• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEOR

C. Suku Samin

1. Pengertian Suku Samin

Istilah Samin diplesetkan dengan kata “nyamen”, sebuah istilah

diidentikan dengan perbuatan-perbuatan yang menyalahi tradisi-

kebiasaan. Menurut orang Samin kata Samin memiliki pengertian “sama”

yakni anak cucu dapat bersama-sama bersatu membela negara dan menentang penjajah, maka akan diperoleh kesejatraan, Kardi dalam Rosyid (2008:4).

Istilah Samin digeser oleh pengikutnya, dengan asumsi istilah tersebut bertedensi negatif, sehingga orang Samin menamakan diri

dengan sedulur sikep. Latarbelakangnya yang pertama, karena mendapat

tekanan dari penjajah belanda, dipimpin oleh seorang petani yang bernama kiai Samin Surosentiko (Raden Kohar) yang semula adalah pujangga Jawa pesisiran pasca-Ronggowasito dengan menyamar sebagai petani untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda. Pada tahun 1890 mengembangkan ajaran Samin di desa Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah dan pada tahun 1905 karena banyaknya pengikut mereka melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun pada tahun 1907 kiai Samin Surosentiko dibawa Belanda ke Rembang berserta delapan pengikutnya, selanjutnya dibuang di Sawahlunto, Padang, Sumatra Barat dan wafat pada tahun 1914 (sebagai tawanan) Dewanti dalam bukunya Rosyid (2008:5).

Dengan action itulah masyarakat Samin dianggap pembangkang

oleh Belanda dan masyarakat pada umumnya. Agar image negatif

tersebut tidak menempel pada generasi sekarang ini, penggantian julukan dipandang sangat penting. Kedua, julukan diberikan oleh aparat desa di wilayah Blora bagian selatan dan wilayah Bojonegoro pada tahun 1903-

1905 (sebagai embrio Samin pertama) karena tindakan Samin yang

menentang aparat desa (di era penjajahan Belanda) dengan cara tidak membayar pajak dan dengan memisahkan diri dengan masyarakat umum Fatkurahman (2003) dalam bukunya Rosyid (2008:5), dengan penolakan

itulah muncul kata nyamin. Ketiga, sebagai sarana membangun

komunikasi dengan sesama penganutnya dan pihak yang membutuhkan informasi sebagai wujud simbolisasi penamaan diri dengan filosofi bahwa munculnya kelahiran-kehidupan manusia berawal dari proses

“sikep” atau berdekapan (Jawa: bentuk hubungan seksual suami-istri)

atau proses menanak nasi secara tradisional adalah melalui “nyikep”, dan

keempat, menurut analisis ahli antropologi, Amrih Widodo dalam

bukunya Rosyid (2008:5), kata “sikep” merupakan cara untuk melawan atau menghindari penamaan dengan kata “Samin” akibat konotasi negatif

yang dilekatkan pada kata tersebut (Samin) selama bertahun-tahun, terutama ketika wacana Saminisme semakin dipisahkan dari semangat

gerakan perlawanan petani. Pemasungan kata “Samin” dan “Saminisme”

kebudayaan dan hegemoni developmentalisme pada rezim Orde Baru

Harian Kompas dalam bukunya Rosyid (2008:5).

2. Sejarah Suku Samin

Blora, Rembang, Kudus, Bojonegoro, Grobogan, Pati, Demak dan sekitarnya inilah daerah yang disinyalir menjadi penyebaran ajaran Samin. Terutama di daerah Kecamatan Banjarejo, Klopodhuwur. Hal ini dalam laksanto (2013:191) pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di desa Klopoduwur, Blora. Samin Surosentiko tidak mau membayar pajak karena dia menganggap bahwa barang yang sudah kita miliki sepenuhnya menjadi hak milik kita sudah tidak ada kewajiban yang lainya termasuk membayar pajak. Kemudian Samin Surosentiko ini dianggap tidak taat terhadap peraturan negara maka dari itu dia diinterogasi oleh pihak yang berwenang, akan tetapi dia tetap pada pendiriannya.

Salah satu ajaran samin dalam Ba‟asyin (2014:81) lemah podo nduwe, banyu podo nduwe dan kayu podo nduwe. Yang artinya tanah milik semua orang, air milik semua orang, kayu milik semua orang. Termasuk juga orang yang membutuhkan membangun rumah untuk membenahi rumahnya demi keberlangsungan hidupnya dia bisa mengambil kayu di hutan secukupnya dengan alasan karena kebutuhan, catatannya bukan untuk dijual. Ada sebuah cerita pemuda laki-laki Blora yang akan menikahi gadis, dia harus berpisah dengan keluarganya atau orang tua dan membangun rumah untuk kehidupan keluarganya yaitu

bersama-sama istrinya, untuk keperluan membangun rumah ini pemuda tersebut harus mengambil kayu yang ada di hutan secukupnya. Ini berlawanan dengan peratuan pemerintah (hutan tidak boleh dimiliki oleh perorangan dengan alasan apapun).

Kemudian pemerintah mengalami kebingungan dengan sikap orang sikep, makanya pemerintah tidak ada aturan yang pasti yang diterapkan di daerah ini sebelum abad ke 19-an. Hanya bisa menerapkan

peraturan trial and error coba-coba dan gagal, membuat peraturan

kemudian tidak dapat diterapkan. Sampai akhirnya pada abad ke 20-an baru ada peraturan yang tegas.

3. Keberagamaan Suku Samin

Agama suku Samin adalah agama adam. Suku Samin ini menganggap bahwa manusia sejak dilahirkan di dunia sudah beragama dengan sendirinrinya. Hal ini disampaikan oleh Rosyid (2008:196) bahwa agama Adam bagi masyarakat Samin dibawa sejak lahir Adam

merupakan perwujudan “ucapan” dan diwujudkan dengan aktivitas yang

baik. Hal di atas menyebabkan kebingungan dalam menentukan hukum yang ada di masyarakat suku Samin seperti berikut ini:

Sanksi adat yang diberikan pada orang yang melakukan tindak pidana pencurian yaitu: orang yang melakukan tindak pidana pencurian dan diketahui oleh masyarakat maka orang tersebut akan dikucilkan dari masyarakat Suku Samin. Orang tersebut sudah tidak lagi dianggap sebagai warga masyarakat Samin. Apabila ada acara-acara di desa

tersebut seperti acara syukuran desa, pertemuan-pertemuan antar masyarakat desa maka orang yang melakukan tindak pidana pencurian tidak lagi diundang hadir dalam acara-acara tersebut, seperti yang dikemukakan, Laksanto (2013:229) setiap kehidupan dalam masyarakat mempunyai adat istiadat yang mengatur hubungan individu-individu berupa norma-norma. Aturan-aturan yang disebut adat istiadat merupakan suatu pedoman bagi individu yang hidup sebagai warga masyarakat. Seperti juga yang dikemukakan oleh Bapak Suradi sebagai sekertaris Desa Klopoduwur. Peranan masyarakat Samin dalam penyelesaian sangatlah besar dengan menjalankan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh Samin Surosentiko dengan baik, sehingga dengan menjalankan ajaran tersebut dapat mencegah terjadinya tindak pidana pencurian.

Penyelesaian tindak pidana yang di selesaikan berdasarkan hukum adat Samin apabila dilaporkan oleh salah satu pihak yang menjadi korban pencurian ke kantor polisi sektor Banjarejo, Kabupaten Blora, maka dari pihak kepolisian akan menindaklanjuti semua laporan dari masyarakat Suku Samin. Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang polisi yaitu menindaklanjuti adanya laporan dari masyarakat. Dengan demikian penyelesaian tindak pidana pencurian di Suku Samin tidak diakui oleh hukum positif Indonesia. Tindak pidana pencurian yang terjadi di Desa Klopoduwur diselesaikan menurut hukum adat masyarakat Samin, dan diselesaikan menurut hukum positif Indonesia.

Tindak pidana yang mengakibatkan kerugian material yang sedikit diselesaikan menurut hukum adat masyarakat Samin dan untuk tindak pidana yang mengakibatkan kerugian material yang banyak diselesaiakan menurut hukum positif Indonesia. Peranan masyarakat Suku Samin dalam mencegah tindak pidana pencurian di Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora sangat besar. Ajaran-ajaran itu digunakan sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku atau perbuatan manusia khususnya orang-orang Samin agar selalu hidup dengan baik dan jujur untuk anak keturunannya kelak. Penyelesaian tindak pidana pencurian yang diselesaikan oleh masyarakat Suku Samin Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora tidak diakui oleh hukum negara Indonesia.

Pemerintah seyogyanya mengakui hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat Suku Samin untuk pertimbangan penegakan hukum di Indonesia. Pemerintah seyogyanya memberi peluang dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya adat budaya dan kearifan lokal masyarakat Suku Samin. Bagi masyarakat Samin untuk melestarikan dan menjaga adat istiadat budaya Saminisme sehingga kebudayaan Saminisme tidak pudar oleh modernisasi zaman sekarang, serta bagi masyarakat Samin untuk tetap menjaga adat istiadat dan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh Samin Surosentiko. Selama ini masyarakat samin tidak menerapkan sanksi yang tegas bagi anggota masyarakat yang telah melanggar norma-norma yang ada di dalam

masyarakat Samin. Hal ini dikarenakan setiap warga Samin mempercayai bahwa apapun kesalahan yang dilakukan oleh seseorang maka akan menghasilkan akibat yang akan dirasakan oleh orang itu sendiri. Akan tetapi seiring perkembangan jaman, maka aturan mengenai sanksi pun sudah mulai mengikuti aturan formal dalam pemerintahan desa.

4. Ajaran-Ajaran Suku Samin

Suku Samin memang menjadi sebuah wacana tidak asing lagi

untuk didengar, karena keberadaan dengan sifatnya ikhlas, narimo, dan

tidak ingin merugikan siapa pun. Menurut Rosyid (2008:211) Konsep ikhlas muncul diawali dari konsep bahwa „semua adalah saudara‟. Orang-orang yang bertamu di kampung Samin akan diterima dengan baik

dan akan disambut dengan penuh penghormatan selayaknya

penghormatan sebagai tamu di dalam agama Islam.

Pemberian penghormatan kepada tamu sangat diperhatikan seperti memberikan suguhan yang terbaik, menemani berbincang-bincang dengan penuh keramahan. Konsep Ikhlas ini juga bisa disebut dengan

narimo, ada ungkapan Rosyid (2008:211) sifat „narimo‟ ini diwujudkan dalam konsep ajarannya yang identik dengan takdir. Sehingga konsep ini mengilhami anak-anak generasi Samin jika melihat rekan-rekannya

bersekolah formal mereka hanya narimo untuk tidak „meri‟ karena

berprinsip kono-kono, kene-kene. Artinya bahwa orang lain berhak

dan orang Samin tidak akan menganggunya selama dia juga tidak diganggu.

Disamping itu sedulur sikep Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora juga melakukan beberapa budaya yang sudah lama dilakukan sejak dulu, seperti paparannya Rosyid (2008: 133) bahwa slametan yang dilakukan masyarakat Samin karena proses adaptasi budaya terhadap warga masyarakatnya yang mayoritas muslim. Ada beberapa slametan yang dilakukan oleh masyarakat Samin.

Sifat gotong-royong, warga Samin memang menjadi sebuah tradisi. Hidup masyarakat Samin Blora saling berdampingan dengan masyarakat sesama Samin, maupun masyarakat sekitar. Karena termasuk sifat dari orang Samin suka gotong-royong, seperti ungkapan Rosyid (2008:134) bahwa keaktifan warga masyarakat Samin Kudus dalam gotong-royong dapat dijadikan tauladan bagi warga lainya.

Tidak ketinggalan juga untuk masalah organisasi intern, masyarakat Samin aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi intern maupun masyarakat. Tidak dapat dipungkiri hidup bermasyarakat harus bersosialisasi karena itu masyarakat Samin ini memandang bahwa harus mengikuti beberapa oraganisasi masyarakat seperti pada hari

tertentu (Jum‟at). Bagi warga Samin Blora seperti hasil wawancara

dengan salah satu warga Samin „di setiap hari Jum‟at di pendopo sedulur

Di lain sisi dalam koran suara Merdeka Ernawati (2014:7) bahwa Perbincangan mutakhir masyarakat Blora dan sekitarnya adalah diskursus tentang upaya PEMDA untuk melestarikan dan mengembangkan nilai- nilai ajaran. Satu gagasan menarik adalah ketika PEMKAB berkeinginan

tiap Jum‟at , PNS mengenakan pakaian Samin, yang pola dan modelnya

masih didiskusikan.

Prinsip ajaran Samin memang masih berlaku atau masih diaplikasikan oleh masyarakat Samin sampai pada saat ini menjadi sebuah dasar masyarakat Samin dalam melakukan hubungan bermasyarakat. Seperti dalam ungkapannya Rosyid (2008:170) bahwa Samin sebagai pegangan dan keyakinan hidup memiliki prinsip dasar ajaran (perintah) dan prinsip dasar pantangan (laraangan). Masyarakat Samin mempunyai beberapa prinsip dasar ajaran di antaranya seperti yang telah dikemukakan oleh Rosyid (2008:180) bahwa ajaran Samin mempunyai enam prinsip dasar dalam beretiika berupa pantangan untuk

tidak: dengki, srei, panasten, dawen, kemeren, lan nyiyo marang sepodo,

bejok reyot iku dulure, waton meningso tur gelem di ndaku sedulur.

Dalam sistem perkawinan di masa lalu calon mempelai pria harus menginap terlebih dahulu di calon wanita, atau lebih sering dikenal dengan istilah nyuwita sampai beberapa bulan bahkan tahunan, namun sekarang sudah tidak dijalankan lagi karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Mengingat sekarang ini sebagian masyarakat Samin memeluk agama Islam. Sehingga untuk mengikuti prosedur

formal dalam perkawinan, maka sekarang ini perkawinan harus disahkan melalui KUA (Kantor Urusan Agama), kalau di masa lalu hanya dengan persetujuan dari orang tua saja sudah dirasa cukup. Awalnya masyarakat Samin sangat memegang teguh ajaran agama Adam. Bahkan sampai sekarang pun masih menunjukkan hal yang sama.

Hanya saja ketika peneliti menanyakan kepada Kepala Desa mengenai agama yang tertulis di KTP masing-masing warga Samin, maka jawaban yang didapat bukannya Agama Adam yang termuat di KTP. Namun di KTP jelas tertera agama Islam lah yang dianut.

5. Pendidikan Suku Samin

Pendidikan memang menjadi sebuah alat atau fasilitas utama untuk melakukan perubahan. Dalam dunia ini ada beberapa aspek kehidupan demikian juga dalam suatu masyarakat. Suku samin khususnya di Karangpace memandang dunia pendidikan sebagai wahana untuk perubahan sosial. Karena mereka berpandangan bahwa tidak ada pendidikan yang sia-sia dan dapat dilakukan dimanpun dan kapan saja artinya bahwa orang yang berpendidikan akan berbeda dengan orang yang tidak terdidik maka kelak tidak akan menjadi manusia yang sia-sia yang artinya menjadi manusia yang bermanfaat. Dan pendidikan tidak hanya ada di bangku sekolahan artinya pendidikan dapat dilakukan dimana-mana tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Kemudian orang samin di Krangpace untuk memulai perubahan sosial, merka mengawali dari menyekolahkan anak-anaknya dengan

tujuan anak-anaknya dapat melakukan perubahan terhadap aspek-aspek

kehidupan. Hal ini juga disampaikan oleh laksanto (2013:25) untuk bisa

melakukan perubahan terhadap tatanan sosial diperlukan pendidikan. Ketika masih kecil dibekali dengan pendidikan kelak dewasa akan menjadi manusia yang bermanfaat terhadap diri, keluarga, masyarakat sekitar.

Dokumen terkait