• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Mikro (Rumah Tinggal)

Dalam dokumen BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 59-71)

4.8. Tatanan Lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah

4.8.3. Ruang Mikro (Rumah Tinggal)

Tata ruang mikro dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh adalah rumah tempat tinggal dan pekarangan. Rumah tempat tinggal ini merupakan rumah tradisional masyarakat suku Kerinci, yaitu Rumah Larik.

Pekarangan Rumah Larik pada zaman dulu sengaja diluaskan sebagai tempat untuk menjemur padi. Di depan rumah atau larik dibuat parit kecil dari susunan batu, sedangkan lumbung padi (bileik) dibangun di belakang atau di depan larik (Zakaria 1984). Di belakang rumah atau larik pada umumnya ditanami dengan pisang sebagai batas dengan rumah atau larik di belakangnya dan mencegah api menjalar lebih luas jika terjadi kebakaran9.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, saat ini pekarangan Rumah Larik umumnya telah mengalami penyempitan lahan. Pembangunan rumah dengan konstruksi beton telah mempersempit area untuk pekarangan. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah pada tahun 1970 untuk memperluas jalan dalam larik ikut mempersempit pekarangan Rumah Larik. Saat ini, setiap rumah rata-rata memiliki pekarangan depan rumah selebar 1 - 2 m dari badan jalan larik, sedangkan untuk halaman di bagian belakang rumah tidak ada ruang yang tersisa. Jika dulu pekarangan dijadikan sebagai tempat untuk menjemur padi, maka saat ini masyarakat menjemur padi di pinggir jalan larik maupun jalan dusun. Pekarangan ditanami dengan berbagai tanaman hias, tanaman obat maupun tanaman untuk bumbu dapur (Gambar 29). Parit dari batu dan lumbung padi saat ini tidak ditemukan lagi di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. Namun, terdapat parit atau selokan kecil sebagai sirkulasi air yang dibangun oleh pemerintah. Jalan yang terdapat dalam larik berupa jalan aspal yang kondisinya kurang baik karena banyak terdapat lubang-lubang. Lebar jalan dalam larik ini beragam sekitar 2 – 5 m.

9

Gambar 29. Pekarangan (kiri) dan Aktivitas Menjemur Padi (kanan) Rumah Larik sebagai rumah tradisional masyarakat suku Kerinci memiliki keunikan dan nilai arsitektural yang tinggi (Lampiran 5). Rumah uhang kincai ini berupa rumah panggung , tinggi, dan panjang. Bagian-bagian Rumah Larik terdiri atas :

1. Tiang Tuo

Tiang tuo terletak di tengah rumah. Jumlah tiang pada satu Rumah Larik

adalah 12 buah dengan diameter 25 – 50 cm. Semua tiang yang digunakan untuk mendirikan rumah ini harus bersegi delapan. Segi delapan ini memiliki makna delapan pasak negeri, yaitu negeri bersudut empat lawang nan dua, adat yang empat, undang yang empat, hukum yang empat, kata yang empat-empat, emas seemas, waris sko nan tigo takah, waris nan berjawab khalifah nan bernunjung.

2. Alang

Alang adalah penghubung antara satu tiang dengan tiang lainnya bagian

atas yang terbuat dari papan tebal (Gambar 30). 3. Bandul

Bandul adalah penghubung tiang sebelah bawah yang juga bersegi delapan. Bandul ini membatasi ruang luar dan ruang dalam. Pada sisi dalam, dibuat lubang

untuk menyimpan barang-barang rumah tangga. Bandul pada bagian tengah rumah dapat berfungsi sebagai tempat Depati dan Ninik Mamak duduk bersandar.

4. Pintau (pintu)

Pintau adalah pintu untuk masuk ke dalam rumah (Gambar 30). Pintu ini

terbuat dari papan setebal 3 – 6 cm dan terletak di depan tangga naik ke rumah. Tinggi pintu hanya 125 sampai 150 cm, sehingga kalau ada tamu yang masuk

harus menundukkan kepalanya dan secara tidak langsung telah memberi hormat kepada penghuni rumah.

Gambar 30. Alang (kiri) dan Pintau (kanan)

5. Pintau bukan (pintu bukan atau bukan pintu)

Pintau bukan adalah pintu yang menghubungkan lantai rumah dengan

loteng. Pintu ini tidak memiliki daun pintu seperti pintu pada umumnya sehingga kita dapat melihat atap rumah dari dalam rumah. Pintu ini memiliki lebar seperempat lebar loteng yang berfungsi sebagai pintu untuk menuju ke ruang atas.

6. Pintau singok

Pintau singok adalah jendela yang menghadap keluar dan terletak di bagian

depan rumah. Jendela ini tempat anak jantan dan orang tua-tua duduk untuk mengamati keadaan di luar rumah. Untuk melihat keluar jendela cukup dengan duduk di lantai rumah karena letak jendela yang sangat rendah.

7. Pintau Suhai (Pintu suri)

Pintau Suhai adalah jendela yang menghadap keluar pada dinding bagian

belakang rumah. Jendela ini tempat anak batino melihat-lihat keluar. Jendela ini rendah sekali, apabila duduk dilantai maka kepala dapat dijulurkan keluar (Gambar 31).

Gambar 31. Pintau Suhai (sumber: Tambo Sakti Alam Kerinci 2 1984)

8. Pintau dumeh (pintu rumah)

Pintau dumeh adalah pintu bagian tengah yang terdapat di dalam rumah

(Gambar 32). Pintu ini terbuat dari papan tebal yang berfungsi menghubungkan ruang luar dan ruang dalam. Pintu ini memiliki ukuran yang sama dengan pintau untuk masuk ke dalam rumah. Pada bagian tengah pintu terdapat ukiran timbul stilir matahari yang terdiri dari kombinasi warna merah, biru, dan kuning.

Gambar 32. Pintau Dumeh

9. Palasa

Palasa merupakan teras yang menjorok di depan pintu depan (Gambar 33).

Fungsinya yaitu tempat menyandarkan tangga dan tempat tamu menunggu. Selain itu palasa juga berfungsi sebagai tempat menggantungkan tabung air dari bambu.

10. Atak (atap)

Atap terbuat dari kayu lapis (sirap), ijuk, dan bambu. Namun, untuk Rumah Larik yang asli menggunakan atap dari bambu yang dinamakan atap supit (Zakaria 1984). Saat ini sulit ditemui Rumah Larik dengan konstruksi yang masih

asli. Pada umumnya rumah sudah menggunakan atap dari bahan seng (Gambar 33). Selukoh10 adat Kerinci mengatakan: Atak lipat pandan lang manarak –

bubung sawo mangampea. Selukoh ini menggambarkan bubung rumah Kerinci

ujung ke ujung lentik biduk dan diberi puncak kayu berukiran.

Gambar 33. Palasa (kiri) dan Atak (kanan)

11. Tanggo (tangga)

Tangga pada Rumah Larik ada dua macam, yaitu :

a. Tanggo janteang atau tanggo jantan, yaitu tangga yang terdiri dari satu

batang kayu sepanjang kira-kira 175 cm dan dirakuk untuk tempat berpijak sebanyak 7 buah (Gambar 34). Tangga jantan merupakan tangga yang asli pada Rumah Larik. Rakuk ini memiliki nama dan urutan, yaitu:

Rakuk pertama disebut takih Rakuk kedua disebut tanggo Rakuk ketiga disebut tunggu Rakuk keempat disebut tingkah Rakuk kelima disebut takih Rakuk keenam disebut tanggo Rakuk ketujuh disebut tunggu

Maksud dari tujuh buah rakuk ini adalah hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia, yaitu langkah, rezeki, pertemuan, maut, langkah, rezeki, dan pertemuan.

10

Selukoh, dalam bahasa Indonesia disebut seloka, yaitu bentuk puisi melayu klasik berisikan

pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair.. (sumber: id.wikipedia.org).

Pada rakuk ketujuh yaitu tunggu, kalau ada tamu yang datang maka ia harus menunggu dulu sampai dipersilakan masuk oleh penunggu rumah. Tangga jantan ini dapat diangkat dan dipasang. Jika diangkat dan diletakkan di atas palasa maka tandanya orang rumah tidak terima tamu atau sedang bepergian. Selain itu juga untuk menghindari ada pencuri yang ingin naik ke rumah. Untuk naik dan turun tangga ini juga diperlukan kehati-hatian dan perlahan-lahan, hal ini bermakna bahwa segala pekerjaan itu harus penuh perhitungan dan hati-hati. Bagi seorang anak laki-laki yang ingin bertandang ke rumah perempuan, jika melihat tangga sudah diangkat artinya sudah ada yang bertandang ke rumah itu atau penghuni rumah sudah tidak menerima tamu lagi. Jika tangga ini terletak di bawah palasa, pertanda bahwa penghuni rumah sedang pergi ke sawah, kebun, atau ke tempat lainnya (Zakaria 1973).

b. Tanggo batino atau tangga betina, adalah tangga yang memakai dua tiang

dan dihubungkan oleh tujuh buah anak tangga (Gambar 34). Tangga betina disebut juga dengan tangga beranak. Tangga ini juga disandarkan pada palasa namun tidak dapat diangkat dan dipindahkan karena berat.

Gambar 34. Tanggo Janteang (kiri) dan Tanggo Batino (kanan)

12. Luang (ruang)

Rumah orang Kerinci atau Rumah Larik terdiri dari dua ruang, yaitu ruang dalam dan ruang depan yang dibatasi oleh dinding tengah. Ruang depan dinamakan luan sedangkan ruang dalam disebut dumeh. Ruang dalam berfungsi sebagai ruang tidur, ruang makan, dan dapur. Ruang dalam ini tidak bersekat-sekat. Dapur terletak di sebelah kanan rendah dan dilapisi dengan tanah,

kemudian dipasang tungku dari batu. Di atas tungku terdapat phang atau selayan, yaitu tempat menyimpan kayu bakar. Tempat tidur terletak di sebelah kiri, sedangkan tempat makan berada dekat dapur.

13. Kandea (kandang)

Kandea adalah ruang bagian bawah rumah. Kandang ini berdinding bambu

yang dianyam dan menutupi seluruh bagian bawah rumah. Kandang berfungsi sebagai tempat memelihara ternak dan tempat menyimpan padi.

14. Pha (paran)

Pha adalah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang

seperti tikar, benda-benda pusaka, atau alat yang tidak sering dipergunakan. Pha juga berfungsi sebagai tempat membersihkan benda-benda pusaka pada saat

kenduri sko.

15. Ptaih

Ptaih adalah ruang di antara pha dan atap. Ruang ini dipergunakan untuk

tempat menyimpan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang. Menurut kepercayaan lama, ruang ini juga sebagai tempat berdiam roh-roh sakti.

Pada ruang luar dalam Rumah Larik terdapat tiga bentuk loteng, yaitu: a. Ada loteng yang dinaikkan setinggi 40 cm dari alang lintang.

b. Ada loteng yang langsung dipasang di atas alang.

c. Sama sekali tidak mempunyai loteng bagian depan, langsung bagian atap. Lantai loteng dalam bahasa Kerinci disebut tulok bahea, telak garo, tlok

balahea, pehang kartea. Lantai loteng ini terbuat dari bambu atau bilah bambu

yang di belah menjadi tiga dan kemudian disusun memanjang mengikuti panjang rumah. Susunan bambu ini diikat dengan menggunakan tali ijuk atau rotan. Loteng bagian depan rumah berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda seperti alat-alat tenun, jangki, cetakan logam (loyang), alat masak (cerano), senjata, dan lain-lainnya (Gambar 35). selain untuk menyimpan barang-barang rumah tangga, loteng ini juga berfungsi sebagai tempat tidur nenek atau kakek yang sudah hidup sendirian. Hal ini memiliki maksud untuk menghormati orang tua dan memberikan ruang pada tempat yang lebih tinggi. Pada siang hari, loteng ini biasa digunakan oleh anak gadis untuk memintal benang tenun untuk kain. Fungsi lainnya dari loteng tulok bahea ini adalah untuk menyimpan pusaka yang

dimuliakan dan dikeramatkan orang Kerinci. Pusaka ini dalam istilah Kerinci disebut “Patitip-Patatoh” berupa keris, tombak, pedang, payung, manik-manik, tanduk/bambu dengan tulisan incung, batu akik, rambut manusia yang disebut

Jato-jati, juga untuk tempat benda-benda yang berasal dari orang yang telah

meninggal dunia yang memiliki riwayat tertentu. Untuk naik ke loteng ini digunakan tangga jantan yang terbuat dari pohon Pakis gajah atau enau (Disparbud Kerinci 2003).

Gambar 35. Jangki Terawang (kiri) dan Cerano (kanan)

Masyarakat Kerinci memiliki kepercayaan bahwa loteng tulok bahea ini sangat sakral karena merupakan tempat roh-roh uhang tuwo. Roh uhang tuwo ini maksudnya adalah roh orang-orang tua yang sudah meninggal dunia sejak lama maupun benda-benda pusaka yang dianggap sebagai tempat hidup roh-roh tersebut. Benda-benda pusaka biasanya disimpan di umoh gdea (rumah gedang).

Umoh gdea adalah Rumah Larik milik salah satu tumbi yang ditunjuk berdasarkan

kesepakatan para Depati dan Ninik Mamak untuk menyimpan benda pusaka. Setiap luhah memiliki umoh gdea masing-masing. Untuk menaiki loteng pada sebuah umoh gdea haruslah penghuni rumah atau tunggu umoh. Tunggu umoh adalah seseorang yang telah diikat dengan sumpah karang setio, orang yang dapat dipercaya, berkata jujur, dan bekerja sesuai dengan peraturan adat. Tunggu umoh disebut juga dengan istilah uhang talilaik uhang takebeik artinya, seseorang yang dililit dan diikat dengan tugas tanggung jawab khusus menurut adat istiadat Kerinci (Disparbud Kerinci 2003).

Pada zaman dulu, orang Kerinci mengukur sesuatu menggunakan satuan ukuran yang ada pada manusia. Ukuran tersebut yaitu Depa, Hasta, dan Jengkal. 1 Depa = 160-180 cm, 1 Hasta = 40-55 cm. Pada saat itu masyarakat belum mengenal satuan ukuran meter, centimeter, atau inchi.

Pola bangunan pada Rumah Larik dibagi menjadi dua bagian yang terpisah, yaitu:

1. Bagian utama atau bawah terdiri dari tiang-tiang besar; 2. Bagian atas terdiri dari tiang-tiang bubung dan atap.

Pembagian konstruksi rumah yang terpisah ini bukan berarti kekurangan bahan baku kayu untuk mendirikan rumah. Pada zaman dulu bahan kayu sangat melimpah di daerah ini. Orang Kerinci memiliki alasan mengapa tidak membuat tiang rumah berupa tiang panjang yang langsung menyangga dari bawah hingga ke alang atau balok bubungan. Hal ini disebabkan antara lain, yaitu:

a. Adanya kepercayaan orang Kerinci bahwa alam kehidupan terdiri atas dua bagian, yaitu dunia atas yang disebut Maliyu dan dunia bawah yang disebut Marena. Dunia atas merupakan tempat kehidupan roh-roh nenek moyang, peri, dan dewa-dewa. Dunia bawah tempat kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Keduanya merupakan sisi yang saling terpisah (Gambar 36).

b. Dari segi teknologi yang telah dipahami orang Kerinci selama ratusan tahun. terpisahnya dua bagian ini akan mempermudah proses pengerjaan dan pemasangan konstruksi. Semua pemasangan konstruksi Rumah Larik tanpa menggunakan paku. Sistem sambungan pada konstruksi yaitu berpasak kayu, silang bertakik, dan ikat tali.

c. Adanya ungkapan dalam masyarakat Kerinci, yaitu Kayu gedeang

tempek basanda – Imbun daeu tempek batedeuh (Pohon besar tempat

bersandar – rindang daun tempat berteduh). Artinya: Pohon besar beserta akarnya merupakan konstruksi tiang-tiang rumah yang menyangga kehidupan. Sedangkan rimbun daun dan ranting-ranting merupakan bagian atas rumah agar dapat bertahan hidup dari serangan terik matahari dan hujan. Sesuai dengan filsafat nenek moyang Kerinci, bahwa alam diciptakan oleh Tuhan tetap dua-dua bagian yang terpisah, seperti siang-malam, bumi-langit, laki-laki dan perempuan, hidup-mati, dan lain sebagainya (Disparbud Kerinci 2003).

Orientasi tiang-tiang yang digunakan pada Rumah Larik pada umumnya kayu bagian pangkal harus berada di sebelah bawah bertemu pondasi batu, bagian ujung harus berada di atas dengan posisi vertikal. Sedangkan untuk alang-alang dan bagian lainnya dengan posisi horisontal, orientasi kayu tidak dipermasalahkan. Seluruh dusun di Kerinci, Rumah Larik didirikan di atas batu pondasi yang disebut batu sendai (Gambar 37). Menurut masyarakat, pondasi didirikan di atas batu karena pohon-pohon di hutan Kerinci tidak ada yang tahan pelapukan air tanah sehingga mudah ambruk jika ditanam. Batu pondasi yang dipilih adalah yang berbentuk rata pada kedua permukaannya. Batu pondasi diletakkan di atas tiga buah batu yang berfungsi sebagai bantalan. Batu bantalan ini dinamakan tungku tigo. Batu ini lebih kecil ukurannya dari batu pondasi.

Tungku tigo berfungsi sebagai gaya main bangunan rumah jika terjadi gempa dan

Gambar 37. Pondasi Batu (batu sendai)

Ukuran sebuah Rumah Larik menurut Zakaria (1984) adalah 6 depa x 3 depa atau sekitar 10,8 m x 6,4 m (1 depa = 1,8 m), tinggi rumah kira-kira 3 depa. Tinggi kandang (ruang bawah) adalah 1,5 m, tinggi loteng 1,75 m, dan tinggi bubungan sekitar 2 m. Sedangkan berdasarkan hasil Sayembara Rumah Adat Tradisional Daerah Kerinci tahun 1994, diketahui bahwa Rumah Larik memiliki ukuran 11,55 m x 9 m dengan besar setiap ruang 3,85 m x 4,5 m. Sedangkan tinggi kandang 1,2 m dan tinggi dinding ruang atas 1,8 m (Gambar 38).

Rumah Larik yang asli sebenarnya tidak bersekat antar ruang baik ruang dalam maupun ruang luar, tetapi hanya di sekat oleh sebuah dinding pada bagian tengah yang memisahkan ruang dalam dan ruang luar (Gambar 39). Ruang luar adalah tempat berkumpul keluarga atau dilaksanakannya pertemuan dan perundingan para pemangku adat. Jika ada tamu, maka tuan rumah duduk di sebelah dinding tengah, sedangkan tamu duduk di sebelah dinding depan dekat jendela. Apabila tamu adalah Depati dan Ninik Mamak, maka tempatnya adalah di atas anjung yang ditinggikan 10 cm dari lantai rumah. Anjung ini terletak di sebelah kanan dari dinding tengah atau sebelah kiri dinding depan, bersandar ke dinding dan menghadap ke ruangan.

Gambar 39. Denah Rumah Larik Tanpa Sekat (Sumber: Zakaria 1984)

Keterangan gambar: A : Ruang dalam (dumeh) B : Dapur (tanpa sekat) C : Ruang makan

D : Anjung (tempat duduk orang adat) E : Ruang Tamu

F : Palasa // : Pintu II : Jendela

Dalam dokumen BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 59-71)

Dokumen terkait