• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISPENSASI PENGADILAN AGAMA DALAM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA BINJAI PADA TAHUN 2018) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DISPENSASI PENGADILAN AGAMA DALAM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA BINJAI PADA TAHUN 2018) SKRIPSI"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DISPENSASI PENGADILAN AGAMA DALAM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA BINJAI PADA TAHUN 2018) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NADYA APRILIA KALO 150200350

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT yang berkuasa atas segala sesuatu, kepada-nya lah segala sesuatu urusan dikembalikan dan karena kehendaknya-Nya sehingga saya masih diperkenankan merasakan nikmat iman, nikmat sehat, nikmat ilmu pengetahuan dan nikmat semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan hidup terbaik, nabi Muhammad Shalallahu ‘Alayhi Wassalam, semoga kita dapat senantiasa menjadikan Nabi Muhammad Shalallahu

“Alayhi Wassalam, sebagai inspirator dan panutan dalam beramal, berilmu dan berkarya. Aamin Allhumma Aamin.

Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat- syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Strata-1 Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.adapun judul yang saya kemukakan “DISPENSASI PENGADILAN AGAMA DALAM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA BINJAI PADA TAHUN 2018”

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka dengan kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan bagi perkembangan pengetahuan, khususnya bagi saya sendiri.

(4)

Dalam kesempatan ini saya telah banyak mendapat bantuan bimbingan, arahan dan motivasi dari berbagai pihak.untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebaik-baiknya kepada

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Puspa Melati S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Dr.Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan sekaligus Dosen Pembimbing I. Terimakasih atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang diberikan selama ini disetiap bimbingan dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai

7. Bapak Syamsul Rizal,S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Idha Aprilyana Sembiring S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Terimakasih banyak atas saran, arahan dan masukan dalam setiap

(5)

9. Seluruh Bapak dan Ibu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang terbai, serta membimbing penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

10. Seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Sumatera Utara yang telah membantu urusan administrasi

Untuk yang paling spesial dihidup saya yang selalu mendukung dan mendoakan saya kedua orang tua yang saya cintai ayahanda Drs. Eziddin Kalo dan ibunda Hj. Nursal Marawati. Semoga selalu dilindungan Allah SWT. Untuk kakak saya tersayang, Natasha, Nova dan Nanda, terimakasih untuk terus mendukung saya dan memberi saya semangat dan keponakan saya yang membuat saya semangat kembali.

Para sahabat saya yang selalu menemani dan menolong saya memberi support untuk saya terimakasih Ica dan Ayu yang selalu mendukung saya. dan grup SH, Temi, Alep, Adit, Elmas, Dedi dan Ndu. Terimakasih sudah menjadi teman-teman berjuang di kampus dengan segala cerita-cerita yang kita lewati sama-sama.

Semoga kita semua akan selalu menjadi teman baik. Dan geng Gabut, teman yang juga selalu support saya.

(6)

Semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini tidak dapat disebutkan satu persatu namanya. Penulis akan selalu menghargai dan mengingat segala bentuk dukungan dan kebersamaannya.

Binjai, 15 April 2019

Penulis

Nadya Aprilia Kalo

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Metode Penulisan ... 14

G. Keaslian Penulisan ... 17

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PENGATURAN TENTANG DISPENSASI NIKAH MENURUT UNDANG- UNDANG PERKAWINAN NO 1 TAHUN 1974 A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 20

1. Pengertian Perkawinan Menurut UU No 1 Tahun 1974 ... 22

2. Pengertian Perkawinan Menurut KHI ... 24

3. Tujuan Perkawinan ... 27

B. Prinsip-prinsip Perkawinan dalam KHI dan Undang-Undang Perkawinan ... 30

C. Rukun dan Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan ... 35

D. Larangan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KHI ... 51

E. Dispensasi Nikah Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KHI ... 54

BAB III MEKANISME PENGAJUAN PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN AGAMA BINJAI A. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Proses Dispensasi Nikah ... 62

B. Faktor-Faktor Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur ... 64

C. Mekanisme Pengajuan Permohonan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Binjai ... 68

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PERMOHONAN NIKAH OLEH HAKIM PENGADILAN AGAMA BINJAI A. Kasus Posisi ... 81

1. Pekara Nomor 5/Pdt.P/2018/PA.Bji ... 81

2. Pekara Nomor 17/Pdt.P/2018/PA.Bji ... 82 B. Pertimbangan Hukum Permohonan Dispensasi Nikah Oleh Hakim Pengadilan Agama

(8)

C. Akibat Hukum Setelah Anak Melakukan Perkawinan di Bawah Umur ... 88 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN...

(9)

ABSTRAK

Rosnidar Sembiring*

Idha Sembiring **

Nadya Kalo ***

Dispensasi merupakan pemberian izin oleh Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan bagi pria yang belum mencapai 19 tahun dan wanita yang belum mencapai 16 tahun.

Dispensasi nikah diatur dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Dalam pengajuan dispensasi ke Pengadilan Agama Binjai dalam bentuk permohonan, masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata dan benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang suatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum. Pengadilan Agama Binjai dengan kewenangan absolutnya untuk memeriksa dan menetapkan permohonan dispensasi perkawinan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah pengaturan tentang dispensasi nikah menurut Undang-Undang Perkawinan, mekanisme dalam mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Binjai, dan pertimbangan hukum hakim dalam permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Binjai.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum empiris dengan metode penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi lapangan dan studi kepustakaan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara. Analisa dalam penelitian ini dilakukan secara normatif.

Hasil dari penelitian ini adalah pengaturan dispensasi nikah menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 7 (2) dan Permenag pasal 1 (2) sub g, Pasal 13 (1)-(3). Mekanisme dalam mengajukan permohonan dispensasi di Pengadilan Agama Binjai sudah berdasarkan putusan MA yang baru No 1403.b/DJA/SK/OT.01.3/8/20018 tentang PTSP, dalam mekanisme ini layanan Pengadilan Agama Binjai menjadi transparan. Pertimbangan hukum hakim dalam permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Binjai melihat dari segi sosiologis karena keadaan yang mendesak juga hakim mengedepankan konsep Al- Mashalah Al Mursalah. Pada UU Perkawinan sudah tidak relevan lagi dikalangan masyarakat, pada mekanisme yg berdasarkan putusan MA yang baru perlu adanya sosialisasi pada masyarakat. Pertimbangan yang diberikan hakim memiliki dampak positif dan negatif.

Kata Kunci : Dispensasi Pekawinan, Bawah Umur, Pengadilan Agama Binjai

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Usia hukum sebenarnya sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri, karena dimana ada manusia maka disitulah ada hukum yang mengaturnya, dan mempunyai kesinambungan antara hukum yang berlaku sekarang dengan hukum yang berlaku sebelumnya hingga di masa-masa lampau. Bahkan hukum perkawinan merupakan hukum yang paling awal dikenal manusia, yang ditandai dengan perkawinan Adam a.s. dengan istrinya, Hawa. Kemudian dengan mengalami perubahan dan perkembangan di sana-sini, hukum perkawinan yang berkembang hingga saat ini merupakan pelestarian (tindak lanjut) dan pengembangan hukum yang telah diperkenalkan Allah kepada generasi manusia terdahulu. Itulah sebabnya hukum perkawinan merupakan hukum yang selalu aktual dan diperlukan oleh manusia.1

Sebagai fitrah manusia adalah hidup berpasang-pasangan, seperti halnya makhluk hidup Allah yang lainnya. Fitrah tersebut diwujudkan dalam sebuah ikatan perkawinan dengan memiliki tujuan meciptakan keluarga (rumah tangga) yang bahagia, sejahtera, damai, tentram, dan kekal. Allah meletakkan kaidah- kaidah yang mengatur dan menjaga kehormatan suatu kemuliaan manusia, yakni perkawinan yang secara syar i menjadikan hubungan antara pria dan wanita hubungan yang sakral.

(11)

Dalam perkawinan adalah untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa kasih sayang yang khususnya antara suami isteri, kalangan keluarga yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan umat manusia umumnya. Dalam penjelasan QS. al-Nur: 32 memerintahkan agar kepada laki-laki maupun perempuan yang belum kawin (dalam keadaan tidak kawin padahal sudah pantas, diusahakan untuk kawin dengan diberi bantuan seperlunya. Allah berjanji akan memberikan anugerahNya kepada mereka yang melaksanakan perkawinan dan bila dalam keadaan kekurangan, Allah akan mencukupkan kebutuhan hidupnya. Dalam penjelasan ayat selanjutnya (33) memperingatkan agar mereka akan benar-benar belum mampu melaksanakan perkawinan, dapat memelihara kesucian hidupnya dan jangan mudah tergoda bujuk-bujukan setan yang membujuk untuk berbuat zina.2 Hadist Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Mas’udra mengajarkan bahwa perkawinan merupakan jalan untuk menyalurkan naluriah manusiawi, untuk memenuhi tuntutan nafsu syahwatnya dengan tetap memelihara keselamatan agama yang bersangkutan. Apabila nafsu syahwatnya telah mendesak, padahal kemampuan kawin belum cukup supaya menahan diri dengan jalan berpuasa mendekatkan diri kepada Allah agar mempunyai daya tahan mental dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan godaan setan yang menarik-narik untuk berbuat zina.3

Dalam Islam perkawinan bukan hanya saja sebagai mempertahankan keturunan tetapi dalam Islam perkawinan juga sebagai ibadah kita kepada Allah

2 Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2007), Hal 3

3 Ibid, hal 31

(12)

SWT. Karena perkawinan adalah perbuatan sebagai penyempurna iman kita sebagai umat Islam. Perkawinan yang baik dilaksanakan juga dengan niat dan maksud yang baik dengan pemikiran yang bertanggung jawab dan mampu dalam memenuhi berbagai hal dalam berumah tangga, perkawinan juga merupakan masalah yang sangat esensial bagi kehidupan manusia.

Menurut Ali Afandi mengatakan bahwa menurut KUH Perdata perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas pencatat sipil. Perkawinan yang dilakukan menurut tatacara sesuatu agama saja tidaklah sah. Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan sebagai ius constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai perkawinan yang sah secara imperatif pada pasal 2 berbunyi:4

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaan

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

Hukum Perkawinan Islam bagi kaum muslimin memperoleh jaminan tetap berlaku, sebagimana dapat dipahami dengan jelas dari pasal 2 ayat (1) Undang- Undang perkawinan ko. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam dan yang diisyarartkan dalam banyak pasal di dalam kedua peraturan dimaksud. Hal ini sejalan pula dengan jaminan pasal 29 UUD 1945 yang bersumber kepada sila ke Tuhanan Yang Maha Esa pada dasar falsafah negara, Pancasila.5

(13)

Undang- Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai landasan hukum masyarakat muslim di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan, kewarisan, dan juga wakaf. Setiap mereka yang beragama Islam bila ingin melakukan suatu perkawinan haruslah memenuhi ketentuan yang sudah diatur pada Undang-Undang Perkawinan dan KHI. Undang-Undang Perkawinan dan KHI merupakan produk anak bangsa yang juga menganut pengaturan yang sudah ada di Al-Qur’an dan Hadist.

Dari sejumlah nash Al-Qur’an jika akan terlihat minimal lima tujuan umum perkawinan, yakni memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang (sakinnah, mawaddah wa rahmah) tujuan reproduksi/regenerasi, pemenuhan kebutuhan biologis, menjaga kehormatan, dan ibadah.6 Tujuan ini seiring dengan tujuan perkawinan yang termaktub dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7

Beberapa asas dan prinsip perkawinan dalam bahasa sederhana adalah sebagai berikut8:

1. Asas sukarela

2. Asas Partisipasi Keluarga 3. Asas Perceraian Dipersulit

4. Asas Kematangan Calon Mempelai

6 Khiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I (Yogyakarta: Academia+Tazzafa,2004), Hal 38

7 Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974

8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan (Jakarata: Kencana, 2006), Hal 26

(14)

5. Asas Poligami Dibatasi Secara Ketat 6. Asas Memperbaiki Kaum Permpuan

Kitab-kitab fikih tidak dibicarakan usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan, bahkan kitab-kitab fikih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas maupun secara tidak langsung sebagaimana setiap kitab fikih menyebutkan kewenangan wali mujbir mengawinkan anak-anak yang masih kecil atau perawan.9

Agar tercapainya tujuan dari perkawinan tersebut maka perlulah ada peraturan yang mengatur tentang batasan usia melangsungkan perkawinan.

Pasangan yang kurang dari batas usia perkawinan diragukan terpenuhinya tujuan suatu perkawinan, karena kematangan fisik dan psikis belum tercapai. Dalam menjalin hubungan rumah tangga diperlunya sikap kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan mental. Faktor inilah yang kurang diperhatikan, terlebih pada zaman sekarang para orangtua tidak memikirkan kecakapan calon pasangan anak mereka untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Karena hal ini banyak yang akan berdampak kerugian adalah perempuan.

Islam tidak membicarakan batasan umur menikah secara konkrit umur berapa yang sudah bisa melaksanakan perkawinan. Dalam salah satu persyaratan pasangan yang akan melangsungkan perkawinan terdapat keharusan persetujuan

(15)

tidak akan timbul dari seseorang yang masih kecil. Hal ini juga mengundang arti bahwa pasangan yang diminta persetujuannya itu haruslah sudah dewasa. Hal-hal yang disebutkan di atas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa. Tentang bagaimana batas dewasa itu dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat pula berbeda karena perbedaan lingkungan budaya dan tingkat kecerdasan suatu komunitas atau disebabkan oleh faktor lainnya. Untuk menentukannya diserahkan kepada pembuat Undang- Undang di lingkungan masing-masing.10

Hukum mengenal pendewasaan atau (handlicthing), pendewasaan atau perlunakan adalah suatu upaya hukum yang digunakan untuk meniadakan keadaan minderjarigheid (minoritas), baik untuk keseluruhannya, maupun untuk hal-hal tertentu. Dengan kata lain pendewasaan adalah satu upaya hukum untuk menempatkan seorang yang belum dewasa (minderjarigheid) menjadi sama dengan orang yang telah dewasa (meerderjarigheid), baik untuk tindakan tertentu maupun untuk semua tindakan. Sehingga ia memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa.11

Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, Undang-Undang mengatur batas minimum dari calon mempelai laki-laki dan perempuan, pada calon suami berumur 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 7 disebutkan tujuan ditetapkannya batas umur adalah untuk menjaga kesehatan suami istri dan

10 Amir Syarifuddin , Op. Cit., Hal 68

11 http:///jurnalhukum.com , Diakses pada tanggal 18 April 2019, 10.30 WIB

(16)

keturunannya. Larangan menikah muda ini juga tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15. Pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat 1 berbunyi bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak

b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan bakat dan minatnya

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak

d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.12

Selanjutnya pasal 7 ayat (2) “ dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7 Undang-Undang Perkawinan ini dapat dilakukan dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”13 Dengan adanya aturan ini maka membuka peluang kepada masyarakat untuk melakukan bentuk penyelewengan berupa perkawinan dibawah umur dengan berbagai alasan. Aturan mengenai dispensasi nikah ini juga terdapat dalam pasal 13 Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975. Dari paparan tersebut pengadilan agama sangat penting andilnya karena pengadilan agama yang memiliki hak untuk menerima atau menolak permohonan dispensasi nikah apabila alasan yang diajukan tidak didukung dengan

(17)

adanya alasan yang kuat. Untuk itu, kebijaksanaan dan kehati-hatian dari pihak pengadilan sengat berperan dalam permohonan dispensasi nikah yang sesuai dengan alasan yang kuat, sehingga laju permohonan dispensasi mikah akan ditekan. Dengan demikan pula dispensasi nikah sangat penting untuk menjalankan proses aturan hukum demi kelangsungan pekawinan dibawah umur.

Di Indonesia adat dan budaya perjodohan masih umum dan terjadi di beberapa daerah. Dimana anak gadis sejak kecil telah dijodohkan oleh orang tuanya, dan segera dinikahkan sesaat setelah anak menstruasi padahal usia anak tersebut jauh dari usia minimum pernikahan yang diamantkan Undang-Undang.

Hal ini disebabkan karena permasalahan kemiskinan dan pendidikan yang saling mempengaruhi. Kemiskinan menjadi salah satu penyebab tidak dapatnya akses pendidikan dan terjadinya pengangguran.tanpa pendidikan susah mendapatkan perubahan pradigma budaya. Selanjutnya, pradigma statis menjadi salah satu sebab bertahannya budaya dan adat yang tidak prospektif yaitu perjodohan di usia dini14

Fenomena kawin muda ini tampaknya merupakan “mode” yang terulang.

Dahulu, kawin muda dianggap lumrah. Tahun berganti banyak yang menentang perkawinan diusia dini. Fenomena tersebut kembali lagi,kalau dulu orang tua ingin anaknya menikah muda dengan berbagai alasan malah kini banyak remaja sendiri yang bercita-cita kawin muda. Selain itu, beberapa remaja berpandangan menikah muda merupakan pilihan agar mereka terhindar dari melakukan perbuatan dosa, seperti hubungan seks sebelum menikah. Pada kenyataannya,

14 Khoiruddin Nasutiom, Op. Cit., hal 387

(18)

kematangan seseorang banyak juga bergantung pada perkembangan emosi, latar belakang pendidikan,sosial dan sebagainya15

Belakangan ini sering sekali terjadinya kasus perkawinan anak dibawah umur. Beberapa kasus sempat menjadi viral di media. Perkawinan anak dibawah umur sejatinya sudah banyak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Perkawinan anak itu merata hampir di semua provinsi. Sebanyak 23 Provinsi dari 34 Provinsi memiliki prevalansi pernikahan anak lebih tinggi dari prevelansi nasional. Prevelansi pernikahan anak tertinggi ada di Kalimantan Selatan, yaitu sebanyak 4 dari 10 perempuan dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta 1 dari 10 perempuan.16

Mahkamah Konstitusi17 pernah menggelar sidang gugatan judicial review tentang batasan usia menikah. Saat ini, MK juga menerima gugatan yang sama.

Gugatan pemohon terkait Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan gugatan karena menilai batas usia minimal perempuan menikah dalam UU Perkawinan rentan terhadap kesehatan reproduksi dan tingkat kemiskinan, YKP berpandangan organ reproduksi perempuan usia tersebut belum siap. Hal itu lalu dikaitkan dengan angka kematian melahirkan yang sangat tinggi. YKP menjadikan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, yaitu “setiap anak berhak atas kelangsuungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(19)

Majelis Hakim MK menolak gugatan tersebut. Majelis beralasan penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang, sehingga batasan umur tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang.18

Perkawinan anak dibawah umur kerap terjadi juga di Kota Binjai, dari data yang ada di Pengadilan Agama Binjai ada empat kasus yang diajukan selama tahun 2018. Pada KUA di Binjai memberi keterangan ketika orangtua beserta anaknya yang datang ke KUA untuk minta dinikahkan tetapi KUA menolak untuk menikahinya dan memberi solusi dengan meminta izin ke Pengadilan Agama.

Setelah diberikan solusi oleh KUA masyarakat tersebut tidak kembali lagi ke kantor KUA, ada indikasi bahwa pernikahan tersebut dinikahkan dengan pernikahan sirri.19

Berdasarkan yang sudah dipaparkan diatas maka sangat menarik untuk mengkaji tentang perkawinan dibawah umur dengan mengambil judul

“DISPENSASI PENGADILAN AGAMA DALAM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA BINJAI PADA TAHUN 2018)”

18 https://m.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/05/04/p87lbd396-persoalan-hukum- perkawinan-di-bawah-umur , Diakses Pada Tanggal 25 Desember 2018, 22.55 WIB

19 Dede Hafirman Said, Problematika Pelaksanaan Perkawinan Di Bawah Umur Di Kantor Urusan Agama Se-Kecamatan Kota Binjai (Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam), (Medan, UINSU, 2017), Hal 113

(20)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, berbagai persoalan yang timbul atau yang muncul, dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tentang dispensasi nikah menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974?

2. Bagaimana mekanisme dalam mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Aga

3. ma Binjai?

4. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Binjai?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mengurai keinginan peneliti untuk memperoleh jawaban atas permasalahan penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang dispensasi nikah menurut pengaturan Undang- Undang Perkawinan dan KHI

2. Untuk mengetahui mekanisme dalam mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Binjai

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan dispensasi

(21)

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu Hukum khususnya hukum perdata tentang perkawinan khususnya mengenai dasar-dasar pertimbangan majelis hakim dalam memberikan dispensasi kawin, juga akibat hukum dari dikabulkannya permohonan ijin perkawinan bagi anak dibawah umur. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa, dosen atas pembaca yang tertarik tentang dispensasi perkawinan juga menambah referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya 2. Secara Praktis

Diajukan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas bagi penulis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum perdata dan juga menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca atau masyarakat umum mengenai ketentuan dan syarat- syarat yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan juga lebih mengetahui bagaimana proses pengajuan dispensasi perkawinan pada pengadilan agama dan pertimbangan hakim dalam memberi izin melangsungkan perkawinan bagi anak dibawah umur. Diharapakan hasil penulisan ini dapat juga menjadi masukkan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah skripsi dan pedoman atau acuan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang ingin membahas mengenai perkawinan. Mengembangkan juga penalaran, membentuk pola pikir sistematis sekaligus untuk mengetahui kemampuan dalam menerapkan ilmu yang diperoleh

(22)

E. Tinjauan Pustaka

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur didalam agama Islam maupun syarat-syarat yang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Perkawinan yang diatur dalam ajaran agama Islam tentu akan berbeda ialah adanya batasan umur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 bagi kedua calon pasangan suami isteri yang akan melakukan perkawinan.ini sangat berbeda dengan anjuran agama Islam., apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan telah mampu kawin maka hendaklah menyegerakan perkawinanan. Mampu yang dianjurkan oleh Islam tentunya ialah mampu secara lahir dan batin.

Dengan adanya batasn umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yakni tertera dalam pasal 7 ayat (1), maka tidak semua umur dapat melakukan perkawinan. Tetapi didalam Kompilasi Hukum Islam terdapat beberapa ketentuan yang menjadikan alasan untuk mengajukan dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. Alasan-alasan inilah yang nanti akan mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memutuskan perizinan dispensasi kawin tersebut.

Dispensasi kawin adalah untuk perkawinan yang calon mempelai laki-laki

(23)

F. Metode Penulisan

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hali ini disebabkan,oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metedologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah20

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dapat digolongkan dalam yuridis normatif . Penelitian hukum dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder yang mencakup

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum21 2. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini, menggunakan penelitian yang bersifat deskritif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya22 3. Sumber Data

20Soekanto Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Hal 1

21 Ibid, hal 14

22 Ibid, hal 10

(24)

Sumber data penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh, sesuai dengan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan sumber data sekunder menggunakan bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku- buku,laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu:

1) Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan-bahan hukum yang utama dan terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

c) Kompilasi Hukum Islam

d) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama e) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 2) Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu memahami dan menganalisis bahan hukum primer yang terdiri dari :

a) Buku-buku ilmiah di bidang hukum b) Makalah

3) Bahan Hukum Tersier

4) Merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan informasi tentang

(25)

a) Surat kabar b) Internet

c) Penelitian ini juga didukung dengan melakukan wawancara 4. Alat Pengumpulan Data

a. Dengan studi dokumen

Seperti buku-buku ilmiah di bidang hukum, Undang-undang menyangkut penelitian, internet, dan lain-lain.

b. Dengan wawancara

Penelitian ini juga melakukan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Binjai dan Panitera Muda Pengadilan Agama Binjai

5. Analisa data

Untuk menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan metode analisa normatif, merupakan cara menginterprestasikan dan mendiskusikan bahan penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan, norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevn (legal fact) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution)terhadap permasalahannya.23

23 Ibid, hal 21

(26)

G. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan penulis “ Dispensasi Pengadilan Agama Dalam Perkawinan Anak Dibawah Umur (Studi Kasus Pengadilan Agama Binjai Pada Tahun 2018)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

Topik permasalahan ini sengaja dipilih berdasarkan hasil pemikiran sendiri, Skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, substansi pembahasannya berbeda. Dalam skripsi ini, menguraikan pembahasannya kearah bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan dispensasi perkawinan padahal dalam hukum perdata, perkawinan termasuk sebuah perjanjian atau ikatan. Dalam hukum perdata yang dapat melakukan perjanjian salah satu adalah orang yg cakap hukum atau dewasa.

H. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

(27)

Pada bab ini akan membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan,Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II: PENGATURAN TENTANG PERKAWINAN MENURUT

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974

Pada bab ini membahas tentang pengertian perkawinan menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, prinsip dan rukun perkawinan, perkawinan yang diharamkan, asas-asas perkawinan yang berujuk dalam Undang-Undang Perkawinan,dan hak dan kewajiban dalam perkawinan

BAB III : MEKANISME DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN

DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN AGAMA BINJAI

Dalam bab ini membahas tentang Kewenangan Pengadilan Agama, faktor- faktor terjadinya perkawinan dibawah umur, dan proses/prosedur dispensasi nikah di Pengadilan Agama Binjai.

BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN AGAMA BINJAI Pada bab ini membahas tentang pertimbangan hakim pada izin kawin yang diajukan, dasar hukum dari putusan hakim dan juga akibat dari perkawinan anak dibawah umur.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(28)

Pada bab ini penulis menyimpulkan dari kajian dan analisis yang dilakukan dan memberikan saran tentang masalah yg diangkat pada skripsi ini.

(29)

BAB II

PENGATURAN TENTANG DISPENSASI NIKAH MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al- dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wath’ wa al-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fikih mendefinikasikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.24

Banyak sekali ulama- ulama fikih memberikan pengertian tentang perkawinan. Beberapa pendapat dari ulama fikih salah satunya adalah Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al- syakhsiyyah, mendefinisikan bahwa nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.25

Di Indonesia yang mengakui adanya lima agama, masing-masing agama memiliki pengertian dan pengaturan tersendiri mengenai perkawinan. Dalam halnya melakukan suatu perkawinan maka haruslah melakukan dengan ketentuan agama yang dianut oleh calon mempelai. Pada mereka yang beragama Islam

24Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Krisis Perkembangan Islam dari Fikih UU No 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), Hal 38

25 Ibid, Hal 39

(30)

pastilah mengikuti ketentuan agama Islam. Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Perkawinan untuk mengatur segala sesuatu yang bersangkutan tentang perkawinan.

Substansi yang terkandung dalam syariat perkawinan adalah mentaati perintah Allah serta As-Sunnah Rasul-Nya yaitu menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak turunan, kerabat, maupun masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya bersifat kebutuhan internal yang bersangkutan, tetapi mempunyai kaitan eksternal yang ,elibatkan banyak pihak. Sebagai suatu perikatan yang kokoh (mitsagan galidzan), perkawinan dituntut untuk menghasilkan suatu kemaslahatan yang kompleks, bukan sekedar penyaluran kebutuhan biologis semata. Pengertian yang dikemukakan mutaakhirin selaras dengan pengertian yang tersirat di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalambentuk perzinahan. Menurut Sajuti Thalib:

“Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

(31)

membentuk keluaraga kekal, santun menyantuni,kasih mengasihi tentram dan bahagia”26

Terdapat suatu definisi yang cukup maju dari pendapat-pendapat klasik yaitu menurut Tahir Mahmood yang mendefinisikan:

“Perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi”27

1. Pengertian Perkawinan Menurut UU No 1 tahun 1974

Sumber pokok dari segala peraturan perundang-undangan Negara RI adalah pancasila dan UUD tahun 1945. Salah satu sila dari Pancasila dan menempati sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini tercantum juga dalam UUD tahun 1945. Salah satu pasal dari UUD tahun 1945 itu menetapkan jaminan negara terhadap pelaksanan ajaran agama masing-masing, di mana yang terbesar di antaranya adalah Islam. Dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa UU lebih bersifat agamais dan di antara ajaran agama yang diserap dalam UU itu, agama Islam lebih dominan. Hukum perkawinan yang berlaku secara positif di RI sebelum keluarnya UU No. 1 Tahun 1974 yang dengan sendirinya menjadi sumber bagi UU Perkawinan yang dijelaskan dalam penjelasan UU ini, hukum Agama, dalam hal ini adalah hukum perkawinan Islam fiqh Munakahat,

26 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986) Hal 45

27 Ibid, Hal 42

(32)

yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam dan warga timur asing yang beragama Islam.28

Pada Undang- Undang Perkawinan ini diatur tentang pengertian perkawinan yang tertuang pada Pasal 1 :

“ Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”29

Pada pengertian perkawinan di UU Nomor 1 Tahun 1974 memiliki beberapa presektif yaitu Pertama, pencatuman berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai sini tegas dinayatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/ rohani.30 Kedua, perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam definisi ini dieksplisitkan dengan kata-kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketiga, dalam UU No 1 tahun 1974 dieksplisitkan

(33)

dengan kata bahagia yang dimaksudkan agar setiap manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian dalam UU No 1 tahun 1974, perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal tapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga. Keempat, terkesan dalam Undang-Undang No 1 Tahun1974 perkawinan itu hanya terjadi sekali dalam hidup. Ini terlihat dalam penggunaan kata kekal. Pencatuman kata kekal sebenarnya tanpa disadari menegaskan bahwa pintu untuk terjadinya perceraian telah tertutup. Wajar saja bila salah satu prinsip perkawinan itu adalah mempersulit perceraian. Sedangkan dalam Islam kata kekal terlebih lagi dalam konteks hubungan sosial, seperti perkawinan tidaklah dikenal. Kendatipun bahwa perceraian adalah perbuatan halal yang dibenci Allah, tetapi tidak berarti menutupnya. Tetap terbuka peluang untuk bercerai selama didukung oleh alasan- alasan yang dibenarkan oleh syari’at.31

2. Pengertian Perkawinan Menurut KHI

Dari proses penyusunan KHI dari awal sampai akhir dengan segala tahapnya dapat diketahui bahwa yang menjadi sumber rujukan bagi penyusun KHI yaitu Hukum Perundang-Undangan berkenaan dengan perkawinan, kitab-kitab fiqh dari berbagai mazhab, meskipun yang terbanyak adalah dari mazhab Syafi’i. Dari daftar kitab fiqh yang ditelaah untuk perumusan KHI itu kelihatannya kitab-kitab tersebut berasal dari mazhab Syafi’iy, Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Zhahiri32

31 Ibid 47

32 Amir Syarifuddin, Op.Cit., Hal 24

(34)

Selanjutnya melihat dari perspektif KHI mengenai pengertian perkawinan.

Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai oleh umat Islam. Menurut Yahya Harahap, KHI itu diharapkan :33

a. Melengkapi pilar Peradilan Agama b. Menyamakan persepsi penerapan hukum c. Mempercepat proses taqrib bainal ummah d. Menyingkirkan paham private affair.

Pada Kompilasi Hukum Islam ini diatur tentang pengertian perkawinan yang tertuang pada Pasal 2:

“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”34

Kata miitsaqan ghalidhan ini dapat kita ditarik dari firman Allah SWT. Yang terdapat pada surah an-Nisa ayat 21 yang artinya:

“Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-suamimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsaqan ghalidhan)”

Selain itu, dari definisi yang terdapat dalam KHI bahwa sepertinya ada sebuah kesepakatan yang dilihat perkawinan sebagai sebuah akad. Akad atau kontrak yang dikandung oleh UU No 1 Tahun 1974 dan KHI sebenarnya merupakan pengertian yang dikehendaki oleh undang-undang. Sering disebut bahwa perkawinan adalah, “marriege in Islam is purely civil contract”

(35)

(perkawinan merupakan perjanjian semata-mata). Secara sederhana akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dengan kata- kata, atau sesuatu yang disebut dengan perikatan yang dalam bahasa fikih disebut dengan akad. Penegasan perkawinan sebagai sebuah akad/perikatan ini sangat penting karena menyangkut relasi hubungan suami dan istri yang setara sebagai dua subjek hukum yang berdiri dalam posisi yang sama. Sering kali di dalam masyarakat baik yang menganut kekerabatan bilateral, matrilinear terlebih lagi patrilinear, perkawinan tetap dipahami sebagai hubungan antara subjek dan objek

“atas” dan “bawah”, penguasa dengan yang dikuasai. Sering kali suami ditempatkan pada posisi yang berkuasa dan istri sebagai pihak yang dikuasai.35

Dilihat dari KUH Perdata sangat bertentangan dengan Hukum Perkawinan Islam bahwa Hukum Perkawinan Islam memandang perkawinan suruhan agama. Suruhan Tuhan dan RasulNya. KUH Perdata menetapkan perkawinan sekedar dari sudut perdata saja. Jadi menolak campur tangan agama.

Didalam sistem KUH Perdata dianut pendapat, bahwa orang tidak perlu menghiraukan sebab musabab dilakukannya perkawinan, juga tidak memperdulikan nilai-nilai susila dalam perkawinan itu, Undang-undang hanya melihat kepada “uitlijke gedragingen” (perbuatan zahir) belaka.36

35 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, Hal 48

36 Jafizham, Op.Cit., Hal 136

(36)

3. Tujuan Perkawinan

Pada pengertian perkawinan di UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari rumusan tersebut dapat dimengerti juga tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.

Selain itu, tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir dan jasmani,tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting. Tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila.37 Bila kita lihat pengertian perkawinan pada KHI pasal 3 dikatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila diartikan dalam bahasa Indonesia pengertian dari sakinah adalah tenang, mawaddah adalah cinta, dan rahmah adalah kasing sayang. Dalam tujuan perkawinan haruslah tercipta keluarga yang saling menyayangi satu dengan yang lainnya saling rukun dan tenang dalam segala permasalahan yang dihadapi. Dalam prinsip mawaddah wa rahmaah didasarkan pada firman Allah QS.ar-Rum: 21. Mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Jika binantang

(37)

dimaksudkan untuk berkembang biak. Sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah di samping tujuan yang bersifat biologis38

Tujuan perkawinan menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini.39 Memelihara Nasab merupakan mata rantai alam hubungan keluarga dari kakek yang dikenal kepada bapak yang dikenal, bahkan sampai kepada anak cucu serta keturunan yang dikenal.

Keturunan yang bersih yang jelas ayah kakek dan sebagai hanya diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya,yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga jadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan. Karena agama Islam mengharamkan zina, tidak mesyariatkan poliandri, menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak diluar perkawinan, yang tidak jelas asal-usulnya40

Tujuan perkawinan untuk mencegah maksiyat, terjadinya perzinaan atau pelacuran, sebagaimana Nabi berseru kepada generasi muda, berdasarkan jama’ah ahli hadis: “Hai para pemuda, jika diantara kamu mampu berkeinginan untuk kawin, hendaklah kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu memejamkan

38 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., Hal 52

39 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit, Hal 26

40 Kamal Muchtar, Azas-Azas Hukum Islam tentang Perkawinan,(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Hal 14-15

(38)

mata terhadap orang yang tidak halal dipandang, dan akan memeliharanya dari golongan syahwat. Jika tidak mampu untuk kawin hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsu terhadap wanita akan berkurang”41

Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya sunnah (dianjurkan),tetapi jika takut terjerumus ke lembah perzinaan dan mampu untuk kawin maka hukumnya wajib (dimustikan), dan perkawinan itu haram (dilarang) jika dengan ssengaja tidak memberi nafkah kepada isteri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.42

Menurut Soemijati disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari'ah.43

Rumusan tujuan perkawinan diperinci sebagai berikut:

a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan

b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih

(39)

c. Memperoleh keturunan yang sah.44

Dari tujuan perkawinan terdapat azas equilibrium antara temporal dan kerohanian. Dan ini memang sesuai dengan falsafah Pancasila serta nilai murni kepribadian bangsa Indonesia serta memenuhi hikmah yang terkandung dalam pengertian rumah tangga Islam. Kalau kita bandingkan azas ini dengan tujuan perkawinan dengan negara-negara yang sudah maju, azas tujuan yang terkandung pada prinsip ini jauh lebih tinggi nilai falsafahnya dengan apa yang kita jumpai pada negara-negara maju tersebut. Memang negara-negara yang sudah super modern seperti Amerika pun masih berpendapat bahwa keluarga itu adalah landasan struktur sosial (The family is the basis of our social structure) . dan karena famili dianggap sebagai basis social structure, maka pemerintah harus ikut mengatur ketentuan-ketentuan perkawinan. Sehingga legalitas suatu perkawinan ditentukan oleh hukum Negara.45

B. Prinsip-Prinsip Perkawinan Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI

Ada beberapa prinsip perkawinan yang terkandung dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI. Prinsip-prinsip pada Undang-undang No 1 Tahun 1974 menurut Yahya Harahap yaitu:46

44 Ibid

45 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975) Hal,7

46 Ibid hal 8-10

(40)

1. Undang-undang perkawinan menampung segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing anggota masyarakat yang bersangkutan

2. Pada prinsip hukum perkawinan telah disesuaikan dengan ketentuan perkembangan zaman. Melihat dari perkembangan sosial ekonomis dan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial disegala lapangan hidupdan pemikiran

3. Dengan tujuan perkawinan membentuk keluarga bahagia yang kekal, ini memang sesuai dengan dasar falsafah pancasila serta nilai murni kepribadian bangsa Indonesia serta memenuhi hikmah yang terkandung dalam rumah tangga islam. Bagi generasi yang akan datang haruslah dapat memahami makna rumah tangga yang sejahtera spritual dan materil, memang sepintas pola itu ada tergambar dalam undang-undang misalnya kedudukan dan hak yang sama antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat serta memikul tanggung jawab dan kewajiban suami yang berkedudukan sebagai kepala rumah tangga.

4. Adapun prinsip yang juga menjadi azas undang-undang yang mencakup a. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan

kepercayaan masing-masing

b. Menganut prinsip agar setiap perkawinan merupakan tindakan yang harus memenuhi administratif pemerintah dengan pencatatan yang ditentukan oleh undang-undang

(41)

5. Undang-undang perkawinan menganut azas monogami bahwa tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan, tetapi melalui persyaratan-persyaratan yang diatur dalam undang-undang.

6. Prinsip berikutnya bahwa dalam membentuk keluarga haruslah dilakukan oleh pribadi yang telah matang jiwa dan raganya. Prinsip ini bertujuan untuk:

a. Menghapuskan kebiasaan perkawinan anak-anak atau perkawinan dalam usia yang sangat muda yang belum matang untuk memegang tanggung jawab sebagai suami istri, hal ini dapat menambah beban orangtua karena tidak mampu untuk berdiri sendiri

b. Untuk menjaga laju populasi yang menjadi masalah nasional, karena menikah muda akan lebih memungkinkan mempunyai keturunan yang lebih banyak

c. Memperkecil jumlah perceraian

7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Dapat diartikan:

a. Dalam kehidupan rumah tangga suami istri sederajat, dan segala dirundingkan bersama

b. Istri berhak mencapai kedudukan sosial diluar lingkungan rumah tangga dan suami tak dapat melarang hal tersebut.

(42)

Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam menurut Musdah Mulia menjelaskan prinsip perkawinan.47

1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh

prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa arab yang menetapkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya oleh sebab itu, kebebasan memlih jodoh adalah hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak betentangan dengan syari'at Islam

2. Prinsip mawaddah wa rahmah

didalam pengertian perkawinan menurut KHI dijelaskan bahwa tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram cinta dan kasih sayang)

3. Prinsip saling melengkapi dan melindungi

didasarkan pada firman Allah SWT, yang terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 187 yang menjelaskan isteri-isteri adalah pakaian sebagaimana layaknya dan laki-laki juga sebagai pakaian bagi wanita. Perkawinan laki- laki dan perempuan dimaksudkan untuk saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.

(43)

4. Prinsip mu'asarah bi al-ma'ruf

Prinsip ini disarkan pada firman Allah SWT.yang terdapat pada surah an- Nisa' ayat 19 yang memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang ma'ruf. Di dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada wanita.

Bila dilihat beberapa prinsip dari UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

Adapun asas-asas hukum perkawinan nasional, yaitu:48

1. Asas Perkawinan Kekal

Perkawinan hendaknya seumur hidup. Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera

2. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya Perkawinan hanya sah bila dilamana dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya

3. Asas Perkawinan Terdaftar

Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing akan dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

4. Asas Perkawinan Monogami

48 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Depok:

Rajawali Pers, 2007) Hal, 51-54

(44)

Bahwa pada asas dalam waktu yang bersamaan seorang suami atau istri dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain.

5. Perkawinan Didasarkan Pada Kesukarelaan atau Kebebasan Berkendak (Tanpa Paksaan)

Perkawinan harus didasarkan pada kesukarelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami-istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi 6. Keseimbangan Hak dan kedudukan Suami Istri

Hak dan kedudukan suami-istri dalam kehidupan ruumah tangga maupun masyarakat adalah seimbang.

7. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri

Tidak membolehkan adanya perkawinan poliandri, dimana seorang wanita hanya memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan

8. Asas Mempersukar Terjadinya Perceraian

Untuk memungkinkan perceraian maka harus ada alasan-alasan tertentu di depan persidangan.

C. Rukun dan Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Sebelum perkawinan dikatakan sah oleh agama dan diakui oleh negara, ada beberapa rukun yang tertulis di KHI dan syarat materil dan formil yang diatur juga pada UU No. 1 Tahun 1974. Pada dasarnya perbuatan hukum dalam hukum Islam haruslah berdasarkan rukun dan syarat yang dipenuhi. Dalam hukum Islam bila tidak memenuhi rukun berarti suatu perkawinan dapat dikatakan batal demi hukum, jika suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat yang sudah diatur

(45)

pengertian yang sangat segnifikan. Secara istilah batal demi hukum mengandung pengertian bahwa akibat-akibat dari keputusan dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan seperti semula sebelum adanya keputusan. Sedangkan dapat dibatalkan mengandung arti bahwa akibat-akibat yang timbul dari suatu keputusan tetap sah sebelum diadakan pembatalan.

1. Rukun Perkawinan Pada KHI

Dalam KHI pada pasal 14 menjelaskan rukun perkawinan yaitu

a. Calon suami b. Calon isteri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab dan kabul

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun memiliki syarat-syarat dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut49

1) Calon suami, syarat-syaratnya a) Beragama Islam

b) Laki-laki c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan

49 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan,Op. Cit., hal 62

(46)

e) Tidak terdapat halangan perkawinan

Artinya kedua calon penganting adalah orang yang bukan haram dinikahi baik karena haram untuk sementara maupun untuk selama- lamanya. Seperti yang telah dijelaskan dalam al- Qur’an surat an-Nisa’

23 Artinya:

“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan , saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki- laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu- ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara sesusuan, ibu-ibu isterimu (mertua) anak-anak iterimu yang ada dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum menyampuri isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, ( dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang”50

Dari ayat tersebut kita dapat memilih bahwa pada ayat tersebut terbagi menjadi tiga hal:

(1) Karena ada hubungan nasab (larangan ini untuk selama-lamanya) (2) Larangan perkawinan karena ada hubungan musharah (perkawinan) (3) Larangan perkawinan karena persusuan

2) Calon istri, syarat-syaratnya:

a) Beragama Islam b) Perempuan

(47)

d) Dapat dimintai persetujuannya e) Tidak dalam iddah

f) Bukan dalam ihram haji atau umrah g) Tidak terdapat halangan perkawinan 3) Wali nikah, syarat-syaratnya:

a) Laki-laki b) Dewasa

c) Mempunyai hak perwalian

d) Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan e) Tidak terdapat halangan perwaliannya f) Tidak cacat pikiran

4) Saksi Nikah, syarat-syarattnya:

a) Minimal dua orang laki-laki b) Hadir dalam ijab dan qabul c) Dapat mengerti maksud akad d) Islam

e) Dewasa

f) Memahami kandungan lafal ijab dan qabul g) Dapat melihat, mendengar, dan bercakap h) Adil

(48)

Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu, atau yang sedang mabuk, maka perkawinan tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak ada.51

Bagi orang yang buta, tuli atau bisu bisa menjadi saksi asalkan mereka benar- benar mampu mengenali dan membedakan suara-suara pelaku-pelaku akad, secara yakin dan pasti52. Adanya dua orang saksi yang adil, golongan syafi’i mengatakan apabila perkawinan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil tidaknya, maka hukum tetap sah. Karena pernikahan ini terjadi di berbagai tempat, di kampung- kampung daerah-daerah terpencil maupun di kota, bagaimana kita dapat mengetahui orang adil tidaknya, jika diharuskan mengetahui terlebih dahulu tentang adil tidaknya, hal ini akan menyusahkan.oleh karena itu adil dapat dilihat dari segi lahiriahnya saja pada saat itu sehingga ia tidak terlihat fasik. Maka apabila di kemudian hari terjadi sifat faiknya setelah terjadinya akad nikah maka akad nikah yang terjadi tidak terpengaruh oleh kefasikan saksi. Dalam arti perkawinannya tetap dianggap sah. Karena dalam kesaksian ini sangat banyak kegunaannya, apabila di kemudian hari ada persengketaan antara suami isteri maka saksi ini bisa dimintai keterangannya atau penjelasannya, karena perbedaan sebuah pernikahan dengan yang lain diantaranya.53

5) Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

(49)

c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

d) Antara ijab dan qabul bersambungan e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah

g) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai wanita dan dua orang saksi.54

Antara ijab dan qabul diisyaratkan terjadi dalam satu majlis, tidak disela dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan. Tetapi tidak diisyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul,baru setelah itu menyatakan qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah.55

Obyek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian,tetapi yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan timbal balik antara suami istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi

54 Amiur Nuruddin,Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., hal 63

55 Hamid Sarong, Op. Cit., Hal 52

(50)

oleh calon suami, atau dengan kata lain, tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon suami dan istri56.

Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga karena ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala. Karena itu ada pertimbangan yang tegak untuk menunjukan kemauan mengadakan ikatan bersuami isteri. Perlambangan ini diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang melaksanakan akad. Pengucapan dalam ijab mengandung menyerahkan dari pihak wali si perempuan, dan qabul yang mengandung penerimaan dari pihak wali calon suami.

Pelaksanaan akad nikah atau ijab qabul merupakan penyerahan yang dilakukan oleh wali nikah calon mempelai perempuan kepada calon mempelai pria dengan sejumlah persyaratan, yang kemudian diterima oleh calon mempelai laki-laki (ijab qabul). Namun, pelaksanaan akad nikah dimaksud, diatur oleh pasal 10 PP No tahun 1975. Pengaturan ini berbunyi: “perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Tata cara pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaannya, dan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Hukum Islam memberikan ketentuan dan syarat-syarat ijab qabul.”57

(51)

Pada KHI dijelaskan tentang wali nikah, adapun wali pihak perempuan yang dikemukakan beberapa hal yang menyangkut dengan wajib tidaknya mempunyai wali ataupun mengenai macam wali, menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa perempuan yang kawin wajib pakai wali dan wali itu merupakan syarat bagi sahnya perkawinan itu. Menurut pendapat Imam Abu Hanafiah dan Hazairin, wali bagi perempuan dalam perkawinan dipandang dari segi hukum, memang tidak menjadi syarat sahnya pengikatan diri untuk perkawinan bagi seorang wanita yang telah dewasa. Demikian adalah baiknya wanita itu memakai wali dalam melakukan ijab dan kabul.58

Pada pasal 20 ayat (2) dikatakan wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab b. Wali hakim

Menurut ajaran patrilinial, hanya pengantin perempuan saja yang memerlukan wali al-nikaah. Wali al-nikaah adalah seorang laki-laki dan terdiri dari bermacam- macam yaitu:

a. Wali nasab

Nasab artinya bangsa. Menurut ajaran patrilinial, nasab juga diartikan keluarga dalam hubungan garis keturunan patrilinial atau hubungan darah patrilinial. Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon pengantin perempuan itu. Termasuk kedalamnya pertama kelompok

58 Sajuti Thalib Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974) Hal 67

(52)

kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya, kedua kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka, ketiga kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka, keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Wali nasab ini terbagi atas dua pula. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan mesti kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali nasab yang mujbir dipendekkan dengan sebutan wali mujbir. Wali mujbir terdiri dari bapa, datuk yaitu bapa dari bapa dan bapanya lagi seterusnya ke atas.

Mujbir artinya orang yang memaksa. Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki- laki kandung atau sebapa, paman yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapa dari bapa dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial.

b. Wali hakim

Wali hakim ialah penguasa wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. Dalam hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seseorang calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan wali hakim

(53)

baik melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung prosedur yang dapat ditempuh.

c. Hakam

Dapat bertindak sebagai wali, seseorang yang masih masuk keluarga si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai hubungan darah patrilinial dengan perempuan tersebut tetapi dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali perkawinan.

d. Muhakam

Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan tadi dan bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan.59

Pada pasal 30 sampai pasal 38 KHI membahas tentang mahar sebagai syarat sahnya perkawinan. Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dijabarkan oleh seseorang pengantin laki- laki kepada pengantin perempuan. Hukum pemebrian mahar adalah wajib. Dan benda atau uang pemberian itu adalah menjadi milik perempuan itu. Demikian bila dikehendaki oleh perempuan itu sendiri dan timbulnya kehendak atau inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah si suami sekedar ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang diberikannya yang telah menjadi milik si istri itu.60 Kata mahar yang telah menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-mahr, jamaknya al-muhur atau al-muhuruh. Kata yang semakna dengan mahar adalah al-shadaq,

59 Ibid, hal 68-69

60 Ibid, hal, 72

(54)

nihlah, faridhah, ajr, ‘uqr, ‘ala’iq, thaul dan nikah. Kata-kata ini di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau mas kawin.61

Di dalam surah an-Nisa’ : 4 Allah SWT. Berfirman:

“Berikanlah mas kawin (shaduq, nihlah) sebagai pemberian yang wajib.

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian mas kawin itu dengan senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemeberian itu dengan sedap dan nikmat.”62

Dilihat dari ayat tersebut bahwa ditetapkan mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan Ijmak. Meskipun mahar dikatakan wajib dalam penentuannya harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya harga mahar tidak boleh memberatkan calon mempelai pria dan tidak pula mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa disepelekan.

Syari’at mahar di dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam yaitu:63

1. Untuk menghalalkan hubungan wanita, karena keduanya saling membutuhkan

2. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian

3. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin perkawinan di bawah umur dengan alasan anak tersebut sudah hamil terlebih

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin perkawinan di bawah umur dengan alasan anak tersebut sudah hamil terlebih

Efektifitas Pembatasan Umur dalam pelaksanaan Perkawinan yang diatur dalam UU No.1 tahun 1974 dengan kondisi masyarakat Indonesia khususnya di Kabupaten Indramayu.. 6

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, apabila terjadi kasus perkawinan poligami yang

Perubahan ketentuan mengenai batas usia perkawinan yang semula pada pasal 7 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menerangkan bahwa batasan usia perkawinan

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin perkawinan di bawah umur dengan alasan anak tersebut sudah hamil terlebih

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin perkawinan di bawah umur dengan alasan anak tersebut sudah hamil terlebih

Usia untuk melakukan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dalam Pasal 7 ayat 1, diatur