• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Evaluasi Daya Dukung dan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir

5.1.1 Pola ruang wilayah pesisir

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Kabupaten Batang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sehingga secara administratif memiliki 6 kecamatan pesisir.

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kabupaten Batang telah melakukan penataan ruang untuk seluruh wilayah kabupaten, yang telah disahkan melalui Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2011. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut, maka Peraturan Daerah ini hanya mengatur wilayah pesisir untuk daratannya saja, sedangkan untuk wilayah perairannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, Kabupaten Batang belum mempunyai peraturan daerah untuk mengatur penataan ruang wilayah perairan.

Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Batang tahun 2011-2031, rencana pola ruang di wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Batang terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pemanfaatan ruang di kecamatan pesisir Kabupaten Batang dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang, diketahui bahwa alokasi pemanfaatan untuk kawasan lindung seluas 2 159.78 ha atau sekitar 6.41% dari luasan total, sedangkan kawasan budidaya peruntukannya sekitar 31 537.73 ha atau 93.59%. Luasan alokasi pola ruang berdasarkan lokasi di kecamatan pesisir Kabupaten Batang disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Pola ruang wilayah pesisir dalam RTRW Kabupaten Batang berdasarkan lokasi/kecamatan

No Kecamatan Budidaya Lindung Jumlah

ha % ha % 1. Batang 3 779.54 11.22 86.06 0.26 3 865.60 2. Kandeman 3 987.44 11.83 75.09 0.22 4 062.52 3. Tulis 4 072.66 12.09 332.25 0.99 4 404.91 4. Subah 8 212.08 24.37 932.16 2.77 9 144.24 5. Banyuputih 4 062.85 12.06 171.23 0.51 4 234.08 6. Gringsing 7 423.16 22.03 562.99 1.67 7 986.15 Jumlah 31 537.73 93.59 2 159.78 6.41 33 697.51 Peruntukan kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Batang antara lain: hutan cagar alam, kawasan hutan bakau, sempadan sungai, sempadan pantai dan rawan tanah longsor, sedangkan kawasan budidaya terdiri dari: hutan produksi, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, sawah tadah hujan, pertambangan, perikanan, wisata pantai, peruntukan industri kawasan, permukiman desa dan permukiman kota (Tabel 11).

(2)

Tabel 11 Alokasi peruntukan ruang wilayah pesisir berdasarkan pola ruang RTRW Kabupaten Batang

No Pola ruang RTRW Budidaya Lindung Jumlah

ha % ha % ha

1. Hutan cagar alam 92.41 0.27 92.41

2. Hutan bakau 23.22 0.07 23.22

3. Rawan tanah longsor 635.08 1.88 635.08

4. Sempadan pantai 349.49 1.04 349.49

5. Sempadan sungai 1 076.30 3.19 1 076.30

6. Hutan produksi 3 955.77 11.74 3 955.77

7. Perkebunan 8 785.64 26.07 8 785.64

8. Pertanian lahan kering 1 721.08 5.11 1 721.08

9. Pertanian lahan basah 5 120.58 15.20 5 120.58

10. Sawah tadah hujan 50.20 0.15 50.20

11. Pertambangan 3.22 0.01 3.22 12. Perikanan 608.76 1.81 608.76 13. Wisata pantai 130.38 0.39 130.38 14. Industri 1 045.08 3.10 1 045.08 15. Permukiman desa 3 093.12 9.18 3 093.12 16. Permukiman kota 7 007.17 20.79 7 007.17 Jumlah 31 537.73 93.59 2 159.78 6.41 33 697.51 Berdasarkan luasan tersebut dapat diketahui bahwa wilayah pesisir di Kabupaten Batang lebih difokuskan untuk kawasan budidaya, dimana peruntukan dominan adalah perkebunan, yaitu seluas 8 785.64 ha. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031 disebutkan bahwa pengembangan kawasan peruntukan perkebunan di Kabupaten Batang didasarkan pada kondisi eksisting kawasan dan kontribusi tiap komoditas terhadap produksi nasional. Secara keruangan, peruntukan kawasan perkebunan ini sebagian besar terdapat di Kecamatan Subah dan Gringsing (Gambar 5).

Alokasi peruntukan ruang dominan di wilayah pesisir Kabupaten Batang selanjutnya adalah peruntukan kawasan permukiman kota seluas 7 007.34 ha. Alokasi kawasan permukiman kota terbesar adalah di Kecamatan Batang dan sebagian berada di Kecamatan Kandeman. Kecamatan Batang merupakan ibukota Kabupaten Batang, dalam rencana tata ruang hampir seluruh wilayahnya dialokasikan sebagai kawasan permukiman kota untuk 20 tahun mendatang. Kebijakan ini dibuat dengan pertimbangan proyeksi pertumbuhan penduduk sampai dengan tahun 2029 dan jumlah kebutuhan permukiman di kecamatan ini paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Namun disayangkan untuk alokasi peruntukan kawasan permukiman kota ini, harus dilakukan alih fungsi lahan karena pemanfaatan/penggunaan lahan eksisting di wilayah ini sebagian besar merupakan lahan pertanian (sawah irigasi) dan perkebunan.

Peruntukan hutan produksi dan pertanian lahan basah di kawasan pesisir Kabupaten Batang mempunyai persentase yang hampir sama dan cukup luas. Alokasi peruntukan kawasan pertanian lahan basah seluas 5 120.58 ha. Kawasan ini diperuntukkan bagi penanaman padi secara terus menerus. Dalam RTRW Kabupaten Batang, alokasi kawasan pertanian lahan basah berada menyebar di hampir seluruh wilayah kabupaten pada masing-masing kecamatan (kecuali Kecamatan Batang).

(3)

Peruntukan kawasan hutan produksi dialokasikan seluas 3 955.77 ha. Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Batang, kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang dibudidayakan dengan tujuan diambil hasil hutannya baik hasil hutan kayu maupun non kayu. Kawasan ini merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya pembangunan, mendukung pengembangan industri dan ekspor.

Kawasan hutan produksi meskipun merupakan kawasan budidaya tetapi juga memiliki fungsi perlindungan sebagai daerah resapan air. Kawasan ini tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan lain, dan harus dikendalikan secara ketat. Hutan produksi di Jawa Tengah yang dikelola Perum PERHUTANI meliputi hutan jati dan hutan rimba. Hutan jati dibudidayakan untuk diambil hasil hutan kayunya, sedangkan hutan rimba dibudidayakan untuk diambil hasil hutan non kayu meliputi: damar, rotan dan hasil hutan lainnya. Secara keruangan peruntukan huutan produksi dialokasikan di Kecamatan Subah dan Gringsing, dan sebagian kecil di Kecamatan Tulis.

Peruntukan kawasan budidaya lainnya di wilayah pesisir Kabupaten Batang luasnya relatif tidak begitu luas. Apabila dibandingkan dengan peruntukan kawasan budidaya, peruntukan kawasan lindung di wilayah pesisir masih sangat terbatas luasannya. Jumlah luasan terbanyak untuk kawasan lindung adalah sempadan sungai sebesar 1 076.30 ha.

Selain penataan ruang sebagai kawasan lindung dan budidaya, pemerintah Kabupaten Batang juga menetapkan kawasan strategis yang sebagian besar dialokasikan di wilayah pesisir. Penetapan kawasan strategis di wilayah pesisir meliputi kawasan strategis dari sisi pertumbuhan ekonomi, kawasan strategis pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi dan kawasan strategis daya dukung lingkungan hidup. Kawasan strategis dari sisi pertumbuhan ekonomi meliputi: 1) kawasan pelabuhan niaga yang dialokasikan di Kecamatan Batang, kawasan pengembangan wisata (wisata pantai Sigandu-Ujungnegoro di Kecamatan Batang dan Kandeman), kawasan peruntukan industri yang dialokasikan di Kecamatan Gringsing, Banyuputih, Subah, Tulis dan Kandeman; 2) kawasan strategis pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi adalah kawasan Peruntukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap, direncanakan di Kecamatan Kandeman; dan 3) kawasan strategis daya dukung lingkungan hidup yaitu kawasan konservasi perairan berada di perairan Kecamatan Batang dan Kandeman.

Kabupaten Batang juga telah mengalokasikan salah satu kawasan pesisir dan lautnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yakni Kawasan Konservasi Perairan Ujungnegoro-Roban, yang telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati nomor: 523/283/2005 tentang Penetapan kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang. Selanjutnya kawasan konservasi perairan ini telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor: KEP.29/MEN/2012 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang di Provinsi Jawa Tengah yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya pesisir yang masih tersisa, terutama untuk perlindungan ekosistem terumbu karang di wilayah perairan Ujungnegoro-Roban. Kawasan

(4)

konservasi perairan ini terbagi menjadi beberapa zona, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan lainnya.

Zonasi dalam kawasan ini mempunyai potensi yang saling berkaitan. Zona inti merupakan kawasan perlindungan terhadap habitat penting di Kabupaten Batang. Zona inti terdapat pada ekosistem karang Maeso. Ekosistem karang Maeso memiliki potensi sebagai habitat biota sedentary dan potensi larva sebagai daerah nursery ground, serta berperan sebagai perisai pantai yang dapat meredam ancaman gelombang dan arus. Zona pemanfaatan terbatas adalah kawasan yang dijadikan tempat penelitian, pendidikan, wisata maupun perlindungan habitat. Selain itu untuk mendukung zona inti di Karang Maeso perlu disangga oleh zona pemanfaatan terbatas yakni sub-zona penyangga. Zona pemanfaatan lainnya meliputi wilayah perairan dan daratan di Ujungnegoro dan sekitarnya. Pada zona lainnya ini terdapat stok ikan yang cukup untuk kegiatan perikanan tangkap tradisional serta terdapat lahan yang cukup sesuai untuk kegiatan pertanian dan budidaya perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012).

Untuk wilayah perairan Kabupaten Batang, selain dialokasikan sebagai kawasan konservasi perairan, pemanfataan lainnya adalah sebagai kawasan wisata pantai dan daerah tangkapan ikan bagi nelayan setempat, namun nelayan ini adalah nelayan yang menggunakan peralatan-peralatan sederhana/nelayan tradisional. Rencana pola ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang, dapat dilihat pada Gambar 5.

(5)

5.1.2 Penggunaan/pemanfaatan lahan wilayah pesisir

Penggunaan/pemanfaatan lahan adalah bentuk fisik atau cerminan aktivitas manusia yang terkait dengan fungsi suatu lahan, yang ditentukan oleh kondisi fisik dan non fisik dan menggambarkan sistem pengelolaannya (Rustiadi et al. 2010). Pemanfaatan lahan dominan di wilayah pesisir Kabupaten Batang adalah perkebunan (43.42%), disusul dengan sawah irigasi (25.46%) dan permukiman (11.99%), sedangkan untuk pemanfaatan lahan lainnya relatif kecil.

Secara keruangan, lahan perkebunan sebagian besar berada di sebelah timur yaitu di Kecamatan Subah, Banyuputih dan Gringsing, dimana kurang lebih 50% dari luas wilayahnya merupakan lahan perkebunan. Komoditi tanaman perkebunan di Kabupaten Batang mencakup tanaman karet, kapuk/randu, kakao dan lain sebagainya. Kawasan perkebunan ini sebagian besar dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara IX Siluwok. Pemanfaatan lahan untuk sawah irigasi tersebar merata di 6 kecamatan. Kecamatan Batang, Kandeman dan Gringsing merupakan kecamatan dengan pemanfaatan lahan untuk sawah irigasi terluas dibandingkan dengan kecamatan lainnya dan sebagian besar merupakan sawah irigasi teknis.

Secara keruangan, lahan permukiman sebagian besar berada di wilayah barat dengan pemanfaatan lahan terbesar berada di Kecamatan Batang dan Kandeman, yaitu kurang lebih seperempat dari luas wilayahnya. Kecamatan Batang merupakan ibukota Kabupaten Batang, sedangkan Kecamatan Kandeman lokasinya berdekatan dengan Kecamatan Batang, sehingga pemanfaatan lahan untuk permukiman sebagian besar terpusat di kedua wilayah ini. Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir beserta luasannya disajikan pada Tabel 12 dan secara keruangan ditampilkan pada Gambar 6.

Tabel 12 Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir

No Pemanfaatan Luas ha % 1. Air tawar 333,04 0,99 2. Belukar/semak 929,08 2,76 3. Rumput 225,84 0,67 4. Penggaraman 12,04 0,04 5. Empang 833,16 2,47 6. Sawah irigasi 8.578,19 25,46

7. Sawah tadah hujan 2.106,42 6,25

8. Perkebunan 14.632,86 43,42

9. Tegalan 1.975,47 5,86

10. Permukiman 4.040,94 11,99

11. Gedung 30,65 0,09

(6)

Gambar 6 Pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir

5.1.3 Kemampuan Lahan

Kelas kemampuan lahan adalah adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat yang sama jika digunakan untuk pertanian pada umumnya (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2011). Kelas kemampuan lahan memiliki tingkat kesamaan faktor-faktor pembatas dengan 8 kelas kemampuan lahan yang dikelompokkan ke dalam kelas I sampai dengan kelas VIII.

Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan untuk kecamatan pesisir, maka wilayah pesisir Kabupaten Batang terbagi atas 4 kelas kemampuan lahan, yaitu kemampuan lahan kelas II, III, IV dan VI. Luasan kelas kemampuan lahan II, III, IV dan VI berturut-turut adalah 5 988.38 ha (17.77%), 20 156.45 ha (59.82%), 6 655.91 ha (19.75%) dan 896.95 ha (2.66%). Luasan masing-masing kemampuan lahan disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Kemampuan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Batang

No Kecamatan

Kelas kemampuan lahan

Jumlah II III IV VI ha % ha % ha % ha % 1. Batang 883.25 2.62 2 982.52 8.85 0.00 0.00 0.00 0.00 3 865.76 2. Kandeman 982.57 2.92 2 778.55 8.25 301.42 0.89 0.00 0.00 4 062.55 3. Tulis 1 270.94 3.77 1 568.62 4.65 1 317.24 3.91 248.11 0.74 4 404.91 4. Subah 790.58 2.35 5 864.80 17.40 1 840.02 5.46 648.84 1.93 9 144.24 5. Banyuputih 0.00 0.00 3 739.25 11.10 494.82 1.47 0.00 0.00 4 234.08 6. Gringsing 2 061.04 6.12 3 222.70 9.56 2 702.41 8.02 0.00 0.00 7 986.15 5 988.38 17.77 20 156.45 59.82 6 655.91 19.75 896.95 2.66 33 697.69

(7)

Kemampuan lahan kelas II dengan kemiringan lereng >3%-8% memiliki tingkat erosi yang ringan dan kedalaman tanah yang sedang, masih memiliki pilihan penggunaan yang relatif banyak tetapi untuk penggunaan lahan yang sangat intensif sangat tidak disarankan pada kelas kemampuan lahan ini. Kemampuan lahan kelas III memiliki pilihan penggunaan lahan yang lebih sedikit dari kelas kemampuan lahan II karena memiliki faktor pembatas yang lebih berat seperti kemiringan >8%-15%, tingkat erosi sedang dan kedalaman tanahnya dangkal. Kemampuan lahan kelas IV memiliki faktor pembatas yang lebih berat lagi, seperti memiliki kemiringan lereng >15%-30% dan kepekaan erosi yang sangat tinggi. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), untuk kemampuan lahan kelas VI sudah tidak cocok digunakan untuk penggunaan lahan pertanian karena memiliki faktor pembatas yang berat, yaitu kemiringan >30%-45% dan telah tererosi berat.

Secara keruangan, penyebaran klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 7. Kelas kemampuan lahan II terdapat di Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis dan sebagian di Kecamatan Gringsing. Kelas kemampuan lahan III menyebar di semua kecamatan, sedangkan untuk kelas kemampuan lahan IV terdapat di Kecamatan Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing. Untuk kelas kemampuan lahan VI hanya terdapat di 2 kecamatan saja yaitu Kecamatan Tulis dan Subah.

Gambar 7 Kelas kemampuan lahan wilayah pesisir Kabupaten Batang

5.1.4 Evaluasi daya dukung wilayah pesisir berbasis kemampuan lahan terhadap RTRW Kabupaten Batang

Evaluasi daya dukung dalam kaitan RTRW dilihat berdasarkan rencana pola ruang dikaitkan dengan kemampuan lahan. Evaluasi ruang dikaitkan dengan

(8)

kemampuan lahan ditujukan untuk melihat sejauh mana perencanaan alokasi sudah mempertimbangkan kemampuan lahan.

Berdasarkan kemampuan lahan, alokasi pola ruang wilayah pesisir dalam RTRW sebagian besar sudah menunjukkan kesesuaian yaitu seluas 33 264.68 ha atau sebesar 98.72%, sedangkan alokasi peruntukan yang tidak sesuai seluas 432.97 ha atau sebesar 1.28%. Peruntukan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya berada di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Tulis (3.90%) dan Subah (2.86%) (Tabel 14).

Tabel 14 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan berdasarkan lokasi

No Kecamatan Sesuai Tidak sesuai Jumlah

ha % ha % 1. Batang 3 865.75 100.00 0.00 0.00 3 865.75 2. Kandeman 4 062.52 100.00 0.00 0.00 4 062.52 3. Tulis 4 233.28 12.56 261.34 3.90 4 404.91 4. Subah 8 882.90 25.94 171.63 2.86 9 144.24 5. Banyuputih 4 234.08 100.00 0.00 0.00 4 234.08 6. Gringsing 7 986.15 100.00 0.00 0.00 7 986.15 Jumlah 33 264.68 575.89 33 697.66

Dari 16 tipe peruntukan, terdapat 4 peruntukan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya, yaitu perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah dan permukiman desa (Tabel 15).

Tabel 15 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan

No Pola ruang Sesuai Tidak sesuai Jumlah

ha % ha %

1. Hutan cagar alam 92.41 100.00 0.00 0.00 92.41

2. Hutan bakau 23.22 100.00 0.00 0.00 23.22

3. Rawan tanah longsor 635.08 100.00 0.00 0.00 635.08

4. Sempadan pantai 344.49 100.00 0.00 0.00 344.49

5. Sempadan sungai 1 076.30 100.00 0.00 0.00 1 076.30

6. Hutan produksi 3 955.77 100.00 0.00 0.00 3 955.77

7. Perkebunan 8 545.64 92.27 240.00 2.73 8 785.64

8. Pertanian lahan kering 1 606.41 93.34 114.67 6.66 1 721.08

9. Pertanian lahan basah 5 118.60 15.19 1.98 0.01 5 120.58

10. Sawah tadah hujan 50.20 100.00 0.00 0.00 50.20

11. Pertambangan 3.22 100.00 0.00 0.00 3.22 12. Perikanan 608.76 100.00 0.00 0.00 608.76 13. Wisata pantai 130.38 100.00 0.00 0.00 130.38 14. Industri 1 045.08 100.00 0.00 0.00 1 045.08 15. Permukiman desa 3 016.76 97.53 76.33 0.23 3 093.12 16. Permukiman kota 7 007.31 100.00 0.00 0.00 7 007.31 Jumlah 33 264.68 98.29 575.89 1.28 33 697.66

Kendala yang menjadi penyebab ketidaksesuaian untuk peruntukan tersebut adalah lahan yang berlereng curam yaitu berada pada lereng dengan kecuraman

(9)

25-40%. Lereng yang curam memunculkan potensi membuat tanah menjadi tidak stabil jika tetap dijalankan peruntukan yang ada. Namun jika kendala tersebut dianggap dapat dikendalikan maka zonasi menjadi sesuai. Kendala yang ada dapat ditanggulangi dengan ilmu dan teknologi. Secara keruangan daerah yang tidak sesuai kemampuannya perlu dilakukan perubahan kawasan atau perubahan pengelolaan tanah.

Secara keruangan hasil evaluasi kesesuaian pola ruang dalam RTRW dengan kemampuan lahan ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan

5.1.5 Kondisi Perairan

Kondisi perairan Kabupaten Batang ditampilkan dalam Gambar 8. Untuk mengetahui kondisi perairan didapatkan dari data-data parameter fisika dan kimia perairan yang disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya baku mutu air laut untuk biota laut. Beberapa parameter fisika dan kimia yang digunakan antara lain: suhu, salinitas, pH, DO, ortofosfat, amonia, nitrat dan sulfida (Tabel 16).

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam menganalisis suatu kualitas air, karena suhu dapat mempengaruhi seluruh kehidupan biota perairan. Kondisi suhu perairan lebih banyak dipengaruhi oleh temperatur udara yang terabsorbsi ke dalam air. Pengambilan data parameter fisika dan kimia perairan ini dilakukan pada Bulan Juni 2012, dimana pada bulan ini di Indonesia terjadi musim Timur yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau dan umumnya suhu perairan relatif tinggi. Suhu di perairan Kabupaten Batang berada pada kisaran nilai 30.00-31.30 0C. Mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan

(10)

Hidup nomor 51 tahun 2004, maka kisaran suhu perairan di Kabupaten Batang masih dikategorikan sesuai bagi kelangsungan biota perairan di dalamnya.

Kisaran nilai untuk parameter kimia salinitas, pH dan oksigen terlarut (DO) di perairan Kabupaten Batang berturut-turut adalah: 25.00-31.00 0/00; 7.40-8.20 dan 5.80-7.30 mg/l. Nilai baku mutu untuk salinitas yaitu berada pada kondisi alami sampai dengan 34.00 0/00, baku mutu pH yaitu 7.00-8.50 dan baku mutu untuk oksigen terlarut yaitu >5.000 mg/l (KLH 2004). Berdasarkan nilai baku mutu, kisaran nilai untuk salinitas, pH dan DO di perairan Kabupaten Batang masih layak bagi pertumbuhan biota perairan.

Tabel 16 Data parameter perairan di Kabupaten Batang

No Bujur Lintang Suhu (0C) Salinitas (0/ 00) pH DO (mg/l) Orto Fosfat (mg/l) Amonia (mg/l) Nitrat (mg/l) Sulfida (mg/l) 1. 366251 9238492 31.100 29.000 7.480 6.500 0.014 0.109 0.022 <0.001 2. 366036 9238921 31.200 31.000 8.010 6.300 0.013 0.113 0.029 <0.001 3. 364716 9238703 31.200 29.000 7.500 6.800 0.013 0.192 0.012 <0.001 4. 363334 9238976 31.300 30.000 8.000 7.000 0.024 0.244 0.055 <0.001 5. 363517 9239591 31.200 31.000 7.580 7.100 0.007 0.155 0.165 <0.001 6. 361644 9239862 31.400 25.000 7.590 7.300 0.016 0.225 0.028 <0.001 7. 360078 9239981 31.400 31.000 7.680 7.300 0.011 0.276 0.055 <0.001 8. 360413 9240780 31.100 31.000 8.100 5.900 <0.005 0.236 0.029 <0.001 9. 367634 9238065 31.100 30.000 7.670 6.600 0.015 0.238 0.055 <0.001 10. 368155 9238251 30.900 31.000 7.920 6.200 0.011 0.146 0.165 <0.001 11. 371904 9236694 31.000 21.000 7.380 6.300 0.027 0.308 0.029 <0.001 12. 373623 9236299 31.100 29.000 7.450 6.300 0.014 0.356 0.055 <0.001 13. 376018 9235905 31.100 31.000 7.400 5.800 <0.005 0.354 0.014 <0.001 14. 378229 9235419 30.500 29.000 7.590 6.100 0.009 0.167 0.055 <0.001 15. 381389 9236225 30.000 31.000 8.230 6.400 <0.005 0.027 0.020 <0.001 16. 383783 9236138 30.000 31.000 8.010 7.200 <0.005 0.022 0.029 <0.001 17. 384460 9235187 30.400 30.000 7.500 7.300 <0.005 0.022 0.055 <0.001 18. 385995 9235160 31.000 30.000 7.730 6.700 <0.005 0.034 0.165 <0.001 19. 388911 9234951 30.000 28.000 7.980 6.500 0.017 0.113 0.061 <0.001 20. 390445 9235292 30.000 30.000 8.000 5.800 0.006 0.034 0.029 <0.001 Sumber: Loka PSPL Serang, KKP (2012)

Kadar Amonia di perairan Kabupaten Batang menunjukkan nilai yang bervariasi, yaitu berkisar antara 0.022-0.356 mg/l. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004, kadar amonia di sebagian besar perairan Kabupaten Batang masih berada di bawah baku mutu, namun ada lokasi yang menunjukkan kadar amonia sudah melebihi baku mutu, meskipun nilainya tidak terlalu jauh melebihi baku mutu yaitu di sekitar perairan Kecamatan Tulis dan Subah (Gambar 9a).

Unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) merupakan unsur hara (nutrisi) yang diperlukan oleh fitoplankton maupun tumbuhan laut lainnya untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Unsur-unsur tersebut ada dalam bentuk nitrat dan fosfat. Nilai nitrat di perairan Kabupaten Batang berkisar antara 0.012-0.165 mg/l (Gambar 9b). Apabila mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yang menyebutkan nilai baku mutu untuk nitrat adalah sebesar 0.008 mg/l, maka kadar nitrat di perairan Kabupaten Batang sudah melebihi baku mutu.

Untuk kadar ortofosfat di perairan Kabupaten Batang, nilainya berkisar antara <0.005-0.020 mg/l (Gambar 9c). Secara umum kadar ortofosfat di perairan Kabupaten Batang nilainya masih berada di bawah baku mutu, yaitu 0.015 mg/l

(11)

: Baku Mutu : Baku Mutu : Baku Mutu 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 Nilai ( m g/l ) Titik Pengamatan

Grafik Sebaran Nilai Amonia di Perairan Kabupaten Batang

: Baku Mutu : Baku Mutu 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 0,18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 Nilai ( m g/l ) Titik Pengamatan

Grafik Sebaran Nilai Nitrat di Perairan Kabupaten Batang

: Baku Mutu : Baku Mutu 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 N il a i (m g /l ) Titik Pengamatan

Grafik Sebaran Nilai Ortofosfat di Perairan Kabupaten Batang

(KLH 2004). Namun ada beberapa lokasi yang nilai ortofosfatnya melebihi baku mutu, yaitu berada di perairan Kecamatan Batang, Tulis dan Gringsing. Nilai ortofosfat yang tinggi ini disebabkan oleh tingginya kadar ortofosfat yang terkandung dalam air sungai yang bermuara ke laut, yang berasal dari limbah, baik dari rumah tangga maupun industri.

(a) (b)

(c)

Gambar 9 Sebaran nilai Amonia, Nitrat dan Ortofosfat di perairan Kabupaten Batang

5.1.6 Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan

Dalam kaitan dengan penggunaan lahan, semakin tinggi kelas kemampuan lahannya maka semakin sedikit pilihan penggunaan lahannya, dengan pertimbangan kualitas lahan yang semakin buruk dan memiliki faktor pembatas yang besar. Semakin rendah kelas kemampuan lahannya maka kualitas lahannya semakin baik dan memiliki faktor pembatas yang kecil, sehingga sesuai untuk banyak penggunaan lahan. Menurut Rustiadi et al. 2010a, penggunaan lahan yang dievaluasi dengan kemampuan lahan menunjukkan bahwa lahan yang mempunyai kemampuan lahan tinggi akan mempunyai pilihan penggunaan lahan yang lebih banyak, sedangkan kemampuan lahan rendah mempunyai pilihan penggunaan lahan terbatas.

(12)

Hasil overlay peta penggunaan lahan dengan kemampuan lahan didapatkan luas kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan sebesar 32 831.79 ha (97.43%) dan sebesar 865.70 ha (2.57%) menunjukkan ketidaksesuaian (Tabel 17). Ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahannya yaitu penggunaan lahan untuk perkebunan, tegalan, permukiman, sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Ketidaksesuaian penggunaan lahan ini disebabkan karena terletak pada lereng yang curam.

Tabel 17 Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan

No Penggunaan lahan Sesuai Tidak sesuai Jumlah

ha % ha % 1. Air tawar 333.04 0.99 0.00 0.00 333.04 2. Belukar/semak 929.08 2.76 0.00 0.00 929.08 3. Rumput 225.84 0.67 0.00 0.00 225.84 4. Penggaraman 12.04 0.04 0.00 0.00 12.04 5. Empang 833.16 2.47 0.00 0.00 833.16 6. Sawah irigasi 8 577.02 25.45 0.97 0.00 8 577.99

7. Sawah tadah hujan 2 088.93 6.20 17.49 0.05 2 106.42

8. Perkebunan 14 131.93 41.94 500.93 1.49 14 632.86

9. Tegalan 1 719.50 5.10 255.97 0.76 1 975.47

10. Permukiman 3 950.60 11.72 90.34 0.27 4 040.94

11. Gedung 30.65 0.09 0.00 0.00 30.65

Jumlah 32 831.79 97.43 865.70 2.57 33697.49

Secara keruangan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan tersebut menyebar di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Tulis (0.74%) dan Subah (1.92%), sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 10. Daerah yang berwarna merah adalah daerah yang penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya.

(13)

5.1.7 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan Hasil overlay antara peta penggunaan lahan dengan peta pola ruang RTRW menunjukkan inkonsistensi penggunaan lahan wilayah pesisir terjadi sebesar 25.65% dari luasan total. Hal ini berarti bahwa lebih dari 70% penggunaan lahan di wilayah pesisir masih sesuai dengan peruntukan dalam RTRW atau dapat dikatakan penggunaan lahan pada umumnya masih konsisten dengan peruntukan RTRW. Tabel 18 menyajikan evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan.

Tabel 18 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan

No Pola ruang RTRW Konsisten Inkonsisten Jumlah

ha % ha %

1. Hutan cagar alam 0.00 0.00 92.41 0.27 92.41

2. Hutan bakau 0.00 0.00 23.22 0.07 23.22

3. Rawan tanah longsor 0.00 0.00 635.08 1.88 635.08

4. Sempadan pantai 19.58 0.06 329.91 0.98 349,49

5. Sempadan sungai 93.05 0.28 983.25 2.92 1 076,30

6. Hutan produksi 93.58 0.28 3 862.19 11.46 3 955,77

7. Perkebunan 8 063.04 23.93 722.60 2.14 8 785,64

8. Pertanian lahan kering 1 312.45 3.89 408.63 1.21 1 721.08

9. Pertanian lahan basah 3 705.58 11.00 1 415.00 4.20 5 120.58

10. Sawah tadah hujan 46.42 0.14 3.79 0.01 50.21

11. Pertambangan 0.00 0.00 3.22 0.01 3.22 12. Perikanan 574.15 1.70 34.61 0.10 608.76 13. Wisata pantai 0.03 0.00 130.35 0.39 130.38 14. Industri 1 045.08 3.10 0.00 0.00 1 045.08 15. Permukiman desa 3 093.12 9.18 000 0.00 3 093.12 16. Permukiman kota 7 007.17 20.79 0.00 0.00 7 007.17 Jumlah 25 053.23 74.35 8 644.27 25.65 33 697.51

Inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap penggunaan lahan terbesar secara umum adalah peruntukan hutan produksi yaitu sebesar 11.46% dari luasan total. Peruntukan hutan produksi saat ini sebagian besar masih digunakan sebagai perkebunan, permukiman, sawah irigasi, tegalan, sawah tadah hujan, semak/belukar dan rumput. Untuk kawasan lindung, peruntukan lahan untuk sempadan sungai dan hutan cagar alam juga menunjukkan nilai inkonsisten yang tinggi, dimana kawasan tersebut masih digunakan untuk perkebunan, sawah, tegalan dan permukiman (Lampiran 1).

Pola ruang di wilayah pesisir seperti peruntukan hutan bakau, sempadan pantai, wisata pantai dan perikanan juga menunjukkan inkonsistensi yang cukup tinggi terhadap penggunaan lahan. Peruntukan lahan untuk kawasan hutan bakau saat ini masih digunakan untuk perkebunan dan sawah irigasi, sedangkan untuk sempadan pantai lebih dari 90% dari luasannya digunakan untuk penggunaan lain, seperti sawah irigasi, empang, permukiman, perkebunan dan tegalan (Lampiran 1). Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena peruntukan kedua kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan lindung di wilayah pesisir. Peruntukan kawasan budidaya di wilayah pesisir yang menunjukkan inkonsistensi terbesar adalah peruntukan wisata dan perikanan, dimana sebagian masih digunakan untuk perkebunan, sawah dan permukiman (Lampiran 1).

(14)

Secara keruangan inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap penggunaan lahan disajikan pada Gambar 11. Nilai inkonsistensi tertinggi terdapat di Kecamatan Subah sebesar 41.18%, disusul dengan Kecamatan Gringsing sebesar 25.57% dan Kecamatan Tulis sebesar 23.15% dari luasan. Nilai inkonsistensi terendah terdapat di Kecamatan Batang yaitu sebesar 9.04%.

Gambar 11 Inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap pemanfaatan lahan

5.1.8 Permasalahan lingkungan di wilayah pesisir

Dari berbagai data yang diperoleh dan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan hampir seluruh wilayah pesisir di Kabupaten mengalami permasalahan lingkungan yang sama seperti kerusakan mangrove, abrasi maupun rob. Wilayah pesisir Kabupaten Batang secara umum memiliki potensi alam yang sama dan juga menyimpan potensi bencana yang hampir serupa, namun dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Kabupaten Batang adalah erosi (abrasi) pantai, banjir dan rob.

Secara umum, tingkat kerusakan ekosistem mangrove (bakau) di seluruh wilayah pesisir Kabupaten Batang dikategorikan sudah rusak dengan jumlah tutupan yang tidak begitu luas, keberagaman jenisnya pun sudah tidak banyak lagi (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). Hasil interpretasi citra satelit menunjukkan penurunan luasan mangrove yang terjadi antara tahun 2003-2006, yaitu dari 363.84 ha pada tahun 2003 menjadi 28.81 ha pada tahun 2006 (Dokumen RSWP Kabupaten Batang 2011). Akibat kerusakan hutan mangrove tersebut, pantai di Kabupaten Batang terabrasi sehingga bibir atau garis pantainya bergeser mencapai 200-300 meter dari sebelumnya.

(15)

Penyebab kerusakan ekosistem mangrove tersebut sebagian besar oleh kegiatan budidaya perikanan yang kurang peduli terhadap pelestarian ekosistem mangrove. Penyebab lainnya adalah kurang terkoordinasinya pembangunan di wilayah pesisir, banyaknya pembangunan kontruksi yang menjorok ke laut tanpa mengindahkan keadaan hidrodinamika perairan laut. Dalam RTRW Kabupaten Batang 2011-2031, kawasan lindung untuk hutan bakau ditetapkan di kawasan pantai Kecamatan Subah.

Abrasi atau disebut juga erosi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh kekuatan gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi dapat disebabkan oleh faktor alam dan bukan alam (kegiatan manusia). Faktor alam yang berperan bagi terjadinya abrasi adalah peningkatan daya gempur gelombang dan arus yang disebabkan naiknya paras (muka) laut (sea level rise). Kenaikan muka air laut ini merupakan dampak yang timbul akibat fenomena pemanasan global (Global Warming). Abrasi juga dapat terjadi akibat kegiatan manusia yang sifatnya merusak seperti pengambilan batu dan pasir di pesisir secara berlebihan serta penebangan pohon hutan pantai atau hutan mangrove.

Berdasarkan data yang ada maupun pengamatan visual tentang keadaan pantai Kabupaten Batang, sebagian telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Dari panjang pantai 38,75 km, kerusakan pantai mencapai 19,35%. Kerusakan pantai terpanjang terdapat di Desa Klidang Lor, Kecamatan Batang sepanjang 1,5 km, termasuk di dalamnya Pantai Sigandu. Sekitar 1 km Pantai Sigandu terkena abrasi yang merusak tanaman peneduh dan tanaman pantai lainnya (Dinas Kelautan dan Perikanan 2011). Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Batang (2011) dalam Loka PSPL Serang (2012) menunjukkan bahwa pantai di Kabupaten Batang sepanjang 19.13 km atau 32.84 ha telah mengalami abrasi.

Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031 disebutkan kawasan rawan abrasi di Kabupaten Batang ditetapkan berdasarkan potensi kejadian abrasi yang sering terjadi pada wilayah tertentu di beberapa pantai, yaitu daerah pantai yang masuk dalam wilayah Desa Denasri Kulon, Karangasem Utara dan Desa Klidang Lor Kecamatan Batang; Desa Depok Kecamatan Kandeman; Desa Kedungsegog Kecamatan Tulis dan Desa Kedawung Kecamatan Banyuputih.

Bencana lainnya yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Batang adalah adanya rob (air pasang) yang semakin meningkat intensitas dan frekuensinya, sehingga dampaknya sampai ke arah daratan dan menggenangi permukiman penduduk, fasilitas pendidikan dan infrastruktur umum yang mengakibatkan terjadinya lingkungan kumuh. Masalah banjir dan rob (gelombang pasang) secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah campur tangan manusia sehingga dalam pemecahannya tidak hanya dihadapkan pada masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan kepadatan penduduk yang melampaui batas. Curah hujan yang cukup tinggi dan fenomena kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) akibat pemanasan global (Global

Warming) serta penurunan tanah (Land Subsidence) merupakan faktor penyebab

yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan rob. Faktor lainnya yang ikut berpengaruh terjadinya banjir dan rob adalah tersumbatnya saluran drainase dan sungai oleh sampah.

Kawasan rawan banjir dan rob di Kabupaten Batang ditetapkan berdasarkan potensi kejadiaan banjir dan rob yang sering terjadi pada wilayah tertentu, yaitu di

(16)

beberapa tempat yang masuk dalam wilayah Kecamatan Batang, Subah, Gringsing dan Kecamatan Banyuputih (Dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031).

5.2 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan dan Penataan Ruang Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang

Selama ini muncul anggapan bahwa pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang sumberdaya pesisir dan laut masih minim. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditelaah pandangan dan penilaian masyarakat mengenai wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka.

Persepsi responden terhadap pengelolaan wilayah pesisir dalam penelitian ini didefinisikan berdasarkan pemahaman responden terhadap wilayah pesisir dan pengelolaannya. Adapun hasil jawaban responden disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20.

Tabel 19 Pemahaman/pengetahuan masyarakat terkait kebijakan pemerintah

No Kec kebijakan sosialisasi

rtrw Kab Batang rencana pruntukan lahan Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk 1. Batang 30.00 70.00 15.00 85.00 17.50 82.50 25.00 75.00 2. Kandeman 36.67 63.33 36.67 63.33 33.33 66.67 46.67 53.33 3. Tulis 46.67 53.33 36.67 63.33 30.00 70.00 46.67 53.33 4. Subah 46.67 53.33 13.33 86.67 13.33 86.67 30.00 70.00 5. Banyuputih 26.67 73.33 20.00 80.00 20.00 80.00 26.67 73.33 6. Gringsing 23.33 76.67 16.67 83.33 23.33 76.67 23.33 76.67 Rata-rata 35.00 65.00 23.06 76.94 22.92 77.09 33.06 66.94

Berkaitan dengan kebijakan mengenai pengelolaan wilayah pesisir yang sudah dibuat oleh pemerintah, lebih dari 50% responden mengatakan tidak mengetahui. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dapat disebabkan kurangnya sosialisasi dan keterbukaan dari pemerintah. Suatu kebijakan biasanya berisi aturan-aturan maupun larangan-larangan yang harus dipatuhi dan sudah semestinya harus disebarluaskan agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga dapat meminimalkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran.

Berdasarkan tata kelola yang baik (good governance), salah satu asas/prinsip penting yang harus dijalankan oleh pemerintah yaitu transparansi. Transparansi berarti keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu: (a) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (b) hak masyarakat terhadap akses informasi.Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya (Bappenas dan Depdagri 2002). Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal balik antara

(17)

pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Kurangnya keterbukaan pemerintah dan minimnya informasi yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan kebijakan-kebijakan yang dibuat banyak tidak diketahui masyarakat secara umum.

Terkait kegiatan sosialisasi, dari semua responden sebanyak 76.94% menjawab bahwa mereka tidak pernah mengikuti sosialisasi/konsultasi publik mengenai rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, hanya sebesar 23.06% responden yang pernah mengikuti kegiatan ini. Kegiatan sosialisasi/konsultasi publik mengenai rencana tata ruang memang telah dilakukan oleh pemerintah, namun biasanya hanya mengundang perangkat desa, tokoh masyarakat setempat maupun perwakilan dari kelompok masyarakat saja, sedangkan bagi masyarakat umum biasanya sangat jarang yang menghadirinya dan tampaknya masih sangat jarang masyarakat yang mau hadir karena inisiatif dan kesadaran pribadi, sehingga sebagian besar responden juga tidak mengetahui tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang maupun rencana pemanfaatan ruang di wilayah mereka.

Tabel 20 Pemahaman/pengetahuan masyarakat terkait penggunaan lahan

No Kecamatan penggunaan lahan penggunaan lahan vs rtrw daya dukung vs rtrw Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk 1. Batang 50.00 50.00 60.00 40.00 27.50 72.50 2. Kandeman 40.00 60.00 53.33 46.67 36.67 63.33 3. Tulis 53.33 46.67 66.67 33.33 50.00 50.00 4. Subah 56.67 43.33 46.67 53.33 36.67 63.33 5. Banyuputih 46.67 53.33 40.00 60.00 40.00 60.00 6. Gringsing 40.00 60.00 46.67 53.33 37.14 62.86 Rata-rata 47.78 52.22 55.22 47.78 38.00 62.00

Penggunaan/pemanfaatan lahan di wilayah pesisir sangat ditentukan oleh masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Berdasarkan rata-rata jawaban dari responden di 6 kecamatan, hampir 50% responden menyatakan bahwa mereka mengetahui penggunaan lahan di wilayah mereka, artinya masyarakat cukup mengerti dan mengenal kondisi wilayah mereka. Secara umum penggunaan/pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Batang cenderung tidak berbeda, yaitu untuk pertanian, perkebunan dan permukiman.

Selanjutnya mengenai penggunaan lahan, sebanyak 55.22% responden menjawab bahwa penggunaan lahan saat ini sudah sesuai dengan rencana tata ruang. Namun terkait daya dukung lingkungan, sebanyak 62.00% responden menganggap bahwa perencanaan tata ruang di Kabupaten Batang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.

Berkaitan dengan kegiatan pembangunan, meskipun menurut masyarakat kegiatan pembangunan masih belum sesuai dengan tata ruang, namun masyarakat mengakui bahwa kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah akan berdampak positif secara ekonomi terutama terhadap kegiatan/mata pencaharian mereka sehari-hari, seperti pembangunan infrastruktur jalan, pembangunan pelabuhan dan pembangunan rel ganda. Sementara untuk pembangunan pembangkit listrik yang direncanakan akan dibangun di sekitar perairan

(18)

Ujungnegoro dan sekitarnya, sebagian masyarakat mengatakan mereka tidak setuju. Kelompok masyarakat yang menolak rencana pembangunan ini sebagian besar adalah kelompok nelayan, terutama nelayan-nelayan kecil. Mereka berpendapat jika pembangunan ini dilaksanakan akan mengurangi hasil tangkapan/pendapatan mereka bahkan kemungkinan akan kehilangan mata pencaharian mereka sebagai nelayan, dikarenakan perairan tersebut merupakan tempat mereka mencari ikan. Sebagian kelompok lain berpendapat tidak setuju dengan rencana pembangunan pembangkit listrik karena di dekat perairan tersebut merupakan kawasan konservasi perairan yang merupakan daerah perlindungan bagi biota-biota laut di dalamnya seperti terumbu karang maupun jenis-jenis ikan tertentu, sehingga dengan adanya rencana pembangunan di kawasan tersebut dapat berpengaruh terhadap habitat biota-biota tersebut.

5.3 Tingkat dan Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang

5.3.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir Analisis tingkat partisipasi masyarakat dilakukan untuk mengetahui derajat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, termasuk kegiatan terkait penataan ruang wilayah pesisir. Derajat keterlibatan masyarakat tersebut diukur dari variabel-variabel tingkat kehadiran dalam pertemuan terkait perencanaan kegiatan dan keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan pesisir.

5.3.1.1 Analisis tingkat kehadiran dalam pertemuan berkaitan dengan perencanaan kegiatan

Analisis tingkat kehadiran dalam pertemuan berkaitan dengan perencanaan program/kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah. Untuk menganalisis tingkat kehadiran dalam pertemuan digunakan skala penilaian berisi 8 pernyataan yang mengacu pada teori Arnstein (1969) yaitu delapan tangga partisipasi masyarakat. Kedelapan pernyataan tersebut adalah: a. Hadir karena dipaksa; b. Hadir sekedar memenuhi undangan; c. Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat; d. Hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi pendapatnya tidak diperhitungkan; e. Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan; f. Hadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara; g. Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan; dan h. Hadir dan mampu membuat keputusan. Untuk analisis tingkat partisipasi kehadiran dalam pertemuan secara keseluruhan dari 6 kecamatan disajikan dalam Tabel 21.

Tabel 21 Tingkat partisipasi dalam kehadiran pertemuan No Kecamatan Kategori 1. Batang Informasi 2. Kandeman Informasi 3. Tulis Informasi 4. Subah Informasi 5. Banyuputih Konsultasi 6. Gringsing Informasi

(19)

Tingkat partisipasi dalam kehadiran pertemuan terkait perencanaan kegiatan menunjukkan sebagian besar tingkat partisipasi berada pada tahap informasi, kecuali untuk Kecamatan Banyuputih tingkat partisipasi berada pada tahap konsultasi. Tahap informasi berarti informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back), sedangkan tahap konsultasi berarti sudah ada penjaringan aspirasi masyarakat tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi atau dapat dikatakan bahwa keputusan tetap berada di tangan pemerintah.

Dalam kegiatan penyusunan suatu kebijakan merupakan kewajiban dan tanggungjawab bagi pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat dalam proses penyusunannya. Keterlibatan masyarakat untuk berperan dalam penyusunan suatu kebijakan merupakan hak masyarakat sebagai warga negara yang secara hukum sudah diatur dalam undang-undang. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam penyusunan suatu kebijakan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Proses penyusunan rencana kebijakan yang melibatkan masyarakat juga menjamin bahwa masyarakat akan mendapatkan manfaat dari perencanaan tersebut. Dengan demikian masyarakat akan merasa memiliki dan berkewajiban untuk mendukung rencana tersebut.

Dari hasil analisis, tingkat partisipasi masyarakat terkait perencanaan kegiatan, baik tingkat informasi maupun konsultasi, masih termasuk dalam tingkat partisipasi yang rendah meskipun menurut pemerintah sudah melibatkan masyarakat. Dalam perencanaan program-program yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir Pemerintah sudah memberikan informasi kepada masyarakat, seperti: musrenbang, konsultasi publik maupun sosialisasi. Namun kegiatan-kegiatan tersebut terkesan hanya sebagai formalitas. Masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan usulan, namun usulan-usulan tersebut tidak semua terakomodasi dan terealisasi dan pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan pemerintah (eksekutif dan legislatif).

Gumilar (2012) berpendapat bahwa saat ini masih banyak dijumpai fakta di lapangan yang beranggapan bahwa peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi (information public), penyuluhan, bahkan sekedar public

relation agar suatu kegiatan dapat berjalan tanpa hambatan. Informasi yang

disampaikan oleh pemerintah hanya sampai pada kelompok masyarakat tertentu/terbatas saja dan cenderung kurang transparan. Padahal proses penyusunan rencana kebijakan yang tidak transparan dan partisipasif berpotensi untuk terjadinya konflik pada saat implementasinya.

5.3.1.2 Analisis tingkat partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan berkaitan dengan program pengelolaan wilayah pesisir

Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan berkaitan dengan program pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan membuat skala penilaian berdasarkan 8 tangga Arnstein. Skala penilaian yang digunakan yaitu: a. Terlibat karena terpaksa; b. Terlibat sekedarnya saja; c. Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide; d. Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide tapi tidak diperhitungkan; e. Terlibat tapi

(20)

hanya sedikit ide yang diperhitungkan; f. Terlibat dan mendapat pembagian tanggungjawab yang sama; g. Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide; dan h. Terlibat dan mampu membuat keputusan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan terkait program pengelolaan pesisir disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program/kegiatan

No Kecamatan Kategori 1. Batang Informasi 2. Kandeman Konsultasi 3. Tulis Informasi 4. Subah Informasi 5. Banyuputih Konsultasi 6. Gringsing Informasi

Selain dalam tahap perencanaan, partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan program/kegiatan juga sangat penting. Dengan keterlibatan masyarakat dalam tahapan ini, masyarakat dapat ikut menilai apakah program/kegiatan yang dijalankan sudah sesuai dengan perencanaannya dan apabila ada ketidaksesuaian masyarakat dapat ikut mengevaluasi dan memberi masukan. Tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program/kegiatan menunjukkan Kecamatan Batang, Tulis, Subah dan Gringsing berada pada tahap informasi, sedangkan Kecamatan Kandeman dan Banyuputih, mempunyai tingkat pastisipasi yang setingkat lebih tinggi yaitu berada pada tahap konsultasi. Namun demikian kedua tingkat partisipasi ini masih termasuk rendah. Meskipun menurut pemerintah sudah melibatkan masyarakat setempat dalam pelaksanaan program/kegiatan, namun keterlibatan masyarakat masih sangat minim.

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program/ kegiatan dapat disebabkan karena masyarakat tidak dilibatkan dari awal proses perencanaan, sehingga masyarakat hanya menerima program/kegiatan yang sudah ada atau dapat dikatakan program/kegiatan sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal inilah yang kadang menyebabkan suatu program/kegiatan gagal atau tidak dapat diimplementasikan karena tidak sesuai dengan kondisi wilayah. Bahkan seringkali program/kegiatan dari pemerintah tidak sesuai dengan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat setempat, sehingga yang terjadi masyarakat menjalankan atau ikut terlibat program/kegiatan tersebut dengan setengah hati atau terlibat sekedarnya saja.

Dari kedua analisis tingkat partisipasi di atas dapat dirangkum bahwa kedua tingkat partisipasi masyarakat di Kabupaten Batang baik informasi maupun konsultasi, termasuk partisipasi kategori rendah, yaitu berada pada tingkat tokenism. Tingkat tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan (pemerintah). Arnstein (1969) menjelaskan bahwa jika partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.

(21)

Secara ideal, keterlibatan masyarakat baru dikatakan berpartisipasi secara penuh apabila partisipasi berada pada tingkat kedelapan yaitu pengendalian oleh masyarakat (citizen control). Masyarakat pada tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat memiliki mayoritas suara dalam suatu proses pengambilan keputusan, bahkan mungkin memiliki kekuasaan penuh untuk mengelola suatu program/kebijakan. Partisipasi masyarakat di Kabupaten Batang masih jauh dari kondisi tersebut. Peran serta masyarakat masih dipandang semata-mata sebagai penyampaian informasi saja. Masyarakat sudah dilibatkan dalam berbagai kegiatan, namun mereka tinggal melaksanakan saja atau dapat dikatakan bahwa kebijakan masih bersifat top down. Hal ini sesuai dengan pendapat masyarakat dalam analisis sebelumnya bahwa mereka tidak mengetahui mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

5.3.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir Bentuk partisipasi masyarakat didapatkan berdasarkan jawaban terbanyak yang dipilih oleh responden. Persentase jawaban responden di masing-masing terkait bentuk-bentuk partisipasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Bentuk partisipasi masyarakat

No Kecamatan

Bentuk Partisipasi mengikuti

pembinaan pemanfaatan pengawasan pelestarian

1. Batang x √ √ √ 2. Kandeman √ √ √ √ 3. Tulis x √ √ √ 4. Subah x √ x √ 5. Banyuputih √ √ √ √ 6. Gringsing x √ √ x

Bentuk partisipasi yang dilakukan responden di Kecamatan Batang terhadap pengelolaan wilayah pesisir yaitu kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Kegiatan pemanfaatan antara lain memanfaatkan hasil-hasil laut dan memanfaatkan sumber daya pesisir lainnya. Kegiatan pelestarian juga dipilih oleh responden, meskipun tidak semua desa pesisir masyarakatnya aktif terlibat. Di Kecamatan Batang telah terbentuk kelompok masyarakat pengawas perikanan dan kelautan, sehingga bentuk partisipasi kegiatan pengawasan juga dipilih oleh responden. Untuk kegiatan mengikuti pembinaan sedikit dipilih oleh responden, artinya responden banyak yang tidak mengikuti kegiatan pembinaan yang biasanya diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah.

Bentuk partisipasi yang mayoritas dipilih responden di Kecamatan Tulis menghasilkan jawaban yang sama dengan bentuk partisipasi di Kecataman Batang, yaitu terkait kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Bentuk partisipasi yang diikuti oleh responden di Kecamatan Kandeman dan Banyuputih juga menunjukkan jawaban yang sama. Berdasarkan jawaban responden terbanyak, semua bentuk-bentuk partisipasi mulai dari kegiatan mengikuti pembinaan, pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan diikuti oleh responden di Kecamatan Kandeman dan Banyuputih.

(22)

Untuk Kecamatan Subah dan Gringsing, hanya 2 bentuk partisipasi yang paling banyak diikuti oleh responden. Responden di Kecamatan Subah lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan pemanfaatan dan pelestarian, sedangkan untuk kegiatan mengikuti pembinaan dan pengawasan tidak dipilih oleh mayoritas responden. Bentuk partisipasi yang diikuti oleh responden di Gringsing terkait kegiatan pemanfaatan dan pengawasan saja. Untuk kegiatan pelestarian sepertinya masyarakat masih belum tergerak untuk ikut berpartisipasi.

Berdasarkan Tabel 23 dapat disimpulkan bentuk partisipasi dalam pengelolaan pesisir yang paling banyak dilakukan oleh responden di 6 kecamatan adalah terkait dengan pemanfaatan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir, yaitu memanfaatkan hasil-hasil laut dan memanfaatkan sumberdaya pesisir lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor geografi yang berdekatan dengan pesisir dan laut, maka masyarakat dengan sangat mudah dapat memanfaatkan hasil-hasil laut maupun sumberdaya pesisir lainnya. Masyarakat memanfaatkan hasil-hasil laut sebagai sumber mata pencaharian mereka maupun sekedar untuk dikonsumsi.

Bentuk partisipasi dimana mayoritas responden melakukannya yaitu terkait dengan kegiatan pengawasan dan pelestarian wilayah pesisir, yaitu melapor jika ada yang merusak ekosistem di wilayah pesisir, melapor jika ada pelanggaran di laut, melakukan pelestarian ekosistem baik atas inisiatif sendiri maupun bersama instansi terkait. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup peduli terhadap lingkungan mereka tinggal. Menurut Diarto et al. 2012, dengan adanya kepedulian lingkungan masyarakat setempat, maka dapat dikatakan bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah manajemen sendiri (self management) karena terbentuk dengan sendirinya atas kesadaran masyarakat setempat.

Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian sumberdaya wilayah pesisir, misalnya rehabilitasi hutan mangrove, sangat penting dan perlu dilakukan. Pemerintah harus memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Partisipasi masyarakat dalam bentuk pelestarian sumberdaya sudah cukup tinggi, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan pemerintah yaitu masyarakat perlu terus menerus diberikan bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya pesisir karena akan bermanfaat di masa yang akan datang. Kegiatan mengikuti pembinaan/pelatihan merupakan bentuk kegiatan yang paling sedikit diikuti oleh responden. Ini menunjukkan bahwa responden kurang begitu tertarik terhadap bentuk kegiatan ini, padahal bentuk kegiatan semacam ini biasanya digunakan oleh pemerintah sebagai sarana untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan/peraturan yang dibuat pemerintah.

5.4 Arahan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir

Dari hasil analisis-analisis sebelumnya dibuat matriks untuk dilakukan analisa sintesis (Tabel 24). Berdasarkan analisis daya dukung berbasis kemampuan lahan, perencanaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Batang khususnya untuk wilayah daratan sebagian besar wilayah pesisir di Kabupaten Batang masih sesuai dengan daya dukungnya, kecuali untuk Kecamatan Subah sebesar 2.86% dan Tulis sebesar 3.90% dari wilayahnya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Wilayah yang tidak sesuai ini terletak di

(23)

bagian tengah, dimana kendala yang menjadi penyebab ketidaksesuaian untuk peruntukan tersebut adalah lahan yang berlereng curam yaitu 25-40%, sehingga berdasarkan daya dukungnya, sebagian besar wilayah pesisir Kabupaten Batang masih dapat mendukung berbagai aktivitas manusia maupun kegiatan pembangunan.

Tabel 24 Matriks sintesis pengelolaan wilayah pesisir

No Kecamatan / Evaluasi Inkonsistensi Pemahaman Tingkat Abrasi Desa (KL vs RTRW) LU vs RTRW masyarakat partisipasi 1. Tulis - Kenconorejo - Ponowareng - Kd. segog (3.90%) 23.15 45.24 Informasi Konsultasi Informasi Ringan Ringan Sedang 2. Subah - Sengon - Kuripan (2.86%) 41.10 34.76 Informasi Informasi Sedang Ringan 3. Gringsing - Ketanggan - Sidorejo - Yosorejo sesuai 25.36 29.00 Informasi Konsultasi Terapi Ringan Sedang Ringan 4. Banyuputih - Kedawung sesuai 18.67 29.53 Konsultasi Sedang 5. Kandeman - Depok - Ujungnegoro - Kr geneng sesuai 16.66 37.62 Informasi Konsultasi Konsultasi Sedang Ringan Ringan 6. Batang - Dnasri Kuln - Kasepuhan - Krasem Utra - Klidanglor sesuai 9.04 28.57 Terapi Informasi Terapi Informasi Tdk ada Sedang Ringan Berat

Jika dilihat dari penggunaan lahan, kondisi di kedua kecamatan tersebut juga hampir serupa, diketahui bahwa tingkat inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW juga lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain. Tingkat inkonsistensi tinggi juga terdapat di Kecamatan Gringsing. Untuk Kecamatan Subah, hampir setengah dari wilayahnya menunjukkan penggunaan lahan tidak konsisten dengan RTRW, sedangkan untuk Kecamatan Tulis dan Gringsing seperempat wilayahnya penggunaan lahan tidak konsisten. Jika dilihat dari pemahaman masyarakat di Subah dan Tulis cukup tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan lain, artinya masyarakat cukup mengerti tentang penggunaan lahan di wilayah mereka maupun tata ruangnya. Kecamatan Batang merupakan kecamatan dengan tingkat inkonsistensi paling rendah dibandingkan kecamatan lain. Rencana pemanfaatan ruang di kecamatan ini sebagian besar adalah dialokasikan sebagai kawasan permukiman kota, sehingga berbagai penggunaan lahan terkait sosial ekonomi masyarakat masih sesuai/diperbolehkan.

Untuk wilayah pesisir/pantai, permasalahan yang terjadi saat ini antara lain berkurangnya tanaman pelindung pantai, abrasi/erosi pantai dan banjir/rob yang terjadi tiap tahun dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Tingkat abrasi paling tinggi/parah terjadi di pantai Sigandu, Desa Klidang Lor. Akibat abrasi ini selain menyebabkan rusak dan berkurangnya tanaman mangrove dan pelindung pantai lainnya, juga merusak infrastruktur yang ada di sekitar kawasan tersebut. Meskipun abrasi dominan terjadi karena faktor alam, namun seharusnya

(24)

pemerintah dapat mengantisipasi atau membuat tindakan pencegahan sehingga tingkat kerusakan/kerugian juga dapat diminimalkan.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di desa wilayah pesisir, berada pada kategori terapi hingga konsultasi. Tingkat partisipasi dalam kategori ini dapat dikatakan masih rendah karena komunikasi antara pemerintah dan masyarakat hanya bersifat satu arah. Secara formal pemerintah sudah melakukan sosialisasi maupun konsultasi publik kepada masyarakat dan memberikan masukan namun untuk pengambilan keputusan masih berada di tangan pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten belum dilakukan dengan baik dan terpadu. Pemerintah kurang melibatkan masyarakat dan kurang memperhatikan permasalahan-permasalahan lingkungan yang terjadi dalam menyusun berbagai bentuk kebijakan. Masih rendahnya pemahaman masyarakat menunjukkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah, sehingga muncul pelanggaran maupun ketidaksesuaian dalam pemanfaatan ruang. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terlihat dari tingkat partisipasi yang rendah dapat menyebabkan masyarakat tidak peduli dan tidak bertanggungjawab terhadap kondisi wilayahnya, yang akibatnya kerusakan lingkungan akan semakin bertambah.

Arahan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang hendaknya diselaraskan dengan RTRW Kabupaten Batang 2011-2031, yang terbagi menjadi kawasan pemanfaatan/budidaya, kawasan konservasi/lindung dan kawasan strategis.

Kawasan pemanfaatan/budidaya

Kawasan pemanfaatan/budidaya merupakan kawasan yang diperuntukkan berbagai aktivitas yang dapat dilakukan dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan lingkungan dan faktor pendukung lainnya. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, peruntukan ruang di wilayah pesisir yang paling dominan yaitu peruntukan perkebunan, permukiman, pertanian, hutan produksi dan perikanan.

a. Perkebunan

Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2013, peruntukan kawasan perkebunan tersebar di 6 kecamatan pesisir. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, sekitar 97% peruntukan perkebunan masih sesuai dengan kelas kemampuan lahannya, sedangkan sisanya berada pada kelas kemampuan lahan yang tidak sesuai yang terletak di Kecamatan Subah dan Tulis. Ini berarti untuk wilayah pesisir Kabupaten Batang masih mendukung bagi peruntukan perkebunan, untuk wilayah yang tidak sesuai dapat dialihkan untuk peruntukan lain, misalnya sebagai hutan produksi/hutan cagar alam. Jika tetap diarahkan untuk perkebunan maka harus dilakukan tindakan pengelolaan dan konservasi yang berat dan hal ini membutuhkan biaya yang lebih banyak.

b. Permukiman

Secara keruangan, kawasan permukiman ini terdiri dari permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan. Dalam dokumen RTRW Kabupaten

(25)

Batang 2011-2013, lokasi peruntukan kawasan permukiman tersebar hampir merata di semua kecamatan wilayah pesisir, baik itu wilayah kecamatan bagian tengah maupun di wilayah bagian utara (mendekati pantai). Dari hasil analisis kemampuan lahan, untuk permukiman perdesaan terdapat beberapa wilayah, terutama di wilayah kecamatan bagian tengah tidak sesuai dengan kemampuan lahannya yang masuk pada Kecamatan Tulis dan Subah. Ketidaksesuaian ini disebabkan terletak pada kemampuan lahan kelas VI dengan kendala kelerengan sampai dengan 40%, sehingga diarahkan agar wilayah ini tidak diperuntukkan sebagai kawasan permukiman, mengingat bahaya longsor yang kemungkinan dapat terjadi.

Sebagian wilayah permukiman yang dialokasikan di wilayah kecamatan bagian utara (mendekati pantai) yaitu di desa-desa pesisir juga kurang sesuai untuk peruntukan ini, seperti permukiman di Desa Karangasem Utara dan Denasri Kulon Kecamatan Batang, Desa Sengon Kecamatan Subah, Desa Kedawung Kecamatan Banyuputih, dan Desa Ketanggan, Sidorejo dan Yosorejo Kecamatan Gringsing. Sebagian wilayah di desa-desa tersebut mempunyai potensi terjadinya banjir dan rob yang cukup sering dan ditetapkan sebagai kawasan rawan banjir dan rob, oleh karena itu kurang sesuai jika dijadikan sebagai kawasan permukiman. Hal ini selain beresiko akan terjadinya bahaya yang lebih besar juga akan menurunkan daya dukung lingkungan di wilayah tersebut, sehingga sebaiknya diarahkan untuk peruntukan lain, mengingat besarnya biaya yang akan dikeluarkan untuk perbaikan.

c. Pertanian

Kawasan pertanian terdiri dari pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2013, peruntukan kawasan pertanian baik lahan basah maupun lahan kering dialokasikan di semua kecamatan, kecuali kecamatan Batang. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, dari luasan peruntukan pertanian lahan basah di wilayah pesisir 0.04% berada pada kelas kemampuan lahan yang tidak sesuai, sedangkan peruntukan pertanian lahan kering sekitar 6.66% dari luasannya berada pada kelas kemampuan lahan yang tidak sesuai. Wilayah yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya masuk kedalam Kecamatan Subah dan Tulis. Ketidaksesuaian ini disebabkan terletak pada lahan dengan kelerengan 25-40%, sehingga masuk kemampuan lahan kelas VI. Penggunaan lahan pada kemampuan lahan kelas VI tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, karena mempunyai ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangka. Oleh karena itu untuk wilayah yang tidak sesuai dapat dialihkan untuk peruntukan lain, misalnya sebagai hutan produksi/hutan cagar alam.

d. Hutan produksi

Sebaran kawasan hutan produksi berada di Kecamatan Gringsing, Banyuputih, dan Subah serta sebagian kecil berada di Kecamatan Kecamatan Tulis. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, peruntukan hutan produksi masih sesuai dengan kemampuan lahannya. Ini berarti untuk wilayah pesisir Kabupaten Batang masih mendukung bagi peruntukan hutan produksi.

e. Perikanan

Kawasan peruntukan perikanan dibedakan menjadi peruntukan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Berdasarkan RTRW Kabupaaten Batang

(26)

2011-2031, kawasan peruntukan perikanan budidaya ditetapkan di Kecamatan Batang, Subah, Banyuputih, dan Gringsing. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, peruntukan perikanan budidaya masih sesuai dengan kemampuan lahannya, artinya wilayah pesisir Kabupaten Batang masih mendukung untuk kegiatan perikanan budidaya. Peruntukan perikanan budidaya ini mencakup budidaya tambak (air payau) dan budidaya air tawar (kolam), sedangkan untuk budidaya laut, diperlukan analisis lebih lanjut untuk melihat kesesuaian lahan/perairannya.

Kawasan peruntukan perikanan tangkap meliputi perairan umum dan perairan laut. Peruntukan perikanan tangkap di perairan umum meliputi seluruh perairan badan sungai yang ada, sedangkan untuk perikanan tangkap di perairan laut meliputi wilayah perairan laut. Kabupaten Batang memiliki wilayah perairan laut yang pada dasarnya mempunyai potensi sumberdaya perikanan tangkap yang cukup besar dan dukungan sarpras yang cukup memadai, antara lain Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) berjumlah 1 buah dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebanyak 4 buah yakni TPI Klidang Lor, TPI Roban, TPI Seklayu dan TPI Celong.

Kawasan Lindung/Konservasi

Kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Batang terdiri dari kawasan lindung di wilayah daratan dan di wilayah perairan. Kawasan lindung di wilayah daratan antara lain kawasan hutan bakau, sempadan pantai dan sempadan sungai, sedangkan untuk perairan Kabupaten Batang, pemerintah juga telah menetapkan kawasan konservasi perairan.

a. Kawasan hutan bakau

Hutan bakau memiliki peran yang sangat penting di wilayah pesisir, dimana salah satu fungsinya dapat meredam gelombang dari laut sehingga dapat mengurangi terjadinya abrasi. Berdasarkan pengamatan dan data-data dari instansi terkait, kondisi yang terjadi saat ini untuk tanaman bakau (mangrove) di wilayah pesisir Kabupaten Batang jumlahnya makin berkurang. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031, untuk kawasan hutan bakau dialokasikan di wilayah pesisir Kecamatan Subah. Di wilayah pesisir Kecamatan Subah masih terdapat tanaman bakau (mangrove) maupun tanaman pelindung pantai lainnya sehingga sesuai jika dijadikan sebagai kawasan lindung hutan bakau.

Mengingat wilayah pesisir terutama di daerah pantai sangat rentan terhadap terjadinya kerusakan, salah satunya karena abrasi, maka keberadaan tanaman bakau (mangrove) perlu dipertahankan dan dilestarikan. Oleh karena itu peruntukan kawasan hutan bakau ini bilamana mungkin dapat diperluas, tidak hanya pada 1 kecamatan saja. Kawasan hutan bakau dapat dialokasikan di sepanjang pantai dan pesisir Kabupaten Batang, kecuali untuk wilayah pesisir Desa Karangasem Utara Kecamatan Batang, Desa Karanggeneng Kecamatan Kandeman, Desa Ponowareng Kecamatan Tulis dan Desa. Wilayah pesisir di ketiga desa akan diperuntukkan bagi pembangunan pelabuhan niaga dan pembangkit listrik. Dalam rangka pelestarian tanaman bakau maupun tanaman pelindung pantai lainnya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat setempat untuk kegiatan penghijauan dan rehabilitasi pantai dan memberikan tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjaga dan melestarikannya, karena kegiatan

Gambar

Tabel 11  Alokasi peruntukan ruang wilayah pesisir berdasarkan pola ruang  RTRW Kabupaten Batang
Gambar 5  Pola ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang
Tabel 12  Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir
Tabel 13  Kemampuan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Batang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya, proses motivasi dapat digambarkan jika seseorang tidak puas akan mengakibatkan ketegangan, yang pada akhirnya akan mencari jalan atau tindakan untuk memenuhi dan

In case of (a) shareholders who have not received the Letter of Offer/FOA, (b) unregistered shareholders and (c) owner of the shares who have sent the shares to the Target Company

- Batang dan daun pisang digunakan sebagai mulsa kakao.. Tanaman tumpangsari dengan tanaman kakao dengan tanaman kelapa.. BAHAN TANAM. Keberhasilan dalam budidaya tanaman

Manusia hanya dapat melihat sampai dengan 400 nanometer, warna violet, sedangkan makhluk tetrachromat dapat melihat warna ultraviolet sampai dengan 300 nanometer, warna primer

tersebut, menjadi penggambaran dari sesuatu yang bersifat umum untuk dijadikan sebagai ranah sumber. Namun peribahasa ini dapat pula masuk ke dalam konsep The

Relevansi antara isi kompetensi sosial sikap santun dengan konsep emotional spiritual quotient (ESQ) menurut Ary Ginanjar Agustian yaitu; pada dasarnya

Kendala yang dihadapi polisi dalam upaya mencegah anak di bawah umur mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pelaksanaan

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 Penghasilan Komprehensif lain tahun berjalan - net pajak penghasilan terkait 99,722 TOTAL LABA