• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Universitas Sumatera Utara"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU

MENGGUNAKAN BIOREAKTOR ANAEROB SATU TAHAP DAN DUA TAHAP SECARA BATCH

FLORENCE T. N. SILALAHI 130407044

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

Dr. Halimatuddahliana, ST, M.Sc Dr. Amir Husin, ST, MT.

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengolahan anaerob satu tahap dan dua tahap terhadap kinerja bioreaktor dalam pengolahan limbah cair tahu ditinjau dari laju degradasi substrat (COD), laju pertumbuhan mikroorganisme (VSS), laju produksi Volatile Fatty Acid (VFA) dan produksi biogas. Penelitian ini dimulai dengan tahap aklimatisasi yaitu proses adaptasi mikroorganisme yang berasal dari kotoran sapi dengan limbah cair tahu. Aklimatisasi dilakukan dalam suasana asam (pH 5,5) dan dalam suasana netral (pH 7). Kemudian dilanjutkan dengan pengoperasian bioreaktor secara batch selama 40 hari untuk pengolahan anaerob satu tahap (pH 7), sementara untuk tahap pertama pengolahan anaerob dua tahap (pH 5,5) berlangsung dua hari dan dilanjutkan dengan tahap kedua pengolahan anaerob dua tahap (pH 7) yang berlangsung 38 hari. Berdasarkan hasil analisa penyisihan COD diperoleh hasil 76,6% untuk anaerob satu tahap dan 83,05% untuk anaerob dua tahap. Sementara konsentrasi VFA pada tahap pertama anaerob dua tahap meningkat sebesar 33% dari konsentrasi VFA anaerob satu tahap. Yield biogas anaerob satu tahap sebesar 0,24 L/g CODterkonversi dan 0,27 L/g CODterkonversi untuk anaerob dua tahap.

Kata kunci: Limbah Cair Tahu, Anaerob, Bioreaktor Satu Tahap, Bioreaktor Dua Tahap, pH, COD, VSS, VFA, Biogas.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana dan memperoleh gelar Sarjana Teknik, dengan judul:

“PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN BIOREAKTOR ANAEROB SATU TAHAP DAN DUA TAHAP SECARA BATCH”

Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada ibu Dr.Halimatuddahliana, ST, MSc selaku pembimbing pertama dan kepada bapak Dr.Amir Husin, ST, MT selaku pembimbing kedua yang telah membimbing dalam menyelesaika tugas akhir ini, dan tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Netti Herlina, MT. selaku Ketua Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Sumatera Utara serta sebagai Dosen Penguji Tugas Akhir ini 2. Ibu Isra’ Suryati, ST, Msi. selaku Koordinator Tugas Akhir

3. Bapak Ir. Joni Mulyadi, M.T. selaku Dosen Penguji Tugas Akhir ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga memberikan dedikasi dan ucapan terima kasih kepada:

1. Orang tua tercinta, abang dan adik serta saudara-saudara,

2. Rekan-rekan teknik lingkungan stambuk 2013 yang senantiasa mendukung, mendoakan, dan memotivasi dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Demikian tugas akhir ini disusun dengan penuh motivasi dan semangat. Semoga dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Teknik Lingkungan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian tugas akhir ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi, bahasa maupun penyuusunannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan tugas akhir ini.

Medan, Februari 2018

Florence Try Novianty Silalahi NIM. 130407044

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL ...v

DAFTAR GAMBAR ...vi

DAFTAR RUMUS ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ...ix

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Perumusan Masalah ...3

1.3 Tujuan Penelitian ...3

1.4 Manfaat Penelitian ...3

1.5 Ruang Lingkup ...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...1

2.1 Definisi Limbah Cair ...1

2.2 Sumber Limbah Cair Tahu ...1

2.3 Dampak Limbah Cair Tahu ...1

2.4 Karakteristik Limbah Cair Tahu ...2

2.5 Baku Mutu Limbah Cair Tahu ...5

2.6 Pengolahan Limbah Cair ...6

2.6.1 Pengolahan secara biologi ...6

2.7 Pengolahan Anaerobik ...7

2.7.1 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Batch ...11

2.7.2 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Kontinyu...11

2.7.3 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Semi Kontinyu ...12

(5)

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Pengolahan Anaerobik ...12

2.9 Pertumbuhan Mikroorganisme...14

2.10 Parameter Penelitian ...15

BAB III METODE PENELITIAN ...1

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...1

3.2 Peralatan dan Bahan Penelitian ...1

3.2.1 Peralatan Penelitian ...1

3.2.2 Bahan Penelitian ...2

3.3 Prosedur Kerja ...2

3.3.1 Persiapan Alat dan Bahan ...2

3.3.2 Aklimitasi ...2

3.3.3 Running Bioreaktor Anaerob Satu Tahap ...3

3.3.4 Running Bioreaktor Anaerob Dua Tahap...3

3.3.5 Analisa Sampel ...4

1. Analisa Chemical Oxygen Demand (COD) ...4

2. Analisa Volatile Suspended Solid (VSS) ...5

3. Analisa Volatile Fatty Acid (VFA) ...5

4. Analisa Produksi Biogas ...5

3.4 Analisa Data ...6

3.4.1 Analisa Efisiensi Penurunan Nilai COD ...6

3.4.2 Metode Regresi ...6

3.5 Flowchart Penelitian ...7

3.5.1 Persiapan alat dan Bahan ...7

3.5.2 Running Bioreaktor Anaerob Satu Tahap ...7

3.5.3 Running Bioreaktor Anaerob Dua Tahap...8

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...1

4.1 Karakteristik Bahan Baku ...1

4.1.1 Karakteristik Limbah Cair Tahu ...1

4.1.2 Karakteristik Inokulum ...2

4.1.3 Karakteristik Bahan Campuran ...3

(6)

4.2 Hasil Pengolahan Bioreaktor Anaerob ...4

4.2.1 Pengamatan Profil pH pada Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap ...4

4.2.2 Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap Reduksi Chemical Oxygen Demand (COD) ...7

4.2.3 Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme ...12

4.2.4 Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) ...15

4.2.5 Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap Produksi Biogas ...18

4.2 Hubungan Parameter COD, VSS, VFA, dan Volume Biogas ...23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...1

5.1 Kesimpulan ...1

5.2 Saran ...2

DAFTAR PUSTAKA ...ix

LAMPIRAN...xii

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair Tahu Putih dan Tahu Kuning ... 5

Tabel 2.2 Baku Mutu Air Limbah Cair Tahu ... 5

Tabel 4.1 Karakteristik Limbah Cair Tahu ... 1

Tabel 4.2 Karakteristik Inokulum ... 3

Tabel 4.3 Karakteristik Bahan Campuran ... 3

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Pendegradasian Bahan Organik Secara Anaerobik... 7

Gambar 3.1 Bioreaktor Anaerob ... 4

Gambar 3.2 Flowchart Persiapan Bahan Baku ... 7

Gambar 3.3 Flowchart Running Bioreaktor Anaerob Satu Tahap... 7

Gambar 3.4 Flowchart Running Bioreaktor Anaerob Dua Tahap ... 8

Gambar 4.1 Profil pH digester pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) (b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama) (c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua) ... 5

Gambar 4.2 Konsentrasi COD pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) (b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama) (c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua) ... 8

Gambar 4.3 Efisiensi Penyisihan COD pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) dan R2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap) ... 10

Gambar 4.4 Regresi Konsentrasi COD pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) dan R2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap) ... 11

Gambar 4.5 Konsetrasi VSS pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) (b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama) (c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua) ... 13

Gambar 4.6 Konsentrasi VFA pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) (b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama) (c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua) ... 16

Gambar 4.7 Konsentrasi VFA maksimum pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) dan R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama) ... 17

(9)

Gambar 4.8 Biogas Harian pada

(a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)

(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)

(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua) ... 19 Gambar 4.9 Biogas kumulatif pada

(a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)

(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)

(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua) ... 21 Gambar 4.10 Yield biogas pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) dan R2

(Bioreaktor Anaerob Dua Tahap) ... 22 Gambar 4.11 Hubungan COD, VSS, VFA, dan Volume Biogas pada

(a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)

(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)

(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua) ... 24

(10)

DAFTAR RUMUS

Persamaan 3.1 Rumus penetapan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) ... 4

Persamaan 3.2 Rumus penetapan kadar Volatile Suspended Solid (VSS) ... 5

Persamaan 3.3 Rumus penetapan kadar Volatile Fatty Acid (VFA) ... 5

Persamaan 3.3 Rumus perhitungan yield Biogas ... 6

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisa Sampel ... xii Lampiran 2 Tabulasi Hasil COD, VSS, VFA, dan Biogas pada Pengolahan Limbah

Cair Tahu dengan menggunakan Bioreaktor Satu Tahap dan Dua Tahap . xv Lampiran 3 Contoh Perhitungan ... xvii Lampiran 4 Foto Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian ... xviii

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tahu merupakan salah satu makanan dari olahan kacang kedelai yang banyak dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Saat ini semakin banyak industri rumah tangga yang memproduksi tahu, di kota Medan sendiri terdapat 42 unit industri skala rumah tangga pembuatan tahu (Giska, 2013). Dampak positif dari perkembangan industri tahu yang pesat berupa pemenuhan kebutuhan masyarakat akan sumber pangan sedangkan dampak negatif berupa limbah cair dari proses produksi.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2014 menyatakan, air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair. Proses produksi tahu menghasilkan limbah cair dalam kuantitas yang besar yaitu 17±3 L/kg kedelai yang diolah (Romli, 2009). Menurut Budiman dan Amirsan (2015), limbah cair tahu mengandung bahan organik yang tinggi serta padatan tersuspensi maupun terlarut.

Umumnya kandungan organik yang terdapat pada limbah cair tahu adalah karbohidrat (53,37%), protein (32,75%), dan lemak (13,88%) (Hidayat, 2015). Limbah yang mengandung bahan organik yang tinggi, apabila dibuang langsung ke sungai dapat mengakibatkan terganggunya kualitas air dan menurunkan daya dukung lingkungan perairan (Rossiana, 2006).

Salah satu cara untuk mengetahui seberapa jauh beban pencemaran pada limbah cair adalah dengan mengukur Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) (Masturi, 1997). Pengolahan limbah cair yang sesuai untuk mengatasi kandungan bahan organik yang tinggi adalah dengan pengolahan secara anaerobik.

Bahan organik tersebut akan didegradasi oleh mikroorganisme menjadi metana (van Lier, dkk., 2008).

Faktor yang menentukan berhasil tidaknya proses pengolahan limbah cair organik secara biologi adalah mikroorganisme. Dalam proses anaerobik, mikroorganisme yang digunakan berasal dari bakteri anaerob dan archaea (Hanifah, 2003). Proses anaerob berlangsung lambat, maka diperlukan starter untuk mempercepat proses perombakan bahan organik, biasanya digunakan lumpur aktif organik, kotoran hewan atau cairan isi

(13)

rumen (Ginting, 2007). Kotoran hewan, salah satunya sapi cocok dijadikan sebagai starter dalam proses fermentasi, karena kotoran sapi tersebut telah mengandung bakteri penghasil gas metan (Sufyandi, 2001).

Secara garis besar penguraian senyawa organik secara anaerob dapat dibagi menjadi dua, yakni penguraian satu tahap dan dua tahap. Pada proses penguraian satu tahap terjadi dua tahapan reaksi sekaligus, yaitu pembentukan asam dan pengubahan asam menjadi metan (Khasristya dan Amaru, 2004). Hal ini menyebabkan proses hidrolisa kurang efektif karena kondisi operasi pertumbuhan antara mikroorganisme pembentukan asam (hidrolisis dan asidogenesis) dan pembentukan metana (asetogenesis dan metanogenesis) berbeda (Lang, L. Y., 2007). Sedangkan pada proses penguraian dua tahap, proses hidrolisa terjadi ditahap pertama dan pada tahap kedua terjadi proses pembentukan metan oleh bakteri metanogenesis. Proses penguraian dua tahap ini dapat menguraikan senyawa organik dalam jumlah yang lebih besar dan lebih cepat (Kholiq, 2007).

Penelitian mengenai pengolahan limbah cair menggunakan bioreaktor anaerob satu tahap dengan sistem batch telah banyak dilakukan, diantaranya dalam pengolahan limbah cair tapioka (Vegantara, 2009), limbah cair domestik (Wulandari, 2012), limbah cair ikan (Dhiauddin, 2014). Study mengenai anaerob satu tahap juga telah dilakukan pada pengolahan limbah cair tahu (Anggraini, 2014) dan didapatkan hasil bahwa pengolahan menggunakan bioreaktor anaerob satu tahap selama 30 hari dengan menambahkan kotoran sapi sebagai inokulum mampu menurunkan kadar BOD5 73%, COD 78% dan TSS 50%.

Proses anaerob dua tahap pertama kali dikembangkan oleh Pohland dan Ghosh (1971).

Sejak itu, beberapa penelitian sudah menggunakan reaktor anaerob dua tahap untuk mengolah berbagai limbah. Salah satu penelitian terdahulu oleh Ghosh et. al. (1985) menggunakan beberapa jenis limbah industri cair sebagai substrat, dan didapatkan hasil pengolahan anaerob dua tahap terbukti lebih unggul dari pengolahan anaerob satu tahap.

Penelitian menggunakan reaktor anaerob dua tahap juga dilakukan oleh Yazar, et. al.

(2016) dalam pengolahan whey keju dengan pengoperasian reaktor secara batch.

Didapatkan hasil bahwa penyisihan COD pada reaktor anaerob dua tahap meningkat 21% dari reaktor satu tahap, lalu gas metan bernilai 4 kali lipat lebih tinggi pada

(14)

anaerob dua tahap dibandingkan reaktor anaerob satu tahap. Percobaan sejenis juga dilakukan oleh Trisakti, et. al. (2016) dalam upaya meningkatkan produksi biogas dari limbah cair kelapa sawit, dan didapatkan hasil bahwa penurunan COD meningkat 5%

yaitu sebesar 81% jika dibandingkan dengan reaktor anaerob satu tahap dan menaikan produksi biogas 1,6 kali lipat dari reaktor anaerob satu tahap, yaitu dari 0,36 L CH4/g VS menjadi 0,58 L CH4/g VS.

Proses anaerob dua tahap sebagaimana yang telah diaplikasikan terhadap limbah whey keju dan limbah cair kelapa sawit pada penelitian sebelumnya diharapkan dapat digunakan untuk pengolahan limbah cair tahu guna meningkatkan penurunan kadar COD dan peningkatan produksi biogas. Pada penelitian ini, akan dibandingkan pengolahan limbah cair tahu dengan bioreaktor anaerob satu tahap dengan dua tahap, dimana inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi. parameter yang dianalisis adalah nilai COD (Chemical Oxygen Demand), VSS (Volatile Suspended Solid), VFA (Volatile Fatty Acid) dan produksi biogas yang dihasilkan selama proses anaerob berlangsung.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, diperoleh rumusan masalah bagaimana pengaruh dari pengolahan anaerob satu tahap dan dua tahap dengan sistem batch terhadap penurunan bahan organik yang ditinjau dari parameter COD, laju pertumbuhan bakteri yang dipantau dari parameter VSS, produksi metabolit yang dipantau dari parameter VFA, dan produksi biogas.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh dari pengolahan anaerob satu tahap dan dua tahap terhadap penurunan bahan organik yang ditinjau dari parameter COD, laju pertumbuhan bakteri yang dipantau dari parameter VSS, produksi metabolit yang dipantau dari parameter VFA, dan produksi biogas.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Memberikan informasi ilmiah tentang efektivitas pengolahan anaerob satu tahap dan dua tahap.

2. Memberikan alternatif pengolahan air limbah secara anaerobik.

(15)

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidrolika Teknik Sipil Fakultas Teknik USU.

Adapun bahan utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah cair industri tahu di Kecamatan Medan Polonia. Metode yang digunakan adalah metode batch mengunakan reaktor anaerob satu tahap dan dua tahap.

Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:

a. Reaktor anaerob satu tahap (Angraini, 2014)

1. Volume kerja reaktor = 10 liter

2. Volume efektif reaktor (Kahar,dkk., 2016) = 7 liter 3. Rasio kotoran sapi : limbah cair tahu (Purnomo, 2010) = 1 : 4

4. Suhu reaktor mesofilik = 30oC

5. pH reaktor = 7

6. Waktu operasi = 40 hari

b. Reaktor anaerob dua tahap (Agustina, 2011)

1. Volume kerja reaktor = 10 liter

2. Volume efektif reaktor (Kahar,dkk., 2016) = 7 liter 3. Rasio kotoran sapi : limbah cair tahu (Purnomo, 2010) = 1 : 4

4. Suhu reaktor mesofilik = 30oC

5. Waktu operasi pada tahap I = 2 hari

6. Waktu operasi pada tahap II = 38 hari

7. pH pada tahap I = 5,5

8. pH pada tahap II = 7

Parameter yang dianalisa adalah:

a. Analisa pada limbah cair

1. Analisa Chemical Oxygen Demand (COD) 2. Analisa Volatile Suspended Solid (VSS) b. Analisa pada produksi cairan

1. Analisa Volatile Fatty Acid (VFA) 2. Analisa laju volumetrik biogas

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Limbah Cair

Limbah cair industri adalah buangan hasil proses/sisa dari suatu kegiatan/usaha industri yang berwujud cair dimana kehadirannya pada suatu saat dan tempat tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomis sehingga cenderung untuk dibuang (Asmadi dan Suharno, 2012). Sedangkan menurut Woodard (2001), limbah cair industri adalah buangan hasil dari penggunaan air dalam proses industri manufaktur atau kegiatan pembersihan yang terjadi bersamaan dengan proses tersebut.

2.2 Sumber Limbah Cair Tahu

Kegiatan pengolahan kacang kedelai menjadi produk pangan berupa tahu menghasilkan produk samping yaitu limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair, yang berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik (Husin, 2008).

Sebagian besar limbah cair industri tahu bersumber dari cairan kental yang disebut dadih (whey) yang terpisah dari gumpalan tahu. Sedangkan sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan, pencucian peralatan proses dan lantai (Pohan, 2008).

2.3 Dampak Limbah Cair Tahu

Dampak yang ditimbulkan dari pencemaran bahan organik limbah industri tahu adalah gangguan terhadap kehidupan biotik yang disebabkan oleh meningkatnya kandungan bahan organik (Herlambang, 2002). Menurut Ratnani (2011), saat limbah cair tahu dibuang langsung ke sungai maka terjadi penguraian senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh mikroorganisme aerob. Proses penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam jumlah besar untuk memperoleh energi. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air. Penurunan yang melewati ambang batas akan mengakibatkan kematian biota air lain akibat kekurangan oksigen.

Limbah cair industri tahu yang merembes ke dalam air tanah, sehingga menyebabkan pencemaran air tanah. Bila air tanah tercemar, maka kualitasnya akan menurun sehingga

(17)

tidak dapat lagi digunakan sesuai peruntukannya (Mulia, 2005). Menurut Raudhah (2012), kandungan zat organik dalam limbah cair tahu mengalami pembusukan sehingga akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Kandungan padatan tersuspensi menyebabkan air mengalami perubahan warna menjadi keruh atau warna lain sesuai cemaran. Hal ini menimbulkan gangguan pemandangan.

2.4 Karakteristik Limbah Cair Tahu

Limbah cair industri tahu mengandung bahan organik yang tinggi sehingga bila terurai akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Limbah cair dari proses produksi tahu kuning berwarna kuning keruh dan berbau rebusan kedelai jika masih segar, sedangkan limbah cair dari proses produksi tahu putih berwarna putih keruh dengan bau kedelai jika masih segar (Departemen Pertanian, 2009).

Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain:

a. Padatan Tersuspensi

Yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut, maka air semakin keruh (Effendi, 2003).

b. Derajat Keasaman (pH)

Air limbah indutri tahu sifatnya cenderung asam, pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah untuk menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk. pH sangat berpengaruh dalam proses pengolahan air limbah. Baku mutu yang ditetapkan sebesar 6-9. Pengaruh yang terjadi apabila pH terlalu rendah adalah penurunan oksigen terlarut. Oleh karena itu, sebelum limbah diolah diperlukan pemeriksaan pH serta menambahkan larutan penyangga agar dicapai pH yang optimal (BPPT, 1997).

Nilai pH merupakan faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis mikroalga dalam memanfaatkan unsur hara. Nilai pH yang terlalu tinggi misalnya,

(18)

akan mengurangi aktifitas fotosintesis mikroalga. Proses fotosintesis merupakan proses mengambil CO2 yang terlarut di dalam air, dan berakibat pada penurunan CO2 terlarut dalam air. Penurunan CO2 akan meningkatkan pH. Dalam keadaan basa ion bikarbonat akan membentuk ion karbonat dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan menjadi netral. Sebaliknya dalam keadaan terlalu asam, ion karbonat akan mengalami hidrolisa menjadi ion bikarbonat dan melepaskan ion hidrogen oksida yang bersifat basa, sehinggga keadaan netral kembali (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

c. Nitrogen-Total

Yaitu campuran senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino, dan protein (polimer asam amino). Ammonia (NH3) merupakan senyawa alkali yang berupa gas tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Pada kadar dibawah 1 ppm dapat terdeteksi bau yang sangat menyengat. Kadar NH3 yang tinggi dalam air selalu menunjukkan adanya pencemaran. Ammonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi, 2003). Pada lingkungan asam atau netral, NH3 ada dalam bentuk ion NH4+. Pada lingkungan basa, NH3 akan dilepas ke atmosfer (Sataresmi, 2002).

Senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair tahu akan terurai oleh mikroorganisme menjadi karbondioksida (CO2), air serta ammonium, selanjutnya ammonium akan dirubah menjadi nitrat. Proses perubahan ammonia menjadi nitrit dan ahirnya menjadi nitrat disebut proses nitrifikasi. Untuk menghilangkan ammonia dalam limbah cair sangat penting, karena ammonia bersifat racun bagi biota akuatik (Herlambang, 2005).

d. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Merupakan parameter untuk menilai jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan zat organik secara biologis di dalam limbah cair. Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi (Wardana, 2004).

(19)

Menurut Effendi (2003), BOD adalah jumlah oksigen yang diperlukan oleh organisme untuk memecah bahan buangan organik di dalam suatu perairan.

Konsentrasi BOD yang semakin tinggi menunjukkan semakin banyak oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik.

Nilai BOD yang tinggi menunjukkan terdapat banyak senyawa organik dalam limbah, sehingga banyak oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik. Nilai BOD yang rendah menunjukkan terjadinya penguraian limbah organik oleh mikroorganisme (Zulkifli dan Ami, 2001).

Penguraian bahan organik secara biologis oleh mikroorganisme menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).

e. Chemical Oxygen Demand (COD)

Disebut juga kebutuhan oksigen kimiawi, merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (misal kalium dikhormat) untuk mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam air. Kandungan senyawa organik maupun anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol, sehingga tumbuhan air, ikan-ikan, hewan air lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup (Wardana, 2004).

Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui BOD dan COD.

Biological Oxygen Demand (BOD) adalah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia. Nilai BOD bermanfaat untuk mengetahui apakah air limbah tersebut mengalami biodegradasi atau tidak, yakni dengan membuat perbandingan antara nilai BOD dan COD.

Oksidasi berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu tak terbatas. Dalam waktu 5 hari (BOD5), oksidasi organik karbon akan mencapai 60%-70% dan dalam waktu 20 hari akan mencapai 95%. COD adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai COD akan selalu lebih besar daripada BOD karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi. Pengukuran COD membutuhkan waktu yang jauh lebih cepat, yakni dapat dilakukan selama 3 jam, sedangkan pengukuran BOD paling tidak memerlukan waktu 5 hari. Jika nilai antara BOD dan COD sudah diketahui, kondisi air limbah dapat diketahui (Kaswinarni, 2007).

(20)

Adapun karakteristik limbah cair industri tahu putih dan tahu kuning dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini:

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair ITahu Putih dan Tahu Kuning

Parameter Satuan Tahu Putih Tahu Kuning

<100 Kg/hari >100 Kg/hari <100 Kg/hari >100 Kg/hari Jumlah

limbah cair Liter 150-430 >1000 460-780 >2000

DO mg/l 1,5-2,2 1,93 1,3-1,5 1,2

BOD mg/l 2800-4300 4100 3500-3600 5800

pH - 3,4-3,8 3,56 3,8-3,9 3,66

TSS mg/l 615-629 >640 716-760 >800

Sumber : Departemen Pertanian, 2009

Menurut Kaswinarni (2007), limbah cair tahu memiliki suhu sekitar 37-45°C;

kekeruhan 535-585 FTU; warna 2.225-2.250 Pt.Co; amonia 23,3-23,5 mg/L; dan COD 7.500-14.000 mg/L.

2.5 Baku Mutu Limbah Cair Tahu

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 tahun 2014 pasal 1 ayat 31, baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam media air dari suatu usaha dan/atau kegiatan.

Industri tahu harus mengolah limbah cair sampai sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah, dimana tercantum dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Baku Mutu Limbah Cair Tahu

Sumber: Permen LH No.5 tahun 2014, Lampiran XVIII

Parameter Kadar

BOD5 150 mg/l

COD 300 mg/l

TSS 200 mg/l

pH 6-9

Kuantitas air limbah paling tinggi 20 m3/ton

(21)

2.6 Pengolahan Limbah Cair

Upaya untuk mengolah limbah cair tahu telah diketahui dicoba dan dikembangkan.

Metode pengolahan yang dikembangkan secara umum dapat digolongkan atas 3 jenis metode pengolahan, yaitu secara fisik, kimia, maupun biologi.

1. Pengolahan limbah secara fisik

yaitu pemisahan sebagian dari beban pencemaran, khususnya padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair dengan memanfaatkan gaya fisika (Husin, 2008).

2. Pengolahan limbah secara kimia

Merupakan pengolahan limbah yang memanfaatkan reaksi-reaksi kimia untuk mentransformsi limbah berbahaya menjadi tidak berbahaya. Bebagai bentuk pengolahan seperti netralisasi, koagulasi-flokulasi, oksidasi dan reduksi, penukaran ion, dan klorinasi (siregar, 2005).

3. Pengolahan limbah secara biologi

Merupakan proses pengolahan limbah dengan memanfaaatkan aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri, untuk mendegradasi polutan-polutan yang terdapat dalam air limbah.

2.6.1 Pengolahan secara Biologi

Pada penelitian ini menggunakan pengolahan secara biologi, sehingga penjelasan lebih ditekankan pada pengolahan limbah cair secara biologi. Tujuan dari pengolahan biologi yaitu untuk mengonversikan komponen organik menjadi suatu biomassa mikroba yang dipisahkan dengan proses pemisahan padatan-cairan seperti pengendapan dan atau pengapungan (Rajput, 2012).. Mekanisme pengolahan biologi adalah mencampurkan air buangan dengan populasi pekat mikroorganisme, dan membiarkan berkontak selama waktu tertentu yang cukup bagi mikroorganisme tersebut untuk menguraikan dan menyisihkan bahan-bahan pencemar, sampai mencapai tingkat pengolahan yang diinginkan.

Pada umumnya air limbah mengandung bahan organik dengan konsentrasi relatif rendah, sehingga lebih efisien dan ekonomis jika diolah dengan menggunakan aerobik,

(22)

dimana bahan organik dikonversi menjadi CO2 dan biomassa dengan bantuan mikroba yang disuplai oksigen. Pada air limbah dengan konsentrasi bahan organik yang tinggi dan mengandung suspensi bahan organik, dapat pula secara efektif distabilkan secara anaerobik. Proses pengolahan air limbah secara anaerobik dengan mengonversikan bahan organik menjadi gas metan dan CO2 serta biomassa mikroba anaerob dengan kondisi tanpa oksigen (Rajput, 2012).

2.7 Pengolahan Anaerobik

Menurut Indriyanti (2005), proses anaerobik adalah proses proses biologi yang memanfaatkan mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik dengan kondisi tidak dapat atau sangat sedikit oksigen terlarut. Pada dasarnya proses anaerobik didominasi oleh dua kelompok bakteri yaitu bakteri asidogenik dan bakteri metanogenetik (Moertinah, 2010).

Proses pendegradasian bahan organik secara anaerobik terlihat pada Gambar 2.1. Gas metan merupakan hasil dari fermentasi bahan-bahan organik yang dimanfaatkan sebagai biogas (Hambali, dkk., 2008).

(23)

Gambar 2.1 Proses pendegradasian Bahan Organik Secara Anaerobik (Effendi, 2003)

Tingkat efektifitas pengolahan secara anaerobik sangat dipengaruhi oleh karakteristik biomassa lumpur anaerobik dan senyawa kompleks yang terkandung dalam air limbah yang akan diolah. Sebelum pengolahan air limbah secara anaerobik dilaksanakan, maka terlebih dahulu harus dipersiapkan biomassa lumpur yang telah teraklimatisasi dan diketahui kemampuan biodegradasi anaerobik maksimumnya.

Tahapan-tahapan yang terjadi dalam proses degradasi anaerobik adalah sebagai berikut (Sunarto dkk, 2013):

1. Proses Hidrolisis

Proses hidrolisis adalah proses dimana aktivitas kelompok bakteri hidrolitik menguraikan bahan organik kompleks. Aktivitas terjadi karena bahan organik tidak larut seperti polisakarida, lemak, protein, dan karbohidrat akan dikonsumsi bakteri saprofilik, dimana enzim ekstraseluler akan mengubahnya menjadi bahan organik larut (Indriyati, 2005). Bakteri hidrolitik yang terlibat dalam proses ini seperti

(24)

Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus (Jenie, 1993).

2. Proses Asidogenesis

Asidogenesis adalah terjadinya tahapan konversi produk-produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh bakteri asidogenik menjadi substrat metanogenik (Clinton dan Herlina, 2015). Pada proses ini, bahan organik terlarut akan diubah menjadi asam organik rantai pendek seperti asam butirat, asam propionate, asam amino, asam butirat, maupun asam rantai panjang lainnya menjadi asam organik yang mudah menguap/volatil seperti asam asetat (Indriyati, 2005). Bakteri yang terlibat dalam proses ini adalah bakteri asidogenik seperti Clostridium (Jenie, 1993).

3. Proses Asetogenesis

Asetogenesis adalah tahapan penguraian asam butirat dan propionat oleh bakteri pembentuk asam menjadi asam asetat, gas H2, dan CO2 (Clinton dan Herlina, 2015).Selama proses asetogenesis, produk dari asidogenesis yang tidak dapat diubah secara langusg menjasi metana oleh bakteri metanogen akan diubah menjadi substrat metanogen. VFA dan alkohol dioksidasi menjadi substrat metanogen seperti asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Produk hidrogen meningkatkan tekanan parsial hidrogen, hal ini dianggap sebagai produk limbah dari proses asetogenesis dan menghambat metabolisme bakteri asetogenetik. Tahap selanjutnya adalah metanogenesis, selama proses metanogenesis hidrogen akan diubah menjadi metana.

Asetogenesis dan metanogenesis biasanya sejajar, sebagai simbiosis dari dua kelompok organisme (Megawati dan Aji, 2014). Bakteri yang terlibat dalam proses ini adalah bakteri asetogenik seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei (Jenie, 1993).

4. Proses Metanogenesis

Proses ini merupakan tahap akhir dari keseluruhan konversi zat organik menjadi CH4 dan CO2. Sumber utama pembentuk gas metan adalah asam asetat (70-80%), H2, CO2 (ikbal dan Nugroho, 2006). Metana juga terbentuk dari beberapa senyawa organik selain asetat. Oleh karena itu, semua produk fermentasi lainnya harus dikonversi ke senyawa yang dapat digunakan secara langsung atau tidak langsung oleh pembentuk bakteri (Gerardi, 2003).Tahap ini merupakan tahap yang paling

(25)

kritis dan sensitif dalam proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik. Hal ini dikarenakan waktu reproduksi bakteri ini sangat lambat hingga 3 hari dibandingkan dengan bakteri sebelumnya yang hanya membutuhkan 3 jam. Bakteri yang terlibat dalam proses ini adalah bakteri metanogenik seperti Mathanobacterium, Mathanobacillus, Methanosacaria, dan Methanococcus (Jenie, 1993).

Pengolahan anaerob dibagi menjadi dua jenis (Moertinah, 2010), yaitu:

1. Anaerob satu tahap

Pada tahap ini proses asidifikasi dan metanasi dilakukan dalam satu reaktor.

2. Anaerob dua tahap

Pada tahap ini proses asidifikasi dan metanasi dilakukan dalam suatu reaktor sistem dua tahap, proses asidifikasi dan metanasi dilakukan dalam reaktor yang berbeda.

Dalam pengolahan anaerob dua tahap, langkah pertama adalah untuk memuat bahan baku ke dalam reaktor dimana proses difokuskan pada hidrolisis dan asidogenesis.

Pada proses ini menghasilkan asam, namun sejumlah biogas biasanya juga diproduksi, karena sulit untuk benar-benar membagi proses. Kemudian cairan proses dari proses ini dipisahkan dan ditambahkan ke reaktor lain yang khusus disesuaikan untuk metanogenesis. Jenis proses mungkin cocok ketika substrat mengandung bahan yang mudah didegradasi dan tahap hidrolisis yang cepat (Wust, 2003).

Sistem dua fase dapat dioperasikan untuk memberikan kondisi yang optimal bagi mikroorganisme dalam setiap tahap untuk lebih efisien dalam pencernaan. Pada tahap pertama dari sistem dua fase, fase fermentasi asam, mikrorganisme asidogenik mencerna padatan organik dan organik terlarut yang kompleks, mengkonversi mereka ke VFA. Pada tahap kedua, mikrorganisme yang memproduksi metan (metanogen) memanfaatkan VFA untuk menghasilkan metana dan karbon dioksida (Wust, 2003).

Pengolahan secara anaerobik dilakukan dengan cara mengumpulkan limbah cair dalam wadah atau digester dalam keadaan anaerob dengan penambahan media maupun tanpa media (Hambali, dkk., 2008). Keberadaan media ditujukan sebagai tempat melekatnya bakteri anaerob. Menurut Indriyati (2005), Keuntungan dan kerugian pengolahan anaerob adalah dalam prosesnya menghasilkan energi berupa biogas, lumpur yang

(26)

dihasilkan sedikit serta kaya nutrisi, tidak memerlukan lahan yang besar dan tidak membutuhkan energi untuk aerasi. Kerugian yang utama pada sistem anaerobik adalah proses pertumbuhan mikrobanya lambat. Pertumbuhan mikroba dalam sistem anaerobik mempunyai waktu pertumbuhan dalam hitungan hari (lebih lama), bila dibandingkan dengan mikroba yang tumbuh pada proses aerob.

2.7.1 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Batch Pengolahan anaerobik dengan sistem batch adalah salah satu pengolahan dengan biaya yang murah, pengoperasian yang mudah, perangkaian reaktor yang mudah, dan sering diterapkan di daerah pedesaan karena kesederhanaan operasi (Karagiannidis, 2012).

Pengolahan dengan sistem batch banyak dikembangkan di negara-negara yang sedang berkembang (Karagiannidis, 2012). Pada sistem batch, reaktor diisi dengan bahan baku (air limbah) selama sekali dengan penambahan biakan mikroba atau tanpa penambahan biakan mikroba (Nayono, 2009). Reaktor tersebut harus berada dalam keadaan tertutup dan diberikan waktu retensi dengan periode tertentu, bila telah melewati waktu retensi maka reaktor dibuka, air limbah dibuang, dan diisi kembali dengan bahan baku (Nayono, 2009). Sistem batch merupakan sistem tidak kontinyu, sehingga pengisian hanya dilakukan sekali sebelum operasi dengan periode tertentu (Nayono, 2009).

2.7.2 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Kontinyu Pengolahan air limbah dengan sistem kontinyu dikembangkan oleh Ekama pada tahun 1986 (Agathos dan Reineke, 2003). Syarat pengoperasian sistem kontinyu adalah tersedianya nutrisi (air limbah) dalam waktu harian atau berkelanjutan (Agathos dan Reineke, 2003). Sistem kontinyu merupakan cara yang paling fleksibel untuk mengamati jumlah operasi yang diperlukan dalam proses kontrol untuk pengolahan air limbah. Sistem aliran kontinyu terbagi menjadi 2 jenis, yaitu aliran bersegmentasi dan tanpa segmen. Aliran bersegmentasi bercirikan dengan gelembung udara yang diberikan pada aliran air limbah, sedangkan aliran tanpa segmentasi adalah aliran dimana air limbah dimasukkan secara terus-menerus tanpa tersegmentasi oleh gelembung udara (Korenaga, dkk., 1994).

(27)

2.7.3 Pengolahan Air Limbah Secara Anaerobik Menggunakan Sistem Semi Kontinyu

Pengolahan air limbah dengan sistem semi kontinyu merupakan sistem aliran yang menggambungkan sistem batch dengan sistem kontinyu. Reaktor yang menggunakan sistem aliran semi kontinyu sering disebut juga fill and draw reactor. Prinsip penerapan sistem aliran semi kontinyu adalah batch secara otomatis dengan mengisikan bahan yang digunakan ke dalam reaktor sepenuhnya, kemudian reaktor diisi dengan bahan tambahan, sehingga akan menghasilkan produk dari hasil reaksi yang keluar menuju outlet. Penambahan air limbah akan dihentikan ketika produk didapatkan dan akan dilakukan penamabahan kembali ketika memerlukan produk dari hasil reaksi (Stephenson, 2002).

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Pengolahan Anaerobik

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengolahan anaerobik adalah sebagai berikut:

1. Suhu

Faktor suhu merupakan faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena enzim yang menjalankan metabolisme sangat peka terhadap suhu (Suharni dkk., 2008). Kondisi optimum yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah sekitar 27-30°C (Susanto, dkk., 2004). Menurut Metcalf dan Eddy (2003), suhu optimum untuk pertumbuhan mikroba adalah sekitar 25-35°C. Pengolahan anaerobik dapat berlangsung pada kisaran suhu 5-55

°C (Hambali, dkk., 2008).

Menurut Reynold (1982), berdasarkan suhu optimal dibagi menjadi:

a. Psikofil : mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu 1-15°C b. Mesofil : mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu 25-37°C c. Termofil : mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu 50-60°C 2. Pengadukan

Pengadukan berfungsi untuk memecah lapisan kerak di permukaan cairan dalam sistem yang menggunakan bahan baku yang sukar dicerna (misalnya jerami yang mengandung senyawa lignin). Lapisan kerak tersebut perlu dipecah agar mengurangi hambatan terhadap laju gas metan yang dihasilkan (Hambali, dkk., 2008).

(28)

3. Bahan Penghambat (inhibitor)

Bahan penghambat adalah bahan-bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga berpengaruh terhadap tingkat pendegradasian bahan organik.

Bahan penghambat tersebut dapat berupa logam berat (tembaga, kadmium, dan kromium), desinfektan, detergen, dan antibiotik (Hambali, dkk., 2008).

4. Laju Beban Organik (Organic Loading Rate)

Organic Loading Rate (OLR) adalah besaran yang menyatakan jumlah material organik dalam air limbah yang diuraikan oleh mikroba dalam reaktor per unit volume per hari. OLR digunakan untuk menjelaskan laju produksi mikroba.

Mikroba memiliki laju pertumbuhan yang spesifik yang akan mencapai tingkat produksi maksimal saat proses degradasi. Laju organik yang berbeda memberikan dampak yang berbeda terhadap laju reaksi (Indriyati, 2005).

Besarnya pembebanan ditentukan melalui pengaturan waktu yang menentukan kapan dan berapa lama pompa beroperasi agar didapat debit air limbah yang diinginkan. Pembebanan ditentukan berdasarkan nilai HRT yang telah ditetapkan dalam perencanaan awal. Besar HRT dan kinerja reaktor dalam efisiensi yang didapat ditetapkan sebagai besaran optimal dari kinerja reaktor (Padmono, 2003).

5. Hydraulic Retention Time (HRT)

Hydraulic Retention Time (HRT) adalah waktu perjalanan limbah cair di dalam reaktor atau lamanya proses pengolahan limbah cair tersebut. Waktu tinggal yang semakin lama akan mengakibatkan penyisihan bahan organik yang tinggi (Said, 2006). HRT substrat dalam reaktor adalah salah satu parameter penting dalam pengolahan anaerobik. HRT akan mempengaruhi loading rate, degradasi bahan organik, dan stabilitas reaktor (Indriyati, 2002).

6. Nutrisi

Unsur karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) merupakan tiga nutrien utama (makronutrien) yang dibutuhkan oleh bakteri dalam melakukan metabolisme sel untuk menghasilkan senyawa-senyawa penting dalam pertumbuhan bakteri. Unsur C merupakan unsur utama yang berperan dalam penyusunan sel-sel bakteri. Unsur N memiliki peranan yang sangat penting dalam penyusunan asam nukleat, asam

(29)

amino, dan enzim. Unsur P berperan dalam pembentukan asam nukleat dan fosfolipid (Oktaviana, dkk., 2014).

2.9 Pertumbuhan Mikroorganisme

Pola pertumbuhan mikroorganisme berdasarkan jumlah mikroorganisme dapat dibagi menjadi beberapa fase seperti dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme

Terdapat 5 fase yang dialami mikroba atau mikroorganisme dalam proses pembentukan biomassa, yaitu :

1. Lag Phase

Fase ini merupakan fase awal dimana mikroorganisme menyesuaikan diri dengan media dan substratnya. Perubahan bentuk dan pertumbuhan mikroorganisme tidak terlihat nyata. Fase ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu terjadinya sedikit perubahan terhadap massa sel tanpa diikuti oleh perubahan jumlah sel dan peningkatan laju pertumbuhan menuju karakteristik pertumbuhan selanjutnya. Pada bagian ini sel-sel muda menjadi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan (Gaudy, 1981).

2. Exponential Phase

Di dalam fase ini, mikroorganisme telah menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat hidup dan mulai dengan cepat bereaksi dan memanfaatkan nutrisi yang ada didalam lingkungannya untuk diproses dan diubah menjadi suatu bentuk biomassa.

(30)

3. Logarithmic Phase

Mikroorganisme mulai mengalami kekurangan nutrisi. Kondisi ini mendorong sel- sel untuk melakukan restrukturisasi sel agar dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang terbatas (Shulder dan Korgi, 1992).

4. Stationer Phase

Proses pembentukan biomassa mengalami tahap stabil cenderung menurun diakibatkan oleh jumlah kebutuhan nutrisinya berkurang.

5. Death Phase

Mikroorganisme tidak lagi menghasilkan biomassa dan mengalami kematian.

2.10 Parameter Penelitian

Pada penelitian ini akan dilakukan beberapa pengukuran parameter diantaranya sebagai berikut:

1. Chemical Oxygen Demand (COD)

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran oleh zat-zat organik secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologi dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Alaerts dan Santika, 1987).

Bahan buangan organik akan dioksidasi oleh dikromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan H2O serta jumlah ion chrom Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik yang terdapat dalam air kimiawi dapat ditentukan dengan cara penambahna potassium permanganat atau potassium dikromat berlebih dalam suasan asam pana suhu 60- 70˚C. Kelebihan potassium permanganat dapat dinetralisir dengan penambahan Na2C2O4 (Widyaningsih, 2011).

2. Volatile Suspended Solid (VSS)

VSS merupakan pengukuran banyaknya biomassa mikroba yang terdapat dalam unit pengolahan air limbah. VSS lebih cocok untuk mengukur banyaknya biomassa daripada jumlah organisme. VSS dapat pula menunjukkan kandungan bahan organik yang terdapat dalam air limbah (Davis, 2010). VSS dapat diukur dengan cara pembakaran hasil TSS pada suhu 500-550 °C. Pada suhu tersebut, uap air dan

(31)

karbon dioksida akan terbebas ke udara. Solid yang tersisa setelah pembakaran (abu) merupakan padatan anorganik (Spellman, 2003).

3. Volatile Fatty Acid (VFA)

Penyisihan COD pada pengolahan secara anaerobik dapat berdampak pada kandungan total VFA atau sering disebut asam lemak volatile yang dihasilkan selama proses berlangsung. Penyisihan COD dapat mencegah terjadinya akumulasi VFA, sehingga bakteri metanogen dapat bekerja secara optimum dalam mengubah asam asetat, karbon, dan hidrogen menjadi gas metana (Saddoud dan Sayadi, 2007).

Nilai VFA terdiri atas kandungan asam asetat, asam propionat, dan asam butirat, serta senyawa lain dengan kuantitas yang sangat kecil (Dijkstra, dkk., 2005).

Konsentrasi VFA adalah salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam mengontrol pengolahan secara anaerobik (Ahring, dkk., 1995). VFA dihasilkan oleh fermentasi asidogenesis yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk mendukung proses biologi, produksi metana, atau berfungsi sebagai substrat pilihan untuk produksi biopolimer (Pratt, dkk., 2012). Hasil penelitian Siegert dan Banks (2005), menyatakan bahwa kehadiran peningkatan konsentrasi VFA dalam sistem anaerobik terbukti dapat menghambat kinerja mikroba pada proses hidrolisis selulosa dan glukosa. Pada pH 6 terjadi proses penghambatan (inhibition) yang disebabkan oleh kandungan total VFA berlebih, yaitu 9 g/L. Hal ini diperkuat dengan pendapat Siegert dan Banks, yang menyatakan fermentasi glukosa akan terhambat pada VFA dengan konsentrasi melebihi 4 g/L.

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Hidrolika Teknik Sipil, Fakultas Teknik USU.

Pengujian sampel limbah cair industri tahu dilakukan di Laboratorium Pengembangan, PTKI (Politeknik Teknik Kimia Industri) Medan. Penelitian berlangsung pada Agustus- September 2017.

3.2 Peralatan dan Bahan Penelitian 3.2.1 Peralatan Penelitian

a. Alat untuk pengambilan limbah adalah jerigen 5 liter b. Bioreaktor anaerob

c. Peralatan water displacement

d. Botol sampel berbahan plastik 50 ml e. Alat untuk pengukuran COD

Alat yang digunakan untuk analisis COD adalah water bath (yamato), gelas erlenmeyer 250 ml, buret (pyrex) dan statif, pipet volume 10 ml (precicolor), gelas ukur (pyrex), pipet tetes, bola karet, labu ukur 100 mL (pyrex), timbangan analitik kapasitas 220 g dengan keteletian 0,0001 g.

f. Alat untuk pengukuran VSS

Alat yang digunakan dalam analisis VSS adalah botol sampel 30 mL dan 50 mL, timbangan analitik (vibra), cawan petri, penjepit, oven (Memmert model 100-800), tanur (hermolyne), desikator (Schott Duran), vacum filter, dan kertas saring Whatman, pompa vakum, dan corong hisap 1000 mL.

g. Alat untuk pengukuran pH

Alat yang digunakan dalam analisis pH adalah gelas beaker 100 mL (Herma) dan pH meter.

h. Alat untuk pengukuran VFA

Alat yang digunakan dalam analisis VFA adalah alat destilasi, hot plate (rommelsbacher), pompa air, kondensor leibig, gelas erlenmeyer 250 ml dan 500 ml, buret (pyrex), pipet volume 10 mL (precicolor), pipet tetes, batu didih, dan bola karet.

(33)

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini meliputi air limbah cair tahu dan kotoran sapi sebagai inokulum. Penelitian ini menggunakan bahan analisis COD, yang terdiri atas larutan KMnO4 0,025 N, larutan Na2C2O4, AgSO4, H2SO4 1:2, dan aquades.

Bahan yang dibutuhkan untuk analisis VSS adalah kertas saring dan aquades. Pada analisis VFA menggunakan larutan NaOH 0,1 N, HCl 0,1 N, H2SO4 15%, dan indikator PP. Bahan larutan pengontrol pH adalah larutan NaOH 40%. Bahan pengawet sampel untuk analisa COD adalah H2SO4 97% dan untuk pengawet sampel VFA adalah HgCl2. 3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Persiapan Alat dan Bahan

Limbah cair diperoleh dari industri tahu yang berada di Kecamatan Medan Polonia, sedangkan kotoran sapi yang digunakan sebagai inokulum diperoleh dari peternakan sapi yang berada di daerah Sei Mencirim, Medan Sunggal. Penelitian ini menggunakan bioreaktor anaerobik satu tahap dan dua tahap yang masing-masing berupa wadah plastik dengan volume 10 liter dan volume efektif 7 liter dan dilengkapi kran untuk pengambilan sampel dan juga peralatan water displacement yang berfungsi untuk menghitung volume biogas yang dihasilkan dari pendegradasian bahan organik.

3.3.2 Aklimatisasi

Bibit yang dipakai sebelumnya harus diaklimatisasi. Tujuan aklimatisasi adalah mempersiapkan mikroba pada lingkungan kerja yang baru agar dapat hidup dan bekerja menghasilkan produk sesuai yang diinginkan (Munawaroh, dkk., 2013).. Bibit yang dipakai berasal dari kotoran sapi. Lingkungan asal mikroba ini berbeda dengan lingkungan kerja baru hingga membutuhkan aklimatisasi. Kotoran sapi segar dicampur dengan aquades dengan perbandingan 1:1 kemudian disaring untuk memisahkan padatan yang ada dikotoran sapi tersebut. Kotoran sapi yang telah disaring dicampurkan ke dengan limbah tahu dengan perbandingan kotoran sapi dan limbah cair tahu 1:4.

Aklimatisasi dilakukan dengan dua kondisi, yang pertama dengan kondisi pH asam yaitu 5,5 untuk inokulum tahap asidogenesisi, dan pH netral yaitu 7 untuk inokulum tahap metanogenesis (Iriani, dkk., 2017). Kemudian dimasukkan ke dalam bioreaktor diinkubasi dalam keadaan anaerob. Inkunasi dilakukan sampai proses tersebut bisa

(34)

menghasilkan biogas. Hal tersebut menunjukkan bahwa mikroba yang ditanam didalam biodigester sudah dapat beraptasi (Utami, A. R, 2011)

3.3.3 Running Bioreaktor Anaerob Satu Tahap

Disediakan limbah cair tahu sebanyak 5,6 liter dan kotoran sapi yang telah diaklimatisasi dalam suasana pH netral yaitu 7 sebanyak 1,4 liter (rasio kotoran sapi : limbah cair tahu adalah 1:4 (Purnomo, 2010), kemudian dihomogenkan dan dilakukan pemantauan pH agar tetap netral (pH 7), ditambahkan NaOH jika diperlukan.

Dimasukkan campuran limbah cair tahu dengan kotoran sapi ke dalam bioreaktor anaerob, dialirkan gas nitrogen selama 10 menit, kemudian tutup rapat bioreaktor (Anggraini, 2014). Proses ini berlangsung selama 40 hari dan dipantau laju volumetrik gas dan diambil 100 ml sampel untuk pengukuran COD, VSS, VFA. Pengambilan sampel dilakukan setiap 3 hari (Kahar, dkk., 2016).

3.3.4 Running Bioreaktor Anaerob Dua Tahap

Proses anaeraob dua tahap berlangsung pada satu bioreaktor dengan kapasitas 10 liter dan volume efektif 7 liter. Disediakan limbah cair tahu sebanyak 5,6 liter dan kotoran sapi yang teraklimatisasi dalam suasana pH asam sebanyak 1,4 liter (rasio kotoran sapi : limbah cair tahu adalah 1:4) (Purnomo, 2010), kemudian dihomogenkan (Anggraini, 2014). Dimasukkan campuran limbah cair tahu dengan kotoran sapi ke dalam bioreaktor anaerob, dialirkan gas nitrogen selama 10 menit, kemudian tutup rapat bioreaktor.

Proses pada tahap pertama adalah proses hidrolisa dan pembentukan asam, dimana dalam proses tersebut dilakukan pemantauan pH agar tetap dalam suasana asam (pH 5,5). Proses tahap pertama berlangsung selama 2 hari. Pengambilan sampel dlakukan setiap 12 jam. Kemudian pada hari ke-3 berlangsung tahap kedua yaitu pembentukan metan, dimana dilakukan pemantauan pH dan ditambahkan NaOH agar pH naik dan dijaga tetap konstan pada pH 7 (Agustina, 2011). Dan ditambahkan kotoran sapi yang teraklimatisasi dalam suasana pH netral sebagai inokulum tahap metanogenesis. Proses tahap kedua ini berlangsung sampai hari ke 40. dipantau laju volumetrik gas dan diambil 100 ml sampel untuk pengukuran COD, VSS, VFA. Pengambilan sampel dilakukan setiap 3 hari (Kahar, dkk., 2016).

(35)

Gambar 3.1 Bioreaktor Anaerob Keterangan Gambar:

(a) Statif

(b) Water Displacement (c) Inlet

(d) Inlet Gas Nitrogen (e) Outlet

3.3.5 Analisa Sampel

1. Analisa Chemical Oxygen Demand (COD)

Analisa sampel untuk pengukuran COD dilakukan untuk megetahui laju pendegradasian substrat. Metode analisis uji COD mengacu pada Japanese Industrial Standar K 0102- 1981 Tokyo. Analisa COD menggunakan metode open refluks. Prosedur percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perhitungan penetapan kadar COD menggunakan Persamaan 3.1

COD ... (3.1) Keterangan:

a = Volume titrasi dengan KMnO4 (ml)

b = Volume titrasi blanko dengan KMnO4 (ml) f = faktor KMnO4

V = Volume sampel (ml) 0,2 = 1 KmnO4 ~ 1 gr O2

(a)

(b)

(c) (d)

(e)

(36)

2. Analisa Volatile Suspended Solid (VSS)

Analisa VSS dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan mikroorganisme. Analisa VSS dilakukan sesuai dengan prosedur yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Besarnya nilai VSS yang diperoleh dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.2:

VSS = ... (3.2) Keterangan:

d = berat cawan dan residu (termasuk kertas saring) setelah pemanasan 105˚C (mg) a = berat cawan dan residu (termasuk kertas saring) setelah pembakaran 550˚C (mg) V = volume sampel (ml)

3. Analisa Volatile Fatty Acid (VFA)

Analisa VFA dilakukan untuk mengetahui laju produksi metabolit. Pada penelitian ini VFA yang dianalisa dalam bentuk asam asetat (CH3COOH). Metode yang digunakan dalam analisa VFA adalah destilasi uap (steam destilation) (AOAC, 1991). Pengukuran Volatile Fatty Acid dilakukan sesuai prosedur pada Lampiran 1.

Konsentrasi VFA total dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.3:

VFA = ... (3.3) Keterangan:

a = Volume titrasi sampel HCl (ml)

b = Volume titrasi blanko dengan HCl (ml) V = Volume sampel (ml)

4. Analisa Produksi Biogas

Analisa produksi biogas ditinjau dari laju volumetrik biogas dan komposisi biogas.

Untuk analisa laju volumetrik, biogas yang dihasilkan dari hasil pendegradasian bahan organik dalam sampel limbah cair tahu dihubungkan dengan peralatan water displacement yang berfungsi untuk menghitung volume biogas yang dihasilkan dari pendegradasian bahan organik.

(37)

3.4 Analisa Data

Analisa data dilakukan terhadap data yang diperoleh dari hasil analisis setiap parameter yakni parameter COD, VSS, VFA dan produksi biogas.

3.4.1 Analisa Nilai COD, VSS, VFA dan Volume Kumulatif Biogas

Analisis dilakukan terhadap data COD, VSS, VFA dan Volume Kumulatif Biogas pada limbah cair tahu selama running reaktor. Data setiap parameter disajikan dalam bentuk tabel dan diplotkan dalam bentuk grafik dengan sumbu X adalah waktu pengamatan dan sumbu Y merupakan konsentrasi setiap parameter.

3.4.2 Metode Regresi

Untuk mencari hubungan persamaan digunakan metode regresi dari dua variabel.

Efisiensi dari penurunan COD dianalisis secara regresi untuk mengetahui besar pengaruh penurunan COD terhadap waktu.

3.4.3 Analisa Yield Biogas

Analisis yield Biogas dilakukan untuk mengetahui biogas yang dihasilkan dalam 1 gram COD yang terkonversi. Hasil yield biogas dapat dihitung dengan Persamaan 3.4.

Yield Biogas = ... (3.4) Keterangan:

V = Volume kumulatif biogas (L)

COD0 = Konsentrasi COD saat awal pengolahan (g) CODt = Konsentrasi COD saat akhir pengolahan (g)

(38)

3.5 Flowchart Penelitian

3.5.1 Persiapan Alat dan Bahan

Alur proses persiapan Alat dan Bahan dapat digambarkan flowchart pada Gambar 3.1.

Gambar 3.2 Flowchart Persiapan Bahan Baku

3.5.2 Running Bioreaktor Anaerob Satu Tahap

Alur proses running pada bioreaktor anaerob satu tahap dapat digambarkan flowchart pada Gambar 3.2.

Gambar 3.3 Flowchart Running Bioreaktor Anaerob Satu Tahap Mulai

Disediakan 5,6 liter limbah cair tahu dan kotoran sapi 1,4 liter.

Dihomogenkan, dan dilakukan pengukuran pH.

Selesai

Dimasukkan campuran limbah cair dengan kotoran sapi ke dalam bioreaktor anaerob, ditambahkan NaOH agar pH naik dan dijaga tetap netral (pH 7), dialirkan gas nitrogen selama

10 menit, kemudian bioreaktor ditutup rapat.

Setiap hari pH dikontrol, dan setiap 3 hari dianalisa laju volumetrik biogas dan diambil 50 ml sampel untuk pengukuran COD, VSS, VFA. Kemudian diakhir pengolahan dilakukan uji kromatografi untuk mengetahui komposisi gas.

Mulai

Pengambilan limbah cair tahu dan kotoran sapi

Perakitan reaktor

Selesai

(39)

3.5.3 Running Bioreaktor Anaerob Dua Tahap

Alur proses running pada bioreaktor anaerob dua tahap dapat digambarkan flowchart pada Gambar 3.3.

Gambar 3.4 Flowchart Running Bioreaktor Anaerob Dua Tahap Mulai

Disediakan 5,6 liter limbah cair tahu dan kotoran sapi 1,4 liter. Dihomogenkan, dan dilakukan pengukuran pH.

Selesai

Dimasukkan campuran limbah cair dengan kotoran sapi ke dalam bioreaktor anaerob, pada tahap satu dikontrol pH agar tetap dalam suasana asam (pH 5,5), dialirkan gas nitrogen selama 10 menit, kemudian bioreaktor ditutup

rapat.

Setelah 2 hari dari tahap pertama, ditambahkan NaOH agar pH naik dan dijaga tetap netral (pH 7) pada tahap kedua

Setiap hari pH dikontrol. Setiap 12 jam (tahap pertama) dan setiap 3 hari hingga hari ke 40 dianalisa laju volumetrik biogas dan diambil 50 ml sampel untuk pengukuran COD, VSS, VFA. Kemudian diakhir pengolahan dilakukan uji kromatografi untuk mengetahui komposisi gas.

(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Bahan Baku

4.1.1. Karakteristik Limbah Cair Tahu

Pada penelitian ini, limbah cair tahu diambil dari outlet pabrik tahu yang berada di kecamatan Medan Polonia. Untuk mengetahui karakteristik limbah cair tahu yang akan diolah maka dilakukan analisis awal limbah cair industri tahu. Karakteristik limbah cair industri tahu dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik Limbah Cair Tahu

No. Parameter Satuan Hasil Analisa

1. COD mg/l 2489

2. TSS mg/l 760

3. pH - 3,9

(Sumber: Hasil Analisa, 2017)

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa limbah cair tahu memiliki konsentrasi COD yaitu 2489 mg/l, konsentrasi TSS yaitu 760 mg/l, dan nilai pH yaitu 3,9. Hal ini sejalan dengan teori bahwa limbah cair tahu memiliki konsentrasi COD berkisar 1500-14000 mg/l (Herlambang, 2002), konsentrasi TSS berkisar 640-800 mg/l, konsentrasi BOD berkisar 900-5800 mg/l, dan nilai pH berkisar 3,4-3,9 (Departemen pertanian, 2006).

Kandungan senyawa organik COD dan BOD yang cukup tinggi pada limbah cair tahu menunjukkan bahwa limbah dominan mengandung senyawa organik yang bersifat kompleks (Indarto, 2010). Angka COD biasanya lebih besar 2-3 kali angka BOD (Razif dan Ali, 1996). Menurut Eckenfelder (1989), jika nilai BOD kurang dari sepertiga dari nilai COD, maka limbah tersebut banyak mengandung zat anorganik.

Dari hasil analisa karakteristik awal dapat diketahui limbah cair tahu memiliki nilai COD lebih dari 1000 mg/l, maka limbah tersebut dapat diolah dengan proses anaerob.

Hal ini sejalan dengan pendapat Asmadi dan Suharno (2012) bahwa konsentrasi COD minimum untuk mencapai keberhasilan pengolahan anaerob adalah 1000 mg/l, sementara batas maksimum untuk pengolahan anaerob adalah 30000 mg/l (Eckenfelder, 1995). Melalui proses anaerob senyawa-senyawa organik kompleks akan terurai menjadi senyawa organik sederhana serta menghasilkan produk samping berupa biogas.

(41)

Adanya proses pemecahan atau penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana secara tidak langsung juga dapat menurunkan nilai COD (Avlenda, 2009).

4.1.2. Karakteristik Kotoran Sapi sebagai Inokulum

Pengolahan anaerob melibatkan aktivitas mikroorganisme campuran baik yang bersifat fakultatif anaerobik maupun anaerobik obligat untuk merombak bahan organik menjadi produk akhir dalam bentuk gas seperti karbondioksida dan metan (Benefield dan Rendal 1980; Stafford et al, 1980). Proses anaerob berlangsung lambat, maka diperlukan inokulum untuk mempercepat proses perombakan bahan organik, biasanya digunakan lumpur aktif organik, kotoran hewan atau cairan isi rumen (Ginting, 2007). Pada penelitian ini inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi. Menurut Sufyandi (2001), kotoran sapi cocok dijadikan sebagai inokulum dalam proses fermentasi, karena kotoran sapi telah mengandung bakteri penghasil gas metan.

Kotoran sapi diencerkan dengan air (1:1) dan disaring untuk menghilangkan partikel- partikel kasar. Cairan yang lolos saringan diaklimatisasi dengan limbah cair tahu dengan perbandingan 1:4 dalam kondisi anaerob secara batch. Aklimatisasi dilakukan guna untuk mempersiapkan mikroba pada lingkungan kerja yang baru agar dapat hidup dan bekerja menghasilkan produk sesuai yang diinginkan (Munawaroh, dkk., 2013).

Aklimatisasi dilakukan dalam dua suasana pH (Indri, 2017), yaitu suasana asam (pH 5,5) untuk inokulum proses anaerob dua tahap – tahap pertama (tahap asidifikasi) dan suasana netral (pH 7) untuk inokulum proses anaerob dua tahap – tahap kedua (tahap metanogenesis), juga untuk inokulum proses anaerob satu tahap. Pengkonsian pH dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH. Proses aklimatisasi berlangsung selama 10 hari, berakhirnya proses aklimatisasi ditandai dengan terbentuknya biogas yang mengindikasikan bakteri sudah dapat beradaptasi (Utami, A. R, 2011). Kotoran sapi yang telah diaklimatisasi akan dijadikan inokulum untuk proses pengolahan anaerob satu tahap dan dua tahap.

Menurut Dhadse et al (2012) bakteri yang terkandung dalam kotoran sapi terbagi atas dua kelompok yaitu bakteri metanogenik yang meliputi Methanobrevibacter ruminatium, Methanobacterium formicium, Methanosarcina frisa, dan Methanthix

(42)

soehngenii. dan bakteri non metanogenik meliputi Clostridium, Propionibacterium, Bacteroides, dan Peptostreptococcus.

Parameter yang dianalisis untuk memperkirakan konsentrasi mikrooorganisme adalah Volatile Suspended Solid (VSS). Dalam penentuannya, VSS diperoleh dengan memanaskan residu hasil analisa zat padat total pada suhu ± 550OC. Bagian yang terbakar atau hilang selama pemanasan disebut sebagai residu volatile (Volatile Suspended Solid) atau zat padat organik sedangkan bagian yang tersisa disebut residu terikat atau zat padat anorganik (Suyasa, 2015). Hasil uji karakteristik inokulum yang telah teraklimatisasi ditampilkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Karakteristik Inokulum

No. Parameter Satuan

Kadar Teraklimatisasi dalam

kondisi asam Teraklimatisasi dalam kondisi netral

1. TSS mg/l 5916,52 5686,05

2. VSS mg/l 4437,38 4206,91

3. pH - 5,5 7

(Sumber: Hasil Analisa, 2017)

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat konsentrasi VSS yang diperoleh setelah aklimatisasi dalam suasana pH asam dan netral berturut-turut adalah 4437,38 mg/l dan 4206,91 mg/l. Konsentrasi VSS yang didapatkan dalam percobaan ini telah memenuhi syarat untuk pengolahan anaerobik yaitu, konsentrasi VSS lebih dari 4000 mg/l atau minimal 2000 – 4000 mg/l (Syahrin, dkk., 2016).

4.1.3. Karakteristik Bahan Campuran

Pengolahan anaerobik pada limbah cair tahu dilakukan dengan sistem batch. Bioreaktor terbuat dari bahan plastik berupa jerigen yang dilengkapi outlet pengambilan sampel dan perlengkapan water displacement guna mengetahui bolume biogas yang dihasilkan, Volume total bioreaktor adalah 10 L dengan volume efektif yaitu 7 L. Limbah cair tahu dicampur dengan inokulum sebanyak 20% dari volume kerja yaitu 1,4 L. Adapun hasil uji karakteristik bahan campuran dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair ITahu Putih dan Tahu Kuning
Gambar 2.1 Proses pendegradasian Bahan Organik Secara Anaerobik (Effendi, 2003)
Gambar 2.2 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme
Gambar 3.1 Bioreaktor Anaerob  Keterangan Gambar:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga kombinasi variabel yang digunakan dalam menentukan model tahanan kapal dengan jumlah neuron sebanyak enam dan variabel input yang optimum akan disajikan

Pada dimensi sparepart terdapat indikator yang memiliki persentase dibawah 60% yang pertama yaitu indikator kemudahan mendapatkan spareparts Nissan dengan persentase

Standar dan sasaran kebijakan hak-hak masyarakat adat yang mengacu pada Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, masyarakat

Prognosis pasien ini baik, karena walaupun saat kehamilan ibu pasien mengeluh berbagai gejala yaitu ibu pasien merasa pertumbuhan kehamilannya yang lebih cepat

40 tentang system jaminan social nasional menjelaskan bahwa JKN menjamin biaya pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan nasional secara gotong royong wajib oleh seluruh

A Szent István király tiszteletére szentelt zágrábi püspökség – 1853 óta érsekség – Szent László király egyházszervező tevékenységének köszönheti 1091–

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat