• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan

PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden

5.2. Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan

Negara Klas 1 Medan

Variabel sanitasi lingkungan pada penelitian ini meliputi ketersediaan air bersih, ventilasi, kelembaban, kepadatan penghuni dan kondisi lantai. Hasil uji

menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut berhubungan terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan Pemasyarakatan yang berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan,

5.2.1 Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Ketersediaan Air Bersih terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih yang baik hanya ada pada blok A saja, sedangkan 8 blok lainnya menunjukkan bahwa ketersediaan airnya tidak cukup yaitu sebanyak 61 orang (70,98%)

Air bersih dalam rung tahanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci dan kakus dan juga untuk wu’du bagi warga binaan yang beragama muslim. Ketersediaan air bersih merupakan hal yang paling utama dalam sanitasi kamar mandi, dimana sangat erat kaitannya dengan timbulnya penyakit. Tidak tercukupinya ketersediaan air bersih baik dari segi kuantitas maupun kualitas tentu akan menyebabkan warga binaan pemasyarakatan tidak dapat membersihkan dirinya secara maksimal dan efektif, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kondisi kesehatan warga binaan pemasyarakatan dalam pemenuhan kebersihan pribadinya yang akan berdampak pada timbulnya penyakit skabies.

Sesuai dengan hasil penelitian Trisnawati (2009) yang menyatakan ada hubungan antara kecukupan air mandi dengan kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren Al Itqon Kelurahan Tlogosari Wetan Kata. Hasil penelitian Siregar (2011) yang menyatakan terdapat hubungan pemanfaatan air bersih dengan keluhan

gangguan kulit pada penghuni di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan dimana terdapat 71,9 % penggunaan air bersih yang tidak baik. Penelitian Sidit (2004) di Pondok Pesantren Assalam dan Darulfatah Kabupaten Temanggung yang menyebutkan bahwa kondisi sanitasi seperti fisik air dapat menimbulkan penyakit skabies. Hasil penelitian Susi (2002) di Pondok Pesantren di Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara menunjukkan bahwa jumlah air bersih untuk para santri sebanyak 86,2% tidak memenuhi syarat dimana terdapat 54% yang santri menderita penyakit skabies.

Hal ini sejalan dengan Riyadi (1984) yang mengatakan bahwa sanitasi lingkungan berprinsip untuk mengurangi faktor-faktor pada lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit. Dimana salah satu kegiatan utamanya ditujukan pada pengendalian sanitasi air dengan prioritas utama penyediaan air bersih. Begitu juga dengan pendapat Kusnoputranto (1986) yang mengatakan bahwa penularan penyakit berkaitan erat dengan penggunaan air dalam hal kebersihan air, dimana air yang tidak bersih dan mencukupi akan dapat menimbulkan berbagai penyakit yang salah satunya adalah infeksi kulit.

5.2.2. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Ventilasi terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

Luas ventilasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas ventilasi yang meliputi luas lubang angin dan luas jendela rumah dibagi dengan luas lantai. Berdasarkan hasil observasi dan pengukuran bahwa hanya 3 blok yang memiliki ventilasi yang baik dari 9 blok yang ada di Rumah Tahanan Klas 1 Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada Hubungan variabel ventilasi terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke klinik di Rumah Tahanan Klas I Medan, dengan nilai p = 0,095 (p > 0,05). Hal ini juga dapat dilihat bahwa blok dengan ventilasi yang baik terdapat 11 orang responden yang sakit dan blok dengan ventilasi yang tidak baik juga terdapat 11 orang repsonden yang tidak sakit memenuhi syarat kesehatan sebanyak 50% hampir sebanding dengan yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan (69,3%).

Hal ini disebabkan bahwa pada pagi hingga siang dan sore hari warga binaan pemasyarakatan sebagian besar bisa keluar dari sel atau blok untuk berakfitas di sekitar rumah tahanan. Hal tersebut membuat para warga binaan pemasyarakatan dapat menikmati sinar matahari dan udara bebas secara langsung yang tentunya dapat menjadikan warga binaan pemasyarakatan mendapatkan sinar matahari langsung yang membuat lebih sehat atau terhindar dari penyakit skabies.

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Ma’rufi (2005) yang menyatakan bahwa berdasarkan Uji statistik dengan model Regresi Logistik Ganda dengan semua parameter yang secara signifikan berperan dalam penularan penyakit Skabies menunjukkan bahwa parameter yang paling berperan adalah berturut-turut sanitasi kamar tidur dan ventilasi kamar tidur perilaku sehat serta higiene perorangan. Indriasari (2010) menyatakan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Tradisional Al Badri dan Pondok Pesantren Modern Darus Sholah Kabupaten Jember.

Suatu ruangan yang terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan pada penghuni tersebut, untuk itu pengaturan sirkulasi udara sangat diperlukan, dalam hal ini luas ventilasi.

5.2.3. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Kelembaban terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

Kelembaban udara dalam penelitian ini adalah keadaan kelembaban udara dalam ruangan yang diukur dengan menggunakan thermohigrometer dan dinyatakan dalam persen, memenuhi syarat jika nilai kelembaban antara 40%-70%.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa Blok dengan kelembaban tidak memenuhi syarat kesehatan terdapat 7 blok dan yang memenuhi syarat kesehatan hanya 2 blok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kelembaban terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke klinik di Rumah Tahanan Klas I Medan, dengan nilai p = 0,043 (p < 0,05). Kelembaban dalam ruangan sangat berhubungan dengan ventilasi dan pencahayaan. Ventilasi dan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi pada kesehatan. Kurangnya ventilasi rumah, kepadatan penghuni dan Hubungan cuaca yang panas memungkinkan menjadi faktor penyebab kelembaban udara dalam ruangan tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan.

Hal ini sesuai dengan penelitian Ma’rufi (2005) yang menyatakan bahwa sebanyak 232 orang santri tinggal di ruangan dengan kelembaban udara yang buruk (> 90%) dengan prevalensi penyakit Skabies 67,70%, sedangkan 106 santri tinggal di

ruangan dengan kelembaban Baik (65-90%) memiliki prevalensi penyakit Skabies 56,60%. Dengan demikian tampak peran kepadatan hunian terhadap penularan penyakit Skabies pada santri di Ponpes Lamongan.

Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007) yang mengatakan bahwa kelembaban sangat berperan penting dalam pertumbuhan kuman penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Keadaan yang lembab dapat mendukung terjadinya penularan penyakit, dalam hal ini termasuk pada kejadian skabies.

5.2.4. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Pencahayaan terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

Pencayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perhitungan dari luas ventilasi yang meliputi lubang angin, luas jendela dan luas pintu yang terbuka dibagi dengan luas lantai.

Pada umumnya sinar matahari masuk ke dalam ruangan namun luas ventilasi kurang memadai, sehingga cahaya yang masuk tidak memenuhi syarat kesehatan. Kondisi pencahayaan karena kurangnya ventilasi yang ada pada ruangan seperti jendela, pintu dan lubang angin sehingga sinar matahari tidak dapat masuk. Selain itu padatnya ruangan-ruangan yang saling berdempetan/berdampingan.

Menurut Notoatmodjo (2007) dan Sarudji (2010) ukuran minimal ventilasi ruamh adalah 15%-20% dari luas lantai.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada Hubungan yang signifikan antara pencahayaan terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan

pemasyarakatan yang berobat ke klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan dan didapat nilai p = 0,305 (p>0,05).

Dari data dapat diketahui bahwa responden yang tinggal di dalam ruangan yang pencahayaan memenuhi syarat kesehatan dan yang ruangannya tidak memenuhi syarat kesehatan menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit skabies sama-sama tinggi, hal ini berarti bahwa kejadian penyakit skabies tidak dipengaruhi oleh pencahayaan, namun kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti ketersediaan air bersih yang kurang, personal hygiene yang rendah, yang dapat menyebabkan resiko untuk terjadinya penyakit skabies akan meningkat.

Pencahayaan dirumah Tahanan untuk sinar matahari relatif kurang karena hanya berasal dari lubang ventilasi. Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan bakteri patogen (Sukini,1989). Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan didalam ruangan rumah terutama ruangan tidur dan ruangan lainnya.

5.2.5. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Kepadatan Penghuni terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

Kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah perbandingan antara luas lantai ruangan dengan jumlah orang yang tinggal dalam satu ruangan tersebut, memenuhi syarat kesehatan jika luas lantai rumah ≥ 9 m2

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel sanitasi lingkungan berupa kepadatan penghuni di dapat nilai p = 0,001 (p<0,05) ada Hubungan signifikan kepadatan penghuni terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan Pemasyarakatan yang berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Klas 1 Medan.

Rumah tahanan yang memiliki kepadatan penghuni baik, mayoritasnya tidak sakit atau tidak menderita skabies yaitu sebanyak 11 orang karena kepadatan penghuni merupakan salah satu syarat untuk kesehatan rumah, dengan kepadatan hunian yang tinggi terutama pada kamar tidur seperti ruang tahanan maka akan memudahkan penularan penyakit skabies secara kontak langsung dari satu orang ke orang lain begitu juga sebaliknya (Soejadi,2003).

Hal ini sesuai dengan penelitian Ma’rufi (2005) yang menyatakan bahwa santri yang tinggal di pemondokan dengan kepadatan hunian tinggi (<8 m2 untuk 2 orang) sebanyak 245 orang mempunyai prevalensi penyakit Skabies 71,40%, sedangkan santri yang tinggal di pemondokan dengan kepadatan hunian rendah (> 8 m2 untuk 2 orang) sebanyak 93 orang mempunyai prevalensi penyakit Skabies 45,20%.

Sesuai dengan pendapat Sukini (1989) bahwa kepadatan hunian sangat berHubungan terhadap jumlah bakteri penyebab penyakit menular, selain itu kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara didalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami pencemaran oleh karena CO2 dalam rumah akan cepat meningkat dan akan menurunkan kadar O2 yang di ruangan

5.2.6. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Kondisi Lantai terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

Variabel sanitasi lingkungan berdasarkan kondisi lantai menunjukkan ada Hubungan signifikan kondisi lantai terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan Pemasyarakatan yang berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Klas 1 Medan, dengan nilai p = 0,019 (p<0,05).

Berdasarkan hasil pengamatan penelit bahwa kondisi lantai di rumah tahanan negara klas 1 Medan, terdapat lantai yang basah dan berdebu yang akan dapat menjadi sarang penyakit. Hasil pengamatan lainnya bahwa hampir secara keseluruhan warga binaan pemasyarakatan pada setiap blok tidur di lantai, oleh karenanya kondisi ini akan memungkinkan mereka untuk menderita penyakit skabies. Lantai rumah sebaiknya terbuat dari bahan yang kedap air, kuat, tidak lembab, dan berwarna cerah. Karena, kondisi lantai yang basah akan berdampak baik pada pertumbuhan mikroorganisme. Sehingga lebih memungkinkan manusia untuk terinfeksi olehnya, termasuk pada penyakit skabies ini.

Sesuai dengan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 yang salah satunya adalah Lantai yang harus kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembang-biakan bakteri terutama vektor penyakit lainnya. Udara dalam ruangan yang kondisi lantainya lembab, pada musim panas lantai tersebut menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi kesehatan para penghuninya (Suyono, 2005).

5.3. Hubungan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada