• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH

D. Rumusan CTL dalam Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah

Merumuskan model pembelajaran CTL dalam pembelajaran bahasa Arab di madrasah memang bukan perkara sederhana. Karena bahasa Arab bukanlah bahasa yang dianggap siswa sebagai bahasa yang dibutuhkan dalam

110

kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu, dengan waktu yang sangat sedikit yang diberikan untuk mata pelajaran bahasa Arab dan kurangnya kesadaran seluruh civitas sekolah terhadap mata pelajaran bahasa Arab menjadi kurang tersosialisasikan pada siswa-siswa di sekolah. Itu sebabnya penulis menggunakan metode pengajaran bahasa yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dengan berasumsi bahwa ada beberapa hal yang harus diterapkan dalam konsep CTL untuk pengajaran bahasa Arab.

Asumsi ini didasarkan pada lima teknik yang dirumuskan COR (Center for Occupational Research) di Amerika, yakni Relating, Experiencing, Applying, Coorperating dan Transferring.111 Merealisasikan bahasa dalam konteks kehidupan nyata, dihubungkan dengan situasi sehari-hari, dengan melatih siswa berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Seluruh proses belajar menjadi bermakna karena diciptakan rasa “butuh” dan “perlu” berbahasa Arab dalam setiap komunikasi menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Arab, merupakan pembelajaran bermakna.112

Dengan demikian, merumuskan CTL dalam pembelajaran bahasa Arab di madrasah adalah mengadaptasi semua metode pengajaran bahasa, menghubungkan satu metode dengan metode lainnya, mengintegrasikan pengajaran bahasa ini dengan pelajaran lainnya. Misalnya membuat kaidah-kaidah bahasa dengan paradigma bahasa ibu (bahasa Indonesia), menghubungkan peran kaidah dan bahasa ini dengan teks-teks dalam al-Quran

111

Lih. Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, (Jakarta, Bumi Aksara, 2007), h. 42

112

Dalam belajar bermakna sesuatu yang dipelajari adalah makna, makna dapat terjadi karena ada hubungan antara sesuatu fakta atau pengetahuan dengan fakta atau pengetahuan nyata, juga terdapat hubungan antara sesuatu pengetahuan dengan penggunaannya dalam realitas kehidupan, lih., R. Ibrahim dan Nana Syaodih S., Perencanaan Pengajaran, (Jakarta, Rineka Cipta, 2003), h. 39

lalu mengkaitkannya dengan fenomena alam, pluralisme, toleransi dan multikulturalisme.

Jack C. Richard mengidentifikasi The Context of Language Teaching113

sebagai berikut;

1. Dengan menghubungkan foreign language (bahasa asing) dengan bahasa setempat. Menginteraksikan bahasa asing dengan bahasa setempat mengakselerasi pembelajaran karena pembelajaran dibuat membumi dan tidak mengawang-awang.

2. Menerapkan konsep speech acts and second-language learning; yakni melatih berbicara dengan menunjukkan perbedaan atau karakter bahasa kedua dibanding bahasa setempat

3. Menjelaskan fungsi mempelajari bahasa asing tersebut, pentingnya mempelajari bahasa tersebut dan menghubungkan dengan masing-masing kelebihan bahasa tersebut

4. Menerangkan culture (sosial dan masyarakat) dari bahasa asing tersebut dan memperbandingkannya dengan culture (sosial dan masyarakat) setempat

5. Menekankan interactive language teaching

Dari kelima langkah tersebut sejalan dengan rumusan CTL yang akan berjalan baik jika para siswa dapat menemukan makna dalam pengetahuan yang mereka peroleh dan pemerolehan pengetahuan tersebut dapat dikaitkan dengan situasi atau lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan

113

Jack C. Richards, The Context of Language Teaching, (Cambridge, Cambridge University Press, 1989), cet. III, hal. v (contents)

yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Konsep tersebut supaya hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna untuk peserta didik. Dengan ungkapan lain bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik bukan hanya sekedar mengetahui pengetahuan melainkan bermanfaat untuk diri sendiri sehingga mereka merasa kecanduan untuk belajar.

Dalam hal ini, Johnson mengatakan bahwa “The CTL sistym is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context of their personal, sosial and culture circumstance114.

Dari pernyataan ini dapat ditegaskan bahwa pendekatan CTL merupakan suatu proses pendidikan yang membantu peserta didik untuk memahami makna yang terdapat dalam materi yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan situasi keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka.

Dari pengertian tersebut di atas, terdapat tiga hal yang dapat dijadikan patokan, yaitu 1) CTL menekankan pada proses pemberdayaan siswa untuk menemukan materi. Dalam artian proses belajar ditujukan pada proses pengalaman secara live. 2) CTL untuk memotivasi peserta didik dapat menemukan hubungan antar materi yang dipelajari dengan kenyataan hidup. Maksudnya adalah peserta didik dituntut untuk dapat memahami hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan sehari-hari. Dan 3) adalah CTL mendorong peserta didik untuk dapat menerapkan materi dalam kehidupan. Jika yang kedua adalah menemukan hubungan dengan kehidupan yang riil, maka ketiga ini adalah peserta didik tidak hanya diharapkan dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi pemahaman materi tersebut dapat mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik yang terdapat di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

114

Jika ditinjau dari pandangan psikologis, pendekatan CTL ini berakar dari aliran kognitif yang menyatakan bahwa terjadinya proses belajar disebabkan adanya pemahaman seseorang akan lingkungannya, yaitu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen dengan orang lain yakni melalui interaksi dengan teman sekelasnya dan dibantu dengan rangsangan guru yang berupa pertanyaan. Karena belajar bukanlah suatu fenomena mekanis yang ada hanya stimulus dan respon. Belajar tidak semudah itu, belajar yang baik adalah melibatkan proses mental peserta didik yang tidak nampak, seperti emosi, minat, motivasi, kecakapan dan pengalaman.115 Penampilan yang ada merupakan wujud dari adanya motivasi yang bertumbuh kembang dalam jiwa seseorang.

Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan CTL, Johnson merumuskan delapan komponen yang tercakup dalam sistem pendidikan, yaitu: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran mandiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi dan menggunakan penilaian autentik.

Dari kedelapan komponen tersebut, C-Star mengemukakan pendapat yang sejenis dengan Johnson dan dalam menggunakan istilah yang bahasanya tidak jauh berbeda dengan Johnson bahwa akan dinyatakan sempurna menggunakan pendekatan CTL ini, jika semua -tujuh komponen CTL- telah terpakai. Tujuh

115

Pengalaman terdapat dua macam yaitu pengalaman yang bersifat mendidik dan yang tidak bersifat mendidik. Pengalaman yang tidak bersifat mendidik, proses pembelajaran tidak membawa peserta didik ke dalam tujuan pembelajaran, tetapi menyimpang dari tujuan pembelajaran. Sebagai contoh, mendidik peserta didik untuk mencopet. Sedang pengalaman yang bersifat mendidik terdapat beberapa karakteristik, yaitu berpusat pada sebuah tujuan yang berguna untuk peserta didik atau dengan kata lain, belajar itu bermakna, kontinu dengan kehidupan peserta didik, interaktif dengan lingkungan, dan menambah integrasi peserta didik. Lebih lanjut, baca buku karangan H.C. Witherington, Teknik-teknik Belajar Mengajar, (Bandung;Jemmars, 1986), h. 75-83

komponen tersebut adalah kontruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik.

Dari ketujuh komponen tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

a. Konstruktivisme (Construktivisim)

Konstruktivisme116 adalah landasan pemikiran filosofi bahwa peserta didik dapat membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep yang siap diadopsi dan diingat. Namun peserta didik harus dapat mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna dengan melalui pengalaman nyata. Dengan ungkapan lain, bahwa dalam proses pembelajaran peserta didik bukan hanya menerima pengetahuan atau informasi, tetapi memberi makna pada peserta didik terhadap objek atau materi dan pengalamannya yang tidak dilakukan secara individual, melainkan melalui interaksi dalam cakupan sosial yang unik, yang terbentuk dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Dalam hal ini, pusat pembelajaran adalah peserta didik, bukan guru. Oleh karena itu, tugas guru di sini adalah menyediakan fasilitas, kondisi, lingkungan dan sarana supaya peserta didik dapat menciptakan sendiri pengetahuannya. Dengan kata lain, guru membantu agar proses mengkonstruksi pengetahuan peserta didik berjalan lancar.

Konstruktivisime yang merupakan proses pembelajaran menjelaskan cara menyusun pengetahuan atau informasi dalam diri peserta didik. Komponen-komponen konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas.

116

Kegiatan yang mengembangkan pemikiran seseorang bahwa pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

Proses konstruktivisme adalah mendefinisikan pembelajaran sebagai hasil usaha peserta didik. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Pikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita peserta didik berdasarkan pembinaan dari diri sendiri. Pada dasarnya peserta didik telah memiliki seperangkat ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka. Guru harus memperkirakan struktur kognitif yang terdapat dalam diri peserta didik, untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru. Setelah adanya penyesuaian dan penyerapan pengetahuan baru yang dijadikan sebagai pijakan, maka dapat membuat kerangka baru dalam bentuk pembinaan ilmu pengetahuan.

Sebagai implikasinya, dalam penilaian pun harus mencakup cara-cara penyelesaian masalah dengan berpatokan pada aturan yang berlaku. Teknik-teknik tersebut dapat berbentuk peta konsep, diagram ven, portopolio, uji kompetensi, dan ujian komprehensif.

Pengetahuan akan tumbuh berkembang jika dilandasi pengalaman. Dengan pengalaman tersebut, pemahaman akan semakin berkembang dan kuat apabila diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, hendaknya memberikan kesempatan pada peserta didik untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan rangsangan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Aktivitas dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menggabungkan tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.117 Dengan ciri-ciri pembelajarannya sebagai berikut:

1. menyediakan pengalaman belajar dengan menghubungkan pengetahuan

yang telah dimiliki peserta didik sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan;

2. menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara;

3. mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep mtk melalui kenyataan kehidupan sehari-hari;

4. mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru dan siswa-siswa;

5. memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif;

6. melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.

Contoh pembelajaran bahasa dalam bentuk konstruktivisme: Pengalaman awal : pengalaman saya pergi ke pantai

Pengalaman belajar : menulis cerita

117

Hal ini sebagaimana taksonomi Bloom yang menerangkan bahwa dalam proses pembelajaran harus dilihat dari tiga bagian. Lih Bloomfield, Language

Pengalaman baru : pengalaman pergi ke pantai dan pengalaman-pengalaman lainnya merupakan bahan yang baik untuk menulis cerita

Dari contoh tersebut, dapat dirangkai kata bahwa dalam proses belajar diawali dengan konflik kognitif yang terjadi dalam diri peserta didik yang menyebabkan peserta didik itu dapat menemukan hal baru atau kenyataan yang berbeda dengan apa yang sudah diketahuinya.

b. Menemukan (Inquiry)

Komponen menemukan ini adalah kegiatan inti dalam pembelajaran kontekstual, karena inquiri diartikan sebagai “mencari kebenaran, informasi, atau pengetahuan dengan bertanya atau mencari tahu.118 Pembelajaran tradisional biasanya hanya terfokus terhadap penguasaan materi dengan berorientasi supaya peserta didik untuk menjawab soal-soal dan ulangan atau ujian saja tanpa memikirkan bagaimana peserta didik dapat berkeinginan untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut tentang materi yang dipelajarinya karena peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan bukan hanya sekedar dapat menjawab soal-soal ulangan atau ujian dengan cara menghafal atau mengingat seperangkat fakta, tetapi mereka menemukan sendiri pengetahuan itu. Oleh karena itu, dengan strategi menemukan ini, tugas guru adalah merancang kegiatan yang mengarah kepada kegiatan menemukan, dengan membuat rangsangan pertanyaan peserta didik, karena kegiatan ini bercirikan dalam pemberian materi dirancang untuk merangsang minat peserta didik, baik dalam bentuk pertanyaan, rasa ingin tahu, dan dorongan untuk mencoba atau membuat eksperimen.

118

Ratna megawati et.al., Pendidikan Holistik, (Bogor; Indonesia Heritage Foundation, 2005), cet. I, h.64

Ada beberapa tahapan dalam kegiatan menemukan ini, yaitu dengan tahapan pertama mengamati yang kemudian bertanya dilanjutkan dengan berhipotesa, mengumpulkan data dan tahapan terakhir adalah menyimpulkan hasilnya.

Contoh dari langkah-langkah kegiatan menemukan: Materi yang akan disampaikan adalah mengenai mubtada khabar

- Observasi dengan mengamati contoh dari mubtada khabar

- Bertanya apa mubtada khabar itu?

- Hipotesis, siswa mengambil kesimpulan sementara, kalau mubtada adalah

isim yang dirafakan yang terletak di awal kalimat

- mengumpulkan data; mengumpulkan sebanyak mungkin contoh mengenai

mubtada khabar dari beraneka sumber untuk mendapatkan informasi pendukung

- kesimpulan; setelah kesemuanya dilakukan, peserta didik menyimpulkan bahwa mubtada adalah … dan khabar adalah …. Jumlah mubtada khabar

adalah …. Peserta didik membacakan hasil kesimpulannya di depan kelas untuk mendapatkan masukan dari peserta didik lainnya.

Unsur ini juga dapat digunakan dengan cara lain dari langkah-langkah tersebut di atas, yaitu dengan cara guru memperlihatkan suatu benda yang belum peserta didik ketahui di depan kelas. Dengan memperlihatkan benda tersebut, guru memerintahkan peserta didik untuk mengamati, menganalisis dan melihat dengan seksama, kemudian guru mengajukan pertanyaan untuk dijawab peserta didik. Dengan ajuan pertanyaan tersebut, setiap peserta didik akan mendapatkan giliran untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing yang dapat mengembangkan permasalahan tanpa harus menyimpang dari

tujuan pembelajaran. Dari berbagai macam pendapat yang dikemukakan tersebut, peserta didik dapat menemukan materi-materi baru yang bermakna.

Komponen inkuiri dilakukan dengan harapan untuk menciptakan peserta didik yang inkuirer, yaitu manusia yang selalu bertanya119 dan mencari tahu, yang sumber pertanyaan dan pencari tahuan itu dapat ditemukan dimanapun keberadaannya.

Contoh dari komponen ini secara garis besar dinyatakan dari cara-cara berpikir John Dewey bahwa pertama-tama timbul permasalahan yang kemudian dirumuskan, dianalisa untuk mengidentifikasi dari luas jangkauan permasalahan. Setelah itu melakukan hipotesa yang dilanjutkan dengan mengumpulkan beberapa bahan dari bermacam-macam sumber yang berkenaan dengan pemecahan permasalahan itu. Dan sebagai langkah terakhir adalah diambil kesimpulan sebagai dasar untuk tindakan.

c. Bertanya (Questioning)

Pembelajaran berbasis bertanya merupakan proses belajar inti dari inkuiri dalam pendekatan CTL, karena peserta didik akan memiliki pengetahuan jika berawal dari pertanyaan. Bertanya juga sebagai kegiatan guru untuk mendorong peserta didik dalam mengetahui sesuatu, memperoleh informasi dan menilai kemampuan berpikir kritis.

Dengan kegiatan bertanya, peserta didik dalam memperoleh informasi tidak hanya menerima dari pengetahuan yang disampaikan guru, namun peserta didik diupayakan kompetensi personalnya dapat bertumbuh kembang dengan berusaha aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar.

119

Karena dengan selalu bertanya dapat menimbulkan minat dan motivasi dalam diri peserta didik dan dapat menuntun proses berpikirnya.

d. Masyarakat belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan supaya peserta didik memperoleh hasil pembelajaran dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari berdiskusi antara teman, kelompok dan guru.

Tugas guru dalam masyarakat belajar adalah pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan bentuk berkelompok yang heterogen supaya saling membantu dan berbaur antar peserta didik yang cepat-lambat, pintar-bodoh, pria-wanita. Sehingga tidak terdapat pihak yang merasa dirinya lebih tahu melainkan semua pihak saling mau mendengarkan.

e. Pemodelan (Modeling)

Unsur selanjutnya dalam pendekatan CTL adalah pemodelan. Dengan kata lain, bahwa dalam proses belajar mengajar terdapat pendemonstrasian benda, hasil karya ataupun keterampilan.

Tahap awal yang menjadi model dalam proses belajar adalah orang tua. Karena pada awalnya, peserta didik akan belajar bertingkah laku dengan meniru tingkah laku orang tuanya. Dan di tahap-tahap berikutnya, yang dapat dijadikan model adalah orang lain, seperti guru, teman sebaya atau yang lainnya dengan bentuk hasil karya, keterampilan dan dari bentuk sebuah benda pun dapat dijadikan model belajar. Oleh karena, dalam pemodelan ini bukan hanya guru satu-satunya yang dapat dijadikan model melainkan siswapun dapat dilibatkan untuk mendemonstrasikannya. Selain itu juga, model dapat didatangkan dari luar, seperti seorang native speaker berbahasa Arab sesekali dapat dihadirkan guna menjadi model bagaimana cara berujar, gerak tubuh ketika berbicara dan lain sebagainya.

Istilah modeling atau pemodelan dapat disebut juga dengan penggunaan istilah observasional, yakni pembelajaran dilakukan ketika orang

mengamati dan meniru perilaku orang lain. Kapasitas untuk mempelajari pola perilaku dengan observasi dapat mengeliminasi proses pembelajaran yang membosankan. Dalam komponen pemodelan ini memerlukan sedikit waktu daripada dalam bentuk proses pembelajaran operan.120

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan cara berpikir tentang materi yang sudah pernah dipelajari masa silam. Materi yang telah diperolehnya kemudian diterapkan ke dalam pengalaman lainnya lebih detail. Dengan ungkapan lain, peserta didik menyimpan materi yang baru dipelajari sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan dari pengetahuan sebelumnya.

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki peserta didik diperluas dalam konteks pembelajaran sedikit demi sedikit. Tugas guru dengan membantu peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, sehingga peserta didik merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi diri sendiri tentang materi yang baru dipelajari.

Menurut Curran (1978) dikutip Mansur Pateda, membagi refleksi menjadi dua, yaitu refleksi teks dan pengalaman.121 Dalam refleksi teks, peserta didik mendengarkan kembali percakapan yang telah mereka lakukan. Kegiatan pembelajarannya adalah menanamkan kembali kebermaknaan kalimat yang telah mereka demonstrasikan di hadapan audiens -dalam hal ini peserta didik lainnya dan guru-. Dan refleksi pengalaman bertujuan untuk mengekspresikan berbagai macam persoalan psikologis yang berkecamuk di dalam hati seseorang.

120

John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: McGraw Hill, tth.), h. 287

121

Dari dua pembagian refleksi tersebut, ada beberapa langkah dalam kegiatan refleksi, yaitu langkah pertama, peserta didik mengungkapkan pengalamannya dengan menggunakan kalimat sendiri. Tugas guru di sini adalah mendengarkan dan dapat menolak atau menerima dari pengungkapan peserta didik. Sedang langkah kedua adalah mengulang kembali pernyataan yang diungkapkan peserta didik tanpa ada jeda atau waktu luang. Dan langkah terakhir yang harus ditempuh dalam kegiatan refleksi adalah pengungkapan pernyataan peserta didik didengarkan kalimat demi kalimat, yang tiap-tiap kalimat tersebut dapat ditulis di papan tulis kemudian peserta didik menyalinnya.

Langkah-langkah tersebut berorientasi agar peserta didik memahami materi yang diajarkan, karena dengan pemahaman itu akan melekat atau tersimpan dalam memori peserta didik.

g. Penilaian Autentik (Autentic Assesment)

Komponen terakhir dalam CTL adalah penilaian yang sebenarnya atau

autenthic assesment. Assesment adalah proses pengumpulan bermacam-macam data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.122 Sedang penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan peserta didik melalui berbagai teknik yang dapat mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kecakapan telah dikuasai dan dicapai.123 Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru supaya bisa memastikan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran dengan benar. Ketika dalam pengumpulan data guru

122

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2007), cet. III, h. 185

123

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, h. 186

menemukan kemacetan belajar siswa, maka guru segera mengambil tindakan cepat untuk mengatasi kemacetan tersebut. Karena gambaran tentang kemajuan belajar siswa diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka penilaian tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran.

Data dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah mencari informasi tentang belajar siswa. Belajar yang benar, sebaiknya terdapat penekanan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari bukan penekanan pada kuantitas diperolehnya informasi di akhir pertemuan pembelajaran.

Karena penilaian menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Arab bagi para siswanya harus mengumpulkan data kegiatan nyata saat para siswa menggunakan bahasa Arab, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Arab. Data yang diambil dari kegiatan siswa melakukan kegiatan berbahsa Arab baik di kelas maupun di luar kelas itulah yang disebut data autentik.

Penilaian autentik adalah menilai pengetahuan dan performance yang diperoleh peserta didik, karena yang menilai tidak hanya guru, bisa juga

Dokumen terkait