• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

PENGATURAN TENTANG DISPENSASI NIKAH MENURUT UNDANG- UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

C. Rukun dan Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

2. Syarat-syarat Perkawinan Pada UU Nomor 1 Tahun 1974

Syarat-syarat perkawinan pada UU No 1 Tahun 1974 sangat berbeda dengan fikih Islam baik skema ataupun materinya. UU No 1 Tahun 1974 tetap memfokuskan syarat perkawinan pada kedua calon mempelai. Jadi sahnya sebuah perkawinan terletak pada mereka berdua. Walaupun berkenaan dengan dua rukun yaitu calon suami dan istri KHI mengacu pada UU No 1 Tahun 1974, namun rukun yang lain seperti wali, saksi dan akad, KHI kembali kepada aturan-aturan fikih.65 Bahkan ada kecenderungan kuat, tidak ada yang baru di dalam KHI berkenaan dengan penjelasan rukun tersebut.66

Membahas tentang syarat, yang telah disebutkan adalah syarat-syarat dari rukun nikah. dalam perkawinan ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan formil. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga “syarat-syarat subjektif.” Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur

64 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal 35

65 Ibid, hal 36-39

66Amiur Nuruddin,Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., 2004 hal 75

melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang disebut juga

“syarat-syarat objektif.”

a. Syarat-syarat materiil

Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, meliputi:67

1) Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai

Persetujuan dalam hal ini sudah terang yaitu tidak seorangpun dapat memaksa calon wanita maupun calon pria, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Pada umumnya dalam kehidupan masyarakat didasarkan pada kesadaran adat maupun kesadaran ajaran Islam untuk melakukan pilihan yang tepat sebelum pihak calon mempelai memberikan persetujuannya secara bebas. Biasanya didahului dengan pelamaran atau dalam Islam disebut “chitbah” maksud dari pelamaran adalah pendekatan dan pengenalan dari calon mempelai tetapi harus ada batas-batas kebebasan dalam pengawasan yang berlangsung dari orang tua jangan sampai terjadi pelamaran yang berlarut-larut yang bisa menimbulkan akibat yang merugikan terutama bagi pihak perempuan. Dari pelamaran ini tidak ada akibat hukumnya.68

2) Persyaratan izin orang tua/wali/pengadilan

Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal 6 cukup diperoleh dari orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya. Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang- orang yang disebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal 6, atau salah seorang lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya,maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.69

3) Persyaratan pembatasan umur calon mempelai

Pada pasal 7 berkenaan dengan batas minimum umur calon suami dan isteri. Undang-undang mensyaratkan batas minimum umur calon suami kurangnya berumur 19 dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16, selanjutnya dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan. Batasan umur yang termuat dalam UU No 1 Tahun 1974

69 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., hal 68

sebenarnya masih belum terlalu tinggi dibanding dengan beberapa negara lainnya di dunia. Seperti di Al-Jazair misalnya membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan yang perempuan 18 tahun seperti di Yaman Utara misalnya membatasi usia perkawinan tersebut pada umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Yahya Harahap batasan umur menunjukan apa yang disebut exepressip verbis atau langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Dilihat dari zaman sekarang banyak anak yang masih dibawah umur dinikahkan dengan pasangan yang masih dibawah umur juga. Dalam masyarakat adat jawa seringkali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan jawa dan aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun.70

b. Syarat-Syarat Formil

Persyaratan formil berkenaan dengan tata cara pelaksanaan perkawinan meliputi:71

1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.

Setiap orang yang hendak melakukan perkawinan harus terlebih dahulu memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai. Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu diantara keduanya dengan

syarat-syarat yang cukup kepastian dan memperlihatkan kehendak kedua calon suami istri, izin orang tua atau wali pengawas atau keputusan Pengadilan Negeri bilamana diperlukan serta akta kelahiran calon suami istri.72 Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR ini memeriksa calon suami atau wali nikah itu, kemudian mengirimkan daftar pemeriksaannya kepada Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR yang bersangkutan. Apabila ternyata dari pemeriksaan itu terdapat halangan pernikahan menurut hukum agama atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan/ atau belum dipenuhi persyaratan/ketentuan tersebut dalam pasal 8 Peraturan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1975 ini keadaan itu segera diberitahukan kepada calon suami dan wali nikah atau wakilnya oleh Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR menurut model 2 (lampiran XI) pasal 7 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 9 dan 10 PMA No. 3/1975.73

2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan

Bilamana dalam tenggang waktu satu bulan terhitung sejak pengumuman hendak kawin, perkawinan tersebut tidak dilangsungkan maka perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan kembali kecuali setelah diulangi lagi pengumuman kembali untuk kedua kalinya seperti semula.74

3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

72 Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit., Hal 62

73 Ibid, hal 174

74 Ibid, hal 62

Dalam undang-undang pasal 2 ayat 1 di nyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.75

4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan

Mengenai hal in sudah diatur pada pasal 2 ayat 2 bahwa setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Dalam pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.76Perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain melainkan hanya dengan akta perkawinan yang diberikan oleh pejabat catatan sipil saja di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, kecuali dalam hal-hal lain berdasarkan pertimbangan dari Hakim dengan bukti-bukti yang cukup mengenai ketidakadaan akta-akta perkawinan tersebut.77