• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut WHO, Indonesia termasuk dalam periode kewaspadaan terhadap pandemi. Kasus flu burung di Indonesia cukup mengkhatirkan dengan tingkat mortalitas 80,83 persen. Pada Tabel 5 dapat dilihat sampai dengan 21 Januari 2008, jumlah kasus positif flu burung di Indonesia sebanyak 120 orang dengan kasus tertinggi di Jawa Barat. Virus AI mulai masuk di Kota Bogor tahun 2005 dengan 43 kelurahan positif flu burung di enam kecamatan2. Hal ini dapat menimbulkan kehati-hatian pada sebagian masyarakat untuk membeli dan mengkonsumsi daging dan telur ayam ras.

Tabel 5 Jumlah Kasus Positif Flu Burung di Indonesia Tahun 2005-2008

Jumlah Kasus No Propinsi Positif Meninggal 1 Jawa Barat 30 24 2 DKI Jakarta 27 24 3 Banten 23 19 4 Sumatera Utara 8 7 5 Jawa Timur 7 5 6 Jawa Tengah 9 8 7 Lampung 3 0 8 Sulawesi Selatan 1 1 9 Sumatera Utara 3 1 10 Sumatera Selatan 1 1 11 Riau 6 5 12 Bali 2 2 Jumlah 120 97

Sumber : Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan, 2008

Saat ini banyak instansi dan organisasi yang telah melakukan berbagai kegiatan komunikasi pencegahan flu burung baik antar unggas maupun dari unggas ke manusia namun dengan pesan yang berbeda. Hasil riset UNICEF, 2006 menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat cukup tinggi tentang flu burung tetapi

2

Anonim. 2005. Flu Burung di Kota Bogor. http//www.kotabogor.go.id/fb/2005.Diakses Juni 2008

masyarakat merasa flu burung bukanlah ancaman. Keberagaman materi komunikasi tersebut menimbulkan kebingungan diantara khalayak (65 persen responden) karena tidak adanya prioritas pesan dan 73 persen responden tidak merasa bahwa penyakit ini dapat menjangkiti unggas mereka (Komnas FBPI, 2008).

Pesan yang membingungkan masyarakat bisa berdampak pada pola belanja masyarakat. Berdasarkan survei AC Nielsen, 2004 menunjukkan minat belanja produk segar termasuk daging lebih banyak beralih ke pasar swalayan. Hal ini dipicu efek psikologis bahwa pasar swalayan lebih melakukan seleksi dan pengecekan yang ketat untuk produknya. Selain itu, konsumen merasa bisa mengajukan tuntutan pada peritel swalayan apabila produk yang dibeli tidak baik kondisinya.

Adanya pemberitaan dan promosi yang gencar tentang higienitas makanan akan lebih banyak menarik konsumen untuk berbelanja di pasar swalayan. Penelitian yang dilakukan AC Nielsen, 20043 pada 100 responden yang bertempat tinggal di Jabotabek dan Surabaya menunjukkan 76 persen koresponden menyatakan peduli pada keamanan (higienitas) dari produk makanan yang dibelinya. Sebanyak 76 persen responden yang peduli pada keamanan pangan, 87 persen diantaranya menyatakan memberikan dampak pada kebiasaan berbelanjanya.

Survei AC Nielsen lainnya pada tahun 2004 dibandingkan tahun 2003 terjadi penurunan persentase konsumen yang berbelanja daging segar, daging ayam serta ikan di pasar tradisional. Pangsa pasar swalayan terus meningkat tetapi

3

Yongky Surya Susilo. Pertumbuhan Pasar Modern Ancam Keberadaan Pasar Tradisional. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/promarketing/2004/0622/prom1.html. Desember 2007

pasar tradisional masih mendominasi penjualan produk segar. Penurunan persentase minat belanja di pasar tradisional tahun 2004 dibandingkan tahun 2003 paling besar untuk buah segar hingga sebelas persen (pangsa pasar tradisional turun menjadi 46 persen), sayuran segar sepuluh persen (pangsa pasar tradisional turun menjadi 47 persen), ikan segar lima persen (pangsa pasar tradisional turun menjadi 67 persen) serta daging segar dan daging ayam tiga persen (pangsa pasar tradisional menurun sebesar 10 persen)

Bogor termasuk kota di Jawa Barat yang cukup berkembang. Banyak peritel modern/swalayan yang mendirikan usahanya di Bogor. Saat ini peritel swalayan yang menjual lengkap bahan makanan hingga produk makanan segar yaitu Superindo, Market Place Matahari, Giant Hipermarket, Giant Supermarket, Hipermarket dan Ramayana Departement Store. Adanya peritel modern ini membuat pilihan bagi konsumen kota Bogor untuk berbelanja produk pertanian segar terutama bagi kalangan menengah ke atas yang relatif mengutamakan aspek higienitas dan kesehatan produk.

Pasar tradisional atau pasar becek sering mendapat stigma negatif dari konsumen. Pasar tradisional seperti Pasar Bogor, Pasar Jambu Dua atau Pasar Gunung Batu dengan tampilan pasar yang sederhana, becek serta parkiran yang sempit sering membuat konsumen merasa tidak betah berbelanja. Beberapa konsumen juga meragukan kebersihan produk bahan pangan yang dijual di pasar tradisional maupun pedagang keliling.

Isu flu burung juga menambah kehati-hatian konsumen dalam melakukan pembelian daging dan telur ayam serta produk olahannya. Flu burung di Kota Bogor sudah menjangkiti 43 kelurahan di enam kecamatan dengan kasus satu

orang suspek di Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Selatan. Tetapi sampai saat ini Pemerintah Kota Bogor tidak melakukan depopulasi (pemusnahan secara massal) lagi karena keterbatasan anggaran dan lebih menekankan pada upaya vaksinasi. Padahal menurut FAO dan WHO, depopulasi massal adalah cara menjaga virus ini tidak berkembang menjadi pandemi hingga meluas menjadi pandemi pada manusia. Kota Bogor dikelilingi kota-kota dengan kasus flu burung yang menulari manusia seperti Jakarta, Bekasi hingga Banten.

Kasus tentang keamanan pangan ini menambah sulitnya persaingan menghadapi pasar swalayan. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik pasar tradisional dibandingkan dengan pasar swalayan yang sangat bersih dan nyaman. Kedua, pasar swalayan berlokasi tidak jauh dari lokasi pasar tradisional. Ketiga, pasar swalayan yang didukung dengan modal yang besar sehingga mudah berkembang hingga ke tingkat kelurahan. Pasar tradisional yang merupakan kumpulan usaha mikro membutuhkan upaya yang saling terintegrasi untuk tumbuh dan berkembang hingga semua pelaku usaha dalam sistem pemasaran (petani, pedagang pengumpul, pengecer hingga pedagang di pasar) bisa tetap bertahan.

Untuk itu, penelitian ini berusaha membandingkan keputusan konsumen yang membeli daging dan telur ayam ras segar di pasar tradisional serta pasar swalayan dengan isu flu burung di Kota Bogor dengan responden berpendapatan pada kelas menengah dan atas. Sampel yang digunakan adalah konsumen menengah ke atas relatif tidak sensitif terhadap harga daging dan telur ayam ras. Selain itu, akan dianalisis perbandingan pengetahuan konsumen tentang isu flu

burung sehingga dapat diperbandingkan sejauh mana isu flu burung berpengaruh pada perilaku keputusan dan pembelian.

Dokumen terkait