rantai pendek seperti asam butirat, asam propionate, asam amino, asam butirat, maupun asam rantai panjang lainnya menjadi asam organik yang mudah menguap/volatil seperti asam asetat (Indriyati, 2005). Bakteri yang terlibat dalam proses ini adalah bakteri asidogenik seperti Clostridium (Jenie, 1993).
3. Proses Asetogenesis
Asetogenesis adalah tahapan penguraian asam butirat dan propionat oleh bakteri pembentuk asam menjadi asam asetat, gas H2, dan CO2 (Clinton dan Herlina, 2015).Selama proses asetogenesis, produk dari asidogenesis yang tidak dapat diubah secara langusg menjasi metana oleh bakteri metanogen akan diubah menjadi substrat metanogen. VFA dan alkohol dioksidasi menjadi substrat metanogen seperti asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Produk hidrogen meningkatkan tekanan parsial hidrogen, hal ini dianggap sebagai produk limbah dari proses asetogenesis dan menghambat metabolisme bakteri asetogenetik. Tahap selanjutnya adalah metanogenesis, selama proses metanogenesis hidrogen akan diubah menjadi metana.
Asetogenesis dan metanogenesis biasanya sejajar, sebagai simbiosis dari dua kelompok organisme (Megawati dan Aji, 2014). Bakteri yang terlibat dalam proses ini adalah bakteri asetogenik seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei (Jenie, 1993).
4. Proses Metanogenesis
Proses ini merupakan tahap akhir dari keseluruhan konversi zat organik menjadi CH4 dan CO2. Sumber utama pembentuk gas metan adalah asam asetat (70-80%), H2, CO2 (ikbal dan Nugroho, 2006). Metana juga terbentuk dari beberapa senyawa organik selain asetat. Oleh karena itu, semua produk fermentasi lainnya harus dikonversi ke senyawa yang dapat digunakan secara langsung atau tidak langsung oleh pembentuk bakteri (Gerardi, 2003).Tahap ini merupakan tahap yang paling
kritis dan sensitif dalam proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik. Hal ini dikarenakan waktu reproduksi bakteri ini sangat lambat hingga 3 hari dibandingkan dengan bakteri sebelumnya yang hanya membutuhkan 3 jam. Bakteri yang terlibat dalam proses ini adalah bakteri metanogenik seperti Mathanobacterium, Mathanobacillus, Methanosacaria, dan Methanococcus (Jenie, 1993).
Pengolahan anaerob dibagi menjadi dua jenis (Moertinah, 2010), yaitu:
1. Anaerob satu tahap
Pada tahap ini proses asidifikasi dan metanasi dilakukan dalam satu reaktor.
2. Anaerob dua tahap
Pada tahap ini proses asidifikasi dan metanasi dilakukan dalam suatu reaktor sistem dua tahap, proses asidifikasi dan metanasi dilakukan dalam reaktor yang berbeda.
Dalam pengolahan anaerob dua tahap, langkah pertama adalah untuk memuat bahan baku ke dalam reaktor dimana proses difokuskan pada hidrolisis dan asidogenesis.
Pada proses ini menghasilkan asam, namun sejumlah biogas biasanya juga diproduksi, karena sulit untuk benar-benar membagi proses. Kemudian cairan proses dari proses ini dipisahkan dan ditambahkan ke reaktor lain yang khusus disesuaikan untuk metanogenesis. Jenis proses mungkin cocok ketika substrat mengandung bahan yang mudah didegradasi dan tahap hidrolisis yang cepat (Wust, 2003).
Sistem dua fase dapat dioperasikan untuk memberikan kondisi yang optimal bagi mikroorganisme dalam setiap tahap untuk lebih efisien dalam pencernaan. Pada tahap pertama dari sistem dua fase, fase fermentasi asam, mikrorganisme asidogenik mencerna padatan organik dan organik terlarut yang kompleks, mengkonversi mereka ke VFA. Pada tahap kedua, mikrorganisme yang memproduksi metan (metanogen) memanfaatkan VFA untuk menghasilkan metana dan karbon dioksida (Wust, 2003).
Pengolahan secara anaerobik dilakukan dengan cara mengumpulkan limbah cair dalam wadah atau digester dalam keadaan anaerob dengan penambahan media maupun tanpa media (Hambali, dkk., 2008). Keberadaan media ditujukan sebagai tempat melekatnya bakteri anaerob. Menurut Indriyati (2005), Keuntungan dan kerugian pengolahan anaerob adalah dalam prosesnya menghasilkan energi berupa biogas, lumpur yang
dihasilkan sedikit serta kaya nutrisi, tidak memerlukan lahan yang besar dan tidak membutuhkan energi untuk aerasi. Kerugian yang utama pada sistem anaerobik adalah proses pertumbuhan mikrobanya lambat. Pertumbuhan mikroba dalam sistem anaerobik mempunyai waktu pertumbuhan dalam hitungan hari (lebih lama), bila dibandingkan dengan mikroba yang tumbuh pada proses aerob.
2.7.1 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Batch Pengolahan anaerobik dengan sistem batch adalah salah satu pengolahan dengan biaya yang murah, pengoperasian yang mudah, perangkaian reaktor yang mudah, dan sering diterapkan di daerah pedesaan karena kesederhanaan operasi (Karagiannidis, 2012).
Pengolahan dengan sistem batch banyak dikembangkan di negara-negara yang sedang berkembang (Karagiannidis, 2012). Pada sistem batch, reaktor diisi dengan bahan baku (air limbah) selama sekali dengan penambahan biakan mikroba atau tanpa penambahan biakan mikroba (Nayono, 2009). Reaktor tersebut harus berada dalam keadaan tertutup dan diberikan waktu retensi dengan periode tertentu, bila telah melewati waktu retensi maka reaktor dibuka, air limbah dibuang, dan diisi kembali dengan bahan baku (Nayono, 2009). Sistem batch merupakan sistem tidak kontinyu, sehingga pengisian hanya dilakukan sekali sebelum operasi dengan periode tertentu (Nayono, 2009).
2.7.2 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Kontinyu Pengolahan air limbah dengan sistem kontinyu dikembangkan oleh Ekama pada tahun 1986 (Agathos dan Reineke, 2003). Syarat pengoperasian sistem kontinyu adalah tersedianya nutrisi (air limbah) dalam waktu harian atau berkelanjutan (Agathos dan Reineke, 2003). Sistem kontinyu merupakan cara yang paling fleksibel untuk mengamati jumlah operasi yang diperlukan dalam proses kontrol untuk pengolahan air limbah. Sistem aliran kontinyu terbagi menjadi 2 jenis, yaitu aliran bersegmentasi dan tanpa segmen. Aliran bersegmentasi bercirikan dengan gelembung udara yang diberikan pada aliran air limbah, sedangkan aliran tanpa segmentasi adalah aliran dimana air limbah dimasukkan secara terus-menerus tanpa tersegmentasi oleh gelembung udara (Korenaga, dkk., 1994).
2.7.3 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Semi Kontinyu
Pengolahan air limbah dengan sistem semi kontinyu merupakan sistem aliran yang menggambungkan sistem batch dengan sistem kontinyu. Reaktor yang menggunakan sistem aliran semi kontinyu sering disebut juga fill and draw reactor. Prinsip penerapan sistem aliran semi kontinyu adalah batch secara otomatis dengan mengisikan bahan yang digunakan ke dalam reaktor sepenuhnya, kemudian reaktor diisi dengan bahan tambahan, sehingga akan menghasilkan produk dari hasil reaksi yang keluar menuju outlet. Penambahan air limbah akan dihentikan ketika produk didapatkan dan akan dilakukan penamabahan kembali ketika memerlukan produk dari hasil reaksi (Stephenson, 2002).
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Pengolahan Anaerobik
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengolahan anaerobik adalah sebagai berikut:
1. Suhu
Faktor suhu merupakan faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena enzim yang menjalankan metabolisme sangat peka terhadap suhu (Suharni dkk., 2008). Kondisi optimum yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah sekitar 27-30°C (Susanto, dkk., 2004). Menurut Metcalf dan Eddy (2003), suhu optimum untuk pertumbuhan mikroba adalah sekitar 25-35°C. Pengolahan anaerobik dapat berlangsung pada kisaran suhu 5-55
°C (Hambali, dkk., 2008).
Menurut Reynold (1982), berdasarkan suhu optimal dibagi menjadi:
a. Psikofil : mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu 1-15°C b. Mesofil : mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu 25-37°C c. Termofil : mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu 50-60°C 2. Pengadukan
Pengadukan berfungsi untuk memecah lapisan kerak di permukaan cairan dalam sistem yang menggunakan bahan baku yang sukar dicerna (misalnya jerami yang mengandung senyawa lignin). Lapisan kerak tersebut perlu dipecah agar mengurangi hambatan terhadap laju gas metan yang dihasilkan (Hambali, dkk., 2008).
3. Bahan Penghambat (inhibitor)
Bahan penghambat adalah bahan-bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga berpengaruh terhadap tingkat pendegradasian bahan organik.
Bahan penghambat tersebut dapat berupa logam berat (tembaga, kadmium, dan kromium), desinfektan, detergen, dan antibiotik (Hambali, dkk., 2008).
4. Laju Beban Organik (Organic Loading Rate)
Organic Loading Rate (OLR) adalah besaran yang menyatakan jumlah material organik dalam air limbah yang diuraikan oleh mikroba dalam reaktor per unit volume per hari. OLR digunakan untuk menjelaskan laju produksi mikroba.
Mikroba memiliki laju pertumbuhan yang spesifik yang akan mencapai tingkat produksi maksimal saat proses degradasi. Laju organik yang berbeda memberikan dampak yang berbeda terhadap laju reaksi (Indriyati, 2005).
Besarnya pembebanan ditentukan melalui pengaturan waktu yang menentukan kapan dan berapa lama pompa beroperasi agar didapat debit air limbah yang diinginkan. Pembebanan ditentukan berdasarkan nilai HRT yang telah ditetapkan dalam perencanaan awal. Besar HRT dan kinerja reaktor dalam efisiensi yang didapat ditetapkan sebagai besaran optimal dari kinerja reaktor (Padmono, 2003).
5. Hydraulic Retention Time (HRT)
Hydraulic Retention Time (HRT) adalah waktu perjalanan limbah cair di dalam reaktor atau lamanya proses pengolahan limbah cair tersebut. Waktu tinggal yang semakin lama akan mengakibatkan penyisihan bahan organik yang tinggi (Said, 2006). HRT substrat dalam reaktor adalah salah satu parameter penting dalam pengolahan anaerobik. HRT akan mempengaruhi loading rate, degradasi bahan
Hydraulic Retention Time (HRT) adalah waktu perjalanan limbah cair di dalam reaktor atau lamanya proses pengolahan limbah cair tersebut. Waktu tinggal yang semakin lama akan mengakibatkan penyisihan bahan organik yang tinggi (Said, 2006). HRT substrat dalam reaktor adalah salah satu parameter penting dalam pengolahan anaerobik. HRT akan mempengaruhi loading rate, degradasi bahan