• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

PENGATURAN TENTANG DISPENSASI NIKAH MENURUT UNDANG- UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

C. Rukun dan Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

1. Rukun Perkawinan Pada KHI

Dalam KHI pada pasal 14 menjelaskan rukun perkawinan yaitu

a. Calon suami b. Calon isteri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab dan kabul

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun memiliki syarat-syarat dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut49

1) Calon suami, syarat-syaratnya a) Beragama Islam

b) Laki-laki c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan

49 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan,Op. Cit., hal 62

e) Tidak terdapat halangan perkawinan

Artinya kedua calon penganting adalah orang yang bukan haram dinikahi baik karena haram untuk sementara maupun untuk selama-lamanya. Seperti yang telah dijelaskan dalam al- Qur’an surat an-Nisa’

23 Artinya:

“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan , saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara sesusuan, ibu-ibu isterimu (mertua) anak-anak iterimu yang ada dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum menyampuri isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, ( dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang”50

Dari ayat tersebut kita dapat memilih bahwa pada ayat tersebut terbagi menjadi tiga hal:

(1) Karena ada hubungan nasab (larangan ini untuk selama-lamanya) (2) Larangan perkawinan karena ada hubungan musharah (perkawinan) (3) Larangan perkawinan karena persusuan

2) Calon istri, syarat-syaratnya:

a) Beragama Islam b) Perempuan

d) Dapat dimintai persetujuannya e) Tidak dalam iddah

f) Bukan dalam ihram haji atau umrah g) Tidak terdapat halangan perkawinan 3) Wali nikah, syarat-syaratnya:

a) Laki-laki b) Dewasa

c) Mempunyai hak perwalian

d) Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan e) Tidak terdapat halangan perwaliannya f) Tidak cacat pikiran

4) Saksi Nikah, syarat-syarattnya:

a) Minimal dua orang laki-laki b) Hadir dalam ijab dan qabul c) Dapat mengerti maksud akad d) Islam

e) Dewasa

f) Memahami kandungan lafal ijab dan qabul g) Dapat melihat, mendengar, dan bercakap h) Adil

Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu, atau yang sedang mabuk, maka perkawinan tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak ada.51

Bagi orang yang buta, tuli atau bisu bisa menjadi saksi asalkan mereka benar-benar mampu mengenali dan membedakan suara-suara pelaku-pelaku akad, secara yakin dan pasti52. Adanya dua orang saksi yang adil, golongan syafi’i mengatakan apabila perkawinan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil tidaknya, maka hukum tetap sah. Karena pernikahan ini terjadi di berbagai tempat, di kampung- kampung daerah-daerah terpencil maupun di kota, bagaimana kita dapat mengetahui orang adil tidaknya, jika diharuskan mengetahui terlebih dahulu tentang adil tidaknya, hal ini akan menyusahkan.oleh karena itu adil dapat dilihat dari segi lahiriahnya saja pada saat itu sehingga ia tidak terlihat fasik. Maka apabila di kemudian hari terjadi sifat faiknya setelah terjadinya akad nikah maka akad nikah yang terjadi tidak terpengaruh oleh kefasikan saksi. Dalam arti perkawinannya tetap dianggap sah. Karena dalam kesaksian ini sangat banyak kegunaannya, apabila di kemudian hari ada persengketaan antara suami isteri maka saksi ini bisa dimintai keterangannya atau penjelasannya, karena perbedaan sebuah pernikahan dengan yang lain diantaranya.53

5) Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

d) Antara ijab dan qabul bersambungan e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah

g) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai wanita dan dua orang saksi.54

Antara ijab dan qabul diisyaratkan terjadi dalam satu majlis, tidak disela dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan. Tetapi tidak diisyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul,baru setelah itu menyatakan qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah.55

Obyek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian,tetapi yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan timbal balik antara suami istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi

54 Amiur Nuruddin,Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., hal 63

55 Hamid Sarong, Op. Cit., Hal 52

oleh calon suami, atau dengan kata lain, tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon suami dan istri56.

Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga karena ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala. Karena itu ada pertimbangan yang tegak untuk menunjukan kemauan mengadakan ikatan bersuami isteri. Perlambangan ini diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang melaksanakan akad. Pengucapan dalam ijab mengandung menyerahkan dari pihak wali si perempuan, dan qabul yang mengandung penerimaan dari pihak wali calon suami.

Pelaksanaan akad nikah atau ijab qabul merupakan penyerahan yang dilakukan oleh wali nikah calon mempelai perempuan kepada calon mempelai pria dengan sejumlah persyaratan, yang kemudian diterima oleh calon mempelai laki-laki (ijab qabul). Namun, pelaksanaan akad nikah dimaksud, diatur oleh pasal 10 PP No tahun 1975. Pengaturan ini berbunyi: “perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Tata cara pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaannya, dan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Hukum Islam memberikan ketentuan dan syarat-syarat ijab qabul.”57

Pada KHI dijelaskan tentang wali nikah, adapun wali pihak perempuan yang dikemukakan beberapa hal yang menyangkut dengan wajib tidaknya mempunyai wali ataupun mengenai macam wali, menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa perempuan yang kawin wajib pakai wali dan wali itu merupakan syarat bagi sahnya perkawinan itu. Menurut pendapat Imam Abu Hanafiah dan Hazairin, wali bagi perempuan dalam perkawinan dipandang dari segi hukum, memang tidak menjadi syarat sahnya pengikatan diri untuk perkawinan bagi seorang wanita yang telah dewasa. Demikian adalah baiknya wanita itu memakai wali dalam melakukan ijab dan kabul.58

Pada pasal 20 ayat (2) dikatakan wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab b. Wali hakim

Menurut ajaran patrilinial, hanya pengantin perempuan saja yang memerlukan wali al-nikaah. Wali al-nikaah adalah seorang laki-laki dan terdiri dari bermacam-macam yaitu:

a. Wali nasab

Nasab artinya bangsa. Menurut ajaran patrilinial, nasab juga diartikan keluarga dalam hubungan garis keturunan patrilinial atau hubungan darah patrilinial. Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon pengantin perempuan itu. Termasuk kedalamnya pertama kelompok

58 Sajuti Thalib Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974) Hal 67

kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya, kedua kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka, ketiga kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka, keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Wali nasab ini terbagi atas dua pula. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan mesti kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali nasab yang mujbir dipendekkan dengan sebutan wali mujbir. Wali mujbir terdiri dari bapa, datuk yaitu bapa dari bapa dan bapanya lagi seterusnya ke atas.

Mujbir artinya orang yang memaksa. Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapa, paman yaitu saudara laki-laki-laki-laki kandung atau sebapa dari bapa dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial.

b. Wali hakim

Wali hakim ialah penguasa wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. Dalam hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seseorang calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan wali hakim

baik melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung prosedur yang dapat ditempuh.

c. Hakam

Dapat bertindak sebagai wali, seseorang yang masih masuk keluarga si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai hubungan darah patrilinial dengan perempuan tersebut tetapi dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali perkawinan.

d. Muhakam

Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan tadi dan bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan.59

Pada pasal 30 sampai pasal 38 KHI membahas tentang mahar sebagai syarat sahnya perkawinan. Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dijabarkan oleh seseorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hukum pemebrian mahar adalah wajib. Dan benda atau uang pemberian itu adalah menjadi milik perempuan itu. Demikian bila dikehendaki oleh perempuan itu sendiri dan timbulnya kehendak atau inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah si suami sekedar ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang diberikannya yang telah menjadi milik si istri itu.60 Kata mahar yang telah menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-mahr, jamaknya al-muhur atau al-muhuruh. Kata yang semakna dengan mahar adalah al-shadaq,

59 Ibid, hal 68-69

60 Ibid, hal, 72

nihlah, faridhah, ajr, ‘uqr, ‘ala’iq, thaul dan nikah. Kata-kata ini di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau mas kawin.61

Di dalam surah an-Nisa’ : 4 Allah SWT. Berfirman:

“Berikanlah mas kawin (shaduq, nihlah) sebagai pemberian yang wajib.

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian mas kawin itu dengan senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemeberian itu dengan sedap dan nikmat.”62

Dilihat dari ayat tersebut bahwa ditetapkan mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan Ijmak. Meskipun mahar dikatakan wajib dalam penentuannya harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya harga mahar tidak boleh memberatkan calon mempelai pria dan tidak pula mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa disepelekan.

Syari’at mahar di dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam yaitu:63

1. Untuk menghalalkan hubungan wanita, karena keduanya saling membutuhkan

2. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian

3. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya

4. Untuk ketenangan dan pengikat kasih sayang suami istri.

Berbeda dengan KHI dilihat dari perspektif fikih, UU No 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Di dalam Bab II pasal 6 memuat tentang syarat-syarat perkawinan 64