• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Aspek Biofisik

4.1.1. Wilayah Kota Sungai Penuh

Kota Sungai Penuh secara geografis terletak antara 101° 14’ 32” BT sampai dengan 101° 27’ 31” BT dan 02° 01’ 40” LS sampai dengan 02° 14’ 54” LS. Kota ini memiliki luas keseluruhan 39.150 Ha, yang terdiri dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas 23.177,6 Ha (59,2 %) dan lahan budidaya seluas 15.972,4 Ha (40,8 %) dan dengan jumlah penduduk 87.804 jiwa. Kota Sungai Penuh terbagi menjadi lima kecamatan yaitu, Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Pesisir Bukit, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Tanah Kampung, dan Kecamatan Kumun Debai. Lanskap Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh berada di Kecamatan Sungai Penuh, Kelurahan Sungai Penuh yang memiliki luas wilayah 45 Ha.

Secara fisik, batas-batas Lanskap Rumah Larik Limo Luhah adalah sebagai berikut (Gambar 4 ):

1. Utara : Permukiman dan Sekolah 2. Selatan : Permukiman

3. Timur : Permukiman

4. Barat : Sungai Batang Bungkal

             

(2)

4.1.2. Aksesibilitas dan Sirkulasi

Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh berada 1 Km dari pusat Kota Sungai Penuh. Kota Sungai Penuh dapat dicapai dari Kota Jambi dengan jarak 477 Km. Untuk menuju kawasan Rumah Larik dalam Kota Sungai Penuh dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan bermotor atau dengan menggunakan transportasi tradisional bendi (delman). Ada 4 jalur yang dapat ditempuh untuk menuju kawasan Rumah Larik Limo Luhah, yaitu (Gambar 5 ) : 1. Melalui jalan raya dari arah Kelurahan Dusun Baru. Jalur ini merupakan

pertemuan antara akses masuk dari pusat kota, Dusun Baru, dan Desa Sumur Anyir. Jalur ini dapat ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di kecamatan Kayu Aro, Siulak, dan Air Hangat.

2. Jalan raya dari Pusat Kota dan Pasar Sungai Penuh yang terletak di sebelah selatan kawasan Rumah Larik. Jalur ini sering ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di Kelurahan Sungai Jernih, Talang Lindung, Pelayang raya, dan Pasar Sungai Penuh.

3. Melalui jalan Baru yang terletak di Desa Gedang. Jalur ini berada di sebelah Timur kawasan Rumah Larik dan dapat diakses oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Sitinjau Laut, Danau Kerinci, Keliling Danau, Batang Merangin, dan Gunung Raya.

4. Melalui jalan raya dari arah desa Sumur Anyir yaitu jalan Arif Rahman Hakim. Jalur ini merupakan jalur yang dapat ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Hamparan Rawang dan Desa Sumur Anyir.

4.1.3. Iklim

Kondisi iklim kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh yang terletak di Kota Sungai Penuh sangat dipengaruhi oleh letak geografisnya yaitu berada di sekitar daerah khatulistiwa. Berdasarkan data iklim periode 2000-2006, wilayah kota Sungai Penuh memiliki curah hujan berkisar antara 77,81-131,8 mm/tahun. Rata-rata curah hujan sejak tahun 2000 sampai 2006 mencapai 108,1 mm. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan selama periode 2000 – 2006 sangat kecil.

(3)

Gambar 5. S

irkulasi dan Akses Menuju Kawasan Rumah Larik

(4)

Kondisi topografi wilayah kota Sungai Penuh yang terdiri dari lembah dan perbukitan menyebabkan suhu di daerah ini cukup sejuk. Kota Sungai Penuh memiliki suhu rata-rata maksimum 28,2° C dan suhu minimum 16,2° C (Tabel 1). Jumlah rata-rata hari hujan dari tahun 2000-2006 tercatat antara 11,4-13,3 hari, dengan kelembaban rata-rata 80,33 - 83,50 MmHg (Tabel 2), sedangkan penyinaran matahari pada tahun 2000-2006 tercatat antara 37.08 - 43 %.

Tabel 1. Keadaan Suhu Udara

No. Bulan Suhu Maksimum (°C) Minimum (°C) 1 Januari 27.9 15.3 2 Pebruari 28.3 15.6 3 Maret 28.2 16.0 4 April 28.8 16.6 5 Mei 28.9 16.4 6 Junl 28.9 16.7 7 Juli 28.7 15.9 8 Agustus 28.4 15.0 9 September 26.8 15.4 10 Oktober 28.3 16.2 11 Nopember 27.8 17.3 12 Desember 27.8 18 Rata-rata 28.2 16.2

(5)

Tabel 2. Curah Hujan dan Kelembaban No Bulan Curah Hujan Hari Hujan Kelembaban 1 Januari 159 13 78 2 Februari 288 18 81 3 Maret 39.5 11 78 4 April 152.8 9 74 5 Mei 103.6 9 76 6 Juni 99.4 7 84 7 Juli 13.8 3 83 8 Agustus 42.8 3 80 9 September 175.6 9 74 10 Oktober 26.7 7 80 11 November 226.6 21 83 12 Desember 223 27 87 Rata-rata 2006 124.2 11.4 80 2005 83.3 8 83 2004 90.6 12 83 2003 131.80 13.33 83.42 2002 130.50 12.60 83.50 2001 77.81 12.08 81.33 2000 113.60 12.00 83.00 Sumber : BPS, Kabupaten Kerinci Dalam Angka, Tahun 2006

4.1.4. Tanah dan Topografi

Kota Sungai Penuh termasuk daerah dataran tinggi yang berada pada ketinggian 813 m di atas permukaan laut. Kota ini merupakan lembah yang dikelilingi oleh perbukitan, sebagian wilayah monografinya bergelombang dan berbukit-bukit.

(6)

Berdasarkan data BPS Kabupaten Kerinci tahun 2006, jenis tanah di Kota Sungai Penuh terdiri dari tanah Andosol dan Podsolik. Wilayah dengan jenis tanah Andosol seluas 5.732 Ha sedangkan jenis tanah Podsolik seluas 4.518 Ha yang tersebar di lima kecamatan di Kota Sungai Penuh. Selain itu juga terdapat tanah Alluvial yang meliputi daerah-daerah di sekitar aliran sungai. Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh termasuk wilayah yang didominasi oleh jenis tanah Alluvial.

Kota Sungai Penuh memiliki topografi yang beragam mulai dari datar (0-8°), bergelombang (8-16°), curam yang bergelombang (16-30°), dan sangat curam yang bergelombang (>30°) (Gambar 6 ). Wilayah datar dengan kemiringan (0-8°) memiliki luas sekitar 6.300 Ha, wilayah yang bergelombang dengan kemiringan (8-16°) seluas 1.295 Ha, luas wilayah yang curam bergelombang dengan kemiringan (16-30°) 4.345 Ha, dan wilayah yang sangat curam bergelombang dengan kemiringan (>30°) seluas 1.295 Ha. Lanskap Rumah Larik Limo Luhah termasuk wilayah yang memiliki topografi relatif datar dengan kemiringan (0-8°).

(7)

4.1.5. Hidrologi

Lanskap Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh merupakan kawasan pemukiman masyarakat adat yang berada di pinggir sebuah sungai yaitu Sungai Batang Bungkal. Sungai ini membelah Kota Sungai Penuh membujur dari Selatan ke Utara. Di bagian hulu sungai dapat ditemui batu-batu kali berukuran kecil hingga besar, sedangkan di bagian hilir merupakan daerah endapan yang dimanfaatkan sebagai tempat penambangan pasir oleh warga. Sungai Batang Bungkal pada zaman dahulu digunakan oleh masyarakat Suku Kerinci terutama yang tinggal di daerah sekitar aliran sungai sebagai tempat untuk kegiatan mandi, cuci, kakus (MCK). Selain sebagai tempat MCK, sungai juga dimanfaatkan untuk irigasi sawah dan ladang yang terdapat di bagian hilir atau sebelah utara lanskap Rumah Larik (Gambar 7). Di bagian hilir sungai juga terdapat pintu air yang mengendalikan debit air untuk digunakan mengairi sawah. Pada saat musim kemarau, sungai menjadi kering sedangkan pada musim hujan sungai dapat meluap hingga menyebabkan banjir.

Gambar 7. Sungai Batang Bungkal sebagai Sumber Irigasi Lahan Pertanian

Selain Sungai Batang Bungkal, masyarakat yang menghuni Rumah Larik

Limo Luhah juga memanfaatkan sebuah mata air yaitu Sumur Pulai yang terdapat

di Desa Gedang berjarak sekitar 200 meter sebelah timur dari pemukiman. Mata air ini dimanfaatkan oleh masyarakat terutama pada musim kemarau saat sungai Batang Bungkal mengering. Sumur Pulai ini telah menjadi tempat pemandian umum bagi masyarakat sekitar dan terbagi dua yaitu pemandian untuk laki-laki

(8)

dan perempuan. Namun, saat ini Sumur Pulai sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat sekitar karena pemerintah melalui program PNPM-P2KP pada tahun 2009 telah menyediakan sarana air bersih dan kamar mandi umum di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. Hal ini sejalan dengan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Sungai Penuh (Musrenbang) tahun 2010 yang salah satu hasilnya memprioritaskan pembangunan dan rehabilitasi sarana air bersih.

Gambar 8. Sumur Pulai (kiri) dan Sarana Air Bersih (kanan)

4.1.6. View

Kota Sungai Penuh merupakan kota dengan pemandangan alam yang indah. Terletak di lembah yang dikelilingi oleh perbukitan membuat kota ini juga memiliki udara yang sejuk dan dingin. Rumah Larik Limo Luhah yang hanya berjarak 1 Km dari pusat kota merupakan titik awal perkembangan pemukiman masyarakat Kota Sungai Penuh. Dari kawasan Rumah Larik dan di sekitarnya kita dapat melihat pemandangan perbukitan yang membentang di sebelah Utara dan Selatan, sedangkan di sebelah Timur dan Barat terdapat pemandangan sawah yang membentang. Namun, dengan perkembangan pemukiman di sekitar kawasan Rumah Larik menyebabkan pemandangan-pemandangan tersebut tertutup oleh bangunan. Selain itu Rumah Larik Limo Luhah juga berada di daerah dengan kemiringan yang relatif datar (0-2°) dan lebih rendah dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Pemandangan perbukitan dan persawahan dapat dilihat dengan jelas jika melewati jalan Baru di sebelah Timur Rumah Larik tepatnya di Desa Gedang. Di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah sendiri, pemandangan permukiman

(9)

yang padat cukup teratur dan estetik. Hal ini dikarenakan hampir di setiap rumah memiliki pekarangan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman pekarangan terutama tanaman hias. Rumah-rumah yang tidak memiliki pekarangan umumnya menggunakan tanaman dalam pot untuk menghiasi rumahnya. Selain itu, terdapat taman pekarangan mini yang ditanami berbagai jenis tanaman hias pada setiap RT dalam kawasan Rumah Larik ini yang menambah nilai estetika. Taman mini ini dikelola oleh Dasawisma yang merupakan perkumpulan ibu-ibu skala RT di bawah PKK. Pada peringatan hari-hari tertentu sering diadakan lomba keindahan antar luhah maupun antar Dasawisma (Gambar 9).

4.2. Aspek Sosial Ekonomi

Kawasan Rumah Larik Limo Luhah yang termasuk dalam Kelurahan Sungai Penuh dihuni oleh 2.755 penduduk dengan 695 Kepala Keluarga yang terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 1.331 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 1.424 jiwa. Penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik ini merupakan masyarakat asli Suku Kerinci yang telah menetap secara turun-temurun. Di samping masyarakat Suku Kerinci juga terdapat masyarakat pendatang yang berasal dari Minangkabau dan daerah lainnya yang sedang bertugas atau bekerja di Kerinci. Hampir semua penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik ini adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan beragama Islam.

Dari segi pendidikan, dapat dilihat umumnya penduduk Kelurahan Sungai Penuh berpendidikan SMA/SLTA ke atas serta memiliki pendidikan khusus dibidang keagamaan (Tabel 3). Keberadaan sekolah-sekolah yang letaknya berdekatan dengan kawasan Rumah Larik menjadi faktor pendukung bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga SMA/SLTA. Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar kawasan Rumah Larik antara lain yaitu, Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Sungai Penuh, SD Negeri 2 Sungai Penuh, SD Negeri 5 Sungai Penuh, MTS Limo Luhah Sungai Penuh, SMP Negeri 8 Sungai Penuh, SMA Negeri 1 Sungai Penuh, SMA Negeri 4 Sungai Penuh, dan SMK Negeri 1 Sungai Penuh.

(10)

23 Gambar 9. View di Kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan sekitarnya

(11)

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Sungai Penuh

NO PENDIDIKAN JUMLAH (ORANG)

1. LULUSAN PENDIDIKAN UMUM

a. Taman Kanak-Kanak 105 b. Sekolah Dasar 385 c. SMP/SLTP 394 d. SMA/SLTA 673 e. Akademi ( D1-D3) 40 f. Sarjana (S1-S3) 191

2. LULUSAN PENDIDIKAN KHUSUS a. Pondok Pesantren

b. Madrasah

c. Pendidikan Keagamaan 99

d. Sekolah Luar Biasa

e.Kursus/Keterampilan 80

Sumber : Monografi Kelurahan Sungai Penuh Tahun 2009/2010

Berdasarkan data monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2009/2010, diketahui secara umum bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk Kelurahan Sungai Penuh termasuk penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik Limo Luhah adalah pedagang atau wiraswasta (Tabel 4). Wiraswasta yang dilakukan penduduk di kawasan Rumah Larik ini umumnya berupa usaha warung, wartel, warnet, fotocopy, percetakan, jasa menjahit, jasa isi ulang air mineral, hingga usaha perkayuan dan kerajinan batik tulis. Profesi penduduk lainnya adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebagian besar bekerja di instansi pemerintahan, petani yang menggarap sawah milik pribadi atau sebagai buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain, dan pensiunan yang sebagian besar merupakan pensiunan guru.

(12)

Tabel 4. Sebaran Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

NO MATA PENCAHARIAN JUMLAH (ORANG)

1. Karyawan

a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 236

b. ABRI 4 c. Swasta 263 2. Wiraswasta/Pedagang 299 3. Tani 263 4. Pertukangan 25 5. Buruh tani 47 6. Pensiunan 56 7. Jasa 65

Sumber : Monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2009/2010  

4.3. Aspek Sejarah

4.3.1. Asal Usul Suku Kerinci

Seperti halnya kedatangan suku-suku bangsa Indonesia lainnya, Suku Kerinci juga berasal dari Asia Tenggara. Mereka datang melalui jalur yang melewati Semenanjung Malaka, menyeberang Selat Malaka, kemudian menyusuri pantai timur Sumatera hingga ke Selat Berhala, masuk ke Sungai Batanghari, terus ke Batang Merangin dan akhirnya sampai ke hulu Batang Merangin yaitu Danau Kerinci (Afanti 2007).

Kedatangan mereka bergelombang, gelombang pertama disebut sebagai suku bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) pada zaman Neolitikum (batu muda) antara 4000 SM sampai 2000 SM. Gelombang yang kedua disebut sebagai suku bangsa Dentro Melayu muda yang datang pada zaman perunggu yaitu sekitar tahun 400 SM sampai 100 SM. Suku Kerinci diketahui sebagai suku yang lebih tua dari Suku Inca Amerika yang menyembah matahari dan juga Suku Candiaku yang berasal dari hulu sungai Indragiri. Suku bangsa Proto Melayu yang menduduki daerah Kerinci pada saat itu dikenal sebagai kelompok yang murni karena kedatangan mereka adalah yang pertama. Pada zaman ini diketahui terdapat sebuah gunung berapi yang sangat tinggi dan terletak di tengah-tengah

(13)

Pulau Sumatra yaitu berada di daerah pemukiman dan persawahan yang ada di Kerinci mulai dari Siulak sampai ke daerah Hilir Sanggaran Agung. Menurut legenda, gunung berapi tersebut bernama Gunung Beremas dan di masa inilah adanya kehidupan manusia yang mendiami daerah di sekitar kaki Gunung Beremas (Afanti 2007).

Kondisi topografi alam Kerinci yang terdiri dari lembah dan perbukitan berbentuk seperti gelombang ombak merupakan akibat dari letusan dahsyat Gunung Beremas yang mengeluarkan aliran lava pijar, lahar magma disertai oleh gelombang debu panas yang mengandung gas beracun mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah melalui lereng-lereng bukit. Letusan Gunung Beremas ini menghasilkan bentukan alam yang berbukit-bukit dan menyisakan sebagian sisa badan gunung yang sekarang dikenal sebagai Gunung Kerinci dengan tinggi 3.805 meter di atas permukaan laut. Gunung ini terletak di sebelah utara Kerinci dan masih menjadi gunung yang tertinggi di Pulau Sumatra (Afanti 2007).

Setelah letusan terjadi, daerah disekitar Gunung Beremas hanya tinggal puing-puing akibat dilanda lava pijar gunung berapi dan sebagian membentuk lembah-lembah,bukit-bukit, dan sungai-sungai baru. Sisa-sisa suku murni Melayu Tua yang selamat dari bencana alam itu kemudian mendiami lembah Kerinci. Suku ini kemudian dikenal dengan sebutan “Kecik Wok Gedang Wok”. Suku “Kecik Wok Gedang Wok” memulai sebuah kehidupan baru mereka yang masih tergolong primitif dan tinggal di gua-gua. Dalam berinteraksi, secara individu mereka belum memiliki nama hanya sebutan orang yang kecil dipanggil Wok Kecik dan orang yang lebih tua dipanggil Wok Gedang. Kehidupan mereka sehari-hari hanya berburu binatang, mengumpulkan makanan-makanan seperti buah-buahan yang ada di hutan dan mencari ikan di sungai. Suku Melayu Tua murni ini hidup berkelompok dan tempat tinggalnya tidak menetap selalu berpindah-pindah dari tempat pertama ke tempat yang lainnya dan kembali lagi ke tempat pertama. Suku ini sudah memiliki kepercayaan yaitu Animisme, mereka melakukan pertapaan untuk mencari jati diri, membersihkan jiwa raga agar terhindar dari pengaruh jiwa yang kotor serta menumbuhkan kesabaran sebagai pegangan hidup mereka sehari-hari (Afanti 2007).

(14)

Selanjutnya, Kerinci kedatangan suku bangsa Paleomongoloid gelombang pertama dari tanah Yunan Tiongkok Selatan. Mereka melalui Sungai Mekhong sampai di Hindia belakang kemudian melanjutkan ke daerah-daerah lainnya dan ada yang sampai ke daerah pusat alam Melayu Tua Kerinci. Suku-suku Paleomongoloid yang sudah berada di Kerinci ini berhubungan dengan kelompok Melayu Tua murni sehingga melahirkan keturunan-keturunan nenek moyang Kerinci (Afanti 2007). Oleh sebab itulah masyarakat suku Kerinci hingga saat ini memiliki ciri yang mirip dengan orang-orang Tiongkok seperti memiliki mata sipit dan berkulit putih. Berabad kemudian, gelombang berikutnya suku-suku Indonesia lainnya berdatangan ke daerah Kerinci untuk melakukan kegiatan perdagangan dan sebagainya, dari proses interaksi maka timbullah perubahan pada masyarakat suku Kerinci yang tidak berkebudayaan menjadi memiliki pemikiran untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti upacara sakral, membuat tempat pemujaan, hingga mengadakan sajian-sajian. Walaupun demikian, sikap suku Kerinci yang menerima kedatangan suku-suku dari luar tidak menghilangkan atau meninggalkan nilai-nilai leluhur dari kebudayaan nenek moyang mereka (Afanti, 2007).

4.3.2. Asal Nama Kerinci

Kata ‘Kerinci’ dalam masyarakat Kerinci diucapkan dalam dialek yang berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh cara melafadkan bahasa Kerinci oleh masing-masing dusun yang juga berbeda dan mempunyai kekhasan tersendiri. Masyarakat Sungai Penuh dan Pondok Tinggi yang tinggal berada di Kota Sungai Penuh biasa melafadkannya dengan sebutan ‘Kincai’, masyarakat Dusun Rawang, Koto Lanang, dan Sungai Tutung yang berada di sekitar Kota Sungai Penuh biasa menyebutnya ‘Kincei’. Masyarakat Kerinci bagian utara seperti dusun Semurup dan Siulak menggunakan sebutan ‘Kinci’, sedangkan orang Kerinci bagian Selatan seperti dusun Pulau Sangkar, Lempur, dan Temiai menyebutnya ‘Krinci’. Demikian juga dengan masyarakat di sekitar Kerinci seperti Minangkabau dan Jambi biasa menyebutnya ‘Kurinci’. Orang Belanda yang pernah menduduki Kerinci menggunakan sebutan ‘Korintji’ sedangkan orang Inggris menyebutnya ‘Korinchi’ (Djakfar 2001).

(15)

Asal kata nama Kerinci tidak diketahui secara jelas, namun terdapat legenda yang menjelaskan asal penggunaan nama Kerinci. Ada tiga legenda yang menceritakan kisah terciptanya kata ‘Kerinci’ yaitu :

1. Legenda yang menyatakan bahwa nama ‘Kerinci’ berasal dari kata ‘Kunci’. Kata ini memiliki arti bahwa daerah Kerinci merupakan daerah yang tertutup dan terkunci. Maksudnya adalah daerah Kerinci tidak berinteraksi atau berhubungan dengan dunia luar dan sebaliknya. Hal ini disebabkan kondisi geografis Kerinci yang dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan, hutan lebat, topografi yang bergelombang, dan banyak terdapat hewan buas sehingga membuat orang beranggapan bahwa Kerinci merupakan daerah yang tertutup.

2. Legenda yang menyatakan bahwa nama ‘Kerinci’ berasal dari dua kata, yaitu ‘Kering’ dan ‘Cair’. Legenda ini menceritakan bahwa dulu Kerinci merupakan sebuah danau yang sangat luas yang memiliki sebuah pulau kecil ditengah-tengahnya yaitu Tanah Cuguk. Seluruh daerah di kaki-kaki bukit merupakan daerah rawa basah. Pada saat musim kemarau rawa-rawa ini mengering sehingga membuat daerah daratan menjadi semakin luas, sedangkan pada musim penghujan daratan ini kembali basah menjadi rawa sehingga lahan kering menyempit. Fenomena alam inilah yang menyebabkan nama Kerinci berasal dari kata ‘Kering’ dan ‘Cair’.

3. Kisah setelah kedatangan suku bangsa Melayu ke daerah Kerinci. Pada saat itu Kerinci belum memiliki nama, maka datanglah suku bangsa lainnya dari hulu Sungai Batanghari yang menyusuri Batang Merangin hingga sampai ke hulunya. Mereka melihat di hulu sungai tersebut sudah ada manusia yang mendiami sehingga mereka menyebutnya orang Kerinci. Dalam bahasa mereka ‘Kerin’ berarti Hulu, sedangkan ‘ci’ berarti Sungai. Jadi Kerinci berarti Hulu Sungai. Suku inilah yang kemudian memperkenalkan nama Kerinci ke dunia luar, namun orang-orang yang mendiami daerah hulu sungai ini sendiri tidak tahu namanya.

(16)

4.3.3. Masuknya Agama Islam ke Kerinci

Sebelum masuknya agama Islam ke Kerinci tidak diketahui secara jelas agama apa yang dianut oleh orang Kerinci. Tetapi dilihat dari peninggalan-peninggalan yang ditemukan dapat dikatakan bahwa orang Kerinci pernah menganut Animisme dan agama Hindu atau Budha.

Agama Islam di Kerinci disebarkan oleh orang-orang pendatang dari daerah lain yang kebanyakan berasal dari Minangkabau. Orang yang menyebarkan ajaran Islam ini biasa disebut dengan Siak, yaitu orang yang taat beragama seperti halnya dengan mubalig, ulama, imam atau bilal. Adapun orang-orang Siak yang pernah datang ke Kerinci mengajarkan agama Islam antara lain sebagai berikut :

1. Siak Lengeih di Koto Pandan 2. Siak Jelir di Siulak

3. Siak Rajo di Sungai Medang 4. Siak Ali di Koto Beringin Semurup 5. Siak Sati di Koto Jelatang Hiang

6. Siak Baribut Sati di Koto Merantih Terutung 7. Siak Ji (Haji), makamnya di Lunang (Inderapura)

Masuknya agama Islam ke Kerinci yaitu sekitar abad ke-9 sampai abad ke-13 ketika Kerinci masih dikuasai oleh Sugindo-sugindo yang kemudian lenyap dan dikuasai oleh Depati IV-8 Helai Kain sampai awal abad ke-20 (1904).

4.3.4. Perlawanan Rakyat Kerinci Menentang Penjajahan Belanda

Sampai tahun 1906, Kerinci tidak pernah dijajah oleh negara atau kerajaan manapun. Hal ini disebabkan oleh banyak yang tidak mengetahui keberadaan daerah Kerinci karena terletak di daerah yang cukup sulit dicapai dan memiliki medan yang sulit ditempuh. Diperkirakan bahwa Kerinci adalah daerah yang terakhir di Indonesia yang dijajah oleh Belanda, padahal saat itu daerah di sekitarnya seperti Minangkabau, Jambi dan Bengkulu telah lebih dulu dijajah oleh Belanda.

Sebelum memasuki abad ke-20, banyak orang Kerinci yang berdagang hingga ke luar daerah seperti ke Muko-Muko dan Indrapura. Melihat banyaknya pedagang Kerinci yang datang maka timbul keinginan orang Belanda untuk

(17)

datang ke Kerinci. Niat Orang Belanda untuk datang ke Kerinci mendapat pertentangan dari masyarakat Kerinci yang dipimpin oleh Depati Parbo. Kejadian ini menyebabkan kemarahan orang Belanda, mereka berinisiatif untuk menyerang Kerinci.

Pada tahun 1903 Belanda menyerang Kerinci dari tiga jalur yaitu dari Jambi, Muko-Muko, dan Indrapura. Pasukan Indrapura berhasil menaklukkan daerah Kerinci Hulu dan tengah, sedangkan pasukan dari Jambi menaklukkan bagian timur, begitu juga dengan pasukan dari Muko-Muko yang menaklukkan daerah bagian selatan, semuanya mendapatkan perlawanan yang gigih dari rakyat Kerinci. Walaupun sudah banyak dusun-dusun yang diduduki Belanda, gerilya sepanjang malam tetap terus dilakukan oleh rakyat. Dengan dalih hendak membunuh keluarga Depati Parbo, maka Depati Parbo bersedia untuk berunding dengan Belanda. Dalam perundingan tersebut Depati Parbo ditangkap dan dibuang ke Jakarta dan Ternate. Setelah Depati Parbo ditangkap, perlawanan rakyat terus berlangsung dibawah pimpinan Haji Umar dan Pangeran Mudo dari Bangko namun berakhir dengan jatuhnya banyak korban tewas. Kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Ki Marakabeh dari Semurup yang telah menyusun kekuatan, namun karena pengkhianatan akhirnya perlawanan ini gagal dan pasukan Ki Marakabeh banyak yang tewas (Disparbud Kerinci, 2004).

Setelah perlawanan Haji Umar, maka berakhirlah perlawanan rakyat Kerinci menentang Belanda pada pertengahan tahun 1906. Depati Parbo dikenal sebagai pahlawan rakyat Kerinci dalam menentang penjajah. Belanda berkuasa dan berdasarkan ketetapan kerajaan Belanda maka pada tanggal 1 Januari 1906 Kerinci disatukan dengan Jambi menjadi satu Karesidenan yang diperintah oleh Residen yang bernama O. B. Folfach. Pada tahun 1922 kerasidenan dipindahkan ke Pesisir Selatan sampai tahun1942 kedudukan Jepang.

Proklamasi 17 Agustus 1945 yang di umumkan oleh Sukarno – Hatta membuka lembaran baru sejarah perjuangan rakyat Kerinci. Setelah menerima selebaran dan telegram dari Padang, pada hari jumat tanggal 31 Agustus 1945 Sang Saka Merah Putih dikibarkan pertama kalinya di Kerinci tepatnya di Masjid Raya Sungai Penuh oleh A. Thalib.

(18)

4.3.5. Periode Kemerdekaan

Pada tanggal 21 Juli 1958, rakyat Kerinci mengadakan kongres yang menghasilkan resolusi untuk diajukan kepada pemerintah pusat agar Kerinci menjadi satu kabupaten dalam provinsi Jambi. UU Darurat RI Nomor 19 tahun 1957 menetapkan pemekaran provinsi Sumatera Tengah menjadi Provinsi Jambi, Sumatera Barat, dan Riau. Dengan adanya UU Nomor 61 tahun 1958, Kerinci ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II. Peresmian baru dilakukan pada tanggal 10 November 1958 oleh Gubernur Jambi saat itu yaitu Yusuf Singadekane. Tanggal 10 November tersebut setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Kerinci. Sampai sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, daerah ini resmi menjadi Kabupaten Kerinci dalam wilayah Provinsi Jambi. Selanjutnya, dengan berbagai pertimbangan pemerintah, maka pada tahun 2008 Kabupaten Kerinci mengalami pemekaran wilayah menjadi wilayah Kabupaten Kerinci dan Kotamadya Sungai Penuh. Adapun pertimbangan dalam melakukan pemekaran wilayah antara lain sebagai berikut :

1. Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda (Government Besluit) Nomor 13 tanggal 3 November 1909, Sungai Penuh ditunjuk sebagai Ibukota. 2. Aspirasi masyarakat membentuk Kota Sungai Penuh sejak tahun

1970-an.

3. Perkembangan Kota Sungai Penuh tidak efektif dikelola hanya oleh pemerintah Kecamatan.

4. Kota Sungai Penuh merupakan kota terpadat kedua di Provinsi Jambi setelah Kota Jambi.

5. PP Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.

6. Untuk peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan. 7. Hasil penelitian oleh Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS (Pasca Sarjana

IPDN) tahun 2005 yang menyatakan bahwa Kabupaten Kerinci layak untuk dimekarkan.

Dengan disahkannya UU Nomor 25 tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh oleh DPR – RI tanggal 21 Juli 2008 dan diresmikan oleh Menteri

(19)

Dalam Negeri H. Mardiyanto maka pada tanggal 8 November 2008, Sungai Penuh resmi berpisah dari Kabupaten Kerinci dan menjadi Kotamadya Sungai Penuh. Kota Sungai Penuh saat ini terdiri dari lima kecamatan yaitu, Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Pesisir Bukit, Kecamatan Kumun Debai, dan Kecamatan Tanah Kampung.

4.4. Aspek Budaya

4.4.1.Arti dari Larik dan Luhah

Larik dalam bahasa Kerinci disebut Laheik. Larik merupakan sebutan untuk rumah – rumah Uhang Kincai (orang Kerinci) yang berupa rumah panggung dan berjajar memanjang dari Timur ke Barat (Laheik Jajo). Rumah Larik berdiri di atas sebidang tanah empat persegi panjang yang disebut “Pahit Basudut Mpat” atau Parit Bersudut Empat. Status tanah parit bersudut empat ini adalah tanah adat yang hak guna tanahnya diatur menurut hukum oleh Depati dan Ninik Mamak.

Rumah Larik terdapat dalam sebuah Luhah. Luhah tidak sama dengan Lurah. Luhah yaitu sebuah dataran pemukiman yang terdiri dari kelebu – kelebu atau kelompok – kelompok perut membentuk satu kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh Depati dan dibantu oleh Ninik Mamak. Kelebu adalah segolongan orang yang berasal dari satu keturunan nenek moyang yang perempuan dikepalai oleh Ninik Mamak. Rumah Larik Limo Luhah yang terdapat di Kota Sungai Penuh terdiri dari Luhah Rio Mendiho (Romen), Luhah Rio Jayo (Rioja), Luhah

Rio Tamenggung (Rita), Luhah Pamangkou Rajea (Praja), dan Luhah Datuk Singarapi Puteah (dasira). Satu luhah dapat terdiri dari beberapa larik dan satu

(20)

Gambar 10. Rumah Larik yang Limo Luhah

4.4.2. Filosofi Hidup Masyarakat Kerinci

Masyarakat Kerinci atau uhang kincai termasuk suku bangsa yang memiliki filosofi hidup. Sama halnya dengan masyarakat suku Minangkabau yang memiliki filosofi alam takambang jadi guru, masyarakat Kerinci juga memiliki filosofi hidup yang berorientasi pada alam. Filsafat alam yang mereka anut tercermin dari peribahasa atau petitih – petitih adat yang menceritakan tentang keadaan alam, misalnya:

“Sekalai aye daleang sekalai barasek pulau”

Artinya : “Setiap mengambil keputusan sering berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi”.

“Siko kbea ngubeang galo-galo kno patek ludok”

Artinya : “ Seseorang tercemar nama baiknya, sekampung terbawa nama”.

Petitih-petitih adat ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Kerinci sebagai pedoman dan ajaran mereka dalam bertindak atau melakukan suatu kegiatan. Disamping agama Islam yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Kerinci, terdapat adat-istiadat yang juga mengatur kehidupan mereka. Masuknya agama Islam ke Kerinci pada abad ke-13 menyempurnakan

(21)

dan melengkapi ajaran adat yang sudah ada terlebih dahulu. Seperti pepatah yang berbunyi : “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, adat memakai,

syarak mengato, benar kata adat, syah kata syarak”. Masyarakat Kerinci yang

dahulu masih menganut kepercayaan terhadap hal-hal gaib (animisme) pada masa sekarang telah menganut agama Islam. Akan tetapi, sebagian dari masyarakat masih memiliki kepercayaan berhubungan dengan gaib yang mereka lakukan dalam keadaan tertentu seperti dalam pelaksanaan kesenian adat kenduri pusaka dan bentuk kegiatan lainnya. Sistem kepercayaan mereka padukan dengan ajaran Islam untuk membentuk suatu paduan yang sempurna ke arah tujuan yang lebih baik dan hanya dipergunakan untuk hal-hal tertentu saja. Menurut Afanti (2007) kesenian Tari Asik Naik Mahligai Istana Kaco adalah salah satu contoh atraksi kesenian yang menggabungkan kepercayaan dengan Islam sehingga para penari dapat memijak kaca, memijak bara api, dan atraksi berbahaya lainnya dengan membaca mantra – mantra dan membakar kemenyan serta menyediakan sesajian. Semua kegiatan masyarakat yang dilakukan tetap berpegang teguh pada ajaran adat istiadat dan agama Islam.

4.5. Kelembagaan dan Pemerintahan Adat

4.5.1. Organisasi dan Struktur Pemerintahan Adat

Rumah Larik Limo Luhah Kota Sungai Penuh berada dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh. Wilayah adat Depati Nan Bertujuh ini memiliki para pemangku adat yang terdiri dari Depati Nan Bertujuh, Permanti Nan Sepuluh, Pemangku Nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Setiap pemangku adat memiliki tugasnya masing-masing dalam pemerintahan adat. Struktur pemerintahan adat dapat dilihat pada Gambar 11.

Selain para pemangku adat di atas, juga terdapat Tengganai yaitu anak jantan yang tugasnya mengurus masalah dalam keluarga atau tumbi. Tengganai termasuk salah satu pusaka yang tiga atau Sko yang tigo takah, yaitu :

1. Depati atau setingkat depati. Depati merupakan raja atau wakil raja yang menjalankan pemerintahan dalam negeri. Depati berasal dari bahasa sanskerta yaitu Adipati yang berarti kepala tertinggi.

(22)

2. Manti, berasal dari kata Menteri yang mengurus anak keponakan dalam luhah. Fungsi ini dipegang oleh Ninik mamak yang bergelar Datuk, Rio, Pemangku, dan ada yang langsung gelar skonya seperti Bujang Peniyang, Singarajo, dan sebagainya. Depati dan Ninik Mamak adalah simbol tertinggi pada struktur lapisan sosial masyarakat Kerinci.

3. Tengganai (anak jantan). Bertugas mengurus anak batino dalam keluarga atau

tumbi. Tengganai dipilih diantara anak jantan yang bijaksana, yaitu saudara

laki-laki tertua dari ibu, dan saudara yang muda atau adik ibu, ataupun sanak famili ibu yang laki-laki dalam satu perut atau kelebu.

Gambar 11. Struktur Pemerintahan Adat Depati Nan Bertujuh

Sko yang tigo takah ini mencerminkan sistem adat alam Kerinci yang

mempunyai kedaulatan sendiri dengan bentuk semi kerajaan dan bercorak demokratis. Dalam menyelesaikan suatu perkara, secara adat perkara diselesaikan terlebih dahulu oleh tengganai rumah, jika tidak dapat diselesaikan dilanjutkan ke Ninik Mamak dan Depati. Apabila hingga duduk tengganai, Ninik Mamak, dan Depati tidak juga dapat diselesaikan, maka dibawalah perkara tersebut ke Lembaga Kerapatan Adat Kerinci (LKAK). LKAK merupakan tempat

(23)

berhimpunnya para tokoh masyarakat untuk memutuskan suatu perkara menyangkut negeri alam Kerinci yang terdiri dari kaum ulama, orang cerdik pandai, tokoh-tokoh adat, dan generasi pemuda yang dikenal dengan sebutan

Uhang Empat Jenis.

4.5.2. Adat yang Berlaku dalam Masyarakat

Adat berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata majemuk, terdiri dari

a artinya tidak dan dat artinya nyata. Jadi Adat berarti sesuatu yang tidak nyata,

tetapi terasa. Etika, moral, budi, dan kemanusiaan merupakan contoh sesuatu yang tidak nyata tetapi bisa dirasakan oleh manusia. Pengetahuan manusia mengenai adat sebenarnya merupakan ajaran budi yang bersumber pada nilai luhur manusia itu sendiri sebagai pelaku kehidupan dan bertingkah laku dalam kehidupan. Dalam masyarakat Kerinci, adat telah dikenal dan digunakan oleh nenek moyang mereka dahulu untuk mengatur kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat. Seperti petitih adat yang mengatakan : “Adat neghoi bapago adeak, adeak tapian bapago

baso” (Adat negeri berpagar adat, adat tapian berpagar basa). Maksudnya adalah

bila suatu negeri tanpa adat tanpa peraturan undang – undang negeri tersebut akan kacau dan hancur. Akan tetapi, adat sering mengalami kepincangan dalam sejarah manusia, maka setelah masuk Islam agamalah yang meluruskannya. “Adat

bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” maksudnya adalah adat dapat saja

berubah, tetapi syarak tidak boleh berubah. Seluko adat ini juga terdapat pada daerah Minangkabau dan Jambi.

Sebelum masuk Islam1 , masyarakat Kerinci masih menggunakan adat bersendi alur, patut, dan mungkin. Adat ini digunakan sebagai pemikiran atau pertimbangan sebelum melakukan suatu tindakan atau kegiatan. Sebagai contoh : di Sungai Penuh sekarang sulit mencari lahan kosong untuk dibangun, Sungai Penuh memiliki banyak bukit (Alur). Seharusnya bukit-bukit diratakan untuk menambah tanah (Patut), tapi mungkinkah bukit diratakan? (Mungkin).

Dalam pandangan masyarakat kerinci, adat sebagai sumber norma moral dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu adat yang asli (sejak manusia sudah dapat

1

(24)

bergerak, berkata, dan sebagainya) dan adat yang tidak asli (sejak manusia telah berkebudayaan). Setelah mengalami proses perjalanan sejarah hingga pengaruh Hindu dan Islam, adat masyarakat kerinci dibagi menjadi empat macam yang disebut dengan istilah “Adat yang Empat” (Disparbud Kerinci 2003), yaitu :

1. Adat yang Sebenar adat, adalah segala sesuatu yang berdasarkan hakekat alam, seperti sunatullah, yang berhadist, berlapaz, bermakna. Adat ini tidak lekang karena panas, tidak lapuk kena hujan (berlaku sepanjang masa).

2. Adat yang Diadatkan, adalah hasil kesepakatan dan mufakat nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Adat ini tidak tertulis, tetapi dipatuhi oleh masyarakat. Seperti pepatah mengatakan : “Rama – rama sikumbang jati, khatib indah pulang berkuda, patah tumbuh hilang berganti, adat lama seperti itu juga”. Maksudnya adalah adat sebagai warisan turun temurun tetap berlaku sepanjang masa tidak terpengaruh oleh perubahan waktu dan tempat.

3. Adat yang Teradat, adalah adat yang dipakai pada suatu tempat dengan keadaan lingkungan yang kadang-kadang berubah. Seperti kata pepatah : “sekali air besar, sekali tepian beranjak, sekali raja berganti, sekali peraturan

berubah”. Maksudnya adalah jika suatu adat tidak sesuai lagi dengan keadaan

zaman, maka adat lama bisa diubah disesuaikan dengan zaman, tetapi tidak meninggalkan syarak dan kitabullah.

4. Adat-Istiadat, adalah adat yang dibuat berdasarkan musyawarah dan diubah dengan musyawarah, seperti undang yang empat yaitu undang rajo, undang negeri, undang dalam negeri, dan undang yang 20.

4.5.3. Sistem Kekeluargaan dan Kemasyarakatan

Sama halnya dengan suku Minangkabau, garis keturunan suku Kerinci ditarik secara matrilineal atau matriarchat. Matriarchat berarti suatu suku bangsa atau masyarakat, dimana hubungan keturunan ditentukan menurut garis keturunan ibu (Disparbud Kerinci 2003). Meskipun garis keturunan suku Kerinci ditarik dari garis keturunan ibu, masyarakat adat Kerinci tidak diperintah atau dipimpin oleh seorang wanita. Seorang ibu di dalam keluarga berperan sebagai bendahara yang mengatur harta benda dan kesejahteraan keluarga, sedangkan ayah yang berada diluar keluarga anak dan isterinya disebut sebagai uhang semenda atau anok

(25)

batino dari keluarga ibu. Seorang ayah dalam keluarga memiliki kewajiban

memberi nafkah anak dan isterinya berupa nafkah lahir (rumah, pakaian, makanan) dan nafkah batin (pendidikan, keturunan). Setiap suku-suku dari luar yang berbaur maupun telah menjadi keturunan Kerinci langsung menjadi anok

batino didalam keluarga.

Dalam hubungan kekeluargaan masyarakat suku Kerinci, saudara-saudara laki-laki dari ibu juga memiliki peranan penting dalam keluarga. Mereka berstatus sebagai tengganai rumah atau mamak rumah. Tengganai rumah menerima kekuasaan dari ibunya untuk mengatur rumah atau keluarganya, memelihara kekayaan, serta mengurus kemenakannya. Sistem seperti ini dinamakan

Avonculat, artinya pertanggung jawaban anak-anak berada ditangan paman atau

mamaknya (Afanti 2007). Seperti kata pepatah rumah sekato tengganai, luhah

sekato penghulu, alam sekato rajo. Seorang ayah dalam keluarga harus tunduk

dan taat pada tengganai rumah, yaitu saudara laki-laki dari isterinya. Tengganai termasuk salah satu warisan nenek moyang yang ditinggalkan yaitu sko yang tigo

takah.

Menurut Ketua Adat Limo Luhah Sungai Penuh, Sistem kemasyarakatan suku Kerinci terdiri dari beberapa unsur, yaitu tumbi, pintu, perut, kelebu, dan

luhah. Unsur ini merupakan formasi asli dari kehidupan masyarakat Kerinci yang

menghasilkan sistem kepemimpinan adat seperti Depati, Rio, Ninik Mamak, dan gelar adat lain yang terdapat di Kerinci. Unsur-unsur di atas dijelaskan satu persatu sebagai berikut :

1. Luhah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya luhah adalah suatu permukiman yang terdiri dari beberapa kelebu atau kelompok perut yang dipimpin oleh Depati dan Ninik Mamak.

2. Kelebu, yaitu sekelompok orang yang berasal dari satu keturunan nenek moyang perempuan dan dikepalai oleh Ninik Mamak.

3. Perut, yaitu sekelompok orang yang memiliki ikatan pertalian darah dari satu nenek moyang yang perempuan dan dikepalai oleh tengganai dibawah naungan Ninik Mamak.

4. Pintu, hampir serupa dengan perut, pintu juga dikepalai oleh seorang

(26)

5. Tumbi, yaitu sekelompok orang yang berasal dari satu keturunan nenek moyang perempuan dan dikepalai oleh bapak di bawah naungan

tengganai.

Sistem kemasyarakatan suku Kerinci dapat dikatakan unik. Sulit untuk membedakan antara kelebu dan perut. Selain itu di beberapa dusun di Kerinci ada yang tidak mengenal perut, ada yang kepemimpinannya hanya dengan Depati tidak mengenal Ninik Mamak dan sebaliknya. Namun, perbedaan ini telah disepakati oleh para pemangku adat di Kerinci karena sesuai dengan icopake masing-masing dusun. Icopake artinya cara untuk melakukan sesuatu yang merupakan adat turun temurun melalui kesepakatan bersama secara tidak langsung.

4.6. Tata Guna Lahan dan Sistem Pemilikan Tanah

Tata guna lahan di Kota Sungai Penuh terdiri dari permukiman, pertanian, jasa dan perdagangan, konservasi, perkantoran, dan sebagainya (Tabel 5). Jenis penggunaan lahan yang terbesar adalah hutan untuk konservasi dan perumahan.

Tabel 5. Tata Guna Lahan di Kota Sungai Penuh

NO. Jenis Penggunaan Lahan Luas

(Ha) (%)

1  Jasa dan Perdagangan 30,404 0,36

2  Pendidikan 37,172 0,45 3  Kesehatan 28,845 0,35 4  Peribadatan 1,761 0,02 5  Pemerintahan/Perkantoran 22,368 0,27 6  Pertamanan/Olahraga/Rekreasi 136,334 1,64 7  Pariwisata 2,544 0,03 8  Perumahan 2729,72 32,75 9  Transportasi 618,629 7,43 10  Industri Kecil 2,6 0,03 11  Konservasi 2819,215 33,63

12  Pertanian (Lahan Cadangan) 1904,007 22,65

   Luas Lahan 8333,82 100,00

Sumber : BAPPEDA Kota Sungai Penuh Tahun 2010

Area konservasi memiliki luas terbesar sekitar 33,63 % dari total luas Kota Sungai Penuh. Area konservasi ini didominasi oleh hutan hujan tropis

(27)

yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Luas perumahan atau permukiman di Kota Sungai Penuh mencapai 2729,72 Ha atau 32,75 % yang terdiri dari bangunan rumah dan pekarangan. Sedangkan area pertanian yang juga berfungsi sebagai lahan cadangan memiliki luas sekitar 1904,007 Ha atau 22,65 % dari luas total. Area pertanian di kota Sungai Penuh didominasi oleh persawahan yang terdiri dari sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Area persawahan berada pada daerah dengan topografi yang relatif datar dan dekat dengan aliran sungai. Selain sawah, area pertanian juga terdiri dari kebun dan ladang. Kebun dan ladang umumnya berada pada daerah dataran yang lebih tinggi yaitu di daerah perbukitan dengan sumber air yang melimpah. Masyarakat yang berkebun dan berladang biasanya adalah mereka yang tinggal di daerah perbukitan dan tinggal di pusat kota. Tanaman perkebunan yang ditanam oleh masyarakat antara lain Kayu Manis (Cinnamomum

burmanii), Cengkeh (Syzigium aromaticum), Kopi (Coffea sp.), Jeruk (Citrus sinensis), dan lain sebagainya.

Berdasarkan data monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2010, luas area permukiman yaitu sekitar 35 Ha dari luas total 45 Ha, sedangkan sisanya terdiri dari persawahan, tanah wakaf, dan perkantoran. Menurut hak kepemilikan atas tanah dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh, hak kepemilikan dibagi menjadi tiga macam, yaitu tanah milik pribadi (sawah atau tanah basah dan ladang atau tanah kering), tanah milik kaum (parit sudut empat), dan tanah milik negeri (tanah patok rajea). Seluruh tanah dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh disebut dengan tanah adat atau di Kerinci dikenal dengan istilah tanah ajun arah. Menurut Watson (1992), ajun arah adalah sistem pembagian sebidang tanah yang belum digarap atau yang tidak digarap dalam wilayah adat oleh para pemangku adat kepada orang yang meminta untuk di ajun arah. Tanah ajun arah dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Hakuladami, yaitu tanah ajun arah yang di dalamnya diperbolehkan adanya campur tangan manusia atau boleh dimanfaatkan oleh manusia berupa hutan, parit sudut empat, sawah, dan ladang.

(28)

merupakan hutan larangan. Di hutan ini tidak diperbolehkan adanya pemanfaatan oleh manusia karena hutan ini merupakan penyangga hulu – hulu sungai. Contoh imbo bano ini yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat yang termasuk tanah patok rajea.

Hutan dan ladang yang umumnya berada di perbukitan merupakan milik kaum yang telah di ajun arah. Untuk masyarakat Limo Luhah, tanah arah yang berupa hutan dan ladang berada di daerah Desa Sungai Jernih, Desa Talang Lindung, dan Renah Kayu Mbun. Masing-masing luhah memiliki tanah arah yang dikelola oleh beberapa tumbi. Sebagian besar hutan diperbukitan telah berubah fungsi menjadi ladang atau parak. Ladang biasanya ditanami dengan berbagai tanaman palawija dan hortikultur. Tanah arah berupa ladang ini juga berfungsi sebagai lahan cadangan untuk pemukiman apabila lahan untuk permukiman di Rumah Larik Limo Luhah semakin menyempit dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembangunan lagi. Sekarang, perkembangan permukiman di daerah perbukitan ini sangat pesat, banyak masyarakat limo

luhah memilih untuk membangun rumah dan menetap di daerah ini.

sedangkan rumah yang terdapat di Rumah Larik Limo Luhah disewakan kepada orang lain, baik kepada orang Kerinci maupun kepada pendatang. Dari wawancara dengan masyarakat lokal, mereka membenarkan bahwa saat ini di kawasan Rumah Larik Limo Luhah telah didominasi oleh pendatang dari berbagai suku dengan status sebagai penyewa bukan pembeli. Bahkan, jumlah pendatang dan masyarakat lokal saat ini memiliki perbandingan 3 : 1.

Dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh, tanah yang menjadi milik pribadi biasanya adalah tanah hibah atau tanah hasil jual beli, dan sebagainya yang pemakaiannya diatur oleh adat setempat. Sedangkan tanah milik kaum yaitu parit sudut empat dimiliki secara bersama oleh luhah, kelebu, perut, dan penggunaannya diatur oleh Ninik Mamak dengan persetujuan Depati. Tanah adat parit sudut empat adalah tanah dataran yang dipergunakan untuk bangunan rumah tinggal dan bangunan rumah tradisi orang Kerinci yang luasnya sekitar 100 depa persegi. Tanah ini dikelilingi oleh parit sedalam 2 m dan lebar 2,5 m, namun sekarang tidak ditemui lagi parit ini di Rumah Larik

(29)

batas permukiman Rumah Larik juga memiliki fungsi sebagai sirkulasi air atau limbah dan melindungi dari serangan hewan buas. Tanah milik negeri atau tanah patok rajea terdiri dari jalan umum, tepian tempat mandi, sumur air minum, dan rimba belantara.

Masyarakat Kerinci mengenal adanya harta pusaka, harta pembawaan, dan harta pusaka guntung. Harta pusaka merupakan harta warisan nenek moyang yang telah turun temurun dan biasanya dikuasai oleh kaum atau

luhah. Harta pusaka terbagi menjadi dua jenis yaitu, harta pusaka tinggi dan

pusaka rendah. Pusaka tinggi diperoleh melalui tembilang besi, yang artinya diperoleh dari warisan nenek moyang atau orang tua mereka terdahulu berupa sawah, ladang, rumah pusaka dan sebagainya dimana hak gunanya dikuasai oleh pihak wanita, Sedangkan pusaka rendah diperoleh melalui tembilang

emas, yaitu dari pembelian atau pemberian orang tua mereka dan diturunkan

kepada anak laki-laki dan perempuan. Harta pembawaan adalah harta yang telah ada atau dimiliki oleh pihak laki-laki maupun perempuan sebelum mereka menjadi suami isteri. Apabila terjadi perceraian di antara keduanya, maka harta pembawaan laki-laki tetap menjadi haknya dan harta pembawaan perempuan juga tetap menjadi haknya. Harta pencarian bersama tetap dibagi dua, kecuali mereka mempunyai anak. Harta pusaka guntung adalah apabila suami isteri tidak memiliki anak atau keturunan sedangkan mereka meninggal dunia, maka harta pencarian bersama mereka dibagi dua kepada orang tua pihak suami dan orang tua dari pihak isteri. Apabila kedua orang tua mereka telah meninggal dunia, maka harta diserahkan kepada kelebu atau perut.

4.7. Elemen – Elemen Lanskap Rumah Larik Limo Luhah

Dalam masyarakat suku Kerinci, berdirinya suatu negeri harus memiliki beberapa persyaratan baik syarat non fisik maupun fisik. Syarat-syarat tersebut disebutkan dalam pepatah adat yang berbunyi :

“neghoi sekato rajea, luhah sekato penghulu, rumah sekato tengganai”

“pahit sudut mpat, umoh batanggo, laheik bajajo, berlubuk bertapian, bersawah baladeang, babale bamesjoik, bapandan pekuburan”.

(30)

Artinya :

“ Negeri mengikuti kata raja, luhah mengikuti kata penghulu, dan rumah mengikuti kata tengganai”

“ Memiliki batas wilayah yaitu parit bersudut empat, memiliki rumah tempat tinggal, memiliki larik yang berjejer, memiliki jalan dan pemandian umum, memiliki sawah dan ladang, memiliki balai dan masjid atau surau, memiliki tempat pemakaman”.

4.7.1. Elemen – Elemen Non Fisik (Intangible Elements) 4.7.1.1. Struktur Kepemimpinan dalam masyarakat

Syarat – syarat kelengkapan sebuah negeri yang termasuk elemen non fisik seperti yang telah disebutkan dalam pepatah di atas merupakan salah satu warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang suku Kerinci yang masih dipertahankan sampai saat ini yaitu sko yang tigo takah. Sko yang tigo takah ini terdiri dari Depati, Ninik Mamak, dan Tengganai. Depati merupakan pemimpin negeri, Ninik Mamak mengurus luhah sedangkan tengganai sebagai pengurus rumah. Dalam mengangkat pemangku adat terdapat beberapa persyaratan yang harus dimiliki dan dimusyawarahkan dalam kerapatan adat oleh para depati dan Ninik Mamak. Seorang Depati dan Ninik Mamak selain

berparuh besar, langsing kukuk, lebar sayap, dan kembang ekor juga harus masin lidah (pandai berbicara), cepat tangan (cepat bertindak), ringan kaki

(cepat bergerak), dan tahan lantak (kuat dalam menghadapi masalah).

Berbeda dengan Depati dan Ninik Mamak, gelar tengganai langsung jatuh pada anak jantan yaitu saudara laki-laki dari ibu atau anak batino. Pengangkatan tengganai tidak melalui musyawarah maupun upacara seperti jadi Depati dan Ninik Mamak. Dalam penobatannya sebagai pemimpin masyarakat, Depati dan Ninik Mamak harus mengucapkan sumpah atau

perbayo. Mereka tidak boleh berkhianat, tamak, dan sombong. Akan tetapi

haruslah cerdik bijaksana, kaya budiman, dan berilmu. Dalam menjalankan pemerintahan dengan sistem kedepatian, tidak ada seorang Depati yang kekuasaannya lebih tinggi dari Depati lainnya. Para Depati memiliki kekuasaan yang sama tidak ada yang menjadi pimpinan tertinggi dan tidak ada

(31)

yang menjadi bawahan. Keputusan diambil melalui musyawarah mufakat para Depati dan Ninik Mamak. Hal ini telah berlangsung sejak lama dan turun temurun yang mencerminkan bahwa masyarakat suku Kerinci sejak dahulu telah hidup dengan sistem kekeluargaan dan kemasyarakatan yang tinggi.

4.7.1.2. Aktivitas Masyarakat Adat Limo Luhah Sungai Penuh

Selain struktur kepemimpinan dalam masyarakat yang berupa sko yang

tigo takah, elemen non fisik lainnya adalah aktivitas sosial dan budaya

masyarakat. Aktivitas sosial dan budaya ini lahir dari adat istiadat dan kepercayaan masyarakat yang telah berlangsung turun temurun dan masih dilakukan hingga sekarang. Aktivitas –aktivitas ini berupa upacara-upacara adat yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Lain padang lain belalang,

lain lubuk lain ikannyo. Pepatah ini masih berlaku hingga sekarang.

Upacara adat di Kerinci banyak macamnya, upacara di masing-masing dusun tidak sama, sesuai dengan icopake dari masing-masing dusun tersebut.

Icopake boleh berbeda antara masing-masing dusun, tetapi adat yang

dijunjung tetap sama. Sesuai dengan prinsip “adat nan serupa icopake nan

berlainan”. Prinsip ini bukan berarti masyarakat Kerinci terpecah belah

karena tidak memiliki rasa persatuan dan kesatuan, tetapi menunjukkan nilai seni budaya tinggi yang dimiliki oleh masyarakat suku Kerinci dan kemampuan untuk mengembangkan adat istiadatnya tanpa merubah nilai-nilai asli dari para leluhur mereka.

Dalam pelaksanaannya, upacara adat di daerah Kerinci khususnya oleh masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh ada yang masih dilakukan sampai sekarang dan ada pula yang sudah ditinggalkan. Upacara adat oleh masyarakat suku kerinci dibagi menjadi tiga kelompok (Disparbud Kerinci 2003), yaitu :

1. Upacara adat “Titian teras bertangga batu” 2. Upacara adat “ Cupak gantang kerja kerapat” 3. Upacara adat “ Tumbuh-tumbuh roman-roman”

Upacara adat “Titian teras bertangga batu” adalah suatu upacara adat yang dilakukan berkesinambungan dari generasi ke generasi yang dapat dijumpai sepanjang hidup. Yang termasuk upacara adat ini antara lain upacara

(32)

kenduri sko, penobatan depati dan Ninik Mamak, tindik dabur dan sunat Rasul, khatam Al-Quran, adat perkawinan, kehamilan, kelahiran, aqiqah, kerat pusar, turun ke air (turun mandi), dan upacara kematian.

Upacara adat “Cupak gantang kerja kerapat” memiliki pengertian yaitu, suatu upacara adat yang meliputi mata pencaharian hidup dan sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan secara bersama-sama atau gotong-royong. Upacara adat ini misalnya kegiatan mendirikan rumah baru, pekerjaan menarik ramuan kayu dari rimba, merendam ramuan kayu, gotong-royong membersihkan bendar, menanam benih, menuai padi, kenduri sudah tuai, kenduri tolak bala, dan upacara yang berhubungan dengan spiritual.

Upacara adat “Tumbuh-tumbuh roman-roman” merupakan suatu upacara adat yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu sesuai dengan permasalahan yang timbul dan bersifat khusus. Upacara adat ini meliputi upacara asyeik negeri, talea naik haji, mengangkat anak angkat, pelanggaran hukum adat, melepas nazar dan upacara silang sengketa.

Seluruh upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Kerinci, disamping menjadi warisan budaya nenek moyang mereka juga mempunyai fungsi antara lain sebagai :

a. memperkuat persatuan dan kesatuan kekerabatan dalam suku khususnya, dan meningkatkan silaturahmi dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya.

b. kebanggaan masyarakat suku Kerinci bahwa mereka juga memiliki tata cara adat tersendiri yang tidak kalah dengan daerah lainnya. c. media berkomunikasi antara generasi muda dan generasi tua dalam

menyampaikan pesan, saran, dan nasihat untuk kehidupan yang lebih baik.

d. sarana pembinaan bagi para generasi muda yang akan melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya warisan nenek moyang.

Adapun upacara adat dan aktivitas budaya yang dilakukan masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh antara lain :

4.7.1.2.1. Upacara adat Perkawinan

(33)

umumnya sekarang sudah menurut aturan hukum Islam, namun adat lama masih dipakai seperti “kawin semenda”, yaitu pihak pria mengikuti istri dan tinggal di rumah mertuanya. Pihak pria yang tinggal di rumah mertuanya menurut icopake masing-masing dusun ada dua cara :

1. Mulang, yaitu pengantin pria diantar oleh keluarga, kaum kerabat dan Depati serta Ninik Mamak kembali ke rumah pengantin wanita.

2. Baserau baimbei, yaitu pengantin wanita memanggil atau menjemput pengantin pria di rumahnya, secara bersama kembali ke rumah pengantin wanita.

Pengantin dalam istilah kerinci disebut “muntaing”. upacara pernikahan dilaksanakan dirumah mempelai perempuan pada siang hari, pada hari yang telah ditetapkan tengganai rumah. Sebelum pelaksanaannya, rumah pihak mempelai perempuan dihiasi pelaminan. Di pintu gerbang masuk dibuat gapura yang berwarna-warni. Di halaman depan didirikan tenda (taruk), sedangkan di ruangan utama disediakan kursi pengantin atau pelaminan. Pelaminan perkawinan masyarakat suku Kerinci adalah merupakan tempat acara akad nikah dan tempat bersanding. Pelaminan pengantin terdiri dari tempat duduk, layar belakang, langit-langit, dan alat perlengkapan atau aksesoris sebagai hiasan.

Saat upacara akan dilaksanakan, kedua pengantin mengenakan pakaian adat dan “dudok basanding” di atas kursi yang sudah disediakan dan didampingi dua orang dara kecil sebagai dayang (tukang kipas). Sikap dudok

basanding untuk pengantin pria ialah bersila dan sikap pengantin wanita

bertimpuh duduk di atas lapik. Selesai sholat dzuhur, para undangan mulai berdatangan. Para pemangku adat, orang tua, cerdik pandai dipersilahkan masuk dan mengambil tempat di ruang utama sedangkan undangan umum mengambil tempat di taruk atau dirumah tetangga terdekat.

Tuan rumah lalu menghidangkan Nasi Ibat (nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segi empat) untuk para undangan dan pemangku adat. Jika diperkirakan para undangan sudah datang semuanya, mereka dipersilahkan menyantap hidangan yang telah dipersiapkan oleh tengganai rumah. Selesai makan bersama, tengganai melanjutkan acara dengan

(34)

memberikan petatah-petitih adat (dalam bahasa Kerinci disebut Parno). Isi

Parno yang disampaikan tengganai dihadapan para undangan antara lain :

a. Menyampaikan ucapan terima kasih kepada para undangan karena telah memenuhi undangan peresmian pernikahan anak kemenakan b. Meminta doa restu agar kedua mempelai dapat hidup bahagia, rukun

dan damai, dapat membina rumah tangga yang syakinah, mawaddah, warahmah.

Kemudian dilanjutkan pula dengan penyampaian kata-kata nasihat untuk kedua pengantin diwakili oleh salah seorang dari undangan dan diakhiri dengan bersalam-salaman dengan kedua pengantin.

4.7.1.2.2. Upacara Adat Kematian

Penyelenggaraan adat kematian dimana-mana pada umumya sama. Masyarakat Suku Kerinci di Sungai Penuh juga melakukan upacara adat kematian seperti dusun-dusun lainnya. Pertama kali keluarga yang bersangkutan memberitahukan berita kematian kepada Tuo Tengganai, Ninik Mamak dan pegawai Masjid untuk diminta disampaikan kepada masyarakat umum supaya dapat diketahui masyarakat luas. Tetangga dan kerabat yang mendengar berita ini datang menampakkan muka tanda ikut berduka cita. Sedangkan kaum ibu yang datang biasanya membawa secupak beras (dalam bahasa Kerinci disebut beras Po) dan diserahkan pada ahli waris. Serta mengisi kotak sosial kematian dengan sejumlah uang yang telah disepakati bersama.

Setelah masyarakat berdatangan, barulah jenazah dimandikan dan dikafani. Kemudian jenazah dibawa turun dari rumah dan di tempatkan ke dalam keranda yang beralaskan kasur kecil dan tikar pandan. Keranda kemudian ditutup dengan kain khusus berwarna hitam bertuliskan ayat-ayat Al-qur’an.

Selanjutnya barulah upacara mulai dilaksanakan dengan tertib acara sebagai berikut :

1) Salah satu dari tengganai atau ahli waris almarhum/almarhumah menyampaikan pidato di hadapan para takzi dan takziyah. Isi pidato tersebut

(35)

antara lain :

a) Menyampaikan tanggal kelahiran almarhum/almarhumah, meninggal pukul ….., hari…., tanggal …

b) Menyampaikan jumlah saudara almarhum/almarhumah serta keturunan almarhum kalau ada.

c) Menerangkan tentang jalan kematian almarhum/almarhumah d) Menerangkan riwayat hidup almarhum/almarhumah

e) Menyampaikan permohonan maaf kepada takzi/takziyah jikalau ada terdapat kesalahan semasa hidup almarhum/almarhumah

f) Menyampaikan informasi bahwa para ahli waris akan bersedia menunggu kedatangan para takzi/takziyah untuk menyelesaikan secara kekeluargaan hutang-piutang almarhum/almarhumah jika ada. 2) Penyampaian nasihat kematian (biasanya oleh salah satu Ustadz yang hadir).

3) Membawa jenazah ke mesjid terdekat untuk di sholatkan 4) Membawa jenazah ke pandan perkuburan untuk dimakamkan. 5) Pembacaan Do’a.

Pada malam harinya dilaksanakan pengajian dua atau tiga malam berturut-turut. Pada hari ketiga diadakan acara membersihkan kuburan (dalam bahasa Kerinci disebut acara Naek Tmpak) dan diakhiri dengan acara mengundang tetangga atau keluarga terdekat untuk acara penutupan dengan makan bersama.

4.7.1.2.2. Kenduri Sko

Kenduri sko adalah upacara penobatan Depati-Ninik Mamak. Upacara

ini merupakan tradisi dari orang Kerinci yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Pada dasarnya upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur nenek moyang mereka yang sudah mencencang melatih mengurat

mengukir yang berarti telah meletakkan dasar kehidupan pertama kali pada

pemukiman atau dusun untuk tempat kehidupan dan silaturahmi kekeluargaan dengan kelompok lain yang masih bertalian darah.

(36)

dipilih orang yang bijaksana, berparuh besar, langsing kukuk, lebar sayap,

dan kembang ekor.

Berparuh besar maksudnya pandai bicara dan tahu tentang adat. Langsing kukuk berarti perkataannya dituruti oleh orang lain. Lebar sayap artinya adil dan berlapang dada.

Kembang ekornya artinya dapat membedakan baik dan buruk.

Waktu untuk melaksanakan kenduri sko tidak ditentukan karena untuk menyelenggarakannya membutuhkan biaya yang sangat besar hingga mencapai ratusan juta rupiah. Kenduri sko menurut tradisi Kerinci ada beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :

a. Kenduri sudah tuai, upacaranya sekali setahun setiap sesudah panen padi.

b. Kenduri tengah padang, dilaksanakan di suatu lapangan terbuka yang melibatkan masyarakat.

c. Kenduri sko yang sebenarnya, yaitu penobatan tetua adat dan penurunan benda-benda pusaka leluhur.

Upacara kenduri sko sendiri terdiri dari beberapa kegiatan yaitu : 1. Perundingan Ninik Mamak

2. Perundingan Depati 3. Ajun Arah (minta izin) 4. Pemotongan kerbau

5. Penurunan dan memandikan benda pusaka 6. Acara kesenian rakyat

7. Pembacaan garis keturunan (ranji) 8. Menjemput calon yang akan dinobatkan 9. Penobatan

10. Pembacaan sumpah jabatan

11. Mengantarkan ke rumah istri dan makan bersama

Berbagai tahapan kegiatan yang dilakukan selama kenduri sko memiliki makna kekeluargaan dan kekerabatan yang tinggi dalam masyarakat satu kaum sehingga dapat disimpulkan tujuan diadakannya kenduri sko, yaitu : a. Pengangkatan tetua adat dalam dusun, luhah, kalbu atau perut dengan

(37)

pemberian gelar Depati, Pemangku, Datuk, Rio, dan setingkat Ninik Mamak.

b. Menurunkan benda-benda pusaka nenek moyang untuk diperlihatkan kepada masyarakat dan memandikannya dengan upacara malimau puseko. c. Menentukan kembali tanah-tanah ajun arah (tanah ulayat) milik bersama,

baik yang berupa sawah atau ladang.

d. Menetapkan hukum adat atau mengatur kembali hal-hal yang patut diatur. e. Mengingatkan kepada jasa-jasa para pendahulu dan mengucapkan syukur

kepada Tuhan.

f. Kesempatan untuk bermaaf-maafan.

4.7.1.2.4. Upacara Membangun Rumah

Salah satu upacara adat yang tidak dapat dijumpai lagi saat ini pada masyarakat Limo Luhah adalah upacara membangun rumah. Upacara ini dilakukan apabila orang tua mendapatkan keturunan seorang anak perempuan, maka orang tua harus mendirikan sebuah rumah untuk anak perempuannya yang menyambung dengan rumah orang tuanya. Membangun rumah tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga menjadi tanggung jawab Ninik Mamak dan Tengganai rumah. Membangun sebuah rumah diawali dengan pencarian kayu di hutan yang dipimpin oleh seorang pawang. Pawang adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam menentukan pohon yang cocok untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Pada tahap ini, pawang memilih pohon untuk tiang tuo di hutan dengan cara mengetuk-ngetuk batang pohon. Pohon yang terpilih kemudian ditancapkan dengan sebuah kapak. Hari berikutnya dilanjutkan dengan memeriksa kapak yang telah ditancapkan ke batang pohon kemarin apakah jatuh atau tidak. Jika kapaknya jatuh, maka pohon tersebut tidak diizinkan oleh penunggu pohon untuk ditebang dan kualitasnya kurang baik. Sedangkan pohon dengan kapak yang masih menancaplah yang digunakan untuk membangun rumah. Pohon yang terpilih ini kemudian ditebang secara bersama-sama oleh masyarakat dan diiringi dengan tale2 oleh anak batino untuk menambah semangat kerja bagi anak jantan. Setelah ditebang, kayu ditarik bersama-sama menuju dusun tempat

(38)

untuk membangun dengan masih diiringi tale.

Selama perjalanan menarik kayu dari hutan ke dusun, kayu dihamburi dengan beras, kunyit, dan bunga-bungaan dengan maksud untuk mengusir penghuni-penghuni kayu yang masih terbawa. Setelah sampai di dusun, kayu tersebut direndam dalam lumpur agar tahan lama dan kayu tidak berbubuk. Kayu tersebut direndam selama 6 bulan hingga 1 tahun. menurut Depati Adam Rasul, kayu yang direndam ini dapat bertahan hingga 5 sampai 15 tahun. Sebelum pekerjaan membangun rumah dimulai, diadakan sebuah kenduri kecil dengan menyembelih seekor ayam. Darah ayam ini diserahkan kepada penghuni dengan maksud agar nanti dalam pembangunan rumah tidak terjadi kecelakaan yang menyebabkan luka dan mengeluarkan darah. Semua pekerjaan diatur oleh Tengganai dan tukang yang ahli. Pekerjaan ini melibatkan banyak anggota masyarakat karena dikerjakan secara gotong royong. Menurut Datuk Supratman, gotong royong dilakukan pada siang hari setiap hari sabtu hingga rabu. Hari kamis umumnya masyarakat tidak bekerja, mereka melakukan kegiatan mencukur rambut dan sebagainya untuk shalat jumat pada keesokan harinya. Rumah Larik menggunakan ukiran-ukiran yang dikerjakan oleh ahlinya. Alat untuk mengukir adalah beliung yang ujungnya dipasang besi.

Pada saat membangun rumah, tiang tuo dilubangi terlebih dulu bagian bawahnya dan dimasukkan sedikit ramuan berupa emas, ampas besi, timah putih, dan timah hitam. Emas maksudnya adalah agar penghuni rumah banyak rezeki, ampas besi untuk penangkal petir, dan timah untuk mengusir atau mencegah orang lain berbuat jahat terhadap penghuni rumah. Selain itu, pada

tiang tuo diikat dengan beberapa tanaman, antara lain :

2

Tale: nyanyian atau lagu khas Kerinci (sumber: http://books.google.co.id/books, 23 mei

(39)

a. Sebatang tebu, hikmahnya agar rumah tersebut sering didatangi tamu dan harus dihormati.

b. Pisang batu satu tandan, agar penghuni rumah banyak rezeki. c. Urai pinang, agar penghuni rumah memiliki keturunan.

d. Nio (kelapa) tumbuh, agar penghuni rumah selalu dalam keadaan sehat.

e. Berbagai macam jenis buah, agar disekeliling rumah tersebut nantinya ditanami dengan berbagai tanaman buah-buahan.

Setelah tiang tuo selesai didirikan, anak batino atau ibu dari anak batino datang membawa peralatan yang terdiri dari keris, uang Kerinci lama, dan lain-lainnya. Anak batino bersama pengiringnya dan seorang pawang mengelilingi tiang tuo sambil menunduk. Sambil membaca mantera, pawang menggoreskan keris pada ujung jari anak batino dan darahnya digosokkan pada tiang tuo. Hal ini memiliki maksud agar nanti tidak terjadi pertikaian yang sampai meneteskan darah di rumah itu. setelah upacara ini selesai, anak batino dan pengiringnya kembali ke rumah orang tuanya menunggu pembangunan rumah selesai. Buah-buahan yang digantung pada tiang tuo diambil oleh para pekerja dan kemudian dilaksanakan makan bersama. Apabila suatu saat orang tua dari anak batino meninggal dunia, maka yang menghuni rumah adalah anak batino yang tertua atau anaknya yang belum menikah. Hal ini diatur oleh Tengganai rumah (Zakaria 1973).

4.7.2. Elemen – Elemen Fisik (Tangible Elements)

Selain memenuhi persyaratan non fisik, sebuah negeri juga harus memiliki syarat-syarat fisik, yaitu sebagai berikut:

a. Pahit sudut mpat

Pahit sudut mpat atau parit yang bersudut empat merupakan batas-batas

tanah kaum yang berfungsi sebagai kawasan permukiman masyarakat suku Kerinci. Tanah kaum yang berada dalam batas parit bersudut empat ini adalah tempat berdirinya rumah-rumah larik sebagai tempat tinggal masyarakat. Dalam parit sudut empat limo luhah, pembagian tanah diatur oleh Ninik Mamak luhah masing-masing. Jumlah larik yang dibangun di atas tanah ini

(40)

tidak dibatasi, tergantung dari ukuran batas.

Parit sudut empat merupakan sebidang tanah yang umumnya memiliki ukuran sekitar 100 depa x 100 depa atau sekitar 28.900 meter persegi dengan lebar parit 2,5 m dan dalam 2 m. Parit ini dibuat mengelilingi permukiman masyarakat. Selain berfungsi sebagai batas wilayah, parit ini juga berfungsi sebagai sirkulasi air, tempat menanam, dan pelindung dari serangan binatang buas3. Tanaman yang ditanam oleh masyarakat di dalam parit ini antara lain palem, pandan, dan aur berduri yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan anyaman.

b. Umah batanggo

Salah satu elemen penting bagi sebuah negeri yaitu memiliki umah

batanggo atau rumah sebagai tempat tinggal. Rumah tradisional tempat

tinggal uhang Kincai yang disebut dengan Rumah Larik. Disebut Rumah Larik karena susunannya yang berjejer membentuk sebuah larik yang memanjang dan sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah lainnya. Rumah Larik secara unit merupakan sebuah rumah panggung yang terbagi menjadi 2 ruang secara horisontal dan 3 ruang secara vertikal. Rumah larik diperuntukkan bagi ibu atau anak perempuan dalam sebuah tumbi. Apabila ada anak perempuan yang menikah, maka orang tua wajib membangun sebuah rumah baru untuk anak perempuannya dengan izin dari Ninik Mamak.

Rumah Larik memiliki bentuk yang khas dan setiap bentuk memiliki makna. Setiap bagian dari bangunan rumah disesuaikan dengan kegiatan dan budaya masyarakat suku Kerinci. Rumah ini melambangkan rasa kekeluargaan dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah juga digunakan sebagai tempat pertemuan para Depati dan Ninik Mamak serta tempat untuk menyimpan pusaka peninggalan nenek moyang.

c. Laheik bajajo

Laheik bajajo artinya memiliki larik yang berjejer. Larik merupakan

tempat tinggal suatu kelebu atau perut yang membentuk sebuah luhah. dalam

3

(41)

kawasan Rumah Larik Limo Luhah terdapat sekitar 12 larik yang tiap lariknya dihuni oleh 45 hingga 150 Kepala Keluarga4. Di Kota Sungai Penuh, selain Rumah Larik Limo Luhah juga terdapat Rumah Larik di daerah Pondok Tinggi dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 12). Di Dusun Baru, masyarakat menyebutnya sebagai “rumah jejer”. Rumah Larik memiliki salah satu ciri yaitu berorientasi dari Timur ke Barat atau menurut garis edar matahari, tapi ada juga bangunan Rumah Larik yang berorientasi dari Utara ke Selatan yang disebut dengan “Laheik Malintang” (Disparbud Kerinci 2003).

Gambar 12. Kawasan Rumah Larik dalam Kota Sungai Penuh

d. Berlubuk bertapian

Berlubuk bertapian artinya sebuah negeri harus memiliki tempat

pemandian umum yang terpisah antara pria dan wanita. Dahulu masyarakat memanfaatkan sebuah mata air bernama sumur pulai yang terdapat di Desa gedang. Namun, saat ini karena telah jarang digunakan dan tidak dirawat sumur ini kondisinya sangat kotor dan tidak lagi berfungsi. Masyarakat memanfaatkan sumber air bersih dan tempat pemandian umum yang telah dibangun oleh pemerintah. Setiap luhah memiliki 1 hingga 2 tempat pemandian umum dan sumber air bersih (Gambar 13).

4

(42)

Gambar 13. Sumur Pulai (kiri) dan Tempat Pemandian Umum (kanan)

e. Bersawah baladeang

Dalam masyarakat suku Kerinci, sawah disebut sebagai tanah basah dan ladang disebut sebagai tanah kering. Tanah basah dan tanah kering ini merupakan tanah ajun arah yang berstatus hak milik pribadi dan termasuk pusaka tinggi. Selain milik pribadi, juga terdapat sawah dan ladang yang merupakan tanah kaum sehingga penggarap hanya memiliki status hak pakai. Sawah dan ladang milik kaum boleh diperjualbelikan dengan seizin dari Ninik Mamak. Fungsi utama tanah kaum yang terdiri dari sawah dan ladang adalah sebagai lahan cadangan untuk pemukiman disamping sebagai penghasil kebutuhan pangan masyarakat. Tanah kaum masyarakat Limo Luhah yang berupa sawah umumnya terdapat di daerah Desa Sumur Anyir dan Desa Gedang (Gambar 14). Sedangkan ladang berada di daerah perbukitan di Desa Talang Lindung dan Renah kayu Mbun.

Gambar

Gambar 5. Sirkulasi dan Akses Menuju Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
Tabel 1. Keadaan Suhu Udara
Gambar 6. Peta Kemiringan Lahan Kota Sungai Penuh
Gambar 7. Sungai Batang Bungkal sebagai Sumber Irigasi Lahan Pertanian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran umum sistem yang diusulkan adalah berupa Sistem Informasi KSC (Komunitas Sepeda Cianjur) Berbasis Website yang dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk mempermudah

Dalam RTRW Kabupaten Batang, alokasi kawasan pertanian lahan basah berada menyebar di hampir seluruh wilayah kabupaten pada masing-masing kecamatan (kecuali

Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah adat ini

Saat bel masuk kelas sudah berbunyi, anak-anak diajak berbaris di depan kelas untuk melaksanakan kegiatan bernyanyi dan melakukan gerakan-gerakan yang bersifat merangsang agar

Untuk pengguna dengan hak akses manager marcomm fasilitas yang diusulkan ialah melihat review seluruh data event produksi,event promosi dan event order4. Untuk

Perancangan Sistem Infromasi Penyewaan Ternak ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai sistem yang diusulkan sebagai penyempurnaan dari sistem yang

Pada sistem yang diusulkan, akan membuatkan 3 level user pada aplikasi ini, yaitu Pemilik hewan yang diberikan hak akses untuk memasuki modul pelayanan hewan dan

Hasil identifikasi metode yang diusulkan, dilakukan secara bertahap yaitu tahap interpretasi tanah permukiman dan tanah terbuka dan tahap interpretasi jenis penggunaan tanah