• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang didapat adalah:

1. Bagaimana gambar denah bundaran?

2. Bagaimana kinerja simpang saat ini ? 1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin didapat dari studi ini adalah:

1. Untuk menyajikan gambar denah Bundaran Hang Tuah-Hayam Wuruk.

2. Untuk menganalisis kinerja bundaran tersebut.

1.4 Batasan Studi

Untuk memberikan arah yang lebih baik dan terfokus dari studi ini sehingga dapat bermanfaat dan mencapai tujuan yang diinginkan, maka studi ini dibatasi pada ruang lingkup berikut:

1. Studi hanya terlokalisir pada lokasi yang ditinjau.

2. Metode yang digunakan untuk menganalisis data menggunakan panduan MKJI (Dep. PU 1997).

3. Kinerja bundaran yang ditinjau adalah kapasitas bundaran, perilaku lalu lintas bundaran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bundaran

Bagian jalinan dikendalikan dengan aturan lalu lintas Indonesia yaitu memberi jalan pada yang kiri. Bagian jalinan dibagi dua tipe utama yaitu bagian jalinan tunggal dan bagian jalinan bundaran. Bundaran dianggap sebagai jalinan yang berurutan. Bundaran paling efektif jika digunakan antara jalan dengan ukuran dan tingkat arus yang sama. Karena itu bundaran sangat sesuai untuk bundaran antara jalan dua-lajur atau empat-lajur. Untuk bundaran antara jalan yang lebih besar, penutupan daerah jalinan mudah terjadi dan keselamatan bundaran menurun (Dep. PU, 1997).

Pada umumnya bundaran dengan pengaturan hak jalan (prioritas arus lalu lintas dari kiri) digunakan di daerah perkotaan dan pedalaman bagi persimpangan antara jalan dengan arus lalu-lintas sedang. Pada arus lalu-lintas yang tinggi dan kemacetan pada daerah keluar simpang, bundaran tersebut mudah terhalang, yang mungkin menyebabkan kapasitas terganggu pada semua arah. Di daerah perkotaan dengan arus pejalan kaki yang tinggi menyeberang bundaran jalan yang tidak sebidang (jembatan atau terowongan), disarankan untuk memberikan keselamatan bagi pejalan kaki. Meskipun dampak lalu-lintas bundaran berupa tundaan selalu lebih baik dari tipe simpang yang lain misalnya simpang bersinyal, pemasangan sinyal masih lebih disukai untuk menjamin kapasitas tertentu dapat dipertahankan,bahkan dalam keadaan arus jam puncak. Perubahan dari simpang bersinyal atau tak bersinyal menjadi bundaran dapat juga didasari oleh keselamatan lalu-lintas, untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu-lintas antara kendaraan yang berpotongan.

Bundaran mempunyai keuntungan yaitu mengurangi kecepatan semua kendaraan yang berpotongan, dan membuat mereka hati-hati terhadap risiko konflik dengan kendaran lain. Hal ini mungkin terjadi bila kecepatan pendekat ke simpang tinggi dan/atau jarak pandang untuk gerakan lalulintas yang berpotongan tidak cukup akibat rumah atau pepohonan yang dekat dengan sudut persimpangan.Untuk bagian jalinan bundaran, metode dan prosedur yang diuraikan dalam (Dep. PU, 1997) mempunyai dasar empiris. Alasan dalam hal aturan memberi jalan, disiplin lajur, dan antri tidak mungkin digunakannya model yang besar pada pengambilan celah. Nilai variasi untuk variabel data empiris yang menganggap bahwa medan datar adalah sebagai berikut :

4 Tabel 2. 1 Rentang Variasi Data Empiris Untuk Variabel Masukan

Sumber : Dep. PU, 1997

Gambar 2. 1 Bagian Jalinan Bundaran Sumber : Dep. PU, 1997

Keterangan:

Ww = lebar jalinan (m) Lw = panjang jalinan (m) W1 = lebar pendekat (m) W2 = lebar pendekat (m)

Dalam pembahasan mengenai bundaran, beberapa hal yang perlu diketahui adalah:

2.1.1 Definisi Tipe Bundaran Standar

Terdapat tiga tipe dasar bundaran:

1. Bundaran normal, yaitu bundaran yang mempunyai satu sirkulasi jalan yang mengelilingi bundaran tersebut dengan diameter empat meter atau lebih dan biasanya dibagian pendekat jalannya melebar.

2. Bundaran mini, yaitu bundaran yang memiliki satu sirkulasi jalan yang

Variabel Bundaran

Min Rata-rata Maks

Lebar pendekat (W1) (m) 8 9,7 11

Lebar jalinan (Ww) (m) 8 11,6 20

Panjang jalinan (Lw) (m) 50 84 121

Rasio lebar/panjang (Ww/Lw) 0,07 0,14 0,20

Rasio jalinan (Pw) 0,69 0,80 0,95

5 mengelilingi bundaran berupa marka bundaran yang ditinggikan diameternya kurang dari empat meter dan bagian pendekat jalannya melebar atau tidak dilebarkan.

3. Bundaran ganda, yaitu persimpangan individual dengan dua buah bundaran, bundaran normal atau bundaran mini yang berdekatan.

Adapun jenis-jenis bundaran menurut (Dep. PU, 1997) ditunjukan pada Gambar 2.2 dan Tabel 2.2 memperlihatkan definisi tipe bundaran.

Gambar 2. 2 Ilustrasi Tipe Bundaran Sumber : Dep. PU, 1997

Tabel 2. 2 Definisi Tipe Bundaran

Tipe jumlah lajur masuk satu, lebar lajur masuk 3,5 m panjang jalinan 23 m dan lebar jalinannya adalah 7 m.

b. Untuk tipe bundaran R10-22 artinya jari-jari bundaran adalah 10 m, jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 m, panjang jalinan 27 m dan lebar jalinannya adalah 9 m.

6 c. Untuk tipe bundaran R14-22 artinya jari-jari bundaran adalah 14 m, jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 m, panjang jalinan 31 m dan lebar jalinannya adalah 9 m.

d. Untuk tipe bundaran R20-22 artinya jari-jari bundaran adalah 20 m, jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 m, panjang jalinan 43 m dan lebar jalinannya adalah 9 m.

2.1.2 Pemilihan Tipe Bundaran

Pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia pemakai dipermudah untuk memilih tipe bundaran berdasarkan volume arus lalu lintas yang dihubungkan dengan kondisi ukuran kota (juta), rasio arus lalu lintas pada pendekat mayor dengan pendekatan minor (QMA/QMB) , presentase belok kiri dengan belok kanan. Tujuanya adalah untuk memilih tipe bundaran yang paling ekonomis, dapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel 2. 3 Tipe Bundaran Paling Ekonomis

Kondisi Ambang arus lalu lintas

Ukuran

2.1.3 Perencanaan Bundaran

Sebagai prinsip umum, bundaran mempunyai kapasitas tertinggi jika lebar dan panjang jalinan sebesar mungkin. Beberapa saran umum lainnya

7 tentang perencanaan bundaran antara lain (Dep. PU, 1997):

1. Bagian jalinan bundaran mempunyai kapasitas tertinggi jika lebar dan panjang jalinan sebesar mungkin.

2. Bundaran dengan hanya satu tempat masuk adalah lebih aman daripada bundaran berlajur banyak.

3. Bundaran harus direncanakan untuk memberikan kecepatan terendah pada lintasan di pendekat, sehingga memaksa kendaraan menyelesaikan perlambatanya sebelum masuk bundaran.

4. Radius pulau bundaran ditentukan oleh kendaraan rencana yang dipilih untuk membelok didalam jalur lalu lintas dan jumlah lajur masuk yang diperlukan. Radius yang lebih kecil biasanya mengurangi kecepatan pada bagian luar yang menguntungkan bagi keselamatan pejalan kaki yang menyebrang. Radius yang lebih kecil juga memaksa kendaraan masuk memperlambat kendaraannya sebelum masuk daerah konflik, yang mungkin menyebabkan tabrakan dari belakang dibandingkan dengan bundaran yang lebih besar. Radius lebih besar dari 30-40 m sebaiknya dihindari.

5. Bundaran dengan satu lajur sirkulasi (direncanakan semi trailer) sebaiknya dengan radius minimum 10 m, untuk dua lajur siklus radius minimum 14m.

6. Daerah masuk masing-masing jalinan harus lebih kecil dari bagian jalan.

7. Pulau lalu lintas tengah pada bundaran sebaiknya ditanami dengan pohon atau objek lain yang tidak berbahaya terhadap tabrakan yang membuat bundaran mudah dilihat oleh kendaraan yang datang pada radius kecil mungkin dapat dilewati.

8. Lajur terdekat dengan kereb sebaiknya lebih lebar dari biasanya untuk memberikan ruang bagi kendaraan tak bermotor dan memudahkan kendaraan belok kiri lewat tanpa menjalani didalam bundaran.

9. Pulau lalu lintas sebaiknya dipasang dimasing-masing lengan untuk mengarahkan kendaraan yang masuk sehingga sudut menjalin antara kendaraan yang masuk sehingga sudut menjalin antara kendaraan menjadi kecil.

2.2 Prosedur Analisis Kinerja Bundaran

Prosedur perhitungan yang digunakan adalah Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Dep. PU, 1997). Urutan perhitungan analisis kinerja bundaran yang digunakan adalah data masukkan yaitu masukkan data dari hasil survei yang telah dilakukan. Untuk studi ini data yang dibutuhkan didapat dari observasi atau pengamatan langsung dilokasi Studi . Adapun jenis data yang dibutuhkan adalah, data volume lalu lintas dan data geometrik. Dimana volume lalu lintas adalah

8 jumlah kendaraan yang melalui suatu bundaran pada periode waktu tertentu. Dari hasil survei ini akan digunakan dalam menghitung kapasitas bundaran tersebut.

Survei geometrik bertujuan untuk mengetahui informasi-informasi seputar bundaran tersebut.

Perhitungan kapasitas Kapasitas total bagian jalinan bundaran adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (Ideal) dan faktor penyesuaian (F). Dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan sesungguhnnya terhadap kapasitas. Kapasitas dasar (Co) tergantung dari lebar jalinan (Ww), rasio ratarata/lebar jalinan (𝑊𝐹/ Ww), rasio menjalin (Pw) dan rasio lebar/panjang jalinan (Ww / Lw). Derajat kejenuhan yaitu rasio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam menentukan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak (MKJI, 1997).

Formulir-formulir yang digunakan untuk mengetahui kinerja bundaran adalah sebagai berikut. Formulir RWEAV-I yaitu menjelaskan mengenai geometrik dan arus lalu lintas dimana dengan memasukkan data yang diperoleh dari lapangan. Setelah itu data akan diolah dan ditempatkan di Lampiran B.

Formulir RWEAV-II, yaitu berisikan analisis mengenai parameter geometrik bagian jalinan, kapasitas dan prilaku lalu lintas. Setelah data diolah maka akan ditempatkan di Lampiran B.

2.2.1 Data Masukan

Masukkan data yang dimaksud adalah hasil survei dilapangan yang berupa : 1. Kondisi Geometrik

Sketsa geometrik lokasi digambarkan ke dalam formulir RWEAV-I. sketsa sebaiknya memberikan ringkasan yang baik dari bagian jalinan dengan informasi tentang lebar pendekat, lebar jalinan, panjang jalinan dan lebar masuk rata-rata dapat dilihat pada Gambar 2.3. Untuk orientasi sketsa juga sebaiknya memuat simbul penunjuk arah. kondisi geometrik bundaran yang perlu diperhitungkan dalam analisis adalah :

a. Wx = Lebar masuk atau lebar jalur lalu lintas dari pendekat (diukur pada bagian tersempit) yang digunakan oleh lalu lintas yang bergerak.

X menyatakan nama pendekat.

b. We = Lebar masuk rata-rata atau lebar rata-rata pendekat ke bagian

9 2. Kondisi lalu lintas

Kondisi lalu lintas yang dianalisa, perhitungan dilakukan atas dasar periode 15 menit dan dinyatakan ke dalam smp/jam dengan mengalikan arus dalam kend/jam dengan nilai ekivalensi mobil penumpang. Adapun nilai ekivalensi mobil penumpang dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2. 4 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang

Jenis Kendaraan Emp Untuk Tipe Kendaraan

Kendaraan Berat/Heavy Vehicle (HV) 1.3

Kendaraan Ringan/Light Vehicle (LV) 1.0

Sepeda Motor/Motorcycle (MC) 0.5

Sumber : Dep. PU, 1997

2.2.2 Ukuran Kinerja Bundaran

Kinerja merupakan suatu ukuran kuantitatif mengenai kondisi operasional dari fasilitas lalu lintas. Metode dan prosedur yang diuraikan dalam manual ini mempunyai dasar empiris. Alasannya adalah bahwa perilaku lalu lintas pada bagian jalinan dalam hal aturan memberi jalan, disiplin lajur dan antri tidak memungkinkan penggunaan suatu model yang berdasarkan pada pengambilan celah.Ukuran kinerja umum dalam analisis operasional pada bundaran yang dapat diperkirakan berdasarkan aturan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)1997 adalah:

Gambar 2. 3 Geometrik Bundaran Sumber : Dep. PU, 1997

10 A. Volume

Dalam manual, nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp).

Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekuivalen mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris tipe kendaraan berikut (Dep.PU, 1997) :

1. Kendaraan berat/Heavy Vehicle (HV), kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,50 m biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

2. Kendaraan ringan/Light Vehicle (LV), kendaraan bermotor 2 as beroda 4 dengan jarak as 2,0 – 3,0 m (termasuk mobil penumpang, opelet, mikrobis, pick up dan truk kecil sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

3. Sepeda motor/Motor Cycle (MC), kendaraan bermotor beroda 2 atau 3 (termasuk sepeda motor dan kendaraan beroda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

4. Kendaraan tak bermotor/Unmotorized (UM), kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia atau hewan (termasuk sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

Q = QHv ∙ empHv + QLv x empLv + QMc ∙ empMc (2.1) Keterangan :

Q = Arus lalu lintas (smp/jam)

QHv = Arus lalu lintas kendaraan berat (kendaraan/jam) QLv = Arus lalu lintas kendaraan ringan (kendaraan/jam) QMc = Arus lalu lintas sepeda motor (kendaraan/jam) empLv = Ekivalensi mobil penumpang kendaraan ringan empHv = Ekivalensi mobil penumpang kendaraan berat empMc = Ekivalensi mobil penumpang sepeda motor

Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk masing-masing tipe kendaraan tergantung pada tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam kendaraan/jam. Pengaruh kendaraan tak bermotor

11 Gambar 2. 4 Bagian jalinan bundaran

Sumber : Dep. PU, 1997

dimasukan sebagai kejadian terpisah dalam faktor penyesuaian hambatan samping.

B. Perhitungan Kapasitas

Hal-hal yang diperlukan dalam perhitungan kapasitas jalan pada bundaran dengan bundaran adalah sebagai berikut :

1. Kapasitas Dasar (Co)

Rumus umum untuk menghitung kapasitas dasar adalah :

Co = 135xWw1,3x (1+We/Ww)1,5x (1-Pw/3)0.5x (1+Ww/Lw)-1,8 .... (2.1) Dimana

Ww = Lebar jalinan (m) We = Lebar masuk (m) Lw = Panjang jalinan (m)

Pw = Weaving = Arus menjalin (Qw)/ Arus total (Qt) Lebar Rata-rata Pendekat :

We = (W1+W2)/2 ... (2.2) Dimana

W1 = Lebar pendekat masuk ke 1 (m) W2 = Lebar pendekat masuk ke 2 (m)

2. Kapasitas Nyata (C)

Rumus untuk menghitung kapasitas nyata adalah :

C= C0 x FCS x FRSU (smp/jam)... (2.3) Dimana :

C = Kapasitas Nyata (smp/jam ) C0 = Kapasitas Dasar ( smp/jam )

12 FCS = Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

FRSU = Faktor Penyesuaian Lingkungan Jalan, Hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor

3. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Tabel 2. 5 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)

Ukuran Kota Penduduk (Juta Jiwa) FCS

Sangat Kecil < 0,1 0 , 82

4. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Rasio Kendaran Tak Bermotor

Tabel 2. 6 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping

Kelas tipe lingkungan

jalan RE

Kelas hambatan samping

Rasio kendaraan tak bermotor

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25

Menurut (Dep. PU, 1997) Tabel 2.6 disusun berdasarkan anggapan bahwa pengaruh kendaraan tak bermotor terhadap kapasitas adalah sama seperti kendaraan ringan, yaitu empum = 1,0. Persamaan berikut dapat digunakan jika pemakai mempunyai bukti bahwa empum ≠ 1,0 yang mungkin merupakan keadaan jika kendaraan tak bermotor tersebut terutama berupa sepeda.

FRSU (pum lapangan) = FRSU (pum=0) x (1-pum x empum) ... (2.4) D. Derajat Kejenuhan (DS)

13 Derajat kejenuhan bundaran didefinisikan sebagai derajat kejenuhan bagian jalinan yang tertinggi atau arus total dibagi dengan kapasitas bundaran.

Dapat dirumuskan :

DS = Q/C ... (2.5) Dimana :

Q = Arus total (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam)

E. Tundaan (delay) terdiri atas :

a. Tundaan Lalu Lintas (DT) sebagai akibat dari interaksi lalu lintas dengan gerakan yang lain dalam jalinan.

Untuk DS ≤ 0 , 6

DT = 2+2,68982 X DS – (1-DS) x 2 ... (2.6) Untuk DS > 0,6

DT = (1/(0,59186 – 0,52525 x DS) – (1-DS) x 2)) ... (2.7) b. Tundaan Geometrik (GD) sebagai akibat dari perlambatan dan

percepatan lalu lintas, dihitung dengan rumus :

DT = (1-DS) x 4+DS x 4 ... (2.8)

Gambar 2. 5 Tundaan Vs Derajat Kejenuhan Sumber : Dep. PU, 1997

c. Tundaan Lalu Lintas Bundaran (DTR)

Didefinisikan sebagai tundaan rata-rata per kendaraan yang masuk ke dalam bundaran. Dapat dirumuskan :

DTR = ∑ (Qi x Dti)/ Qmax ... (2.9) Dimana :

DTR = Tundaan lalu lintas bundaran (det/smp )

14 Qi = Total kendaraan memasuki jalinan (smp/jam )

Qmax = Total kendaraan memasuki bundaran (smp/jam ) Dti = Tundaan lalu lintas pada bagian jalinan (det/smp) d. Tundaan Bundaran (DR)

Definisikan sebagai tundaan lalu lintas rata-rata per kendaraan yang masuk ke dalam bundaran ditambah dengan tundaan geometrik.

Dapat dirumuskan :

DR = DTR + DG ... (2.10) Dimana :

DTR = Tundaan lalu lintas bundaran (det/smp )

DG = Tundaan geometrik pada bagian jalinan (det/smp) F. Peluang antrian bagian jalinan (OP%)

Peluang antrian dihitung dari hubungan empiris antara peluang antrian dan derajat kejenuhan seperti terlihat pada Gambar 2.6 .Variabel masukan Derajat Kejenuhan didapat dari Formulir RWEAV-II.

Gambar 2. 6 Peluang Antrian Vs Derajat Kejenuhan Sumber : Dep. PU, 1997

15

BAB III

METODE STUDI

15

BAB III METODE STUDI

3.1 Kerangka Studi

Langkah-langkah studi yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 3.1 dibawah ini :

Gambar 3.1 di atas merupakan langkah-langkah untuk melakukan survei.

Dari kerangka studi dapat diketahui bahwa segala hal yang bersangkutan tentang pelaksanaan survei harus dilakukan sesuai dan berpedoman pada Gambar 3.1.

Tinjauan Pustaka Studi Pendahuluan

Identifikasi Masalah

Tujuan Penelitian

Pengumpulan Data

Data Primer : 1. Survei Geometrik

2. Survei Volume Lalu Lintas

Analisis

Simpulan dan Saran

Data Sekunder : 1. Peta Lokasi

2. Jumlah Penduduk

Gambar 3. 1 Kerangka Studi

16 Melalui survei dari kerangka studi tersebut dapat diperoleh data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari survei di lapangan yaitu berupa survei geometrik jalan dan survei volume lalu lintas. Data sekunder dapat diperoleh dari Badan Pusat Statistik berupa jumlah penduduk di Kota Denpasar, untuk peta lokasi dapat diperoleh di Aplikasi Google Maps.

Setelah mengikuti langkah-langkah pada Gambar 3.1 didapat data-data melalui survei geometrik dan survei volume lalu lintas. Data yang telah di dapat kemudian di analisis sehingga didapatkan hasil yang akan menunjukkan kondisi bundaran tersebut. Setelah memperoleh data hasil analisis dapat di simpulkan apakah bundaran tersebut masih termasuk dalam kategori layak atau tidak. Dari penarikan kesimpulan tentang kelayakan jalan tersebut selanjutnya dilakukan pemberian saran guna memberikan referensi untuk pembenahan bundaran lebih lanjut. Setelah seluruh langkah-langkah selesai akan didapat hasil dan apabila diperlukan akan dilakukan pengkajian lanjutan.

3.2 Studi Pendahuluan dan Tinjauan Pustaka

Studi pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data-data awal pada kondisi saat ini, dimana dalam studi ini akan diketahui kondisi lapangan yang sebenarnya. Untuk menentukan parameter data yang akan disurvei dan menentukan metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data. Adapun parameter-parameter yang menyangkut bundaran tersebut adalah data geometrik, fluktuasi arus lalu lintas dan kapasitas bundaran. Parameter tersebut sangat diperlukan dalam menganalisis kinerja dari bundaran. Berdasarkan pengamatan langsung yang dilakukan di lapangan bundaran renon layak untuk dijadikan objek Studi .

Berdasarkan pengamatan langsung dilapangan dapat diketahui bahwa terdapat tiga hal yang menjadikan bundaran renon ini cukup layak untuk dijadikan objek Studi . Volume lalu lintas yang cukup padat, dari pengamatan langsung dilapangan volume jam terpadat menurut masyarakat sekitar yaitu mulai pukul 16.00 – 18.00 Wita. Bundaran Renon merupakan salah satu akses menuju kawasan tujuan pergerakan sehingga kondisi lalu lintasnya padat. Saat jam-jam puncak kerap terjadi antraian hal ini menunjukkan tundaan yang terjadi cukup besar. Dari tiga hal tersebut dapat disimpulkan bahwa bundaran renon memiliki volume yang cukup padat dan layak untuk dijadikan objek Studi .

Tinjauan pustaka dilakukan guna untuk mengumpulkan literatur yang akan digunakan yang berkaitan dengan bundaran. Literatur yang dimaksud seperti Studi -studi serupa yang membahas tentang bundaran, maupun referensi yang diambil dari buku- buku yang membahas tentang bundaran. Literatur tersebut pastinya akan sangat membantu dalam melakukan studi ini, selain itu dapat digunakan

17 sebagai parameter pembanding. Dengan adanya parameter pembanding akan sangat membantu proses studi ini, karena dapat memberikan gambaran sehingga dapat memberi wawasan yang lebih luas. Untuk studi ini penulis mengambil referensi dari (Dep. PU, 1997).

3.3 Identifikasi Masalah dan Tujuan Studi

Merumuskan identifikasi masalah dan tujuan studi merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Pentingnya merumuskan identifikasi masalah yaitu supaya memberikan gambaran yang jelas mengapa perlu dilakukannya studi di lokasi tersebut. Masalah-masalah yang ada harus dapat memberikan alasan yang kuat kepada surveyor untuk melakukan studi di lokasi tersebut. Dari pengidentifikasian masalah tersebut maka akan memberikan alasan untuk tujuan Studi nya. Sehingga setelah dilakukannya identifikasi masalah dan telah mengetahui tujuan Studi nya maka studi dapat dijalankan.

Identifikasi masalah dilakukan untuk merumuskan masalah yang terdapat pada lokasi Studi . Melalui identifikasi masalah akan didapat gambaran mengenai kondisi lokasi yang akan diteliti. Lokasi yang dipilih pada studi ini adalah Bundaran Hang Tuah-Hayam Wuruk. Pemilihan Bundaran Hang Tuah-Hayam Wuruk dikarenakan pada lokasi tersebut kerap ditemui permasalahan. Kemacetan pada budaran tersebut merupakan salah satu masalah yang sering terjadi, terutama pada jam- jam puncak akibat meningkatnya aktivitas masyarakat. Maka diadakannya studi ini agar mengetahui kapasitas dari bundaran tersebut.

Tujuan studi penting untuk diketahui sebelum mulai melakukan Studi . Tujuan studi dapat memberikan gambaran mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan agar dapat mencapai tujuan dari studi ini. Tujuan dari studi ini sudah dicantumkan pada Bab I. Dimana Tujuan dari studi ini adalah untuk menyajikan gambar denah Bundaran Hang Tuah-Hayam Wuruk dan juga untuk menganalisis kinerja bundaran tersebut. Adapun landasan teori yang diperlukan mengenai studi ini telah dicantumkan dalam tinjauan pustaka pada Bab II.

3.4 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan Studi . Pengumpulan data lalu lintas bermaksud untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik lalu lintas, yang digunakan untuk kegiatan perencanaan lalu lintas meliputi geometrik dan volume lalu lintas. Pengumpulan data lalu lintas ini didapat dengan langsung terjun kelapangan. Data yang diperoleh dari survei tersebut nantinya akan di analisis sehingga akan mendapatkan hasil Studi .

Data yang diperlukan yaitu data geometrik meliputi nama jalan dari setiap

18 pendekat, lebar jalan pada setiap pendekat, lebar bahu jalan, lebar trotoar, jumlah jalur dan jumlah lanjur. Survei volume lalu lintas bertujuan untuk mencatat setiap kendaraan yang melewati suatu garis tertentu. Dimana volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu bundaran pada periode waktu tertentu. Dari hasil survei ini akan digunakan dalam menghitung kapasitas bundaran tersebut.

Sehingga dari data tersebut akan dapat diketahui bagaimana kinerja bundaran renon.

Data yang diperoleh dari survei dapat digolongkan menjadi dua jenis. Data yang didapat yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan. Pada bundaran data langsung yang diperoleh yaitu berupa survei geometrik dan survei volume lalu lintas dan perhitungan langsung. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan mencari pada sumber-sumber lain seperti Peta Jaringan Jalan dapat dicari di Peta Google Maps dan data jumlah penduduk dapat dicari di Badan Pusat Statistik.

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang didapat langsung dari lapangan melalui kegiatan survei. Dalam pengumpulan data primer dilakukan berbagai macam

Data primer adalah data yang didapat langsung dari lapangan melalui kegiatan survei. Dalam pengumpulan data primer dilakukan berbagai macam

Dokumen terkait